KPK MK YR Rudi Satryo

MENJAWAB “GUGATAN”
TERHADAP
KEWENANGAN
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
OLEH:
Rudy Satriyo Mukantardjo
(staf pengajar hukum pidana FHUI)1

1

Tulisan disampaikan dalam acara Forum Expert Meeting “Menyelamatkan Komisi Pemberantasan
Korupsi” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM Jogyakarta 12-13 Oktober 2006

1

I. Retroaktif
Hukum pidana tidak berlaku surut (non-retroaktif). Nonretroaktif diartikan bahwa hukum pidana tidak dapat dikenakan
kepada perbuatan yang telah terjadi sebelum diberlakukannya
undang-undang tersebut. Hal ini mengandung pengertian bahwa
hukum pidana baru dapat diberlakukan terhadap perbuatanperbuatan yang terjadi setelah dirumuskannya perbuatan tersebut
dalam suatu undang-undang.

Dalam statuta Roma, asa legalitas masih tetap dipegang tegus,
termasuk asas non-retroaktif. Pasal 22 Statuta Roma secara jelas
menyatakan:
(1) Seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana berdasarkan statute ini kecuali jika tindakan tersebut
pada waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana dalam
yurisdiksi Mahkamah ini.
Persoalan retroaktif (memberlakukan surut suatu produk
hukum). Berawal dari isi Pasal 72 terkait dengan isi Pasal 68
Undang-Undang

Nomor

30

Tahun

2002

Tentang


Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . Adapun isi dari Pasal 72
adalah sebagai berikut:
Pasal 72
Undang-undang
diundangkannya

ini

mulai

berlaku

pada

tanggal

Undang-undang 30 tahun tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi diundangkan tanggal 27 Desember 2002.
Sesuai dengan Pasal 70

2

Pasal 70
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan
wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undangundang ini diundangkan.
Dari dua pasal tersebut dapat diketahui bahwa walaupun
Undang-undang 30 tahun tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi diundangkan tanggal 27 Desember 2002,
namun KPK efektif bekerja menjalankan tugas dan wewenangnya
mulai pada tanggal 27 Desember 2003.
Bagaimana

dengan

aktivitas

pelaksanaan


penegakan

hukumnya? Hal ini dapat diketahui dari isi Pasal 68 yang menyatakan
Pasal 68
Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai
pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat
diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 68 tersebut berada pada Bab XI tentang Ketentuan
Peralihan. Mengapa terdapat dan masuk di dalam ketentuan
peralihan? Sebagaimana diketahui apabila persoalan penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi dibagi di dalam masa atau
periode lembaga penegak hukumnya, maka secara garis besar
terdapat 2 (dua) masa atau periode.
Periode atau masa pertama adalah masa sebelum adanya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu sebelum 27 Desember 2003.
Sedangkan periode atau masa kedua adalah setelah adanya KPK
atau setelah 27 Desember 2003. Mengapa 27 Desember 2003

sebagai patokannya. Karena walaupun pada 27 Desember 2002

3

diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK ada dan kemudian
mempunyai dasar hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangan
mulai pada tanggal 27 Desember 2003.
Periode sebelum 27 Desember 2003 kewenangan untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi
ada pada pihak Kepolisian juga penyidikan dan penuntutan ada pada
pihak Kejaksaan. Namun setelah 27 Desember 2003 selain
kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan ada pada
pihak Kepolisian, juga penyidikan dan penuntutan ada pada pihak
Kejaksaan, kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
juga diberikan kepada KPK. Dengan kata lain kalau sebelum 27
Desember 2003 yang mempunyai kewenangan dalam penanganan
tindak pidana korupsi adalah 2 (dua) lembaga yaitu Kepolisian dan
Kejaksaan, maka setelah 27 Desember 2003 menjadi 3 (tiga)
lembaga yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.

Selain perubahan dalam hal jumlah lembaga yang berwenang
menangani tindak pidana korupsi, juga terdapat peralihan mengenai
kewenangan,

yaitu

dari

bagian

kalimat

“Semua

tindakan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi
Pemberantasan


Korupsi,

dapat

diambil

alih

oleh

Komisi

Pemberantasan Korupsi”.
Menurut pendapat saya ini adalah kewenangan peralihan yang
tidak permanen atau hanya sementara sifatnya. Karena perkiraan
saya, politik hukum pidana untuk masa yang akan datang mengarah
pada

KPKlah


nantinya

sebagai

satu-satunya

lembaga

yang
4

mempunyai kewenangan untuk menyidik dan menuntut kasus tindak
pidana korupsi.
Masa

peralihan

ini

dimaksudkan


agar

KPK

diberikan

kesempatan untuk ”tugas belajar” melakukan penegakan hukum atas
pelanggaran tindak pidana korupsi. Nanti tugas tersebut akan
sepenuhnya berada pada pundak KPK.
Walaupun masih dalam masa ”tugas belajar”, KPK oleh
undang-undang yang ada sudah diberikan kewenangan untuk
mengambil alih kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani oleh
pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Ini merupakan hal yang tidak
menutup kemungkinan mengundang decak kekaguman. Kalau KPK
diibaratkan sebagai proses pertumbuhan manusia, ia masih ”balita”,
namun oleh rakyat melalui mandatnya yang dituangkan dalam bentuk
undang-undang, telah diberikan kepercayaan untuk mengambil alih
pekerjaan saudaranya yang lebih tua yang lebih berpengalaman di
negara ini.

Namun karena masih dalam masa transisi dan masih ”bayi”,
maka kasus-kasus yang dapat diambil alih oleh KPK dibatasi, yaitu
sebatas yang diatur di dalam Pasal 9.
Pasal 9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh KPK dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara
berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang
sesungguhnya;
5

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campurtangan dari pihak eksekutif, yudikatif atau

legislatif, atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit
dilaksanakan
dengan
baik
dan
dapat
dipertanggungjawabkan.
Namun apabila memperhatikan isi Pasal 9 dari huruf a
sampai f, itulah memang ”penyakit yang paling berat” dari
persoalan penegakan hukum kasus korupsi. Dan itulah memang
hambatan yang paling besar dalam persoalan penanganan
tindak pidana.
Pertanyaan yang mendasar adalah ”apakah dari sisi hukum
adalah salah apabila KPK diberikan kewenangan untuk menyidik dan
menuntut terhadap kasus korupsi yang ada sebelum KPK ada?”
sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 68 UU Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Apakah tidak melanggar prinsip hukum larangan berlaku surut –
retroaktif –?
Dalam

kajian

hukum

pidana

materiil

dan

khususnya

sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1ayat (1) KUHP,
Pasal 1
(1).

Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan

Aturan inilah yang melandasi larangan berlaku surutnya suatu produk
hukum pidana materiil.
6

Bagaimana halnya dengan hukum pidana formil atau hukum
acara pidana?
Salah

satu

dasar

untuk

memberikan

atas

pertanyaan

”Bagaimana halnya dengan hukum pidana formil atau hukum acara
pidana?” maka mari kita perhatikan isi dari Pasal 28i ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hasil amandemen ke dua
(1)

Pasal 28i
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.

Bagian dari kalimat ”...hak untuk tidak dituntut...” adalah
berbicara hal yang berhubungan dengan hukum acara pidana
(hukum pidana formil sekarang adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau hukum acara yang
diatur di luar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana termasuk dalam hal ini adalah hukum acara yang ada
di dalam UU Nomor 30 Tahun 2002). Dituntut untuk persoalan apa?
yang berhubungan dengan

”...atas dasar hukum yang berlaku

surut...” berarti adalah hukum pidana materiil.
Maka makna dari ”...hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut...” adalah pada diri seseorang tidak
dapat dituntut di muka persidangan dengan hukum pidana materiil
yang berlaku surut. Dengan kata lain yang tidak boleh berlaku surut
adalah hukum pidana materiilnya, sedangkan hukum pidana

7

formilnya tidak terdapat larangan untuk tidak boleh berlaku surut.
Tegasnya hukum pidana formilnya atau hukum acara pidananya
dapat berlaku surut.
Karena isi Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan

Tindak

Pidana

Korupsi

“Semua

tindakan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi
Pemberantasan

Korupsi,

dapat

diambil

alih

oleh

Komisi

Pemberantasan Korupsi” berkaitan dengan hukum acara pidana
(hukum pidana formil), maka sifatnya dapat berlaku surut – retroaktif
–.
Sehingga menurut pendapat penulis suatu hal yang tidak salah
apa yang telah diatur di dalam Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena
nyata-nyata berhubungan dengan hukum acara pidana (hukum
pidana formil) dan bukan hukum pidana materiil.
Jadi suatu hal yang tidak salah kalau kemudian kasus
korupsinya Abdullah Puteh atau Capt. Tarcisius Walla alias Capt T
Walla diselidiki, disidik dan dituntut oleh KPK walaupun saat peristiwa
hukumnya (tempus delictie) berada sebelum adanya KPK. Sekalilagi
di sini berbicara pada persoalan hukum acara pidana.
Dengan demikian kalau memang benar bahwa Mahkamah
Konstitusi (MK) dengan judicial reviewnya menyatakan bahwa KPK
tidak boleh menyelidiki, menyidik dan menuntut untuk peristiwa
hukum korupsi sebelum tanggal 27 Desember 2002/3, menurut
pendapat saya adalah suatu hal yang tidak tepat. Karena sekalilagi
yang tidak boleh berlaku surut, adalah hukum pidana materiilnya,
8

sedang hukum pidana formil atau hukum acara pidana dapat berlaku
surut.
Dalam halaman 32 permohonan pemohon, menyebutkan kasus
Bram HD Manoppo untuk uji materiil pesoalan yang sama
(MK.069/PUU-II/2004), MK menyatakan:
”Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a
quo tidak mengandung asas retroaktif, walapun KPK dapat
mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannya
Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan
terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah
diuraikan di atas”
Dengan berpedoman terhadap putusan MK.069/PUU-II/2004,
menurut pendapat saya, yang seharusnya menjadi perhatian utama
dari sisi kajian hukum pidana adalah ” apakah kasus Abdullah Puteh
atau Capt. Tarcisius Walla alias Capt T Walla terkait dengan salah
satu dari 6 (enam) yang disebutkan dalam Pasal 9 ataukah tidak?”
(lihat halaman 30 permohonan pemohon) kalau hasil analisis
ditemukan jawaban ya, maka KPK mempunyai kewenangan itu.
II. Lex specialis derogat legi generali
Tentang berlakunya suatu undang-undang dalam arti materiil,
dikenal

asas

mengesampingkan

undang-undang
undang-undang

yang
yang

bersifat
bersifat

khusus

umum

jika

pembuatnya sama.
Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus
wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu,
walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan

9

undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih
umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut (lihat
Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Perundang-undangan Dan
Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 1979. hal 16-17).
Contoh pengakuan terhadap asas Lex specialis derogat legi
generali dalam bidang hukum pidana materiil dapat kita lihat di dalam
isi Pasal 103 KUHP yang menyatakan:
Pasal 103
Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku
bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undangundang itu ditentukan lain.
Sedangkan dalam bidang hukum pidana formil, namapak di
dalam isi Pasal 284 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana
(2)

Pasal 284
Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini
diundangkan,
maka
terhadap
semua
perkara
diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan
pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Memang benar bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) butir i
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:
I.

mengadakan penghentian penyidikan.

10

Sebagai alasan dari penghentian penyidikan perhatikan isi
Pasal 109 ayat (2) yang menyatakan:
Pasal 109
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penghentian penyidikan
demi hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), maka
penyidik memberitahukan kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya.
Memang benar sesuai dengan Pasal 14 huruf h dinyatakan
bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang:
Pasal 14
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum
Sebagai alasan dari penghentian penuntutan perhatikan isi
Pasal 140 ayat (2) a.
Pasal 140
(2)

a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk
menghentikan penunutan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak piada atau perkara ditutup demi
hukum penuntutan umum menuangkan dalam surat
ketetapan.

Dari dua produk hukum tersebut diberikan dasar hukum untuk
adanya pengaturan yang berbeda terhadap apa yang telah diatur
dalam undang-undang generalisnya. Dapatlah disebut mulai dari
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undangundang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sampai dengan
dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (dalam
posisi Lex specialis), kesemuanya mempunyai materi hukum pidana
11

materiil dan hukum pidana formil) yang berbeda dengan apa yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(legi generali).
Sehingga apabila di dalam Undang-undang Nomor 30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menyebutkan bahwa:
Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam
perkara tindak pidana korupsi
Demikian juga dengan Pasal 12 ayat (1)
Pasal 12
(1) a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Adalah suatu hal yang sah sebagai aplikasi dari asas Lex specialis
derogat legi generali.
1. KPK dilarang
penuntutan

melakukan

penghentian

penyidikan

dan

KPK dalam tindakan penyidikan tidak dapat melakukan
penghentian penyidikan atau penuntutan, hal tersebut membawa
konsewensi yang besar terhadap KPK sendiri, yaitu KPK harus
bekerja sebaik-baiknya karena sudah tidak dapat

lagi menarik

perkara (dihentikan penyidikan atau penuntutan) ”sekali melangkah
pantang surut”. Di dalam tahap penyelidikannyalah ”olah tuntas
berkas” kasus korupsi dilakukan. Karena di dalam tahap tersebut
apabila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan merupakan tindak pidana atau penghentian penyelidikan demi
hukum (Pasal 76; 77; 78 dan 79 KUHP), dapat dihentikan ke dalam
12

tahap berikutnya. Dari hal ini didapatkan pelajaran yang berharga
bekerja harus bertanggungjawab dan profisional.
2. KPK dengan kewenangan menyadap dan merekam
Tindakan

dalam

upaya

penegakan

hukum

oleh

aparat

penegakan hukum harus diberikan sarana untuk menegakkan
hukum. Kalau tidak diberikan sarana tersebut maka dapat dipastikan
aparat penegak hukum tidak dapat atau tidak mampu melaksanakan
tugas penegakan hukum. Dalam konteks hukum acara pidana
dikenal dengan tindakan upaya paksa (penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penehanan dan pemeriksaan surat).
Apabila memperhatikan esensi dari tindakannya jelas adalah
melanggar HAM dan kalau dilihat dari sisi hukum pidana adalah
tindak pidana. Mulai dari menangkap dan menahan adalah
menghilangkan HAM terkait dengan kebebasan bergerak orang yang
identik dengan tindak pidana penculikan atau penyekapan (Pasal 328
– Pasal 333 KUHP), menggeledah lalu menyita identik dengan
menghilangkan privasi orang terhadap barang dan merupakan tindak
pidana pencurian (Pasal 362 KUHP).
Sebagai contoh aparat kepolisian melakukan perbuatan –
tindakan – penangkapan, maka keseluruhan tatacara yang telah
diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
harus

dipenuhi

atau

dilaksanakan.

Mulai

dari

hal

tatacara

penangkapan sampai dengan pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh
orang yang ditangkap.
Tatacara penangkapan diatur mulai dari Pasal 16 sampai
dengan 19 UU Nomor 8 tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana.
Mulai dari: 1. penangkapan dilakukan hanya untuk kepentingan
13

penyelidikan dan penyidikan; 2. terhadap seseorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup;3. dilakukan dengan memperlihatkan surat tugas dan surat
perintah penangkapan (kecuali tertangkap tangan); 4. tembusan
surat

perintah

penangkapan

diberikan

kepada

keluarganya;5

dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari;6. hanya untuk pelaku
tindak pidana dengan jenis delik kejahatan bukan pelanggaran
(kecuali telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak
memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah).
Juga hak-hak yang dimiliki sebagai orang yang ditangkap untuk
untuk diperiksa pada tahap penyidikan, yang tercantum dalam Pasal
50 “hak segera mendapat pemeriksaan”, Pasal 51”pemberitahuan
dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti mengenai apa yang
disangkakan”, Pasal 52 “berhak memberikan keterangan secara
bebas”, Pasal 53 “berhak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa”,
Pasal 54 “mendapat bantuan hukum”, Pasal 55 “berhak memilih
sendiri

penasihat

hukumnya”,

Pasal

56

“aparat

pemeriksa

berkewajiban menyediakan penasihat hukum”, Pasal 60 dan Pasal
61 “berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang
mempunyai hubungan keluara atau lainnya”, Pasal 62 “berhak
mengirim dan menerima surat”, Pasal 63 “berhak menghubungi dan
menerima rohaniawan”, Pasal 65 “berhak mengusahakan dan
mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian”, Pasal
66 “tidak dibebani kewajiban pembuktian”, Pasal 68 “berhak
menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi” selama dalam pemeriksaan
tingkat penyidikan, juga harus dipenuhi oleh aparat penyidik.

14

Dengan kata lain, sebagai konsekwensi penyandang nama
aparat penegak hukum, tidak hanya menegakan hukum atas hukum
yang mengatur kewenangan aparat penegak hukum, korban akan
tetapi juga hukumnya si tersangka pelaku tindak pidana. Inilah
pelaksanaan yang kongkrit dari asas

praduga tidak bersalah

presumption of innotion. Sehingga suatu hal yang sah apabila KPK
mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 a. ”Melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan” dengan syarat dilaksanakan sesuai dengan prosedur
hukum yang telah ditentukan terlebih dahulu terhadap tindakan
tersebut.
III. Pengadilan TIPIKOR
Dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002, menyatakan bahwa:
Pasal 54
(1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan
Peradilan Umum

15