Analisis Hukum P3B dengan Hukum Domestik

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS HUKUM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA (P3B) DENGAN HUKUM DOMESTIK TERKAIT
PERPAJAKAN DI INDONESIA

MAKALAH
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk Mata Kuliah Perpajakan
Internasional
Dosen Pengampu: Wisamodro Jati S.Sos., M.Int.Tax.

NATHASYA MARTA NINGRUM (1406621065)
NUR ATIKASARI (1406621001)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal
Depok
Februari 2016
i

Universitas Indonesia


ABSTRAK
Transaksi antarnegara membuat dunia semakin menyatu dan mengecil yang
disebabkan oleh adanya saling terkait dan saling bergantung satu sama lain. Hal
ini menyebabkan iklim perekonomian internasional menjadi tidak kondusif karena
setiap negara memiliki hukum untuk negaranya sendiri, terutama aturan mengenai
pengenaan pajak. Permasalahan pajak antarnegara terkait dengan perbedaan azasazas perpajakan yang dianut sehingga menimbulkan adanya pemungutan pajak
yang lebih dari satu kali di negara yang berbeda. Maka, dalam meminimalisasi
pajak berganda, diperlukan perjanjian penghindaran pajak berganda (selanjutnya
disebut P3B). Di Indonesia, perjanjian internasional dalam hal P3B menganut
aliran mengenai hubungan antara hukum internasional dan undang-undang
nasional monoist. Hal ini didukung oleh hukum pada Pasal 32A UU PPh.
Kata Kunci:
Hukum

Internasional,

Pajak

Berganda,


Pajak

Internasional,

Perjanjian

Penghidaran Pajak Berganda

ii

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
ABSTRAK..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GRAFIK...............................................................................................iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Pokok Permasalahan..........................................................................................2
BAB 2 KERANGKA TEORI................................................................................3
2.1 Hubungan Hukum Nasional terhadap Hukum Internasional.............................4
2.2 Pajak Berganda Internasional.............................................................................6
2.3 Sistem Perpajakan Internasional dan Sistem Perpajakan Indonesia..................9
2.4 Penerapan Hukum Internasional dalam P3B......................................................9
2.5 Hubungan antara P3B dengan Hukum Domestik ............................................11
BAB 3 ANALISIS.................................................................................................14
3.1 Analisis Hukum P3B dengan Hukum Domestik di Indonesia.........................14
BAB 4 PENUTUP.................................................................................................18
4.1 Simpulan..........................................................................................................18
4.2 Saran.................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

iii

Universitas Indonesia

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Angka Ekspor dan Angka Impor Tahun 1994 dan Tahun 1995 (dalam
jutaan US$)...............................................................................................................2

iv

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ketentuan yang Diterapkan antara P3B dan Undang Undang
Domestik................................................................................................................11

v

Universitas Indonesia

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1


Latar Belakang
Pendapatan Negara Indonesia paling besar sampai saat ini berdasarkan

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) merupakan
pajak. Pajak merupakan suatu kontribusi wajib masyarakat untuk negara yang
diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945). Bentuk pengesahan hukum ini sebagai wujud agar pajak
tidak dianggap sebagai pencurian atas kekayaan pribadi yang mampu melanggar
hak asasi manusia. Hal ini pun sejalan dengan motto Amerika dan Inggris sejak
abad 108 menyatakan “tax without representation is a robbery”. Oleh sebab itu,
pajak merupakan suatu persetujuan dari masyarakat untuk ‘memajaki’ dirinya
sendiri di negara tersebut
Keberadaan pajak menjadi suatu masalah ketika adanya transaksi
antarnegara. Transaksi antarnegara membuat dunia semakin menyatu dan
mengecil yang disebabkan oleh adanya saling terkait dan saling bergantung satu
sama lain, seperti pertukaran barang, migrasi sumberdaya manusia, transaksi jasa
lintas perbatasan, arus modal serta pembiayaan antarnegara, dan arus informasi 1.
Peningkatan perdagangan internasional Negara Indonesia dapat dilihat dari
kenaikan ekspor dan impor yang telah dirangkum dalam Grafik 1.


1

Gunadi, Pajak Internasional, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,
2007, hlm. 1-2.
1
Universitas Indonesia

2

Grafik 1. Angka Ekspor dan Angka Impor Tahun 1994 dan Tahun 1995
(dalam jutaan US$)

sumber: Gunadi (2007), diolah kembali oleh penulis

Disisi lain, adanya pertimbangan ekonomis dalam melakukan transaksi
antarnegara, yaitu keduabelah pihak mendapatkan manfaat serta keuntungan dan
ini sesuai dengan prinsip ekonomi menyatakan “trade can make everyone better
off because trade allows each person to specialize in the activities he or she does
best”2.
Transaksi antarnegara menyebabkan iklim perekonomian internasional

menjadi tidak kondusif karena setiap negara memiliki hukum untuk negaranya
sendiri, terutama aturan mengenai pengenaan pajak karena pajak dikenakan atas
setiap aktivitas manusia, seperti penghasilan yang diterima atau diperoleh dan
transaksi perdagangan.
1.2

Pokok Permasalahan
Timbulnya transaksi internasional didorong karena adanya aspek pajak antar

kedua belah negara atas satu transaksi. Indonesia adalah negara berdaulat yang
mempunyai kewenangan untuk mengatur orang, barang, atau obyek yang berada
didalam kekuasaannya, tak terkecuali yuridiksi terkait dengan pemungutan pajak
yang merupakan konsekuensi dari negara yang berdaulat 3. Yuridiksi domestik
dilandasi pada azas-azas perpajakan yang dianut negara tersebut4. Permasalahan
2

N. Gregory Mankiw, Principles of Economy, Cengage Learning, Boston, 2016, hlm. 173.
Knechtle, Basic Problems in International Fiscal Law, Kluwer, Deventer, 1979, hlm. 3.
4
Anang Mury Kurniawan, Tax Treaty: Memahami Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

(P3B) Melalui Studi Kasus, Bae Media Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 1.
3

Universitas Indonesia

3

pajak antarnegara terkait dengan perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut
sehingga menimbulkan adanya pemungutan pajak yang lebih dari satu kali di
negara yang berbeda. Pajak berganda dapat muncul apabila berdasarkan undang
undang domestik di masing-masing negara seseorang dianggap menjadi penduduk
di kedua negara (dual resident)5. Maka, dalam meminimalisasi pajak berganda,
diperlukan suatu persetujuan bersama antarnegara terkait dengan yuridiksi
pemajakan negara asal dengan negara yang melakukan transaksi melalui
perjanjian penghindaran pajak berganda (selanjutnya disebut P3B).

5

Rachmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: Sebuah Pengantar, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hlm. 29.

Universitas Indonesia

BAB 2
KERANGKA TEORI

2.1

Hubungan Hukum Nasional terhadap Hukum Internasional
Tahun 1969, dalam buku International Law, Cases, and Material yang

ditulis

oleh Pugh Henkin menyatakan

aturan-aturan hukum kebiasaan

internasional dikodifikasi dan dirumuskan dalam Konvensi Wina tentang Hukum
Traktat (Hukum Perjanjian Internasional) yang ditandatangani tanggal 23 Mei
1969 dan mulai berlaku tanggal 27 Januari 1980 sehingga pada Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa Konvensi Wina merupakan petunjuk

yang otoratif untuk hukum dan praktek traktat sampai saat ini 6. Traktat pada Pasal
2 Konvensi Wina adalah suatu persetujuan antara dua negara atau lebih negara
mengadakan atau bermaksud mengadakan suatu hubungan timbal balik menurut
hukum internasional. Maka traktat merupakan instrumen utama untuk memulai
atau mengembangkan kerjasama internasional sehingga tujuan traktat adalah
untuk meletakkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara
peserta. Dalam hukum nasional, para warganegara dapat memilih dari antara
sekian banyak instrumen untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau
mengadakan suatu transaksi secara internasional7.
Hukum nasional dan hukum internasional saling mempengaruhi dan
membutuhkan satu sama lain, karena8:
1. Hukum internasional akan lebih efektif bila telah di transformasikan ke dalam
hukum nasional,
2. Hukum internasional akan menjembatani ketika hukum nasional tidak dapat di
terapkan di wilayah negara lain,
3. Hukum internasional akan mengharmonisasikan perbedaan-perbedaan dalam
hukum nasional,

6


Sumitro, Pengantar Hukum Internasional 2, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. 117.
Sumitro, loc. cit.
8
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 98.
4
Universitas Indonesia
7

5

4. Hukum internasional banyak tumbuh dari praktik hukum nasional negaranegara,
5. Meskipun negara mempunyai prescription jurisdiction (kewenangan untuk
membuat autran perundang-undangan dalam hukum nasionalnya) namun dalam
praktiknya negara tidak bisa membuat aturan perundang-undangan itu sendiri
tanpa melihat pada hukum internasional yang telah ada.
Asif Hasan Quereishi menyatakan ada dua aliran mengenai hubungan antara
hukum internasional dan undang-undang nasional, yaitu tunggal (monist) dan
dualist9. Pertama, hubungan tersebut monist apabila hukum internasional dan
hukum nasional merupakan bagian dari undang undang domestik yang
meletakkan hukum internasional diatas hukum nasional. Apabila terjadi
permasalahan terkait dengan pelanggaran atas suatu treaty maka mengajukan
protes dan mendesak ke tingkat peradilan internasional, seperti International
Court for Justice. Menurut teori monoisme, hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua kesatuan hukum dari satu sistem hukum yang lebih besar,
yaitu hukum pada umumnya sehingga kemungkinan timbulnya konflik antara
hukum internasional dan hukum nasional sangat besar karena terletak didalam
satu sistem hukum10.
Disisi lain, hubungan tersebut dualist ketika hukum internasional memiliki
kedudukan yang sama dengan hukum nasional sehingga jika terjadi perbedaan
antara keduanya, pengadilan akan memenangkan undang undang nasional.
Hubungan yang bersifat dualist salah satunya di negara-negara anggota Amerika.
Di Amerika, hukum internasional (treaty) mempunyai kedudukan yang sama
dengan undang undang nasional karena menggunakan prinsip les posterior
derogate lex priori. Sifat treaty di Amerika adalah self-executing, yaitu secara
otomatis akan menjadi bagian dari undang undang domestik apabila ketentuan
treaty tidak bertentangan dengan undang undang federal. Namun, apabila ada
permasalahan terkait dengan pelanggaran atas suatu treaty maka akan dilakukan
ditingkat pengadilan domestik. Hal ini juga dinyatakan dalam teori dualisme yang
menyatakan jika terjadi konflik perbedaan antara hukum internasional dengan
hukum nasional maka perbedaan itu menurut Anzilotti ditarik dari dua prinsip
9

Rachmanto Surahmat, loc. cit.
Sefriani, op. cit., hlm. 86.

10

Universitas Indonesia

6

yang fundamental, yaitu hukum nasional berbasis pada prinsip aturan negara
(state legislaion) yang harus dipatuhi, sedangkan menurut John O’Brien, hukum
internasional berbasis pada prinsip perjanjian antarnegara dimana harus
menghormati sesuai dengan prinsip pacta sunt servada11.

Maka, pada aliran

monoist, hukum internasional hanya dapat diberlakukan setelah ditransformasikan
ke dalam hukum nasional, begitu juga sebaliknya.
2.2

Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda dapat muncul apabila berdasarkan undang undang domestik

di masing-masing negara seseorang dianggap menjadi penduduk di kedua negara
(dual resident)12. Secara definitif, menurut Knechtle yang dikutip oleh Gunadi,
pajak berganda dibedakan dalam arti luas maupun arti sempit13. Definisi pajak
berganda dalam arti luas meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan
lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda (double taxation) atau lebih
(multiple taxation) atas suatu fakta fiskal (subyek dan/atau obyek pajak) sehingga
tidak mempertimbangkan penyebab dari pembebanan ganda atau beberapa kali
tersebut berasal dari kombinasi antara pajak dan pungutan lainnya atau karena
kombinasi dari berbagai jenis pajak atau disebabkan oleh pembebanan pajak
secara bersamaan oleh administrasi pajak yang sama atau berbeda. Namun, dalam
arti sempit, semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subyek dan/atau
obyek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama disebabkan oleh pemajakan
secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah), horizontal (antarpemerintah
daerah), atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengan provinsi lainnya).
Pemajakan atas aspek internasional termasuk dalam pengertian secara luas dari
pajak berganda.
Ada dua penyebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu secara
ekonomis dan secara yuridis 14. Pajak berganda internasional yang disebabkan
secara ekonomis terjadi ketika suatu penghasilan yang sama dikenakan pajak lebih
dari satu kali di negara tersebut dan/atau oleh lebih dari satu negara, contohnya
11

Ibid., hlm. 87.
Rachmanto Surahmat, loc. cit.
13
Gunadi, op. cit., hlm. 110-111.
14
Angharad Miller dan Lynne Oats, Principles of International Taxation, Bloomsbury Professional,
West Sussex, 2012, hlm. 77-78.
Universitas Indonesia
12

7

pengenaan atas keuntungan perusahaan. Keuntungan perusahaan (net income)
dikenakan pajak penghasilan atas badan yang kemudian net income after tax
dibagikan kepada pemilik saham perusahaan tersebut. Apabila pemilik saham
berada di luar negeri maupun di negara itu sendiri, dividen yang berasal dari net
income tax akan dikenakan pajak penghasilan atas dividen. Namun, Miller
menyatakan bahwa fokus dari pajak berganda internasional disebabkan atas
yuridiksi. Pajak berganda internasional yang disebabkan secara yuridis terjadi
ketika pajak atas satu transaksi antarnegara dikenakan lebih dari satu negara. Hal
ini terkait dengan penentuan yuridiksi pemajakan atas azas sumber atau azas
domisili (residence).
Perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut yuridiksi domestik dalam
transaksi antarnegara menimbulkan adanya pemungutan pajak yang lebih dari satu
kali di negara yang berbeda. Ada tiga jenis konflik yuridiksi yang
melatarbelakangi terjadi pengenaan pajak berganda secara internasional, yaitu15:
a) Konflik antara azas domisili dengan azas sumber
Azas domisili merupakan pengenaan pajak oleh negara karena orang pribadi atau
badan tersebut berdomisili di negara yang bersangkutan atau karena status
kewarganegaraannya sedangkan azas sumber menyatakan negara berhak
mengenakan pajak karena orang pribadi atau badan memperoleh penghasilan yang
berasal dari negara tersebut16. Konflik ada ketika satu negara menganut azas
domisili dan negara lainnya menganut asas sumber
b) Konflik karena perbedaan definisi penduduk
Konflik ini terjadi ketika pribadi atau badan dalam melakukan transaksi
internasional dianggap sebagai penduduk di kedua negara tersebut. Konflik
mengenai kependudukan ganda (dual resident) ini biasanya terjadi atas orang
pribadi sedangkan pengurus badan hukum biasanya berada di negara pada saat
badan tersebut didirikan. Konflik ini terkait dengan azas domisili seseorang atau
badan di kedua negara tersebut.
c) Perbedaan definisi tentang sumber penghasilan

15

Rachmanto Surahmat, op. cit., hlm. 21-23.
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 127 dan 129.
Universitas Indonesia
16

8

Apabila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai
penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Konflik ini terkait dengan azas
sumber yang diberlakukan di kedua negara tersebut.
Konflik yang mengakibatkan terjadinya tambahan jumlah pajak yang harus
dipikul ini memicu adanya tindakan penghindaran pajak berganda. Akibat dari
penghindaran pajak berganda adalah tiap negara yang melakukan transaksi
internasional melakukan eliminasi terhadap pajak berganda internasional melalui
beberapa pendekatan, yaitu17:
- Unilateral (sepihak)
Unilateral merupakan pencantuman ketentuan penghindaran pajak berganda
internasional didalam undang undang domestiknya untuk setiap negara yang
mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh atau diterima
subyek dalam negeri, seperti pembebasan pajak atas penghasilan luar negeri atau
mengecualikan dari pajak atas penghasilan luar negeri. Pendekatan ini cenderung
hanya memberikan keringanan pajak berganda internasional secara sepihak.
- Bilateral (antardua negara)
Pendekatan ini didasarkan pada kesepakatan antarnegara pemegang yuridiksi
pemajakan. Kesepakatan tersebut dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian yang
ditandatangani oleh pemerintah kedua negara. Apabila adanya keringanan pada
perjanjian internasional dibandingkan undang undang domestik maka yang
berlaku adalah perjanjian internasional tersebut.
- Multilateral (beberapa negara secara serempak)
Multilateral hampir menyerupai bilateral namun diterapkan lebih dari dua negara.
Penerapan pendekatan multilateral ini biasanya digunakan untuk negara-negara
yang berada dalam satu kawasan, seperti Uni-Eropa.

2.3

Sistem Perpajakan Internasional dan Sistem Perpajakan Indonesia
Pada undang undang domestik setiap negara memiliki aspek pajak

internasional terkait dengan orang atau badan yang melakukan aktivitas ekonomi
lintas batas negara (cross-border transaction). Menurut De Leon, pajak dipungut
17

Gunadi, op.cit., hlm. 118-119.
Universitas Indonesia

9

berdasarkan kedaulatan setiap negara sehingga adanya perbedaan sistem
perpajakan

internasional

antarnegara18.

Negara-negara

dalam

transaksi

internasional cenderung menganut asas teritorial (sumber), yaitu penghasilan yang
bersumber di suatu negara dikenakan pajak pada negara yang memberikan sumber
penghasilan tersebut maka undang undang negara tersebut yang berlaku19.
Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak terbatas dengan
penggunaan asas sumber saja melainkan juga mengaplikasikan asas domisili
(residence). Dalam sistem perpajakan internasional, terdapat suatu norma yang
diterima dan diikuti secara global termasuk Indonesia, seperti yang dinyatakan
oleh Gunadi, yaitu
“....untuk menyerahkan pemajakan utama (primary taxing rights) kepada
negara sumber penghasilan yang mempunyai pertalian teritorial dan
mempertahankan kewenangan pemajakan residual (residual tax claim)
terhadap negara domisili dengan pertalian personal. Selain itum Indonesia
akan memberikan kredit atas pajak penghasilan yang terutang atau dibayar
di luar negeri dan hanya jumlah selebihnya saja, kalau ada, dari pajak
penghasilan Indonesia atas pajak penghasilan mancanegara diatas pajak
luar negeri atas penghasilan dimaksud yang akan dipungut oleh
Indonesia.”20
2.4

Penerapan Hukum Internasional dalam P3B
Sejak abad ke-19, tiap negara sudah melakukan perjanjian bilateral dengan

tujuan menghindari pajak berganda. Awalanya, hanya negara-negara federal yang
melakukan perjanjian ini, seperti antara Prussia dan Saxony terkait dengan pajak
langsung (direct taxes), Austria dengan Hungaria terkait dengan pajak atas
keuntungan bisnis, dan sebagainya lalu setelah perang dunia pertama, adanya
peningkatan jumlah tax treaties dan menyebar luas di Eropa. Studi komprehensif
mengenai konsekuensi dari pajak berganda ditemukan oleh empat ahli ekonomi

18

Ibid., hlm 183.
Richard Doernberg, International Taxation in a Nutshell, West Publishing, United States of
America, 2012, hlm. 8.
20
Gunadi, op.cit., hlm. 10.
Universitas Indonesia
19

10

dan studi ini dimasukkan dalam Report on Double Taxation yang disampaikan
dalam Financial Committee of The League of Nation di tahun 192321.
Menurut Amatucci dkk, dasar dalam mendefinisikan P3B (tax treaty, double
taxation treaty) terkait dengan dua sifat mendasar, pertama, suatu perjanjian
internasional yang diadakan dua negara dalam mengelola yuridiksi fiskal (fiscal
yuridiction) dan kedua, perjanjian internasional menjadi bagian dalam hukum
pajak kedua negara yang melakukan perjanjian dengan cara langsung dimasukkan
pada undang undang domestik atau perlu adanya proses hukum untuk masuk
dalam undang undang domestik22. Maka, tujuan utama dari pengelolaan yuridiksi
fiskal menurut Holmes adalah23:
“avoiding double taxation which would otherwise arise from an
international transaction or event if each country imposed its own tax on
the same income or capital; alocating the tax imposed between the
governments that are parties to tax treaty; and preventing the evation of
taxation on those international transaction or events.”
Kedudukan hukum P3B dalam undang undang domestik terkait dengan
pembagian hak pemajakan antara dua negara. P3B tidak memberikan hak
pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B melainkan hak masingmasing negara tersebut dihilangkan atau dibatasi berdasarkan persetujuan dalam
pembatasan hak pemajakan yang tercantum di P3B24. Penerapan ketentuan P3B
dan undang undang domestik terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Ketentuan yang Diterapkan antara P3B dan Undang Undang Domestik
Ketentuan UU Domestik
Ketentuan P3B
Ketentuan yang Diterapkan
Mengatur
Mengatur
P3B
Mengatur
Tidak mengatur
Undang Undang Domestik
Tidak mengatur
Mengatur
Tidak mengatur
Tidak mengatur
sumber: Kurniawan (2012), diolah kembali oleh penulis
21

Andrea Amatucci, Eusebio González, dan Christoph Trzaskalik, International Tax Law, Kluwer
Law International, Belanda, 2006, hlm. 150.
22
Ibid., hlm. 149.
23
Kevin Holmes, International Tax Policy and Double Tax Treaties: An Introduction to Principles
and Application, IBFD, Amsterdam, 2007, hlm. 54.
24
Ibid., hlm. 87.
Universitas Indonesia

11

Ada tiga hak pemajakan dalam menentukan hukum P3B dalam undang
domestik25, yaitu:
a) Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights)
Suatu negara diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan
penduduk negara lainnya yang bersumber dari negaranya sepenuhnya sesuai
dengan undang undang domestik negara tersebut tanpa adanya pembatasan. Maka,
tarif pajak dan tata cara pemajakan sepenuhnya tunduk pada undang undang
domestik negara tersebut.
b) Pemberian Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights)
Negara sumber penghasilan diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu
penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negara tersebut namun
dengan pembatasan tarif. Apabila tarif pajak undang undang domestik lebih tinggi
dari tarif yang ditentukan dalam P3B maka tarif pajak yang diterapkan adalah tarif
pajak menurut ketentuan P3B.
c) Pelepasan Hak Pemajakan (relinquished taxing rights)
Suatu negara melepaskan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari
negara tersebut dan merelakan penghasilan tersebut dipajakai negara lainnya.
Maka, tarif pajak yang diterapkan adalah tarif pajak menurut undang undang
domestik negara lainnya yang bukan negara sumber penghasilan.
Dalam pembuatan P3B melewati beberapa tahapan, yaitu26:
1. Tahap Penjajakan: dilakukan untuk melihat apakah Indonesia perlu mempunyai
P3B dengan suatu negara.
2. Tahap Perundingan: pemerintah indonesia berpedoman pada kepentingan
nasonal

dan

berdasarkan

prinsip-prinsip

persamaan

kedudukan,

saling

menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum
internasional.
3. Perumusan Masalah
4. Tahap Penerimaan
5. Tahap Penandatanganan: proses persetujuan atas naskah P3B atau merupakan
pernyataan untuk mengikat diri secara definitf sesuai dengan kesepakan para
pihak.
25
26

Anang Mury Kurniawan, op. cit., hlm. 45-49.
Ibid., hlm. 54-57.
Universitas Indonesia

12

Setelah proses penandatangan selesai, P3B semata-mata tidak dapat langsung
diberlakukan karena setiap negara harus memastikan bahwa P3B dapat diterapkan
dalam hukum domestiknya.
2.5

Hubungan antara P3B dengan Hukum Domestik
P3B harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati dalam

Vienna Convention on the Law of Treaties. Bentuk penandatanganan P3B
menandakan bahwa kedua negara harus mematuhi P3B diatas undang undang
domestik dalam mengadakan perjanjian. Negara-negara penganut monistic
principle tidak mensyaratkan P3B harus dituangkan kedalam bentuk undangundang terlebih dahulu (atau dengan kata lain P3B diberlakukan secara otomatis),
contohnya adalah negara Belanda, Jepang, Luxemburg, Spanyo, Portugal dan
Swiss sedangkan, bagi negara yang menganut dualistic principle maka P3B harus
dijadikan hukum domestik terlebih dahulu melalui proses legislasi, contohnya
negara Inggris, Australia, Kanada, Denmark, India, Israel, Selandia baru,
Nowergia, dan Swedia27. Dengan demikan, ada dua tipe negara dalam
memperlakukan P3B dengan undang undang domestik28, yaitu:
a) Langsung (direct effect): aturan P3B dapat langsung menjadi bagian dari
undang undang domestik baik secara langsung melalui penandatangan presiden
atau melalui ratifikasi oleh parlemen
b) Tidak Langsung (indirect effect): aturan P3B dapat menjadi bagian dari undang
undang domestik apabila melalui proses legislasi dalam pembuatan undang
undang
Ada tiga langkah implemntasi P3B pada undang udang domestik yang
dinyatakan oleh M. Edwardes Ker dalam menentukan hubungan antara P3B
dengan undang undang domestik29, yaitu langkah pertama, undang undang
domestik pada negara tersebut diimplementasikan untuk menentukan jika undang
undang domestik dapat memberikan potensi untuk menambah beban pajak.
Apabila beban pajak tidak meningkat maka P3B tidak dapat diberlakukan namun
langkah kedua menyatakan apabila adanya peningkatan beban pajak maka P3B
27

Ibid., hlm. 56-57
Andrea Amatucci, Eusebio González, dan Christoph Trzaskalik, hlm. 155.
29
Kevin Holmes, op. cit., hlm. 154-156.
Universitas Indonesia
28

13

dapat dilaksanakan untuk melihat bagimana cara dalam mengelola penghasilan
atau modal yang mengakibatkan beban pajak meningkat. Terakhir, menentukan
tarif yang dapat diberlakukan oleh domestik berdasarkan limit yang ada dalam
P3B. Pada langkah yang ketiga ini menyatakan bahwa undang undang domestik
mengimplementasikan yang diatur dalam P3B.

Universitas Indonesia

BAB 3
ANALISIS

3.1

Analisis Hukum P3B dengan Hukum Domestik di Indonesia
Secara konseptual teoritis, Negara Indonesia menghargai adanya hukum

internasional meskipun tidak dicantumkan dalam UUD 1945 melainkan
dinyatakan dalam Pasal 1 dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
“Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut regional
dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan
daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha,
organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
atau warga negara Indonesia.” (Pasal 1)
“Hubungan luar negri diselanggarakan sesuai dengan politik luar negeri,
peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasan
internasional. Ketentuan ini berlaku bagi semua penyelnggara hubungan
luar negeri, baik pemerintah maupun non pemerintah.” (Pasal 5 Ayat (1))
Sedangkan, perjanjian internasional antara Negara Indonesia dan negara lain
diatur dalam aturannya lainnya, yaitu di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU PI). UU PI mengatur
perjanjian internasional yang memerlukan dan tidak memerlukan persetujuan
khusus dari Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dalam
pengesahaannya

untuk

digabungkan

dalam

hukum

nasional.

Perjanjian

internasional yang memerlukan persetujuan khusus dari DPR tercantum dalam
Pasal 10 UU PI, yaitu:
a) Masalah politik, perdamaian, dan pertahanan serta keamanan.
b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia.
c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara.
d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e) Pembentukan kaidah hukum baru.
f) Pinjaman dan atau hibah luar negeri.

14

Universitas Indonesia

15

Disisi lain, Pasal 11 UU PI menegaskan bahwa pengesahan perjanjian
internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal
10 UU PI, dilakukan dengan Keputusan Presiden. P3B merupakan perjanjian
internasional yang mengacu pada UU PI terkait dengan prosedur formal
pengesahan (ratifikasi) P3B. Di keenam poin tersebut tidak ada elemen yang
terkait dengan pajak sehingga P3B sebagai perjanjian internasional dapat disahkan
melalui Keputusan Presiden dan dapat secara langsung digabungkan dalam
hukum nasional melalui Keputusan Presiden sesuai dengan pernyataan Pasal 11
UU PI.
P3B yang dapat digabungkan secara langsung dalam hukum nasional
melalui Keputusan Presiden sesuai dengan tipe negara menurut Andrea Amatucci
dkk adalah direct effect, yaitu aturan P3B dapat langsung menjadi bagian dari
undang undang domestik baik secara langsung melalui penandatangan presiden
atau melalui ratifikasi oleh parlemen. Tipe negara ini juga dapat menyatakan
aliran mengenai hubungan antara P3B dengan undang-undang nasional, yaitu
monoist. Hubungan monist adalah hukum internasional dengan hukum nasional
merupakan bagian dari undang undang domestik. Aliran hubungan monoist
meletakkan hukum internasional diatas hukum nasional sehingga P3B mempunyai
tingkat yang lebih tinggi dibandingkan undang undang domestik terkait pajak atas
transaksi internasional antarnegara yang bersepakat dan hal ini didukung oleh
hukum pada Pasal 32A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh) yang menyatakan bahwa,
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak.”
Maka, P3B Indonesia bersifat lex specialis derogat lex generali (dua peraturan
yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama namun
peraturan khusus lebih diprioritaskan dibandingkan peraturan yang lebih umum30)
dari UU PPh dan apabila ada konflik antara P3B dengan hukum domestik maka
yang berlaku adalah P3B (tax treaty superceeding domestic laws).
Sebelum

penandatanganan

P3B,

Presiden

Indonesia

perlu

untuk

mempertimbangkan beberapa hal, yaitu kepentingan-kepentingan nasional, saling
30

United Nations, “Report of The International Law Commission”, General Assembly, 2006, hlm.
408.
Universitas Indonesia

16

menguntungkan, dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena P3B merupakan
persetujuan untuk mengikatkan diri secara definitif antarnegara sehingga tiap
negara yang bersepakat dalam melakukan transaksi internasional harus mematuhi
aturan yang ada dalam P3B dan menerima konsekuensi yang ada dalam perjanjian
tersebut. Pasal 28 Model P3B Indonesia menyatakan bahwa P3B akan mulai
berlaku pada hari berikutnya setelah tanggal masing-masing Pemerintah saling
memberitahukan secara tertulis melalui saluran diplomatik bahwa formalitas yang
diperlukan di masing-masing negara pihak telah di penuhi. P3B akan berlaku
efektif dalam hal pajak dipotong pada sumber penghasilan yang diperoleh pada
atau setelah tanggal 1 Januari (di tahun berikutnya sesudah P3B mulai berlaku)
dan dalam hal pajak atas penghasilan lainnya di tahun pajak yang dimulai pada
atau setelah tanggal 1 januari (di tahun berikutnya sesudah P3B mulai berlaku).
Apabila ingin mengakhiri P3B, Pasal 29 Model P3B Indonesia menyatakan dapat
menyampaikan alasan menghentikan perjanjian tersebut secara tertulis melalui
saluran diplomatik pada atau sebelum tanggal 30 bulan Juni setiap tahun takwin
berikutnya setelah jangka waktu 5 tahun dari tahun dimana P3B diberlakukan.
Rachmanto menyatakan bahwa pasal-pasal yang ada didalam P3B pada
hakikatnya adalah distributive rules, yaitu membagi hak pemajakan antarnegara
yang mengadakan perjanjian. Negara Indonesia memiliki variasi dalam
kewenangan untuk mengelola pajak pada P3B dengan negara lain, yaitu hak
pemajakan penuh, pemberian hak pemajakan terbatas, dan pelepasan hak
pemajakan, dengan contoh sebagai berikut:
a) Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights)
Pasal 6 ayat 1 P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa “Penghasilan yang
diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari harta
tak bergerak yang berada di pihak Negara lainnya pada Persetujuan dapat
dikenakan Pajak di Negara lain tersebut”, sebagai contoh Koko Xiao (warga
negara Singapura) mempunyai rumah di Jakarta kemudian Koko Xiao
menyewakan rumah tersebut ke Mama Dede (warga negara Indonesia). Atas
penghasilan sewa yang diterima oleh Koko Xiao dikenakan pajak sepenuhnya
oleh Indonesia karena rumah merupakan harta tak bergerak yang terletak di
Indonesia (pada kasus ini di Jakarta). Pada P3B Indonesia – Singapura tidak diatur
Universitas Indonesia

17

mengenai tarif dan tata cara pemajakan sehingga penghasilan sewa rumah tersebut
menggunakan ketentuan UU PPh.
b) Pemberian Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights)
Pasal 11 Ayat (1) P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa “Bunga yang
berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada
penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di
Negara pihak lainnya pada Persetujuan tersebut” yang selanjutnya disebutkan
dalam Pasal 11 Ayat (2) P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa “Namun
demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan tempat bunga itu berasal, dan sesuai dengan perundang-undangan
Negara tersebut, akan tetapi apabila penerima dan pemilik bunga adalah pemberi
pinjaman yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan
melebihi 10 persen dari jumlah bruto bunga”, sebagai contoh bunga yang
dibayarkan oleh Mama Dede (warga negara Indonesia) atas pinjaman dari Koko
Xiao (warga negara Singapura) dikenakan maksimal 10% dari jumlah bruto
bunga. Bunga tersebut merupakan penghasilan yang bersumber dari Indonesia
sehingga Koko Xiao dinyatakan sebagai subyek pajak luar negeri namun tidak
dapat diterapkan tarif 20% seperti yang tercantum dalam Pasal 26 UU PPh karena
P3B memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.
c) Pelepasan Hak Pemajakan (relinquished taxing rights)
Pasal 9 P3B Indonesia – Amerika mengatur bahwa “....penduduk suatu Negara
Pihak pada Perjanjian akan dikecualikan oleh Negara Pihak lainnya pada
Perjanjian dari pengenaan pajak yang berkenaan dengan penghasilan yang
diperoleh penduduk tersebut dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara
dalam jalur lalu lintas internasional,” sebagai contoh Amerika memiliki
perusahaan pesawat bernama US Airlines mengoperasikan pesawat terbang
dengan rute Boston-Medan dan Medan-Boston. Atas penghasilan kedua rute
tersebut akan dikenakan pajak di Amerika dan Indonesia tidak boleh melakukan
pemungutan pajak.

Universitas Indonesia

BAB 4
PENUTUP

4.1

Simpulan
Ketentuan P3B merupakan rekonsiliasi dari dua hukum pajak yang berbeda

yang kedudukannya berada diatas undang-undang pajak nasional masing-masing
negara. Di Indonesia, perjanjian internasional dalam hal P3B menganut aliran
mengenai hubungan antara hukum internasional dan undang-undang nasional
monoist karena P3B sebagai perjanjian internasional dapat disahkan melalui
Keputusan Presiden dan dapat secara langsung digabungkan dalam hukum
nasional melalui Keputusan Presiden sesuai dengan pernyataan Pasal 11 UU PI.
Aliran hubungan monoist meletakkan hukum internasional diatas hukum nasional
sehingga P3B mempunyai tingkat yang lebih tinggi dibandingkan undang undang
domestik terkait pajak atas transaksi internasional antarnegara yang bersepakat
dan hal ini didukung oleh hukum pada Pasal 32A UU PPh.
Keuntungan dari adanya P3B adalah mencegah adanya pengenaan pajak
berganda yang disebabkan oleh transaksi antarngera dengan dua yuridiksi
perpajakan yang berbeda, terjaminnya kepastian hukum bagi para investor,
pendorong masuknya investasi asing yang favourable, dan dalam jangka panjang
membantu mengamankan penerimaan pajak31. Disisi lain, ketidaksiapan hukum
pada suatu negara dalam menghadapi arus globalisasi akan mengakibatkan
penyelundupan pajak atas loophole yang ada dalam hukum domestik negara
tersebut (tax avoidance).
4.2

Saran
Maka,

perlu

adanya

pembahasan

secara

komprehensif

mengenai

harmonisasi ketentuan perpajakan antaryuridiksi agar kedua belah negara
memiliki keuntungan seimbang sehingga mampu melawan praktik produk Base
Erotion Profit Shifting (BEPS)32.
31

Rachmanto Surahmat, op.cit., hlm. 4-5.
M. Efril Maulana, “Siapkah Indonesia Menerapkan Mandatory Disclosure Rule”, Danny
Darussalam
Tax
Centre
News,
14
Februari
2017,
diakses
dari
http://news.ddtc.co.id/artikel/9345/analisis-perencanaan-pajak-siapkah-indonesia-menerapkan32

18

Universitas Indonesia

19

DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Amatucci, Andrea, Eusebio González dan Christoph Trzaskalik. International Tax
Law. Belanda: Kluwer, 2006.
Doernberg, Richard. International Taxation in a Nutshell. United States of
America: West Publishing, 2012.
Gunadi. Pajak Internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2007.
Holmes, Kevin. International Tax Policy and Double Tax Treaties: An
Introduction to Principles and Application. Amsterdam: IBFD, 2007.
Knechtle. Basic Problems in International Fiscal Law. Deventer: Kluwer, 1979.
Kurniawan, Anang Mury. Tax Treaty: Memahami Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) Melalui Studi Kasus. Jakarta: Bae Media
Indonesia, 2012.
Mankiw, N. Gregory. Principles of Economy. Boston: Cengage Learning, 2016.
Miller, Angharad dan Lynne Oats. Principles of International Taxation. West
Sussex: Bloomsbury Professional, 2012.
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan
Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011.
Sumitro. Pengantar Hukum Internasional 2. Jakarta: Aksara Persada Indonesia,
1989.
Surahmat, Rachmanto. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: Sebuah
Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
II. Publikasi Elektronik
Maulana, M. Efril. “Siapkah Indonesia Menerapkan Mandatory Disclosure Rule.”
14

Februari

2017.

Danny

Darussalam

Tax

Centre

News.

mandatory-disclosure-rule/ pada tanggal 19 Februari 2017, par. 1.
Universitas Indonesia

20

http://news.ddtc.co.id/artikel/9345/analisis-perencanaan-pajak-siapkahindonesia-menerapkan-mandatory-disclosure-rule/. 19 Februari 2017.
United Nations. “Report of The International Law Commission.” 1 Mei – 9 Juni
dan 3 Juli – 11 Agustus 2016. General Assembly.
III. Peraturan-Peraturan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Universitas Indonesia

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Berburu dengan anjing terlatih_1

0 46 1

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5