WILAYAH EPISTEMOLOGIS AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN

  WILAYAH EPISTEMOLOGIS AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN Soedarso ~ 75 KONSEP ELING DALAM SERAT WULANG PUTRI Sri Ratnawati ~ 82 MARGINALISASI WANITA MADURA: IMPLIKASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA BANYUWULU (SEBUAH PARADIGMA ETNOSAINS) Eni Sugiarti ~ 89 MENIMBANG DIFABELISME SEBAGAI KRITIK SOSIAL Slamet Thohari ~1 5051

  1 PENGGUNAAN STRATEGI-STRATEGI KRITIK DALAM BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT DWILINGUAL INDONESIA-JAWA DI SURABAYA Edy Jauhari ~ 114 UPAYA PEMBAKUAN EJAAN BAHASA MADURA DAN PERTIMBANGAN TERHADAP PERSOALAN YANG DIPERDEBATKAN Akhmad Sofyan ~ 123

USING HI-FREQUENCY ITEM ANALYSIS-BASED SELF-LEARNING METHODOLOGY

TO OBTAIN THE TOEFL SCORE EXCELLENCE Amir Fatah ~ 132

MENERJEMAHKAN SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DAN HUBUNGANNYA DENGAN

MODEL-MODEL DALAM TERJEMAHAN Husein Shahab ~ 142 RESENSI BUKU: KRITIK (MATERIALISME) ATAS “AGAMA”: UPAYA MEMBELAH TEMPURUNG REDUKSI AGAMA Listiyono Santoso ~ 148 UCAPAN TERIMAKASIH

  1

  

WILAYAH EPISTEMOLOGIS AGAMA

DAN ILMU PENGETAHUAN

Soedarso *

  Abstract

Science does not put factor of God in its clarifications about nature because it

is outside of its methodological competence. Science explains the experienced

phenomenon as far as empiric research gone through, a dissimilar field with the field

which is often represented by religion. God is The Most Perfect, but the understanding

of human being about God is imperfect. In other word, it is impossible to have

perfect knowledge about God. Even about this nature itself human being never reach

a perfect knowledge.

  benar ilmu pengetahuan harus berbicara tentang Tuhan, adakah metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk itu? Pertentangan yang muncul sebagaimana telah diuraikan mencerminkan masih samarnya hubungan antara wilayah epistemologi ilmu pengetahuan dengan agama.

  Berdasarkan metodologi yang ditempuh- nya, ilmu pengetahuan memiliki basis dan wilayah epistemologis yang berbeda dengan agama. Tetapi, mengapa sering terjadi percampuradukkan? Bagi ilmuwan, jelas bahwa mereka hanya bermaksud memahami berbagai fenomena dunia empiris, yakni sejauh terindera oleh pengalaman dan

  Sebagian kalangan agamawan menolak penjelasan dalam ilmu pengetahuan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya. Logikanya setiap hal termasuk alam, pasti ada yang menciptakan, yakni Tuhan. Alam bukan penyebab yang terakhir karena ada penyebab lain yang mendahului. Penjelasan para ilmuwan yang menyatakan bahwa alam terjadi dengan sendirinya tidak dapat diterima oleh agamawan karena dianggap mengingkari adanya Tuhan (Heriyanto, 2003).

  Apakah benar penjelasan ilmu pengeta- huan menyangkal keberadaan Tuhan? Apakah

  Pendahuluan Persoalan Epistemologi Keywords: methodological competence, empiric, science, religion, imperfect human knowledge

  • Jurusan MKU Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, HP 08123116822
pengamatan hidup manusia umum. Ilmu pengetahuan tidak pernah berbicara hal- hal yang di luar empiri manusia umum, seorang ilmuwan bukanlah seorang nabi, pengetahuannya tidak diperoleh melalui wahyu melainkan melalui metode tertentu yang biasa disebut dengan metode ilmiah. Ilmu pengetahuan hanya sebatas persoalan tentang alam ini, bukan yang lainnya. Ilmu pengetahuan hanya mempelajari sifat- sifat alam dan menggunakannya untuk kepentingan manusia. Ilmu pengetahuan bersifat teoritik dan operasional, didasarkan pada data dan argumentasi, agar dapat dibuktikan kebenarannya secara konkrit.

  Ilmu pengetahuan alam, khususnya fi sika, sejauh ini tidak pernah membahas tentang Tuhan. Penjelasan bahwa alam berasal dari dalam dirinya sendiri, tanpa sebab-sebab yang lain, berdasarkan asumsi bahwa alam sebagai kenyataan yang ultima secara epistemologis. Dan hal ini tidak bisa disimpulkan begitu saja bahwa mereka (ilmuwan) tidak mengakui adanya Tuhan.

  Para ilmuwan hanya tidak harus menyebutkan tentang Tuhan dalam berbagai penjelasannya mengenai alam, karena dengan alam saja sudah dapat diperoleh gambaran yang cukup secara epistemologis.

  Tentu akan sangat sulit jika para ilmuwan harus memasukkan konsep-konsep ketuhanan dalam teori-teorinya, oleh karena terlebih dahulu harus menjelaskan tentang Tuhan, yang dalam hal ini tidak mungkin dilakukan oleh ilmuwan melalui metode ilmiahnya. Sejauh mana data-data yang diperolehnya, maka sejauh itu pula penjelasan yang di kemukakan para ilmuwan.

  Bahwa ilmuwan mengingkari adanya Tuhan adalah suatu kesimpulan yang dibuat oleh para agamawan bukan para ilmuwan

  an sich. Para agamawan menganggap bahwa

  ilmuwan mengingkari Tuhan. Bandingkan dengan keadaan senyatanya bahwa dengan keilmuannya, seseorang tidak harus mening- galkan agama (Sudarminta, 2003). Dengan kata lain, dalam seorang yang berilmu dan beragama keduanya dapat menyatu. Bukti ini sangat jelas, dimana terdapat banyak orang beragama yang sekaligus ilmuwan.

  Sayangnya, pandangan bahwa ilmuwan mengingkari Tuhan oleh agamawan justru yang dipepulerkan dalam pendidikan- pendidikan agama termasuk dalam perguruan tinggi. Hal ini menimbulkan dampak serius yang seolah-olah antara agama dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang berten- tangan. Agama dianggap tidak cocok dengan ilmu pengetahuan, demikian sebaliknya. Sama seperti pertentangan agama dan ilmu pengetahuan mengulang peristiwa kasus Galileo pada abad ke-17 dan kasus Charles Darwin pada abad ke-19 (Barbour, 1966).

  Inilah sebetulnya isu yang tidak menguntungkan bahkan sangat merugikan bagi kedua belah pihak. Kebenaran ilmiah yang nyata-nyata menjadi penopang utama kehidupan modern, namun disia-siakan oleh agamawan. Hal inilah barangkali sebagian dari persoalan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan alam yang perlu sesegera mungkin dipecahkan.

  Ilmuwan melalui metode keilmuan- nya hanya mempelajari dunia, dan tidak memungkinkan sejauh ini mempelajari tentang Tuhan, karena metodenya belum diketemukan (Leahy, 1991). Sehingga, ilmuwan tidak mungkin pula menyimpulkan tentang Tuhan. Yang disimpulkan ilmuwan hanya tentang alam ini saja. Dalam posisi sebagai ilmuwan tidak dimungkinkan mengiyakan tentang adanya Tuhan atau pun sebaliknya menolak, karena metode ilmiah tidak memungkinkan untuk itu. Jika

  Ilmuwan Tidak Berwenang Berbicara tentang Tuhan

  VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007

  Wilayah Epistemologis Agama Dan Ilmu Pengetahuan

  terdapat seorang ilmuwan yang memberikan penjelasan bahwa Tuhan itu ada atau tidak ada, maka ia bertindak bukan atas dasar keilmuannya, bukan kesimpulan ilmiah, melainkan sekedar pendapat pribadinya. Metode ilmiah sejauh ini tidak bisa menjang- kau penjelasan tentang Tuhan.

  Penjelasan tentang Tuhan diluar kemampuan dan kompetensi metodologis dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam tidak bermaksud menolak atau pun menerima penjelasan yang dilakukan oleh agama, melainkan sekedar menjelaskan alam berdasarkan metode yang dimilikinya. Seorang ilmuwan dapat saja sangat beriman tentang Tuhan melalui agama yang dianut- nya, namun bukan dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan. Bahkan bisa terjadi ilmu pengetahuan justru menguatkan keimanan seseorang. Seorang ilmuwan yang menemui keajaiban-keajaiban alam yang dilihatnya melalui disiplin ilmunya bisa menjadi lebih beriman kepada Tuhan dengan perspektif yang lebih baru karena telah melihat rahasia- rahasia alam yang akan sangat sulit dilihat oleh orang awam (Supeli, 2003).

  Melalui pembagian wilayah epistemo- logis dengan demikian maka menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam sebenarnya tidak bermaksud mencampuri urusan agama, termasuk pada saat melakukan penjelasan tentang alam. Ilmu alam hanya bermaksud mencari hukum-hukum yang bekerja pada alam. Kalaulah hukum-hukum tersebut dimaknai sebagai ‘kreasi Tuhan’ oleh para agamawan, secara epistemologis bukan merupakan persoalan ontologis bagi ilmuwan.

  Ilmuwan dilain pihak juga tidak pernah memaksakan teori-teorinya, tidak pula merasa paling tahu meskipun telah menemukan banyak pengetahuan tentang hukum- hukum alam. Yang ilmuwan tahu dan sadari bahwa kebenaran yang ditemukan hanyalah bersifat hipotetik, artinya sejauh belum ada penemunan lain yang menggugurkannya. Dalam setiap pengetahuan yang ditemukan terdapat lebih besar lagi misteri yang belum diungkapkan, oleh karena itu ilmuwan tidak pernah sekalipun berhenti untuk meneliti. Meneliti dan terus meneliti untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan, itulah pekerjaan setiap ilmuwan.

  Agamawan juga tidak seharusnya merasa paling tahu tentang kebenaran alam dan tentang Tuhan. Bisa jadi apa yang disampai- kan ilmuwan hakikatnya sama dengan yang dikemukakan agamawan. Bagi manusia: alam dan Tuhan senantiasa merupakan misteri yang tidak bisa sepenuhnya terung- kap, karena sekaligus hal ini menunjukkan keagungan-Nya, yang begitu jauh dari jangkauan manusia untuk memahaminya secara sempurna.

  Teori evolusi yang dikemukan Darwin dan para pengikutnya telah pernah sempat menggemparkan kalangan agama. Teori evolusi dituduh ateis, karena menolak penjelasan adanya campur tangan ‘Tuhan’ terhadap alam ini, sebagaimana keyakinan kalangan agamawan pada umumnya. Bagi agamawan: kehidupan dan alam seisinya ini bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Seandainya ada penjelasan tentang alam ini yang tanpa melibatkan Tuhan sebagaimana yang terjadi pada teori evolusi adalah suatu kesalahan yang sulit dimaafkan.

  Untuk menandingi teori ev olusi yang tidak bisa diterima karena dianggap ateis, sebagian agamawan bermaksud menggantinya dengan menawarkan “teori kreasionisme”, yang bersifat teistik dan menyejukkan hati. Teori kreasionisme ini berpangkal pada pandangan Th omas Aquinas

  Teori Evolusi vs Kreasionisme

  (1225-1274) yang dikenal dengan prinsip

  exnihilo yang berarti antara lain: dunia

  diciptakan bukan dari suatu bahan dasar, tetapi bergantung pada Allah, penciptaan oleh Allah tidak terbatas pada satu saat saja (Salam, 2000). Menurut teori kreasionisme ini, alam merupakan kreasi Tuhan. Tuhan selalu mencipta kapan dan dimanapun tidak pernah henti. Hanya Tuhan dan Tuhan yang berkuasa atas alam dan hidup ini, bukan yang lain, bukan alam itu sendiri.

  Baik teori evolusi maupun teori kreasio- nisme sebetulnya berpotensi ‘mengekang Tuhan’; Tuhan seolah-olah ‘dipaksa’ harus demikian adanya. Padahal, dalam kenyataan tidak sepenuhnya berisi keberaturan nan eksak, tidak pula sepenuhnya ketakberaturan nan misterius. Keberaturan yang belum terpahami akan tampak sebagai ketakber- aturan. Eksak yang belum terungkap akan tampak sebagai misteri. Manakala ketakber- aturan terungkap maka akan terlihatlah keberaturan, dan manakala misteri telah dibongkar akan terlihatlah sebagai sesuatu yang eksak. Tidak bisa diperoleh gambaran yang fi nal tentang dunia, apalagi tentang Tuhan. Ada jarak yang jauh antara pengeta- huan manusia dengan variasi terdalam yang terdapat pada setiap fenomena.

  Jika sebagian kecil hukum-hukum Tuhan yang bekerja pada dunia ini telah terpahami, atau ilmuwan menyebutnya sebagai hukum alam, bukan berarti itu sebuah jawaban final; karena hukum- hukum tersebut masih dapat digugurkan jika ditemukan hukum baru yang lebih kuat.

  Hukum-hukum ilmiah pada saat tertentu akan nampak memiliki sejumlah kelemahan. Selalu masih ada berbagai hal yang harus diungkapkan lagi. Selamanya tidak akan dipahami sepenuhnya bagaimana alam ini. Dengan demikian, tidak dapat diketahui pula apa yang diperbuat Tuhan untuk alam dalam arti yang sesungguh-sungguhnya.

  Mau berbuat apalah Tuhan, itu adalah hak prerogratif Tuhan; akan menjadi salah kalau manusia membatasinya dengan teori-teori.

  Biarkanlah ilmu pengetahuan selamanya mencoba mempelajari alam di satu pihak, dan biarkan pula agama memaknai perbuatan Tuhan di pihak lain. Semuanya dalam satu kerangka bersama yaitu usaha mencoba mengungkapkan, bukan memastikan atas pengetahuan-pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui agama maupun melalui ilmu pengetahuan tidak akan pernah mutlak.

  Teori evolusi terbukti efektif untuk menjelaskan berbagai gejala alam tidak hanya di bidang Biologi, tetapi bidang lainnya, bahkan dalam bidang ilmu sosial. Teori evolusi adalah salah satu usaha mengungkap misteri alam, yang sejauh ini cukup teruji kebenarannya. Sejauh ini telah banyak perhitungan dan prediksi yang menggunakan prinsip dan dasar dari teori evolusi (Iskandar, 2003). Demikian sebaliknya, tidak perlu menolak teori kreasionisme, karena nyata pula misteri yang dianggap sebagai ‘cipta Tuhan’ tersebut selalu dijumpai, bahkan jelas dalam penjelasan keilmuan sekalipun terkadang tidak sepenuhnya dalam artian yang eksak.

  Teori evolusi yang mewakili pandangan ilmuwan, tidak perlu dipertentangkan dengan teori kreasionisme yang biasanya dianut agamawan. Semua berpadu sebagai realita cara pandang manusia tentang kehidupannya. Mempertentangkan keduanya sama halnya dengan ‘memenjara’ Tuhan dalam persepsi- persepsi manusia.

  Sebenarnya semua orang mengakui adanya Tuhan, namun memahaminya secara berbeda-beda. Dalam filsafat: menolak

  VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007

EPISTEMOLOGI KEILAHIAN DI LUAR AGAMA

  Wilayah Epistemologis Agama Dan Ilmu Pengetahuan

  metafisika berarti juga suatu metafisika; analog dengan hal ini, penolakan adanya Tuhan adalah tetap merupakan pengakuan adanya Tuhan dalam suatu versi yang lain. Penolakan terhadap keberadaan Tuhan dapat disejajarkan dengan membuat penjelasan tersendiri tentang-Nya meskipun barangkali tanpa harus menyebutkan nama-Nya.

  Mengapa demikian? Tuhan sebagai yang ultima sangat mungkin memperoleh penjelasan berbeda-beda. Jika ada seseorang menyatakan: “saya tidak percaya adanya Tuhan, yang saya percayai hanyalah alam ini”; maka ia sebenarnya telah menuhankan alam ini, alam sebagai yang ultima. Orang yang tidak mempercayai Tuhan, hanya mempercayai bahwa hidup ini mengalir begitu saja, maka ia pun menuhankan hal itu, yakni hidup yang mengalir dipandang sebagai yang ultima. Jika ada seseorang mempercayai adanya Tuhan sang penguasa alam ini, maka ia jelas menuhankan “Sang penguasa alam ini” sebagai yang ultima.

  Dalam pemahaman melalui agama sekalipun, penjelasan tentang Tuhan tidak pernah gamblang, hanya seolah-olah saja terlihat gamblang. Perhatikan contoh-contoh berikut ini:

  a. Dari segi penyebutan: Tuhan dalam agama Islam disebut Allah, dalam agama Katholik/Kristen disebut Yesus, dalam Yahudi disebut Yahwe, dalam Hindu disebut Hyang Widi, dalam Taoisme disebut Tao dan seterusnya; a p a k a h s e m u a s e b u t a n - s e b u t a n tersebut hakikatnya berbeda? Kalau yang menciptakan alam ini adalah Tuhan, maka nama-nama Tuhan dalam berbagai agama tersebut hakikatnya tidak berbeda, karena sama-sama merujuk kepada sang Pencipta Alam.

  b. Penjelasan dalam agama tentang Tuhan dalam kaitannya dengan kejahatan. Jika dipertanyakan apakah Tuhan maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu? Agamawan bisa menjawab “ya”, tetapi pada saat selanjutnya dipertanyakan: termasuk adanya kejahatan? Jawabnya biasanya “tidak”. Pertanyaannya, bagaimana kita memandang Tuhan maha kuasa sementara disisi lain kejahatan di luar kuasanya? c. Pe r t a n y a a n - p e r t a n y a a n s e p e r t i :

  Apakah Tuhan maha pencipta? Yang berarti sanggup menciptakan batu yang sangat besar sekali yang Tuhan sendiri tidak mampu mengangkatnya? Kalau jawabnya “ya”, berarti Tuhan maha pencipta, bisa menciptakan apa pun, tetapi memiliki kelemahan yakni tidak mampu mengangkat batu yang diciptakannya tersebut. Jika jawabnya “tidak”, maka Tuhan dalam hal ini berarti tidak maha pencipta karena tidak mampu menciptakan batu yang sangat besar sebagaimana dimaksud (Katsoff , 1992). Dari contoh-contoh tersebut sama sekali tidak bermaksud menunjukkan kelemahan Tuhan, melainkan yang dimaksud adalah menunjukkan kelemahan manusia dalam memahami Tuhan. Karena kelemahan manusia, maka penjelasan tentang Tuhan selalu mengundang sejumlah pertanyaan, artinya penjelasannya tidak pernah benar- benar gamblang. Belum lagi, antara satu agama dengan yang lainnya terkadang memberi penjelasan sendiri yang berbeda- beda antara satu dan lainnya: terdapatnya bermacam agama dalam dunia ini yang berarti terdapat bermacam penjelasan yang berbeda tentang Tuhan. Pertanyaannya: penjelasan manakah yang layak diikuti? Jawabnya hanya dengan iman masing-masing.

  Kalau seseorang dituntut har us memaknai Tuhan, bagaimana seharusnya orang tersebut memaknainya? Atas dasar apa mempercayai suatu pemaknaan tertentu? Singkatnya, kalau di dunia ini misalkan ada tujuh agama (kenyataannya lebih), dan ketujuh agama tersebut sama-sama memberikan penjelasan tentang Tuhan.

  Dalam hal ini, jika mengikuti cara berpikir keilmuan, maka orang tidak dapat memilihnya karena semuanya tidak dapat diverifi kasi. Namun, jika sebagai seorang penganut agama, maka perlu mengimani penjelasan yang ada dalam agama yang dianut tanpa harus memaksakannya kepada orang lain yang tidak menganutnya. Agama akan sangat membantu memenuhi kehausan manusia akan suatu misteri besar kehidupan yang tidak terjamah oleh ilmu pengetahuan.

  Meski setiap orang mengakui adanya Tuhan, tetapi dapatkah memahamiNya? Kalau tidak dapat, lalu apa sebenarnya yang diakuinya itu? Hanya sekedar nama? Inilah permasalahan epistemologis dan sekaligus ontologis. Mengakui tidak identik dengan memahami (Soedarso, dkk, 2004). Pemahaman melalui agama sama-sama menggunakan penjelasan akal untuk mendukung pengakuan tentang Tuhan. Tetapi ternyata pemahaman tersebut memiliki kelemahan sebagaimana telah dikemukan dalam contoh-contoh dalam sub-bab sebelumnya. Perlukah pendekatan lain untuk memahami Tuhan?

  Menurut Krisnamurti akal tidak pernah menyelesaikan masalah justru akal itu sendiri sumber masalah (Bohn, 1986). Sifat akal hanya memecah-mecah dan membagi-bagi sesuatu, hanya efektif untuk sebagian penjelasan tentang alam, tetapi tidak untuk menjelaskan tentang Tuhan. Dengan demikian akal menjadi berhenti, dan mulailah wilayah ‘keimanan’.

  Dalam keimanan akal tidak dapat berbuat banyak termasuk pada saat harus mempercayai bahwa: “Tuhan mampu memasukkan bumi ini ke dalam sebuah gelas!” (Ungkapan yang muncul dalam Sufisme). Itulah keimanan, pengakuan yang terdalam. Akal yang serba memecah- belah dan sumber konflik antar sesame, perlu ditanggalkan. Dalam keimanan yang demikian semua manusia berpadu dan tidak perlu berkonfl ik satu sama lain atas nama agama.

  SIMPULAN

  Ilmu pengetahuan tidak memasukkan unsur Tuhan dalam penjelasan-penjelasannya tentang alam karena diluar kompetensi metodologisnya. Adalah sangat sulit jika ilmu pengetahuan harus menjelaskan tentang Tuhan karena metode ilmiah untuk itu belum ada. Dalam hal ini ilmu pengetahuan pengetahuan tidak dapat disimpulkan menolak atau menerima konsep tentang Tuhan semata-mata karena diluar kewenangan epitemologisnya. Ilmu pengetahuan menjelaskan fenomena alam sejauh penelitian empiris yang ditempuhnya, diluar itu merupakan wilayah lain yang dalam ini sering merupakan wilayah agama dan fi lsafat.

  Baik ilmuwan maupun agamawan seharusnya menyadari bahwa pengetahuan- pengetahuannya selalu memiliki kelemahan yang terus menerus perlu disempurnakan. Tuhan tidak memiliki kelemahan, akan tetapi pemahaman manusia akan Tuhan yang memiliki kelemahan. Menganggap telah sempurna pengetahuan akan Tuhan adalah mustahil, karena bahkan tentang alam ini saja manusia tidak pernah mencapai pengetahuan sempurna.

  VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007

TUHAN DALAM PEMAHAMAN AKAL YANG TERBATAS

  Wilayah Epistemologis Agama Dan Ilmu Pengetahuan

DAFTAR PUSTAKA

  Barbour, Ian G. 1966. Issues in Science and Religion, Prentice-Hall, Inc. Bohn, David. 1986. Th e Future of Humanity:

  Two dialogues between J. Krisnamurti / David Bohm, Krisnamurti Foundation

  Trust Ltd., London. Heriyanto, Husein. 2003. Pemetaan

  Hubungan Sains dan Agama dalam Perspektif Kemanusiaan, Makalah

  Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta. Iskandar, Djoko T. 2003. Evolusi: Dahulu dan

  Sekarang, Makalah Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta.

  Kattsoff , Louis O. 1992. Pengantar Filsafat, terjemah dari Element of Philosophy oleh Soejono Soemargono, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

  Leahy, Louis. 1991. Esai Filsafat untuk

  Masa Kini: telaah masalah materi-roh berdasarkan data empiris baru, Pustaka

  Utama Grafi ti, Jakarta. Salam, Burhanuddin. 2000. Sejarah Filsafat

  Ilmu dan Teknologi, PT Rineka Cipta, Jakarta.

  Soedarso, Heri Santoso. 2007. Filsafat

  Ilmu dan Etika, Penerbit Rasmedia, Yogyakarta.

  Sudarminta, Dr.j. 2003. Agama dan

  Kosmologi: Sama-sama Berkisah Tentang Keagungan Tuhan, Makalah

  Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta. Supeli, Karlina. 2003. Kosmologi: Bercanda

  dengan Tuhan, Makalah Workshop

  ‘A g a m a d a n Sa i n s’ P Ps U G M , Yogyakarta.

KONSEP ELING DALAM SERAT WULANG PUTRI

  

Sri Ratnawati*

Abstract

A Javanese language manuscript populary called the Serat Wulang Putri was

specifically written for teaching the Javanese high class women. As widely assumed that

the Javanese women with high social status are inherently attributed to the Javanesse-

based noble characters, including the self-consciousness as authentic Javanese women

the so-colled Eling. In this view point, the term eling is genetically part of the world

view Javanese people in general which has nowadays been eliminated among the

contemporary Javanese wpmen. Therefore, it is required that research to revive the

authenticity of wisdom among Javanese women as presented in text of Serat Wulang

Putri be inevitably conducted, so that they can heritage it for their future and not

to be eliminated from their own authentic cultural root. Keywords: women, education, morality

  PENDAHULUAN Serat Wulang Putri merupakan sebuah

  manuskrip yang ditulis oleh Paku Buwono

  IV dalam bahasa dan aksara Jawa. Salah satu butir nilai yang diamanatkan adalah kata eling. Kata tersebut punya makna fi losofi s berdasarkan budaya Jawa. Orang Jawa dikenal dengan sikap “olah roso” dalam upaya membentuk kepribadian yang tangguh, berwibawa dan bermoral. Konsep tersebut berlaku baik bagi laki maupun perempuan yang punya keinginan untuk menjadi insan mulia.

  Peran sosial antara wanita dengan laki- laki di lingkungan budaya Jawa dibedakan secara signifi kan. Perempuan ditempatkan dalam ranah domestik, yaitu perannya sebagai tiyang wingking (subordinat). Kondisi demikian tidak usah dipermasalahkan apalagi digugat, sebaliknya dipandang sebagai satu kehormatan. atau kemulyaan. Oleh karena perempuan punya peran penting sebagai

  character building generasi yang tangguh dan

  bermoral, ada pepatah mengatakan bahwa

  Wanita Sebagai Tiang Negara. Generasi muda

  menjadi tangguh tergantung bagaimana perempuan mencetak putra-putrinya.

  Jauh sebelum muncul teori gender yang mengatur soal peran laki-laki dan perempuan, Paku Buwono IV sudah terlebih dahulu merumuskan, kedudukan dan keberadaan perempuan dengan kosmologi Jawa, yaitu menempatkan posisi wanita secara terhormat, mulia tanpa harus meninggalkan kodratnya. Dengan pertimbangan wanitalah sebagai pendidik utama bagi putra-putri, dan wanita pulalah yang mengenalkan anak pertama kali

  • Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, tlp 031-5035676

  Konsep Eling Dalam Serat Wulang Putri merasa, berpikir dan berbicara.

  Serat Wulang Putru (atau disingkat SWP) dibuat dengan tujuan untuk mencer- daskan wanita. Dengan cara belajar nembang itu sama halnya dengan belajar untuk tahu, memahami apa itu kodrat, peran sebagai perempuan. Mengingat perempuan punya fungsi ganda sebagai istri, ibu dan dirinya sendiri. Dualisme peran seperti itu bukalah hal yang mudah melainkan perlu dipelajari.

  Salah satu pembelajaran yang biasa dilakukan budaya Jawa adalah dengan cara nembang.

  Menembang merupakan salah satu sarana atau media pembelajaran bagi putra- putri raja khususnya. Pendidikan selalu diarahkan pada kemasalahatan sang putra- putri dengan tujuan positif, konstruktif, normatif. Agar nantinya mereka ini dapat menjelma menjadi sosok perempuan yang berakhalkulkarimah. Oleh karena itu PB IV sebagai orang tua dan sekaligus raja, punya kewajiban memberi pedoman hidup melalui e ling. Kata tersebut punya kaitan dengan kesadaran eksistensi sebagai perempuan yang punya peran dwifungsi peran. Oleh karenanya, diperlukan adanya kesadaran akan dwifungsi peran yang pada dasarnya membutuhkan spirit guna menciptakan hidup seimbang lahir dan batin.

  Eling punya makna universal (lihat:

  Serat Wulangreh: 2002). Jika kemudian dalam SWP juga menyebut eling, tak lain karena konsep pemikiran tersebut punya makna general dan kiranya perlu juga dipahami oleh wanita, karena didalamnya memuat rumusan berupa kerangka norma dan pedoman hidup yang dikategorikan sebagai pengetahuan etik dan etika. SWP semacam sarana orientasi bagi para putri raja khususnya dan perempuan pada umumnya dalam usahanya untuk menjawab pertanyaan yang fundamental, yaitu bagaimana harus bertindak (Suseno, 1995:13). Para wanita diharapkan dapat membatin nilai-nilai tersebut dengan cara dinamis sebagaimana hakikat budaya Jawa sendiri yang dinamis. Teks SWP merupakan kekayaan bangsa tiada harganya di masa lalu dan masa kini dan masa yang akan datang. Sekarang teks tersebut tersimpan dalam museum Sono Budaya Yogyakarta dengan nomor inventarisasi No. kol.:SK.20, tulisan tangan dalam aksara dan bahasa Jawa, bentuknya tembang. Teks diciptakan 4281 Caka yang bunyinya obahing para wanodya, esthining driya yang diterjemahkan tahun 1902 M.

  Seperti situasi sekarang ini, dengan makin gencarnya kritik terhadap peran dan kedudukan wanita yang lebih popular dengan istilah menggugat gender. Modernisme telah menjauhkan wanita dari akar budayanya, banyak kaum wanita yang berusaha menang- galkan nilai-nilai kultural yang dianggapnya sebagai penghambat karier. Akibatnya terjadi disorientasi, ini dapat diamati dari merebak- nya perselingkuhan atau tindak kriminal yang dilakukan oleh wanita, maka kiranya perlu konsep eling perlu dimunculkan kembali. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penafsiran terhadap SWP perlu ditafsir ulang. Terlepas dari pro dan kontra, teks semacam itu memberi bekal etik dan pendidikan moral bagi wanita masa kini yang cenderung punya pandangan hidup prgmatis. Persoalan yang menyangkut “hak dan kewajiban” dijadikan issu ideologis. (Lori, 2000).

FILOSOFI ELING

  Dalam budaya Jawa eling, merupakan satu aktivitas mengenal diri sendiri. Suatu aktivitas yang mangandalkan kekuatan pikiran yang dibarengi kekuatan batin. Dalam SWP kata-kata eling berkali-kali diucapkan mengiringi konteks wanita itu

  “…sabar mring panca kayaning / nganti tinampang sukur lan lila / legaweng tyas

  wusing budi” (terjemahan bebasnya, sabar

  merupakan suatu kekayaan, bersyukur, rela dan legawa menciptakan keutamaan budi). Memang tidak mudah menjadi orang

  sabar ngalah, legawa, dan halus, diperlukan

  pemecahan dan pemikiran lebih arif dan lebih sejalan dengan makna spiritualitas yang mengharuskan orang beriman lebih bertaqwa dengan melakukan segala amal kebaikan. Bersikap sabar, legawa, halus, mengalah bukanlah sikap bawaan sejak lahir atau bukan tumbuh dari dalam diri, melainkan harus dilatih, membutuhkan proses terus menerus guna menumbuhkan kasih sayang kepada sesama. Bukan berarti menyerah, bersikap pasif menerima apa adanya, melainkan memasrahkan pada kehendak maha kuasa. Hidup sudah ada ketentuan, manusia tinggal menjalani dan berusaha. Sikap demikian selayaknya dimiliki setiap manusia, menahan diri menghadapi nafsu marah dari tindakan- tindakan negatif.

  Eling berangkat dari sebuah konsep

  kosmologi Jawa dalam upaya mengenal diri sendiri. Eling arti harfiahnya ingat, tahu,

  sadar, konsep tersebut dapat disejajarkan

  dengan ajaran Tao (jalan) dalam fi lsafat Cina atau eksistensi (tahu, sadar) dalam aliran Eksistensialisme. Konsep e ling ditulis oleh seorang putra Jawa yang berusaha memberi jalan untuk mengenal diri sendiri, sadar akan eksistensi dirinya dalam melakukan sesuatu hendaknya eling, bahwa menjadi wanita harus mampu menjalankan peran di luar dirinya, seperti menjadi isteri, ibu dan peran sosial lainya. Realitasnya, menjalani peran yang demikian kompleks tidaklah mudah. Terlebih bagi wanita Jawa dari kalangan keraton, status sebagai anak raja harus ditampakkan dengan perilaku santun, intelek, berwibawa layaknya orang tuanya dan yang terpenting sanggup menguasai diri sendiri, karena sikap ini mempunyai kaitan logis dengan nilai keseimbangan, keselarasan hidup dalam bermasyarakat. Berbekal pandangan kosmologi Jawa tersebut diharapkan wanita dapat menjalani peran secara ikhlas yang pada puncaknya akan menciptakan pola hidup harmoni baik untuk dirinya, suami dan keluarga dan masyarakat..

  Secara konseptual eling dapat diseja- jarkan dengan kesadaran eksistensialisme dalam Filsafat Eksistensialisme, Taoisme dalam Filsafat Cina, yaitu menekankan penguasaaan terhadap diri sendiri dalam merespon sesuatu yang bermakna. Konsep penguasaan diri punya kaitan logis dengan nilai keseimbangan dalam arti orang sanggup menguasai dririnya sendiri akan sanggup menciptakan keseimbangan serta keselarasan hidup dengan masyarakat. Oleh karena itu manusia hendaknya selalu berusaha

  “eling” menguasai nafsu demi menciptakan

  keseimbangan batin, sehingga yang tampak dari luar adalah sikap halus, lemah lembut sebagaimana digariskan dengan jelas dalam SWP.

  Dalam teks di atas secara ekspilist dikemukakan konsep eling sebagai upaya meredam nafsu. Eling menyediakan suatu jalur atau jalan masuk yang bermanfaat untuk memahami diri sendiri. Eling memberi tempat berpijak di dalam diri kita sendiri. Dalam ajaran ini, tampaknya lebih ditekankan pada aspek kesadaran mental (kemampuan kognitif ) kematangan emosi, ketepatan sikap. Kematangan emosi, ketepatan sikap merupakan bagian dari aspek emosi (afektif ) yang erat kaitannya dengan aspek perilaku. Dalam segala tindakan harus menggambarkan alam sistem budaya, kognitif, psikologis dan sistem budaya Jawa.

  Istilah wanita yang katanya dari kata wani

  noto artinya berani ngatur (bukannya wani di toto: mau diatur). Dalam mengatur sesuatu

  atau memutuskan hal-hal penting, umumnya kaum wanita tidak mau menampakkan

  VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007

  Konsep Eling Dalam Serat Wulang Putri

  dirinya, sebaliknya mereka ini lebih memilih di balik layar sesuai dengan spirit sepi ing

  pamrih karena mengggap tugas sebagai ibu

  rumah tangga adalah hal biasa dan itu sebuah konsekwensi hidup yang harus dilakukan oleh setiap wanita. Sebagai makhluk yang terakhir sebagai wanita, hendaknya diterima secara ikhlas, karena hal itu merupakan kekuasaan atau takdir (Wulangereh, 1986). Tahu akan asal usul dirinya (sejatining urip) sebagaimna dikemukakan bahwa “menjadi perempuan” termasuk suatu kepastian dari yang kuasa, karenanya jangan disesali atau dipertanyakan, semua itu sudah “ angadhang takdiring widi” oleh karena itu harus dijalankan sesuai dengan syariat agama, moral.

  Seorang wanita haruslah cerdas, mau berpikir. Untuk menjadi wanita utama (baca:wanito utomo) memang dibutuhkan kecerdasan batiniah di samping kecerdasan intelektual. Kedua-duanya saling melengkapi. Hanya wanita-wanita yang eling yang dianggap cerdas, karena ia dapat menempatkan diri dimana saja dan kapan saja dengan ikhlas dan total tanpa harus berkonfl ik dengan dirinya sendiri. Hanya orang-orang yang punya kadar spiritualitas tinggi yang dapat menjalankan konsep tersebut dengan baik. Atas alasan itulah Paku Buwono IV mendahuluinya atau mendasarinya dengan pengetahuan spiritualis terlebih dahulu.

  Pengenalan dasar teologis diberikan sebagai usaha membentuk wanita yang m e m i l i k i k e u t a m a a n b u d i ( w a n i t a utama). Aspek moral keagamaan sudah ditanamkan sejak kecil. Dasar pendidikan dikembangkan, pertama tentang spirit hidup. Para putri raja diperkenalkan nilai teologis, seperti keberadaan Sang Hyang

  Widi, Hyang Murbeng, Hyang Sukma.

  Percaya adanya kekuasaan diluar dirinya bahwa sikap tindakan, ucapan, pengetahuan semuanya didasari atas nilai ketuhanan. Pengalaman keagamaan yang membawa ajaran mencerahkan kesempitan ruang gerak perempuan. Memahami makna yang tersirat dalam eling tersebut berimplikasi pada pembangunan identitas pribadi melahirkan beberapa tingkat kesadaran tinggi, yang menurut istilah psikologi disebut the personal

  self (Gerungan, 2002), dalam teks SWP

  diwujudkan dengan saling tolong menolong, rukun dan menerima perbedaan.

  Kalaupun kecenderungan wanita memilih diam dan menghindari konflik, itu bukan berarti wanita itu pasif, pasrah melainkan strategi untuk bertahan (devensif ) demi menghindari percekcokan atau keributan. Mencipkan situasi menjadi harmoni lebih merupakan upaya penghalusan dan pendalaman rasa yang terus menerus. Jika dihubungan dengan butir nilai yang dalam SWP yang dianggap sebagai sumber segala nilai kewanitaan,seperti ungkapan berikut ini: “ Yen tinandak tanpa usul/asalaing nalar

  naluri/nalurining kang lakon/yen tinalar dalam luwih/winulya purbaning sukma/sukma dipun katitis”. Maksudnya, jika akan melakukan

  sesuatu haruslah dipikir atau dinalar, hal demikian jauh lebih baik. Terbukti dalam teks juga disebutkan bahwa wanita haruslah berpikir yang berarti wanita itu harus cerdas. Kecerdasan kognitif melainkan juga diimbangi dengan kecerdasan intuisi (rasa). Proses pendidikan yang menekankan pada kekuatan batiniah dan bersifat individual sejalan dengan pandangan kejawen, gerak diri harus mengalir dari luar ke bagian dalam, dari penguasaan yang lahir ke pengembangan yang batin yang berujung pada penampakan kepribadian yang peka terhadap situasi sosial (Simuh:2002)

  Terlebih seperti sekarang, zaman terus berkembang, segala nilai dalam sektor publik seperti ekonomi, pendidikan kerja, kekuasaan dan lain-lain terus berubah. Sedangkan dalam sektor domestik nilai-nilai yang ada hanya sedikit berubah. Akibatnya banyak wanita modern seperti sekarang ini yang kehilangan orientasi hidup, mengejar nilai emansipasi barat yang dalam praktiknya justru menciptakan hidup tidak seimbang dan tidak harmoni. Ketidakseimbangan ini sekarang mulai digugat dengan motto “keadilan” hak antara pria dan wanita. Melihat kondisi demikian, kearifan kuno yang namanya eling perlu dipahami lebih dalam dikembangkan nilai-nilai yang dianggap positif dan masih relevan dengan situasi wanita masa kini. Kearifan kuno tentang wanita yang dikemukakan dalam teks tersebut di atas perlu dikaji kembali agar supaya wanita yang hidup masa kini dapat mengetahui dan menjadikan sebagai pedoman hidupnya sepanjang waktu.

  Hal inilah sebenarnya yang akhirnya dikenal sebagai peran ganda, yaitu sebagai ibu, sebagai istri sekaligus sebagai dirinya sendiri. faktor inilah yang membedakan peran antara perempuan dengan laki- laki. Maka dari itu tidak salah jika wanita ditekankan untuk wani noto (berani ngatur). Ungkapan tersebut mengandung makna fi losofi s yang positif.

  Disadari tidak mudah mengatur peran dan waktu bagi wanita. Untuk selalu menjadi wanita utama (baca wanito utomo) perlu secara terus menerus sadar atau ingat akan kodrat sekaligus peran sosial. Untuk itulah Paku Buwono menuliskan konsep eling. Konsep berbau fi losofi tersebut lahir dari perenungan dan pikiran jernih dari seorang yang memiliki tingkat olah rasa dan olah pikir tingkat tinggi. Paku Buwono punya unsur tersebut dengan sempurna, sehingga ia mampu menciptakan SWP dengan estetis, sublimmasi sempurna.

  Eling punya makna universal (lihat:

  Serat Wulangreh: 2002). Jika kemudian dalam SWP juga menyebut eling, tak lain karena konsep pemikiran tersebut punya makna general dan kiranya perlu juga dipahami oleh wanita, karena didalamnya memuat rumusan berupa kerangka norma dan pedoman hidup yang dikategorikan sebagai pengetahuan etik dan etika. SWP semacam sarana orientasi bagi para putri raja khususnya dan perempuan pada umumnya dalam usahanya untuk menjawab pertanyaan yang fundamental, yaitu bagaimana harus bertindak (Suseno, 1995:13). Para wanita diharapkan dapat membatin nilai-nilai tersebut dengan cara dinamis sebagaimana hakikat budaya Jawa sendiri yang dinamis.

  Menurut Mardawarsito, (1989) kata “wulang” artinya mengajar atau mendidik. Sesuai dengan namanya Wulang Putri merupakan sebuah teks memuat tentang ajaran atau wejangan tentang etika dan moral dalam versi Jawa. Di dalamnya dijelaskan secara detil mengenai tahapan menuju kesempurnaan budi yang lebih dikenal dengan sebutan wanita utama (baca wanito utomo). Untuk itulah, Paku Buwono IV merumuskan nilai etika dan moral yang ditransformasi dari nilai kultur Jawa, salah satunya berupa konsep eling sebagai salah satu cara membentuk kepribadian putri atau wanita.

  Proses pendidikan terarah pada pening- katan penguasaan dan pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangan kepribadian wanita. Pengembangan diri tersebut dibutuh- kan untuk menghadapi kehidupan nyata. Tidak dapat disangkal bahwa hidup setiap orang pastinya menghadapi problem dalam setiap langkah kehidupannya. Wanita Jawa diharapkan menampilkan kehalusan, kesuci- an, kecantikan (lihat Mulder, 1980 Cristina, 2004). Dimanapun wanita dalam bangsa dan adat mana pun, wanita selalu didambakan. Terlebih status sebagai wanita keraton

  VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007

SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN

  Konsep Eling Dalam Serat Wulang Putri

  tentunya harus lebih mampu menampakkan citra sebagai wanita kalangan atas. Senantiasa mencitrakan kewibawaan layaknya orang tuanya. Mereka harus mampu menunjukkan sikap keutamaan budi, kehalusan perilaku, tutur kata, penampilan yang berbeda dengan putri rakyat kebanyakan.

  Salah satu pendidikan di lingkungan keraton pada umumnya meliputi kemampuan dalam bernyanyi yang dalam tradisi Jawa akrab dengan sebutan nembang. Putri raja atau wanita kalangan keraton di anjurkan untuk belajar nembang. Cara ini merupakan strategi agar dipandang sebagai wanita terpelajar di zamannya. Belajar nembang sekaligus sekaligus mencerap nilai pengetahuan yang ada di dalamnya, terkait dengan nilai etik dan etika moral.

  Metode belajar demikian memiliki sisi efektivitas, yaitu atas kesadarannya sendiri berusaha mewujudkan nilai moral tersebut dalam perilaku keseharianya. Corak pengajaran mengedepankan tata lingkungan nilai yang merupakan tata kehidupan nilai, baik nilai kemasyrakatan, sosial keagamaan yang hidup dianut akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap proses dan hasil pendidikan. Adapun tujuannya diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yaitu tujuan pendidikan. Tujuan ini bisa menyangkut kepentingan sang putri maupun kepentingan raja, atau keduanya.

  Adanya teks SWP membantu para putri dalam mengembangkan diri, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya. Kalau dahulu SWP dibuat untuk kepentingan kerajaan dan sekarang kerajaan tidak ada lagi, bukan berarti kandungan fi losofi s dan moral yang terangkum dalam SWP tidak bermanfaat. Sebaliknya masa-masa sekarang ini kiranya perlu kaum wanita membaca ulang atau menafsir ulang teks tersebut di atas. Berhubung kandungan nilainya masih relevan sampai saat ini. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman rasa (intuisi) dan kesadaran diri.

  Kata lakuning ati lebih menekankan pada eling bukan satu-satunya konsep nilai yang ada dalam SWP melainkan berkaitan dengan konsep nilai lainya seperti sabar, halus, legawa, ikhlas yang secara budaya dikontruksi untuk wanita. Jika eling mendapat prioritas dalam penulisan ini dengan pertimbangan,

  eling dapat dianggap semacam pintu gerbang

  menuju pemahaman hidup yang lebih luas, dalam membangun kepribadian menjadi wanita utama. Wanita Jawa khususnya wanita keraton dituntut berpenampilan halus mencitrakan kewibawaan ayahandanya yang seorang raja. Untuk bersikap demikian sejak dini sudah diingatkan atau disadarkan (eling) akan siapa dirinya, dan asal usul keluarganya melalui ajaran eling tersebut.

  maningsira angandhepi ing raba ibu ta nini tegese sira nucekna iya sariranireki dene dennya nglakoni eneng eninga ing kalbu awas eling supaya sirna nepsu ta nini anganak ana sih kalwan amirah

  Terjemahan bebasnya:

  apabila engkau menghadap ibumu yaitu harus menyucikan jawa raga dengan menjalani keheningan hati dengan selalu eling, waspada supaya napsu hilang dan membangun kaasih sayang

  Praktik pengajaran yang terdapat dalam SWP mencerminkan tradisi mistisisme. Maksudnya, pengajaran diarahkan pada perenungan untuk mendapatkan pencerahan batin. Biasanya melakukan dengan doa, olah rasa, sikap pasarah untuk mengikatkan pada Tuhan. Oleh karena itu bersifat perenungan, maka motif ajarannya dipaparkan lebih bersifat mengetahui dibandingkan pada VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007

  pengetahuan semata. Proses pendidikan Mardiwarsito. 1989. Kamus Jawa Kuna- demikian sengaja dipilih, karena berdasarkan Indonesia, Ende Flores: Penerbit Nusa pengalaman orang tuanya yang juga adalah Indah. turunan raja yang dalam tradisinya lebih

  Muyono, Sri. 1989. Simbolisme dan banyak pelaksanakan tapa brata.

  Mistikisme Dalam Wayang, Jakarta.

  Masagung

  SIMPULAN

  Mulder, Niels. 1980. “Holy Mother, Mother Dari ajaran Paku Buwono IV yang Dear” Basis, Edisi ke-39. tertuang dalam SWP patut direnungkan

  Simuh, 2002. Sufisme Jawa, Yogyakarta: kembali, mana yang sudah dimakan zaman Bentang Budaya. dan mana yang masih relevan hingga atau untuk sekarang. Pada masa SWP diciptakan Suseno, Magnis Franz,. 1999. Etika Jawa. pada abad ini, maka ajaran moralnya Jakarta: Pustaka Utama disesuaikan dengan dan situasi di masa

  _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ , 1 9 8 9 . E t i k a D a s a r . itu. Ketika teks tersebut dibaca sekarang,

  Yogyakarta: Kanisius maka nilai-nilai moral yang terkandung

  Serat Jayengsastra Anggitan dalam Kanjeng

  di dalamnya dibaca dengan cara pandang Ratu Kencana Garwa Dalem Ing sekarang. Filosofi yang diwariskan kepada S i n u h u n K a n j e n g Su s u h u n a n wanita sejak zaman dahulu hingga kini sedikit Pakubuwono Kasambetaken dados ataupun banyak telah mengalami pergeseran ”Wulang Putri” atau sebagaimana perubahan sebagaimana berubahnya sistem politik, social ekonomi termasuk perubahan pemahaman akan nilai-nilai keagamaan, moral dan hubungan individu.

DAFTAR PUSTAKA

  Gerungan, 2002. Psikologi Sosial, Bandung, Penerbit Rafi ka. Harsono, Andi, 2005. Tafsir Ajaran

  Serat Wulangreh, Yogyakarta: Pura Pustaka.

  Kuasa Handayani, Christina dkk. 2004. Wanita Jawa. Jogyakarta: LkiS.

  Handaran. Lori M. 2000. ”Teori Gender Menggugat Feminisme Ideologi”

  Gerbang Vol.06 no. 08

MARGINALISASI WANITA MADURA:

  

IMPLIKASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA

DI DESA BANYUWULU

(SEBUAH PARADIGMA ETNOSAINS)

  

Eni Sugiarti*

Abstract

Marginalization of Madura women related to the failure of the Family Planning

Program in Banyuwulu village. This failure is not a solely mistaken of the Family

Planning Program. From the aspect of ethno science this failure is because of the

differences viewpoint between government and society about that program. This

successful and failure of the program is related to social culture. Keywords: marginalization, family planning program, ethno science.

  PENDAHULUAN

  Berawal dari sebuah pengalaman hidup penulis ditengah-tengah “masyarakat Madura“ atau orang–orang Madura yang ada di wilayah Banyu Wuluh kecamatan Waringin Bondowoso, Jawa Timur. Berangkat dari adanya adanya kejadian penolakan masyarakat Banyuwulu untuk mengikuti program Keluarga Berencana. Menurut penuturan bidan desa di Banyuwulu problem ini sudah lama berlangsung dan belum mendapat solusinya. Permasalahan Keluarga Berencana untuk beberapa hal merupakan hal yang sudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum apalagi pada masa orde baru yang sangat gencar mensukseskan program Keluarga Berencana. Fenomena sosial yang dihadapi penulis sangat menarik untuk dikaji dengan menggunakan teori dan konsep kebudayaan.

  Dalam penelitian ini kegagalan program Keluarga berencana berhubungan dengan adanya proses marginalisasi wanita Madura yang dalam beberapa hal mereka sebagai kelompok masyarakat yang termajinalisasi secara social. Implikasinya adalah adanya perbedaan hak dan kewajiban yang terbentuk secara social. Proses marginalisasi wanita Madura membentuk adanya pola-pola social yang termanifestasikan dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.