BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Pertanian - Batobo Konsi Pada Masyarakat Petani

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Masyarakat Desa Pertanian

  Desa merupakan suatu daerah yang dijadikan tempat tinggal masyarakat yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian bersumber dari alam. Di dalam Rahardjo (2004: 29) mengatakan bahwa suatu desa ditandai dengan keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Keterikatan terhadap wilayah ini di samping terutama untuk tempat tinggal, juga untuk semacam itu

  • – yakni yang memiliki ikatan kebersamaan dan ikatan wilayah tertentu
  • – pengertiannya tercakup dalam konsep komunitas (community).

  Pada masyarakat desa masih minim mengetahui teknologi sehingga membuat mereka untuk bertani. Kondisi lingkungan yang masih asri dan subur merupakan faktor pendorong masyarakat desa tersebut mengelola lahan pertanian sebagai sumber kehidupan. Di dalam Henslin (2006: 98) menjelaskan bahwa adanya masyarakat pertanian didasarkan pada pemeliharaan tannaman dengan menggunakan peralatan persediaan makanan habis, maka masyarakat ini mengembangkan pemukiman permanen.

  Pada awalnya hasil pertanian hanya digunakan untuk konsumsi keluarga petani, namun seiring perjalanan waktu para petani mulai menjual hasil pertanian mereka. Proses ini disebut juga dengan evolusi di mana manusia semakin mengenal teknologi dan semakin maju dalam berpikir. Menurut Koentjaraningrat (1977: 11) menjelaskan bahwa semenjak keberadaan manusia kira-kira dua juta tahun lalu, manusia baru mengenal cocok tanam sekitar 10.000 tahun yang lalu. Sebelum itu cara hidup manusia masih dalam taraf food gathering economics seperti berburu, menangkap ikan, dan meramu. Dengan jenis mata pencaharian semacam itu mereka lebih banyak mengembara, dalam kelompok yang kecil-kecil dan tidak permanen serta belum hidup dalam tatanan masyarakat yang teratur. Pada tingkat ini belum diperkirakan adanya peradaban atau kebudayaan bahkan dalam bentuk yang sederhana sekalipun (Rahardjo, 2004: 31).

  Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang seragam dan bersifat umum. Artinya, sering tidak disadari adanya diferensiasi atau perbedaan-perbedaan dalam berbagai aspek yang terkandung dalam komunitas petani ini. Sebagai contoh, diferensiasi dalam komunitas petani itu akan terlihat berdasar atas perbedaan dalam tingkat perkembangan masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka pergunakan, sistem Seperti yang dijelaskan di dalam Rahardjo (2004: 31), cocok tanam memaksa manusia untuk hidup menetap di suatu tempat untuk menjaga dan menunggui panenan. Karena pertanian dilaksanakan di tempat-tempat tertentu yang subur seperti lembah-lembah tepian sungai, daerah tepian danau, dan semacamnya, maka para pencocok tanam cenderung tidak berjauhan satu sama lain. Keadaan ini memungkinkan mereka untuk saling berhubungan secara aktif dan teratur sehingga mengakibatkan terjadinya akumulasi pengetahuan dan tatanan perilaku bersama yang keseluruhannya berkemas dalam bentuk pola kebudayaan tertentu.

  Diantara gambaran-gambaran yang bersifat diferensiatif pada kalangan masyarakat petani pada umumnya adalah perbedaan antara petani bersahaja, yang juga sering disebut petani tradisional (termasuk golongan peasant) dan petani modern.Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena rendahnya tingkat pengetahuan dan teknologi mereka. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk tujuan mengejar keuntungan (profic oriented). Sebaliknya, farmer atau

  

agricultural entreprenuer adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk

  mengejar keuntungan (profic oriented). Mereka menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan modern dan menanam tanaman yang laku di pasaran. Mereka mengelola pertanian mereka dalam bentuk agrobisnis, agro industri atau bentuk modern lainya, sebagaimana umunya seseorang pengusaha yang profesional menjalankan usahanya.

  Pengelolaan pertanian dapat diartikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha pertanian untuk menggali atau memanfaatkan sumber alam yang ada secara efektif untuk memenuhi kebutuhan. Di desa Padang Ranah pengelolaan pertanian dilakukan secara bersama-sama. Di dalam Rahardjo (2004: 158) menjelsakan bahwa ikatan sosial yang kuat, yang mewujud dalam bentuk tingkat kerukunan yang tinggi, juga menyebabkan terciptanya semacam keharusan sosial bagi sesama petani untuk berbagi tanah garapan.

  Pada sistem pengolahan pertanian meliputi golongan lahan, pola tanam, pemupukan, pembrantasan hama serta proses panen hasil tanaman.

  1. Pengolahan Lahan Pertanian Sebelum memulai kegiatan bertani, hal pertama yang dilakukan petani mengolah lahan, lahan yang digunakan petani untuk bertanam padi adalah lahan basa yang siap ditanam.

  2. Pola Tanam Selain lahan, pola tanam juga harus diperhatikan. Pola tanam padi harus sejajar berurutan agar memudahkan pada proses penyiangan serta proses panen padi tersebut.

  3. Pemupukan Proses pemupukan dilakukan pada tanaman yang berumur dua minggu.

  Pemupukan biasanya dilakukan dua sampai tiga kali tergantung keadaan tanaman.

  Hama pada tanaman akan merusak kualitas tanaman tersebut. Lahan pertanian yang terserang hama akan mengalami gagal panen dan petani akan merugi, pemberantasan hama dilakukan dengan cara penyemprotan pestisida kepada tanaman.

  5. Panen

  Kegiatan terakhir dalam proses pertanian adalah panen. Hasil pertanian yang baik akan menghasilkan panen yang memuaskan.

2.1.2 Sistem Ikatan Kekerabatan Masyarakat Petani

  Menurut Ferdinand Toennies (J. Dwi Narwoko

  • – Bagong Suyanto. 2007:32- 34), masyarakat dapat dibedakan kedalam dua jenis kelompok yang disebutGemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeinschaft merupakan bentuk kehidupan bersama, dimana antara anggotanya mempunyai hubungan batin murni yang nyata dan organis. Bentuk ini dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat desa, keluarga, kerabat, dan sebagainya. Gesellschaft merupakan bentuk kehidupan bersama dimana para anggotanya mempunyai hubungan yang bersifat pamrih dan dalam jangka pendek serta bersifat mekanis. Bentuk ini dapat ditemukan dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik.

  Pada masyarakat desa yang bersifat Gemeinschaftlich, pada umumnya spesialisasi individu tidak menonjol sehingga kedudukan individual tidak begitu terasakan oleh anggota lainya, berarti bahwa kedudukan masyarakat lebih penting dari pada kedudukan individu sehingga setrukturnya disini disebut mekanis.

  Sebaliknya, pada masyarakat yang bersifat kompleks (Gesellschaftlich) dimana sudah ada spesialisasi diantara para anggotanya sehingga tidak dapat hidup secara tersendiri atau dapat dipisah-pisahkan, sehingga merupakan suatu kesatuan organisme oleh karenanya strukturnya merupakan struktur organis.

  Selanjutnya Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Di dalam pertumbuhanya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis.

  2. Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinngal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling tolong menolong.

3. Gemeinschaft of mind yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada

  ideology atau pikiran yang sama (J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto.

  2007:32-34).

2.1.3 Gotong Royong Pada Masyarakat Petani

  Istilah gotong-royong mengacu pada kegiatan saling menolong atau saling membantu dalam masyarakat. Tradisi kerjasama tersebut tercermin dalam berbagai dalam bidang pertanian mulai dari pembibitan sampai panen hasil pertanian tersebut, para petani bekerja sama berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong atas dasar kesadaran dalam anggota kelompok.

  Manifestasai gotong royong tersebut terdapat pada hampir tiap suku bangsa Indonesia. Dalam penelitian Koentjaraningrat (1977: 4) membagi gotong royong menjadi empat macam, terdiri atas (a) gotong royong dalam produksi pertanian, (b)gotong royong formal antar tetangga, (c) gotong royong dalam perayaan dan pesta, (d) gotong royong dalam bencana dan kematian (Nasution, 2009: 10). Seperti yang terdapat di Kecamatan Sijunjung, Desa Padang Ranah merupakan gotong royong dalam produksi hasil pertanian. Namun dengan adanya gotong royong pada produksi pertanian, timbul rasa solidaritas di antara para petani yang menciptakan rasa saling memiliki. Di dalam hal ini akan menciptakan gotong royong dalam berbagai kegiatan seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu gotong royong formal antar tetangga, gotong royong dalam perayaan pesta dan gotong royong dalam bencana kematian.

  Sementara itu dalam hasil analisis pada literatur lain, Koentjaraningrat membagi gotong royong menjadi tiga macam, yaitu gotong royong dalam bidang pekerjaan pertanian, dalam tolong menolong, dan dalam bentuk kerja bakti (Nasution, 2009: 10).Dengan kata lain tiap gotong royong bertujuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan secara bersama-sama.

  Istilah lembaga sosial (social institution) artinya, bahwa lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma- norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut (Baswori, 2005: 93).

  Menurut Koentjaraningrat, lembaga kemasyarakatan (pranata sosial) adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyrakat (Ibrahim, 2003: 87).

  Berdasarkan pengertian lembaga kemasyarakatan yang telah dikemukakan dapat dikemukakan tiga unsur lembaga kemasyarakatan, yaitu: a) Adanya sistem norma.

  b) Sistem norma itu mengatur tindakan berpola.

  c) Tindakan berpola itu untuk memenuhi kehidupan manusia dalam kehidupan masyarakat (Ibrahim, 2003: 88).

  (Baswori, 2005: 93). Berdasarkan kekuatan mengikat anggotanya, norma- norma sosial dibedakan menjadi: a)

  Cara (usage)

  b) Kebiasaan (folkways)

  c) Tata kelakuan (mores) Adat istiadat (custom)

  Lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan sering disebut dengan lembaga kekerabatan (kinship

  institution ) (Ibrahim, 2003: 92).

  Proses pembentukan lembaga kemasyarakatan berasal dari perilaku manusia yang lama kelamaan menjadi perilaku masyarakat yang disebut tata kelakuan atau adat istiadat. Proses pembentukan lembaga kemasyarakatan mencakup dua proses, yaitu: a)

  Proses habitualisasi adalah proses menjadikan suatu perilaku manusia menjadi kebiasaan (kebiasaan orang perorang). Karena diulang-ulang, perilaku itu akhirnya memiliki pola tertentu sehingga mudah diketahui.

  b) Proses tipifikasi adalah proses penerimaan atau pembenaran suatu kebiasaan oleh sejumlah orang tertentu. Apabila ada kebiasaan orang mendapat pengakuan dari sekelompok orang teretenu, maka terbentuklah tipe yaitu kebiasaan yang berlaku untuk sekelompok orang tertentu. Orang lain mengakui atau membenarkan kebiasaan tadi karena mereka menganggap kebiasaan itu sebagai sesuatu yang bernilai. Tipe inilah yang disebut dengan lembaga kemasyarakatan (Ibrahim, 2003: 96).

  Proses pelembagaan sebenarnya bisa berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma sosial menjadi internalized (mendarah daging), yaitu suatu taraf perkembangan di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperilaku (Baswori, 2005: 95).

2.3 Solidaritas Sosial Masyarakat Petani

  Konsep solidaritas sosial merupakan kepedulian secara bersama kelompok yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara individu dan/ atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama, dan kepercayaan yang dianut serta diperkuat oleh pengalaman emosional (Johnson, 1981) (Nasution, 2009: 9).

  Prinsip solidaritas sosial adalah saling tolong menolong, bekerjasama, saling membagi hasil panen, menyokong proyek desa secara keuangan dan tenaga kerja dan lainnya (Nasution, 2009: 9).

  Solidaritas sosial dipengaruhi oleh interkasi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural, yang pada dasarnya disebabkan munculnya sentimen komunitas (community sentiment), unsur-unsurnya menurut Redfield (dalam Laiya, 1983) meliputi: a)

  Seperasaan, yaitu karena seseorang berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut, sehingga kesemuanya dapat menyebutkan dirinya sebagai kelompok kami (warga).

  b) Sepenanggungan, yaitu setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri sangat memungkinkan peranannya dalam kelompok yang dijalankan.

  Saling butuh, yaitu individu yang tergantung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitasnya meliputi fisik maupun psikologinya (Nasution, 2009: 9-10). Sumber solidaritas sosial adalah tradisi terawat rapi dari generasi ke generasi berikutnya, dikawal secara ketat melalui kontrol sosial, akan tetapi sementara kebudayaan tidak pernah ada yang statis, terjadilah berbagai perubahan secara eksternal. Sedangkan unsur kekuatan yang merubah adalah proses modernisasi yang telah mempengaruhi tradisi selama ini dianggap sebagai sumber hidupnya solidaritas sosial, terutama berkaitan dengan hubungan dengan solidaritas tradisional (Nasution, 2009: 10).

  Pembedaan antara solidaritas mekanik dan organik merupakan salah satu sumbangan Durkheim (dalam Johnson, 1981) untuk menganalisis masyarakat dusun dengan masyarakat perkotaan. Dalam hal ini menggambarkan sesuatu mengenai elemen-elemen penting dari kedua tipe struktur sosial itu. Menurut solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolekif” bersama yang menunjukkan pada “totalitas keperrcayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama, dan solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya (dalam Johnson, 1981) (Nasution, 2009: 12).

  Hal ini merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif sama dilumpuhkan akibat tekanan untuk konformitas yang besar sekali (Nasution, 2009: 12).

  Masyarakat tradisional dikaitkan dengan konsep mekanik, karena anggotanya secara spontan cenderung kepada suatu pola hidup bersama yang homogen.

  Perbedaan antara individu dianggap tidak penting, sehingga fungsi setiap individu selalu dapat digantikan orang lain. Kesadaran kolektif mendominasi dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang dianggap baik oleh masyarakat dianggap baik pula oleh individu (Nasution, 2009: 13).

Dokumen yang terkait

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG SENI PANAHAN JEPANG 2.1 Sejarah Dan Perkembangan Seni Panahan Jepang - Seni Panahan Jepang

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN TEORITIS 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2.1.1.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) - Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Pemerintahan Kota

0 0 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Pemerintahan Kota di Sumatera Utara

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat - Uji Disolusi Tablet Gliseril Guaiakolat yang Diproduksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

0 0 14

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Komputer - Perancangan Aplikasi Kamus Peribahasa Bahasa Inggris

0 0 13

Aplikasi Pembangunan Sistem Pakar untuk Memecahkan Masalah Kerusakan Pada Komputer Berbasis Web

0 2 17

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pakar - Aplikasi Pembangunan Sistem Pakar untuk Memecahkan Masalah Kerusakan Pada Komputer Berbasis Web

0 0 12

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Sistem Informasi 2.1.1 Sistem - Perancangan Sistem Informasi Registrasi Online Berbasis Web SMA Negeri 1 Sunggal

0 0 20

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Komputer - Sistem Informasi Data Guru dan Siswa pada Sekolah SMA Negeri 1 Tanjung Pura Menggunakan Visual Basic 6.0

0 0 13

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Data dan Informasi - Sistem Informasi Akademik pada SMA Swasta Hang Tuah Belawan

0 0 11