KAJIAN STRUKTUR KOLONG DAN PERGESERAN FUNGSI GARDU POS RONDA STUDI KASUS PADA GARDU POS RONDA RW 29 MOJOSONGO, JEBRES, SURAKARTA Oleh: Sumarno, S.Sn., M. A. ABSTRACT - KAJIAN STRUKTUR KOLONG DAN PERGESERAN FUNGSI GARDU POS RONDA STUDI KASUS PADA GARDU POS

  

KAJIAN STRUKTUR KOLONG DAN PERGESERAN FUNGSI GARDU

POS RONDA

STUDI KASUS PADA GARDU POS RONDA RW 29 MOJOSONGO,

JEBRES, SURAKARTA

  Oleh: Sumarno, S.Sn., M. A.

  

ABSTRACT

  Night watch guardhouse (gardu pos ronda) is one of Indonesian cultural uniqueness forms compared with other states remaining to exist up to now. In such the condition, guardhouse is also a witness of historical course from several eras accompanying. The uniqueness of guardhouse lies, among other, at its form and the system accompanying it. The structure of guardhouse is as same as other architecture construction, consisting of floor, wall and roof. Several guardhouse, by its floor structure, consists of kolong (space underneath main construction) floor and guardhouse exactly on the land. Amid the architectural culture abandoning kolong structure particularly in Java, the structure of guardhouse

  

kolong is an interesting topic to study. It is because the kolong structure is the

reflection of Javanese floor construction structure in the past.

  The objective of research is to find out: (a) what the structure of guardhouse construction is as the interior element; (b) in the present context, how the change of the development of guardhouse function is and what activities it serves in addition to guard security. In order to achieve the objective, the research method employed was a qualitative research. The research was taken place in Surakarta city. The sampling technique used was purposive sampling one taking all of guardhouses with kolong structure existing in RW 19, Kelurahan Mojosongo, Jebres Subdistrict, Surakarta City. Techniques of collecting data used were interview, recording, library study, measurement, and documentation. The data validation was conducted using data triangulation, while the data analysis was done using Miles and Huberman’s interactive model of analysis.

  Keywords: guardhouse, kolong structure, and function.

  .

  Pendahuluan.

  Rasa aman dan nyaman merupakan kebutuhan manusia yang bersifat dasar, oleh karena itu berbagai upaya diciptakan dan diusahakan untuk menciptakan kondisi tersebut. Berbagai cara ditempuh, baik secara personal maupun secara kolektif, secara sistemik maupun bersifat masif. Pada konteks ruang arsitektural adanya beteng, portal, pagar, teralis jendela, kunci, gembok pintu, dan sebagainya adalah bentuk upaya menciptakan keamanan yang bersifat masif. Sedangkan upaya menciptakan keamanan yang bersifat sistemik yakni dapat kita amati dengan adanya PIN (personal identification number), CCTV (closed circuit television) , sidik jari, nomer registrasi, ticketing dan lain-lain.

  Kebutuahan rasa aman yang tinggi, sehingga mendorong manusia untuk menciptakan pola pertahanan diri terhadap gangguan sekitarnya. Pola tersebut baik yang diselenggarakan secara individu maupun dalam skala yang lebih luas yakni oleh kelompok sosial atau masyarakat. Keberadaan pos jaga dalam suatu wilayah merupakan salah satu bentuk pertahanan atau upaya penciptaan keamanan dan kenyamanan terhadap suatu wilayah. Keberadaan pos ronda atau pos keamanan di Indonesia terdapat di seluruh pelososk negeri, bahkan hingga di lingkungan struktur pemerintahan terkecil yakni RT (Rukun Tetangga).

  Gardu pos ronda berdasarkan pada bahan dan strukturnya yakni terdiri dari gardu pos ronda berbahan bambu, kayu, tembok, dan atau kombinasi berbagai material yang lainya. Berdasarkan pada struktur lantainya, gardu pos ronda yakni terdiri dari lantai berbentuk panggung (kolong) dan lantai yang menyatu dengan tanah atau pelataran.

  Di pulai Jawa keberadaan bentuk lantai gardu pos ronda yang berbentuk kolong, menunjukan adanya perbedaan atau keunikan dengan bangunan arsitektur lainya. Hampir seluruh bangunan arsitektur di pulau Jawa adalah menyatu dengan tahah. Adanya bangunan arsitektur berbentuk kolong di wilayah Jawa mengingatkan pemukiman penduduk pada masa lampau yang dibangun dengan lantai berbentuk panggung dengan konstruksi kayu, sebagaimana terdapat pada

   relief dinding candi borobudur.

  Gardu pos ronda selain sebagai bangunan arsitektural yang berciri khas budaya Indonesia, sangat disayangkan nasib gardu pos ronda tidak sebagus bangunan arsitektural lainya. Dalam konteks ruang arsitektural penelitian ini adalah untuk mengetahui (a) bagaimanakah struktur lantai kolong pada bangunan gardu pos ronda sebagai elemen interior; (b) eksistensi gardu pos ronda yang cukup panjang, pada konteks kekinian bagaimanakah pengembangan fungsi gardu pos ronda, dan aktifitas apa sajakah yang terdapat didalamnya.

  Metode penelitian adalah menggunakan metode penelitian kualitatif dengan penalaran induktif. Penentuan sampling dari sejumlah populasi adalah dengan random sampling. Analisis data yakni dengan menggunakan model analisis interaktif Miles, Huberman. Untuk mengupas permasalahan tersebut diatas adalah dengan menggunakan pendekatan estetik pada aspek struktur dan fungsi gardu pos ronda. Teori untuk mengupas permasalahan di atas adalah menggunakan teori Sidharta. Khusus mengenai struktur bangunan lantai berbentuk panggung selanjutnya adalah dengan teori Heinz Fick. Pada aspek fungsi estetik yakni meminjam teori Feldman, yang mengkategorisasikan fungsi seni menjadi fungsi personal, fungsi sosial, dan fungsi fisik. Lebih lanjut pembahasan mengenai perubahan fungsi sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah dari gardu pos ronda, adalah mengacu pada Abidin Kusno.

  Kondis Umum Kelurahan Mojosongo.

  Kota Surakarta merupakan kota yang letaknya cukup strategis di tengah- tengah pulau Jawa. Pola penghidupan masyarakat di wilayah Surakarta pada dasarnya terdiri dari wilayah industri, wilayah pengembangan, wilayah kampung lama, wilayah pusat ekonomi, wilayah puat administrasi, dan wilayah jantung 1 Bagoes P. Wiryomartono, Seni Banguan dan Seni Binakota di Indonesia,

  

Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu- Budha, Islam Hingga Sekarang, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), 71. kota. Berdarkan pola penghidupan tersebut, wilayah Mojosongo adalah masuk dalam kategori wilayah industri dan wilayah pengembangan.

  Mojosongo merupakan salah satu kelurahan yang terdapat di Kecamatan Jebres Kota Surakarta. Letak kelurahan Mojosongo yakni dibagian utara kota Surakarta, dengan bentuk topografi tanah yang berbukit-bukit. Secara administratif kelurahan Mojosongo adalah masuk dalam wilayah Kecamatan

2 Jebres, Kota Surakarta. Tata kelola pemerintahan di kelurahan Mojosongo

  terbagi menjadi beberapa RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga). Adapun jumlah RW di kelurahan Mojosongo yakni berjumlah 35, sedangkan jumlah yakni 181 RT, dengan jumlah penduduk Mojosongo pada bulan April 2013 tercatat berjumlah 13.409 jiwa, yang terdiri dari 13.409 kepala keluarga baik pendatang maupun pribumi.

  Keberadaan gardu pos ronda sebagai upaya penjaga keamanan lingkungan terdapat disetiap RT, menurut catatan pemerintah kelurahan Mojosongo bahwa jumlah gardu pos ronda adalah sejumlah RT di kelurahan Mojosongo yakni 181

  

  buah gardu pos ronda. Disebagian wilayah di Mojosongo gardu pos ronda telah menggunakan dinding bata dengan struktur lantai pelataran, namun pada RW 29 masih terdapat gardu pos ronda yang berbahan bambu dan dengan struktur kolong.

  Gambar 1: Gardu pos ronda di Mojosongo RW 29 dengan struktur lantainya 2 kolong. 3 Tiwuk Sri Rejeki, Laporan Monografi Dinamis Bulan April, (Surakarta:

  Kelurahan Mojosongo, 2013).

  Pengertian Gardu Pos Ronda.

  Secara etimologis gardu adalah bahasa serapan yang berasal dari bahasa Perancis (garde) yang berarti rumah jaga, sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia gardu yakni diartikan sebagai rumah jaga (tempat berkawal); rumah

  

  kecil di tepi jalan; depot. Kata selanjutnya yakni pos, yakni berarti tempat surat; (tempat) kedudukan atau jabatan; tempat pejagaan; gardu penjagaan; tempat

  

  pemberhentian; tiang; dan jenang pintu. Sedangkan kata ronda, adalah kata kerja yang menunjukan pada aktiftas berpatroli atau jaga.

  Gardu pos ronda dibeberapa daerah di wilayah Jawa juga dikenal dengan istilah gerdu, cakruk, atau angkruk. Di beberapa daerah bahkan penggunaan istilah cakruk lebih familier dari pada istilah gardu pos ronda atau pos kamling. Istilah cakruk menunjukan adanya istilah yang merujuk pada lokalitas bahasa setempat dibanding dengan istilah gardu yang berasal dari bahasa Perancis. Adanya padanan kata gardu dengan istilah lokal, hal tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan cakruk telah ada sebelum istilah gardu muncul. Hal tersebut sejalan dengan Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalam Figures of

  

Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam , yang

   menyatakan bahwa ronda merupakan institusi prakolonial.

  Terkait dengan istilah cakruk dan angkruk, menarik untuk dicermati adalah adanya fasilitas duduk yang dimungkinkan akar katanya sama dengan

  

cakruk dan anggkruk, adapun fasilitas yang dimaksud adalah angkrikan. Fasilitas

  duduk berupa angkrikan umumnya masih dapat ditemukan di desa-desa. Angkrik atau mangkrik sendiri dalam bahasa Jawa berarti ngadeg [lungguh] ono ing papan

  

sing duwur (berdiri atau duduk ditempat yang tinggi). Angkrikan adalah fasilitas

  duduk bersifat publik yang terletak di luar ruang (out door). Bersifat publik karena 4 5

  Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer. (Yogyakarta: Absolud, 2008), Cet- 4, 411. 6 www. jalupamungkas blog 7 S.A. Mangunsuwito, Kamus Bahasa Jawa, (Bandung: Yrama Widya, 2002), 16.

  

angkrikan adalah alat untuk duduk-duduk bersama dan siapapun dapat

  memakainya, sedangkan sifatnya yang out door karena fasilitas tersebut terletak di luar ruang. Angkrikan sebagai fasilitas duduk memiliki kemiripan dengan lincak,

  

emben , dan dipan. Perbedaan mendasar dengan amben, lincak, dan dipan adalah

  pada fungsinya, selain itu umumnya angkrikan berukuran lebih besar baik ukuran maupun bahan yang digunakan. Berikut di bawah adalah gambar angkrikan,

  amben, lincak, dan dipan:

  Gambar 5: Beberapa fasilitas duduk tradisional masyarakat Jawa, dari kanan atas searah jarum jam angkrikan, amben, lincak, dan dipan.

  Angkrikan sebagaimana pada gambar di atas memiliki kesamaan dengan

  

cakruk atau angkruk. Persamaanya adalah sama-sama tempat duduk yang bersifat

  publik, bahan, dan struktur lantainya yang berbentuk kolong. Sedangkan yang membedakan dengan cakruk atau angkruk dengan angkrikan yakni pada ada dan tidak adanya atap sebagai upaya perlindungan terhadap cuaca.

  Penggunaan kata terdiri dari gardu, pos, dan ronda kini telah berkembang menjadi beberapa istilah tertentu, dan masing-masing istilah memiliki makna dan fungsi spesifik yang berbeda-beda. Beberapa istilah tersebut diantaranya adalah pos satpam, pos polisi, pos jaga, posko, gardu pandang, gardu listrik, gardu tol, pos komando, pos pelayanan, kantor pos dan lain sebagainya. Berbagai istilah atau frasa gardu, pos dan ronda kini menjadi sangat banyak dan sehingga menjadi sulit untuk membedakan antar satu dengan yang lainya.

  Merujuk pada beberapa frasa tersebut di atas namun demikian, gardu pos berdasarkan sistem operasionalnya dapat dikategorikan sebagai gardu pos yang bersifat komunal dan gardu pos yang bersifat industrial atau komersial. Gardu pos yang bersifat industrial atau komersial adalah gardu pos untuk kepentingan industri atau kepentingan bisnis, dimana petugas jaganya adalah orang-orang dengan profesi atau kecakapan tertentu, sebagai contoh yakni satpam (satuan petugas keamanan), polisi, maupun militer. Ciri berikutnya yakni ditandai dengan sistem pembagian waktu, pembiayaan, teknologi, dan peraturan yang cukup rigid. Hal tersebut yakni sebagaimana terdapat pada perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, hotel, pabrik, perumuhan-perumahan elit, atau pada instansi lainya. Sedangkan gardu pos bersifat komunal adalah gardu pos yang terdapat dilingkungan masyarakat sebagai bagian dari sistem keamanan masyarakat yang dilakukan oleh warga dengan cara bergiliran. Berpijak pada pengertian tersebut dengan demikian keberadaan gardu pos kini telah terdapat diberbagai tempat dengan wilayah operasionalnya masing-masing. Menarik untuk dikaji adalah gardu pos ronda bersifat komunal sebagaimana terdapat di lingkungan masyarakat yang biasa disebut dengan cakruk, angkruk, gardu pos ronda, atau gardu poskamling (pos keamanan lingkungan).

  Sekilas Sejarah Gardu Pos Ronda.

  Keberadaan gardu pos penjagaan di Nusantara pada dasarnya telah ada sejak jaman dahulu kala, khususnya dalam hal ini adalah pada jaman kerajaan. Namun demikian, belum diketahui secara pasti pada masa kerajaan apa dan masa pemerintahan siapa awal mula munculnya gardu penjagaan tersebut. Setidaknya keberadaan gardu pos penjagaan yakni diapat diamati dengan adanya pintu gerbang pada tiap keraton (regol). Hal tersebut sebagaimana terdapat pada keraton Surakarta dan Yogyakarta. Pos penjagaan pada masa kerajaan terdapat sembilan pintu gerbang yang mencerminkan babahan howo songo dari sang raja. Pos penjagaan lebih mencerminkan raja sebagai pusat kekuasaan dan sebagai pusat kosmos, bukan sebagai upaya penjagaan teritorial karena wilayah kerajaan atau kekuasaan kerajaan jauh hingga di luar komplek keraton.

  Masa setelah kerajaan di Nusantara adalah yakni berganti dengan masa penjajahan belanda. Sepenggal kronik tentang gardu pos jaga pada masa kolonial Belanda, yakni adanya istilah pos atau rumah jaga atau juga disebut rumah jaga moyet (schilwacht huisje). Merupakan tempat para serdadu berlindung dari hujan

  

  dan panas, serta untuk melihat dengan jarak pandang sejauh mungkin. Dan juga

  

wachthuis (Belanda) diartikan sebagai rumah jaga. Berdasar pada fungsinya,

  yakni untuk melihat dengan jarak pandang sejauh mungkin, sudah barang tentu bangunan ini berada ditempat yang lebih tinggi. Dimungkinkan juga bahwa keberadaan gardu pos ronda merupakan bagian dari kesatuan bangunan lebih besar yang melingkupinya, misalnya bangunan residen, atau bangunan jawatan tertentu dan lain-lain.

  Pada masa kolonial khususnya era kepemimpinan Daendels, pada masa ini berkembang istilah apa yang disebut dengan gardu yang selanjutnya digunakan hingga saat ini. Munculnya gardu pos dan peran yang dimainkan dalam institusi ronda adalah dampak dari tatanan yang dicanangkan oleh Dendels. Dialah orang pertama yang mamakai batas teritorial sebagai strategi pemerintahan dan yang melembagakan ide tentang batas wilayah ke dalam ruang-ruang yang terdemarkasi secara tajam. Sehingga gardu kini tidak lepas dari representasi kekuasaan,

  

  keamanan, wilayah, hingga suatu identitas. Penggalan akhir sejarah masa penjajahan bangsa Eropa tentang gardu, Abidin Kusno menjelaskan bahwa banyak didirikan gardu pos di mulut-mulut jalan menuju kota sebagai upaya mempertahankan tanah Hindia dari pendudukan tentara Jepang dengan 8 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat

  , (Yogyakarta: Bentang Budaya, Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX) 2000), 191 dan 235. 9 10 Abidib Kusno; 90.

  Kusno; 2007, 51 mendirikan gardu jaga dengan melatih warga sipil menjadi penjaga kota (tadswacht).

  Pada masa pendudukan Jepang gardu semakin mendapatkan tempat, yakni dikukuhkan keberadaanya sebagai kontrol teritorial oleh fasis militer Jepang. Pada masa ini eksistensi gardu pos ronda semakin melembaga secara masif dan sistemik, keberadaanya bahkan sampai pada lapisan paling bawah dalam suatu struktur pemerintahan yakni tonari gumi (istilah RT atau RW masa pendudukan

11 Jepang). Gardu pos oleh penjajah Jepang dimanfaatkan sebagai sarana

  pengawasan setiap pergerakan dan eksploitasi masyarakat pribumi dalam kebijakan kerja rodi oleh penjajah Jepang. Hal ini tidak lepas dari gaya pemerintahan Jepang yang berbeda dengan pemerintah Belanda, jika pemerintah Belanda menerapkan sistem tak langsung dan hirarkis maka pemerintahan Jepang menerapkan ideologi Pan-Asia. Ideologi yang berupaya mengintegrasikan seluruh Asia dibawah pemerintahannya dengan dalam satu bingkai “saudara.” Mobilisasi secara besar-besaran terhadap para pribumi dari segala usia dan lapisan masyarakat untuk melawan penjajah Barat sehingga pertahanan diri perlunya digalakan hingga sel struktur pemerintahan terkecil yakni pada level RT.

  Keberadaan gardu tersebut nampaknya tetap di jaga hingga masa kemerdekaan dan masa orde lama. Lebih lanjut pada masa orde baru gardu pos ronda memerankan fungsi yang berbeda dibanding masa sebelumnya. Pada masa ini gardu pos ronda dimanfaatkan untuk membentuk pertahanan semesta melalui kegiatan siskamling (sistem keamanan lingkungan) yang di representasikan melalui Hansip (pertahanan sipil) bertujuan untuk mengawasi pihak-pihak yang dianggap dapat dan utau mengganggu instabilitas sosial bahkan juga instabilitas politik.

  Tekanan politik yang luar biasa pada masa orba, memancing gerakan mahasiswa, gerakan masyarakat Indonesia untuk menumbangkan Orde Baru. Pasca tumbangnya orde baru, muncul masa reformasi dimana euforia yang luar 11 Budi Susanto, S.J., Menawar(kan) Postkolonialitas Kebudayaan. Makalah

  

Ceramah Ilmiah Pelestarian Kebudayaan dalam Perspektif Kajian Postkolonial, (Jakarta: Depbudpar, 2009), 6. biasa terhadap kebebasan berpendapat dan berpolitik menjadi terbuka selebar- lebarnya. Pada awal-awal masa reformasi, gardu kembali dijadikan sebagai media pergerakan partai politik tertentu. Selain gardu tetap ada sebagai bagian perangkat sistem keamanan di tingkat RT, gardu pada masa ini mengalami metamorfose muncul dimana-mana sebagai representasi dari partai politik tertentu. Keberadaan gardu pada masa awal reformasi menggurita dimana-mana dikota hingga dipelosok-pelosok desa, bahkan tidak jarang keberadaanya hingga menimbulkan suatu polemik dan konflik.

  Gardu Pos Ronda dan Sistem yang Melingkupinya.

  Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan budaya dan sumber daya alamnya yang luar biasa. Kekayaan budaya Indonesia telah diakui oleh dunia akan keberagaman budayanya (diversify culture), dengan kekuatan budayanya bahkan Indonesia layak disebut sebagai negara adidaya di bidang seni

  

  budaya. Satu hal yang juga patut disyukuri terkait dengan peninggalan budaya, yakni masih banyak peninggalan atau warisan budaya nenek moyang kita yang masih tetap lestari. Berbagai peninggalan budaya tersebut bahkan ada disetiap jengkal tanah dimana kita berpijak, dan disetiap kata pada tiap percakapan yang kita ucapkan, dan tidak disadari bahwa beberapa warisan budaya nenek moyang usianya telah mencapai berpuluh-puluh abad lamanya.

  Terkait dengan gardu pos ronda, hal tersebut bukanlah sekedar warisan bangunan fisik belaka namun juga memuat aspek intangible. Pada warisan budaya gardu pos ronda yang perlu dicamkan adalah pada nilai terkandung di dalam diantaranya adalah nilai historis, nilai filosofisnya, bahka juga nilai teknologisnya. Nilai filosofis adalah terkait dengan asas-asas pemikiran dan perilakunya masyarakatnya, aplikasi nilai tersebut yang pantas dipresiasi pada gardu pos ronda adalah kebersaamaan dan sikap egaliter antar warganya. Sedang nilai historis adalah mencakup tumbuh kembangnya suatu masyarakat. Nilai teknologis adalah 12 Heddy Shri Ahimsa-Putra, World Culture Forum (WCF), dalam Spesial Dialog dengan Meyriska Sari, (Jakarta: ANTV, 2012), 28 November. adanya kearifan lokal pada masyakatnya dalam memanfaatkan material, struktur dan konstruksi sebagai respon dari kondisi lingkunganya.

  Gardu pos ronda sebagai warisan budaya merupakan ciri khas atau keunikan Indonesia dibanding negara lain. Eksistensi bangunan arsitektural gardu pos ronda di tengah-tengah masyarakat, sepenuhnya tidak dapat dipisahkan dengan sistem yang melingkupinya. Adapun sistem yang dimaksud yakni meliputi hal-hal sebagai berikut: 1.

  Perangkat aktifitas dan beberapa sistem yang terdapat didalamnya, beberapa hal tersebut diantaranya meliputi: (a) jimpitan; (b) sistem komunilasi; (c) sistem sosial yang komunal dan egaliter.

  2. Perangkat peralatan dan perlengkapan: (a) kentongan; (b) jam dinding, untuk mengetahui waktu; (c) tikar, alas duduk yang terbuat dari pandan maupun bahan sintetis lainya; (d) alat permainan, mulai dari catur, karambol, remi, domino, dan sebagainya.

3. Pelaku (jogo boyo, hansip, warga).

  4. .

  Tindakan terpola dan tidak terpola Struktur Kolong Bangunan Gardu Pos Ronda.

  Perilaku dan kemampuan beradaptasi merupakan salah satu ciri pembeda antara manusia dengan binatang atau dengan makluk hidup yang lainya. Berdasar pada pola perilakunya tersebut kemudian manusia memenuhi segala keperluan dan kebutuhan hidupnya. Adapun teori dasar pembentukan perilaku manusia adalah terdiri dari nature dan nurture. Nature adalah dimana semua perilaku manusia bersumber dari pembawaan biologis manusia, sedang nurture yakni faham yang memahami bahwa pembentukan perilaku adalah terbentuk melalui pengalaman atau pelatihan. Terdapat pertentangan antar kedua faham, dan masing-masing faham menganggap bahwa salah satu diantaranyalah yang paling berperan. Abraham Moslow adalah salah seorang yang mencoba memadukan teori tersebut, ia memperinci kebutuhan dasar manusia yang meliputi: (a)

  

selfactualizing (aktualisasi diri), esteem (penghargaan); (b) love and belonging

  (cinta dan kekayaan); (c) safety-security (keamanan-keselamatan), (d) dan

   phsicological needs (kebutuhan psikologis).

  Kebutuhan rasa aman dan nyaman tentunya adalah menyangkut segala sendi kehidupan mannusia. Pada konteks desain dan arsitektur, kebutuhan rasa aman dan nyaman diterjemahkan dengan cara yang berbeda-beda antara satu individu dengan individu yang lainya, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainya, antara satu suku dengan suku yang lainya, bahkan antara satu bangsa dengan bangsa yang lainya. Keamanan dan keselamatan dalam lingkup apapun dapat mencakup aspek intern dan ekstern. Faktor ekstern adalah kebutuhan rasa aman terhadap terhadap ancaman manusia dari luar dirinya maupun kondisi lingkungan, diantaranya meliputi iklim atau cuaca, gangguan binatang dan sebagainya. Sedangkan faktor keselematan dan keamanan terhadap bahaya intern diantaranya adalah ancaman terhadap jiwa dan raga manusia yang ditimbulkan oleh bangunan itu sendiri. Tidak sedikit tragedi korban jiwa dan nyawa yang justru diakibatkan oleh kondisi hunian bangunannya.

  Berkembangnya berbagai macam struktur dari masa-kemasa pada bangunan arsitektur merupakan salah satu bukti upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan rasa aman terhadap bahaya intern bangunan itu sendiri. Struktur dalam konteks bangunan arsitektur menurut Sidharta yakni didefinisikan sebagai sarana atau susunan yang saling terkait antar satu dengan yang lain dan dirancang serta dibangun sebagai kesatuan secara menyeluruh, dan mampu memikul segala

  

  macam beban untuk disalurkan kedalam tanah. Macam-macam struktur menurut Sidharta adalah terdiri dari stuktur bangunan berdasarkan pada bentuk geometrisnya, bahan atau kemampuan strukturnya. Sedangkan menurut Frick jenis-jenis struktur bangunan gedung secara sederhana terdiri dari (a) struktur

13 Laurens, Joyce Marcella. Arsitektur dan Perilaku Manusia (Jakarta: Grasindo.

  Cet -1. 2004) 4. 14 Sidharta, Struktur dalam Arsitektur. Dalam Arsitektur dan Pendidikanya:

Kumpulan Karangan Sidharta, (Semarang: Jurusan Arsitektu Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 1998), 137-142. bangunan masif; (b) struktur bangunan pelat dinding; dan (c) struktur bangunan

   rangka.

  Struktur tiang dan balok sebagai bentuk struktur bangunan rangka adalah struktur yang paling umum digunakan manusia dalam membuat bangunan. Bahkan bagi masyarakat modern struktur tiang dan balok seakan dapat menjelaskan perkembangan dan identitas kebudayaan suatu bangsa. Selanjutnya keunikan cara dan jenis bahan yang digunakan sangat ditentukan oleh kebiasaan, keberadaan, biaya pembangunan, dan berbagai kondisi lainnya. Tradisi membangun dengan tiang balok cukup berkembang di wilayah Asia Timur

  

  bahkan juga di Eropa Utara. Lebih lanjut Setiadi menjelaskan bahwa kebudayaan Autronesia yang mendiami wilayah Asia, merupakan kawasan kehidupan yang dekat dengan air dimana umumnya masyarakatnnya mengembangkan budaya bermukim dengan mengandalkan kayu, bambu, alang- alang dan berbagai serat tumbuhan alam lainnya. Penggunaaan bahan-bahan alam tersebut di atas juga terkait wilayah yang mendiami daerah tropis yang mana kaya akan bahan baku alam. Pola hidup manusia primitif pada mulanya adalah hidup dengan berpindah-pindah, dan selanjutnya berkembang menjadi bercocok tanam dan menetap. Perubahan pola hidup terseut selanjutnya juga berpengaruh terhadap hunian atau tempat tinggalnya. Pada masa ini manusia telah memanfaatkan material yang disediakan oleh alam sebagai tempat tinggalnya. Beberapa jenis material atau bahan yang umum digunakan diantaranya adalah batu, kayu, bambu, dan rotan. Bahan-bahan tersebut adalah baik sebagai bahan utama maupun sebagai komponen pelengkap.

  Penggunaan kayu dalam konteks ruang arsitektur secara masal di pulau Jawa menurut Hamzuri yakni dimulai tahun 857 Masehi pada masa kerajaan Mamenang. Bermula dari keinginan Prabu Jayabaya untuk merubah bangunan istananya dari batu dan diganti dengan kayu atas usul dan saran dari Adipati Harya Santang. Sejak saat itu banyak rakyat Mamenang yang meniru dalam 15 Heinz Frick, Arsitektur dan Lingkungan, cet-12, (Yogyakarta: Kanisius, 2003),

  37-38 16 Suptandi Setiadi, Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 73-74.

  

  membuat rumahnya dengan menggunakan kayu. Perubahan penggunaan batu menjadi kayu memiliki banyak keunggulan dibanding yakni: (a) bahan melimpah; (b) bahan tergantikan; (c) mudah dalam mengganti kerusakan; (c) ringan; (d) mudah dalam pengerjaan; (e) karena sifatnya yang ringan sehingga tahan terhadap gempa.

  Mula-mula manusia dalam memenuhi kebutuhannya adalah bersifat substrat alam. Substrat alam yakni material yang dapat ditemukan di alam, dengan langsung mengambil dari alam, dan [atau] dengan sedikit treatment, bahan

  

  tersebut langsung dapat digunakan sebagai bahan baku. Dari berbagai jenis bahan baku alam untuk bangunan arsitektur kayu adalah bahan baku yang paling banyak digunakan oleh manusia. Perkembangan selanjutnya banyak beredar substrat olahan dan substrat sintetis. Adapun bahan substrat olah dan substrat sintetis adalah sebagai pengganti kayu diantaranya adalah plywood, MDF, veneer, HPL, tacoon sheet dan lain-lain.

  Kayu merupakan bahan yang dapat menahan beban tarik dan elemen- elemen horisontal yang mensyaratkan gaya tarik yang sangat baik. Menurut Sidharta bahwa struktur hendaknya: (a) mempunyai kemampuan layanan dalam memikul beban; (b) efisien; (c) cara konstruksi atau pelaksanaannya; (d) harga; (e)

  

  dan kelebihan yang lainya. Selanjutnya pada stuktur tiang dan balok dengan bahan kayu, yang menarik adalah banyak diterapkan konstruksi knock-down. Konstruksi knock down, adalah konstruksi antara materi satu dengan materi

  

  lainnya dapat dilepas atau dibongkar pasang. Sifat konstruksi yang dapat dibongakar pasang sehingga teknik knock down memeliki beberapa kelebihan yakni, (a) bangunan arsitektur dapat dipindah-pindah; (b) memungkinkan mengganti atau perbaikan komponen struktur kapanpun dan dimanapun. Teknik 17 R. Ismunandar, Joglo Rumah Tradisional Jawa, cet-6, (Semarang; Dahara Prize, 2007), 4. 18 Tikno Insufiie, Bisnis Furnitur dan Handicraft Berkualitas Ekspor,

  

Penekanan pada Pengetahuan Dasar Cat dan Teknik Pengecatan (Jakarta: Esensi,

2011), 20. 19 20 Sidharta; 1998, 138-141.

  Eddy S. Marizar, Designing Furniture, Cet-1 (Yogyakarta: Media Pressindo, 2005), 140. konstruksi knock down bahkan pada masa dahulu terkait erat dengan ilmu sihir dan aliran kepercayaan, dan teknik konstruksi knock down juga selaras dengan

   sistem ladang atau pertanian yang berpindah-pindah.

  Bangunan arsitektur dalam pandangan masyarakat Jawa merupakan cermin sikap hidup, kehidupan masyarakatnya yang penuh dengan nuansa mistis atau magis, gaib, sinkretis karena sekaligus juga realistis dan rasional. Merekapun cerdas dalam menganalisa realita dan penanganan praktis masalah pemukiman serta bangunan-bangunan. Dualitas prinsip yang saling kontradiktif dalam bangunan arsitektur namun dapat dipadu dan dipadan, diantaranya adalah sistem

  

petungan , pendopo dengan dinding yang terbuka, struktur rumah berbentuk

panggung atau kolong.

  Bangunan arsitektur berbentuk panggung atau kolong menjadi relialistis dan rasional karena selaras dengan hal-hal sebagai berikut. Pertama, bangunan dengan struktur tiang kayu dan berlantai kolong sangat cocok untuk bangunan pada daerah beriklim tropis. Iklim tropis yakni daerah yang ditandai dengan suhu rata-rata bulanan tidak kurang dari 18°C, curah hujan rata-rata lebih dari 70 cm/tahun, dan tumbuhan yang tumbuh beraneka ragam. Pada daerah beriklim tropis kondisi iklim tidak seekstrim sebagaimana pada daerah beriklim gurun dan daerah beriklim kutub. Kondisi diatas sehingga tumbuh beberapa jenis tumbuh- tumbuhan, tanaman dan bermacam-macam jenis hewan. Tanah yang subur memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tanaman untuk keperluan manusia, di bidang arsitektur khususnya kayu diantaranya adalah untuk struktur kayu sebagaimana sebagaimana disebutkan diatas. Bagi bangsa Indonesia hingga kini bahkan kayu masih diangggap sebagai salah satu komuditas unggulan.

  Kedua , kesuburan tanah dan tumbuhnya berbagai jenis tanaman dan

  tumbuh-tumbuhan, sudah barang tentu hal tersebut juga berdampak pada munculnya bermacam jenis hewan. Klasifikasi hewan yang terdapat didaerah tropis terdapat dibedakan menurut cara berkembangbiaknya, susunan atau anatomi tubuhnya, habitnya, dan klasifikasi khusus lainya. Bermacam-macam 21 Frick; 2001, 35. hewan tersebut selain dapat untuk keperluan konsumsi dan produksi manusia juga terdapat beberapa hewan yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Pada masa lampau bahkan hewan-hewan tertentu dianggap sebagai musuh manusia karena dikenal membahayakan bagi keselamatan manusia, contoh yakni harimau, srigala, ular, kalajengking. Upaya-upaya manusia selanjutnya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memerangi atau menghindari.

  Ketiga , pada daerah beriklim tropis dibanding dengan daerah beriklim

  gurun, salju, dan kutub cukup lembab namun tidak selalu basah sebagaimana daerah kutub yang hampir seluruh wilayahnya dipenuhi dengan es, dan juga kering namun tidak seekstrim pada daerah gurun. Pada daerah tropis curah hujan tinggi terdapat banyak tanah berawa-rawa, sehingga memungkinkan hidup berbagai hewan dan serangga, sifatnya yang lembab dibanding dengan daerah gurun sehingga material tertentu menjadai mudah membusuk.

  Berdasarkan pada beberapa argumen tersebut maka logis jika rumah tinggal di Indonesia didominasi oleh bangunan berstruktur kolong. Adapun beberapa bangunan rumah tinggal tradisional di Indonesia dimana bentuk bangunannya yang berstruktur kolong atau panggung saat ini dapat kita saksikan yakni sebagaimana terdapat di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Bangunan berbentuk kolong pada rumah-rumah tradisional di Nusantara yakni pada masyarakat Suku Sasak Lombok, Rumah Panjang di Kalimantan, Tongkonan di Sulawesi, Rumah Gadang di Padang, Lumbung suku Sasak di Lombok dan lain- lain. Membentang sepenjang bumi Nusantara dimana sebagian besar rumah adat, struktur lantainya adalah berbentuk panggung, hanya beberapa yang struktur lantainya menyatu dengan tanah atau pelataran.

  Bentuk bangunan lantai pelataran dan kolong juga dapat kita amati pada bangunan tradisional, pada beberapa daerah diluar negeri terkait dengan argumentasi diatas. Pada daerah kering yakni sebagaimana pada dataran Arab, dan suku Masai Afrika bangunan adalah menyatu dengan tanah, sebaliknya pada derah beriklim lembab atau tropis banyak ditemukan bangunan dengan struktur lantai berbentuk panggung. Kondisi serupa pada daerah beriklim tropis yakni sebagimana pada bangunan Yagua, Amazon, dan juga di beberapa di daerah di Indonesia sebagai respon manusia terhadap kondisi lingkungan dan iklimnya.

  Berdasarkan kumpulan cerita-cerita tua suatu peristiwa (kronik) yang disusun oleh pengembara-pengembara Tiongkok dan sebagaimana tertuang dalam relief-relief candi, bahwa umumnya rumah tradisional di Jawa adalah dibangun dengan struktur kolong atau panggung, baik yang didirikan di darat maupun di

  

  laut. Namun kini bangunan rumah tinggal di pulau jawa di dominasi oleh bangunan dengan struktur lantai berbentuk pelataran. Beberapa bangunan di pulau Jawa yang berbentuk pangung yang tersisa yakni gardu pos ronda, gazebo, gubung, dan kadang adalah mushola.

  Perubahan struktur kolong menjadi lantai pelataran pada bangunan yakni terjadi pada masa Majapahit Jawa Kuno. Hal tersebut sebagaimana pernyataan Atmadi yang menyatakan bahwa bangunan rumah tinggal pada zaman Majapahit terbagi menjadi tiga kelompok yakni; (a) arsitektur Jawa Kuno; (b) arsitektur Majapahit Lama; (c) dan arsitektur Majapahit akhir. Pada arsitektur Majapahit Jawa Kuno yakni ditandai dengan penggunaan konstruksi kayu yang berdiri di atas tanah dan mempunyai kolong dengan penutup atap dari ijuk atau alang-

   alang.

  Hilangnya penggunaan tiang dan (struktur kolong) di Jawa dan Bali karena munculnya rumah di atas tanah atau pelataran, dan sejak zaman Majapahit yakni ditinggalkanya secara lambat penggunaan unsur nabati (kayu dan bambu sebagai dinding dan kerangka, nipah dan ijuk untuk atap), karena munculnya rumah

  

  tembok yang dibuat dari bata dan genting. Perpindahan struktur rumah kolong kembali menyatu dengan tanah hal tersebut tidak terlepas dari perkembangan material atau bahan untuk pembangunan pemukiman yang mampu melindungi manusia sebagai penghuninya terhadap gangguan binatang dan cuaca. Sedangkan 22 Heinz Frick, Arsitektur dan Lingkungan (Yogyakarta: Kanisius, Cet-12, 2003), 85. 23 Martino Dwi Nugroho, Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintasan Ruang dan Waktu , (Yogyakarta; BID ISI Yogyakarta, 2009), 282. 24 Denis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, Cet- 4, (Jakarta:

  Gramedia Pustaka Utama, 2008), 314 menurut Sopandi, hilangnya stuktur kolong di Jawa dan di Bali tidak lepas dari

   pengaruh kebudayaan China dan India.

  Menarik dicermati adalah analisa Frick tentang perkembangan bangunan yang dimulai dengan bangunan berbahab kayu berbentuk kerucut, mengingatkan kita pada bangunan tradisional Wairebo Kabupaten Manggarai. Dimulai dari kerangka gubug kerucut dengan tanduk bubungan, bergerak menuju kerangka dasar dengan usuk terletak pada bagian atas dan bawah. Di atas bingkai peran

  

  (blandar dan pengerat) terletak konstruksi lantai. Dengan demikian sehingga membentuk bangunan dengan pola lantai panggung atau kolong.

  Dengan demikian sangat mungkin, jika kronik yang disusun para pengembara Tiongkok yang menyatakan jika umumnya rumah tradisional di Jawa adalah dibangun dengan struktur kolong atau panggung, baik yang didirikan di darat maupun di laut. Beberapa argumen diatas memperkuat pernyataan tersebut. Namun demikian, pernyataan tersebut masih banyak menimbulkan banyak pertanyaan kerena pada kenyataanya kini bangunan-bangunan di Jawa, baik yang tradisional dan modern sudah tidak ditemukan lagi bangunan dengan struktur kolong atau panggung sebagaimana terdapat pada pulau-pulau lain di luar Jawa. Struktur lantai di pulau Jawa kini didominasi oleh lantai berbentuk pelataran. Satu-satunya bangunan dengan struktur lantai yang masih dapat kita saksikan adalah gardu pos ronda.

  Pergeseran Fungsi pada Cakruk.

  Keberadaan cakruk atau gardu pos ronda yang sudah cukup lama sehingga cakruk merupakan salah satu saksi sejarah perjalannan bangsa. Sejalan dengan sejarah perjalan bangsa cakruk mengalami pergeseran fungsi pada masing-masing masa. Adapun beberapa fungsi yakni meliputi fungsi fisik, fungsi personal, fungsi sosial. 25 26 Supandi, 2013, 78.

  Heinz Frick, Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia, Cet-5 (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 33Frick, 33 Fungsi sosial gardu pos ronda pada masing-masing masa nampak paling kental dibanding dengan fungsi yang lainya. Periodisasi dalam hal ini yakni meliputi masa kerajaan, masa penjajahan, masa orde baru, dan masa revormasi, dan saat ini. Pada masa kerajaan, dalam hal ini yakni masa kerajaan terakhir di Jawa yang tercermin pada keraton Surakarta dan Yogyakarta. Fungsi sosial gardu pos pada masa ini lebih bersifat penjagaan keamanan yang meliputi lingkungan keraton saja. Masa kolonial gardu pos adalah berfungsi sebagai upaya penjagaan teritorial, sehingga keberadaan gardu pos bisa sangat jauh dari pusat kekuasaan melingkupi wilayah kekuasaannya. Tahap selanjutnya masa penjajahan Jepang pada konteks sosial keberadaan gardu pos ronda tetap sebagai upaya penjagaan wilayah atau teritori, bahkan keberadaanya hingga pada tiap RT.

  Masa pasca kemerdekaan fungsi gardu pos ronda bergeser dari upaya penjagaan teritori keranah politik dan juga berfungsi sebagai ruang publik bagi masyarakat disekitarnya. Pada masa orde baru siskamling merupakan perpanjangan tangan pengawasan polisi ke dalam lingkup lokal, untuk mengawasi

  

  dari kemungkinan gerakan makar terhadap pemerintah. Masa reformasi keberadaan gardu dalam lingkungan sosial masyarakat semakin kental dengan nuansa politiknya, bahkan sebagian besar gardu pos dibeberapa tempat di pada masa ini adalah cermin dari partai politik tertentu. Fungsi sosial sebagai ruang publik yakni adanya aktifitas selain ronda yakni untuk fungsi yang lainya, sebagai contoh yakni untuk bermain anak-anak, untuk kongkow-kongkow para ibu-ibu, sebagai tempat istirahat atau transit para pedagang keliling atau pejalan kaki dan lain-lain.

  Fungsi fisik gardu pos berdasarkan aktifitas yang terdapat didalamnya yakni duduk dan berdiri. Struktur lantai panggung adalah sebagai upaya perlindungan terhadap gangguan binatang, cuaca, dan lingkungannya, selanjutnya struktur lantai berbentuk panggung adalah sebagai upaya penggawasan penjaga dari posisi yang lebih tinggi. Struktur lantai berbentuk pelataran merupakan cermin dari perkembangan material pada bangunan arsitektur. 27 www. jalupamungkas blog.

  Simpulan.

  Berdasarkan berbagai uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Beberapa gardu pos ronda menunjukan adanya struktur lantai yang berbentuk kolong, perlu diketahui bahwa berbentuk struktur kolong atau merupakan ciri arsitektur masa Jawa kuno.

  2. Gardu pos ronda dalam konteks sejarah merupakan saksi perjalanan bangsa, namun demikian pada masing-masing masa mengalami pengembangan fungsi. Fungsi utama adalah fasilitas untuk menjaga keamanan, namun demikian pada perkembangan berikutnya terdapat aktifitas lainya. Aktifitas tersebut diantaranya untuk nongkrong, bermain, istirahat, berdagang dan sebagainya yang tidak terbatas pada waktu tertentu saja..

  Daftar Pustaka.

  Abidin Kusno, 2007, Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa, (Yogyakarta: Ombak).

  Achmad Maulana, 2008, Kamus Ilmiah Populer. (Yogyakarta: Absolud). Bagoes P. Wiryomartono, 1995, Seni Banguan dan Seni Binakota di Indonesia,

  Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam Hingga Sekarang, (Jakarta: Gramedia

  Pustaka Utama) Denis Lombard, 2008, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, Cet- 4, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama). Djoko Soekiman, 2000, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat

  Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX) , (Yogyakarta: Bentang Budaya).

  E. Burke Feldman, 1967, Art as Image and Idea (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc.).

  Eddy S. Marizar, 2005, Designing Furniture, Cet-1 (Yogyakarta: Media Pressindo).

  Heinz Frick, 2003, Arsitektur dan Lingkungan (Yogyakarta: Kanisius, Cet-12). __________, 2001, Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia, Cet-5 (Yogyakarta: Kanisius).

  Laurens, Joyce Marcella, 2004, Arsitektur dan Perilaku Manusia, Cet-1. (Jakarta: Grasindo).

  Matthew B. Miles & A., 1992, Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Terj.

  Tjetjecep Rohendi Rohidi, Cet-1 (Jakarta: UI Press). Martino Dwi Nugroho, Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintasan Ruang dan Waktu , (Yogyakarta; BID ISI Yogyakarta, 2009).

  R. Ismunandar, Joglo Rumah Tradisional Jawa, cet-6, (Semarang; Dahara Prize, 2007).

  S.A. Mangunsuwito, Kamus Bahasa Jawa, (Bandung: Yrama Widya, 2002). Sidharta, 1998, Struktur dalam Arsitektur. Dalam Arsitektur dan Pendidikanya:

  Kumpulan Karangan Sidharta, (Semarang: Jurusan Arsitektu Fakultas Teknik Universitas Diponegoro).

  Suptandi Setiadi, Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013).

  Tikno Insufiie, Bisnis Furnitur dan Handicraft Berkualitas Ekspor, Penekanan

  pada Pengetahuan Dasar Cat dan Teknik Pengecatan (Jakarta: Esensi, 2011).

  Victor Papanek, 1995, The Green Imperative: Ecology and Ethic in Design and Architecture (London: Thames and Hudson).

  Artikel Internet.

  

  F. Sumiyati, Makna Lambang dan Simbul Kentongan dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta)

  Heddy-Shri Ahimsa-Putra, World Culture Forum (WCF), dalam Spesial Dialog dengan Meyriska Sari, (Jakarta: ANTV, 2012), 28 November.

  Surono, Jimpitan: Kearifan Masyarakat Jawa dalam Menjaga Keharmonisan dan Kesejahteraan Sosial. Laporan Penelitian Mandiri (Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM, 2011), 1.

  Tiwuk Sri Rejeki, Laporan Monografi Dinamis Bulan April, (Surakarta: Kelurahan Mojosongo, 2013).

  Yulvianus Harjono, Emansipasi Warga Madani dan Sejahtera dengan Tradisi Jimpitan, Harian KOMPAS 10 Juli 2013.