Teori Temper Tantrum Masalah Perkembanga
TEMPER TANTRUM
Seorang anak berusia 3 ½ tahun, di preschool dia
menunjukkan perilaku yang baik, begitu pula dengan perilakunya
terhadap babysitter-nya. Namun, ketika ibunya mengatakan
“tidak ” untuk permen maupun ingin memakaikannya baju ia
kemudian berubah. Ia marah, melemparkan mainan ke wajah
ibunya, berteriak dengan keras, menangis terus menerus,
bahkan berusaha memukulkan kepalanya di tembok. Tingkah
laku inilah yang pada umumnya disebut temper tantrum.
Temper tantrum merupakan salah satu bentuk masalah
agresifitas
dan
menjadi
manifestasi
dari
kemarahan
yang
berlangsung pada empat tahun awal sejak kelahiran (Bakwin &
Bakwin, 1972). Temper tantrum berkembang dari tangisan dan
rajukan menjadi teriakan, tendangan, memukul dan menahan
nafas. Umumnya ditemukan pada anak yang berusia 1-3 tahun.
Beberapa anak dapat mengalami tantrum yang biasa, sedangkan
untuk anak yang lain, tantrum jarang ditunjukkan oleh mereka.
Rutherford (2001) menyatakan bahwa temperamen anak
sangatlah dramatis, anak berada di dunianya sendiri dengan
temperamen yang mereka atur sendiri, dan beberapa sangat
rapuh terhadap tantrum dibandingkan dengan yang lainnya.
Ketika anak mengalami temper tantrum, ia merasakan
bahwa dengan melakukan hal tersebut keinginannya yang
menyenangkan baginya dapat diperoleh. Hal ini normal bagi
anak berusia 2 sampai 3 tahun, rajukan ini terkadang meningkat
ketika anak merasa orang tuanya terutama ibu membuatnya
frustasi. Pada saat ia marah dia tampak membenci ibunya,
namun dia menunjukkan agresinya dengan jalan menyakiti
dirinya sendiri dan bukan kepada ibunya. Dengan kata lain,
sebenarnya si anak mengekspresikan rasa sayangnya terhadap
si ibu (Herbert, 1975).
Perasaan benci anak sering diiringi dengan perasaan
sayangnya terhadap orang tuanya. Anak membenci ibunya,
bukan karena dia benar-benar membencinya, namun karena ia
menyayangi ibunya sehingga ia menginginkan agar ibunya
mengerti
kemauannya.
Ketika
seseorang
tidak
mengerti
kemauannya inilah, maka ia akan mulai merajuk dan bahkan
menunjukkan temper tantrum.
Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan
energi yang berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada
anak-anak yang dianggap “sulit”, dengan ciri sebagai berikut
(Sarwono, 2003):
1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar yang
tidak teratur.
2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3. lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4. Mood-nya lebih sering negatif.
5. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah atau kesal.
6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Etiologi
Menurut Bakwin & Bakwin (1972) terdapat beberapa
kondisi yang dapat menjadi penyebab anak menunjukkan
luapan kemarahan yang berlebihan dalam bentuk temper
tantrum, yaitu:
A. Anak yang menemukan bahwa luapan kemarahan yang
berlebihan merupakan cara yang efektif dalam mencapai
tujuannya akan mengalami temper tantrum dua kali lebih
banyak dari frekuensi anak yang menemukan bahwa
perilaku tersebut tidak berlaku untuknya. Anak yang terus
sakit-sakitan, pada umumnya ketika masih di preschool,
secara
berkelanjutan
akan
memperlihatkan
disebabkan
oleh
ketidakmampuan
biasanya
memenuhi
keinginannya
sendiri
serta
marah,
untuk
keluarga
yang
mendukung perilakunya ketika ia sakit, sehingga ia tidak
mampu untuk membentuk toleransi terhadap frustasi.
B. Anak yang menjadi subjek ketidakkonsistenan metode
disiplin
akan
menunjukkan
marah
lebih
sering
dibandingkan dengan anak lain, ditambah lagi, ia akan
lebih menolak terhadap berbagai hal yang disuruhkan
kepadanya. Kemarahan ini dapat pula timbul di dalam
keluarga
yang
terdiri
atas
beberapa
orang
dewasa,
disebabkan oleh konflik standar dan metode dari tugas
yang diberikan. Faktor lain yang cenderung meningkatkan
kemarahan adalah kritik dan kecemasan yang berlebihan,
omelan serta perhatian yang berlebih dari orang tua.
C. Marah dapat menjadi kondisional, serta situasi yang secara
normal tidak akan menghasilkan kemarahan ternyata dapat
menimbulkan kemarahan. Misalnya anak yang sedang
bermain, namun kemudian diinterupsi oleh ibunya karena
ibunya ingin mengganti baju si anak. Hal ini dapat
menimbulkan
kemarahan
kesenangannya terganggu.
pada
anak
karena
D. Luapan kemarahan seringkali diimitasi oleh anak. Sebagian
besar
anak
yang
memiliki
temperamen
yang
tidak
terkontrol juga memiliki orang tua yang sama dengannya.
Pengaruh somatik seperti penyakit, kelelahan dan rasa
lapar juga dapat meningkatkan keadaan yang lekas marah.
E. Luapan kemarahan yang eksplosif, tanpa adanya penyebab
yang jelas atau tidak ditemukan stimulus penyebabnya,
pada umumnya dialami oleh anak yang memiliki gangguan
atau kerusakan pada otak. Hal ini terjadi apabila ditemukan
masalah pada hypothalamus yang erat hubungannya
dengan kontrol kortikal.
F.
Anak dengan perkembangan bicara yang lambat atau
defektif seringkali menjadi marah ketika tidak ada orang
yang dapat memahami apa yang ingin disampaikannya.
G. Temper tantrum tanpa adanya masalah atau penyebab
yang muncul atau hanya tampak provokasi yang sedikit,
sering
ditemukan
pada
anak
yang
mengalami
schizophrenia. Reaksi kemarahan mereka dapat muncul
sebagai pelepas rasa cemas.
Menurut Sarwono (2003) temper tantrum dapat disebabkan
oleh:
1. Terhalangnya keinginan anak untuk mendapatkan sesuatu.
2. Ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan diri karena
keterbatasan bahasa yang mereka miliki.
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan anak, terutama bagi anak
yang aktif, karena kebutuhan akan ruang dan waktu yang
cukup untuk selalu bergerak sangat krusial bagi mereka.
4. Pola asuh orang tua yang seringkali berlebihan di mata
anak.
5. Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit.
6. Anak sedang stress maupun tidak merasa aman.
Perilaku Anak yang Mengalami temper Tantrum
Manifestasi
perilaku
anak
yang
mengalami
temper
tantrum menurut Sarwono (2003) adalah:
1. Di bawah usia 3 tahun:
a. Menangis, memekik-mekik dan menjerit dengan keras
b. Menggigit
c. Memukul dan menendang
d. Melengkungkan punggung
e. Melempar barang maupun badan ke lantai
f. Membenturkan kepala dan memukul-mukulkan tangan
g. Menahan nafas
2. Usia 3 – 4 tahun:
a. Menunjukkan perilaku yang sama dengan di bawah usia 3
tahun
b. Merengek-rengek dan berteriak
c. Mengkritik
d. Meninju dan membanting pintu
3. Usia 5 tahun ke atas:
a. Menunjukkan perilaku yang sama dengan di bawah usia 4
tahun
b. Memaki dan menyumpah
c. Memukul saudara maupun teman
d. Memcahkan barang dengan sengaja
e. Mengkritik diri sendiri
f. Mengancam
Management of Temper Tantrum
Cara terbaik dalam menghadapi temper tantrum adalah
dengan cara mencoba untuk menghindarinya kapanpun hal
tersebut bisa dilakukan, atau dengan kata lain lakukan
tindakan pencegahan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
beberapa cara (Rutherford, 2001) yaitu:
A. Cari tahu terlebih dahulu bahwa anak merajuk disebabkan
oleh apa.
B. Berusaha untuk menetapkan kebiasaan
di mana anak
senang melakukannya, karena dengan begitu anak akan
merasa diberi penghargaan yang positif.
C. Memberi kontrol terhadap hal-hal kecil kepada anak, cara ini
dapat memenuhi kebutuhan anak untuk mandiri dan dapat
pula menunda munculnya tantrum. Berikan pilihan kecil,
misalnya minum jus jeruk atau jus apel? Dengan begini anak
akan
lebih
menunjukkan
kemandirian
pilihannya
dibandingkan dengan menjawab tidak.
D.Berikan pengajaran kepada anak agar berusaha melakukan
sesuatu dengan tangannya sendiri, ini dapat dimulai dengan
mengajarkan anak menggunakan tangan sendiri ketika
makan.
E. Ambil keuntungan terhadap pengalihan perhatian anak,
dengan begitu anak bisa dialihkan perhatiannya dari objek
yang membuatnya frustasi atau objek yang dilarang. Atau
ubah lingkungannya, seperti mengajak anak ke suatu
tempat.
F. Ketika
anak
menginginkan
sesuatu,
pertimbangkan
permintaannya sebaik mungkin, bahkan bila perlu gunakan
akal untuk mengelabuinya.
Ketika anak mulai melakukan temper tantrum, tetaplah
tenang. Karena anak yang sedang meningkat emosinya, akan
lebih emosi lagi apabila orang di sekitarnya menjadi frustasi
atau kebingungan untuk melakukan sesuatu. Tariklah nafas
yang
panjang,
dan
berpikirlah
dengan
jelas.
Jangan
memberikan pukulan kepada anak ketika ia sedang marah,
karena hal tersebut tidak akan membantu. Amankan situasi
sambil mencoba mencari tahu sumber kemarahan anak. Ketika
anak melakukan temper tantrum disebabkan oleh hal kecil,
abaikan dia, namun tetaplah perhatikan gerak-geriknya tanpa
sepengetahuan anak. Ini bertujuan agar anak dapat belajar
bahwa apa yang dilakukannya tidak akan menghasilkan apaapa. Apabila anak mulai menyakiti dirinya sendiri, bawalah ia
ke tempat terpencil atau yang tenang, atau peganglah dia
selama beberapa saat, sambil berusaha menenangkannya. Jika
anak yang melakukan temper tantrum sudah mencapai usia
sekolah, perintahkan kepada anak untuk masuk ke kamarnya.
Katakan padanya agar dia harus terus berada di kamar sampai
dia sudah tenang kembali (McDaniel, 2000).
Frekuensi luapan kemarahan dapat dikurangi dengan jalan
menghindari pengekangan yang tidak berguna, pembatasan,
sayarat yang berlebihan, penentuan tugas yang tidak masuk
akal, dan kesewenang-wenangan (Connely, 2001). Yang paling
penting adalah perilaku yang konsisten dari orang tua
sehingga
dapat
membantu
anak
dalam
mempelajari
keseragaman pengalaman. Hal ini tidak berarti bahwa perilaku
yang ditunjukkan akan bersifat mekanis terhadap rutinitas
sehari-hari. Anak harus diajarkan untuk memiliki penghargaan
atau rasa hormat yang sesuai terhadap hak dan opini orang
lain (Herbert, 1975).
Ketika anak telah melakukan tantrum, jangan berikan
reward dalam bentuk apapun kepadanya. Karena hanya akan
menunjukkan bahwa perilakunya efektif. Selain itu, jangan
memberikan hukuman, tapi berikanlah kata-kata yang dapat
membantunya dalam mengontrol dirinya kembali. Berikan
pelukan dan tunjukkan kepadanya bahwa dia selalu disayangi
(Rutherford, 2001).
Menangani Temper Tantrum
Belajar untuk menangani luapan perilaku dan tantrum
merupakan peran besar orang tua. Berbagai masalah perilaku
dan kebingungan dapat ditangani oleh anak apabila anak telah
diajarkan terlebih dahulu mengenai kontrol diri.
A. Apakah kontrol diri itu?
Kontrol diri merupakan kemampuan untuk membuat
pilihan mengenai bagaimana seseorang berperilaku dan
bertindak dibandingkan dengan hanya percaya kepada
impuls yang datang (Connely, 2001). Dengan melatih kontrol
diri, anak akan belajar untuk membuat keputusan yang
paling
tepat
dan
memilih
perilaku
yang
lebih
dapat
memberikan hasil yang positif.
B. Mengapa kontrol diri sangat penting?
Kontrol
diri
merupakan
hal
yang
kritikal
dalam
membangun hubungan dengan orang lain. kontrol diri dapat
mencegah
perilaku
impulsif
yang
dapat
membentuk
konsekuensi yang berbahaya atau negatif (McDaniel, 2000).
Tanpa kontrol diri, anak akan berkata dan bertindak tanpa
memikirkan konsekuensinya. Hal ini tidak hanya akan dapat
menempatkan mereka ke dalam situasi yang frustasi, yang
akan membuat anak lebih susah lagi dalam mengontrol
dirinya sendiri, namun, juga dapat menempatkan mereka ke
dalam situasi yang berbahaya. Mengajarkan anak mengenai
kontrol diri akan membantunya dalam berhubungan dengan
kawan sebaya dan keluarga, serta akan membuatnya
merasa aman.
C. Bagaimana membantu anak dalam membangun kontrol
dirinya?
Terdapat beberapa saran untuk membantu anak dalam
belajar mengontrol perilakunya sesuai dengan tingkatan
umur yang dimilikinya (Rutherford, 2001) yaitu:
1. Usia lahir – 2 tahun; bayi dan balita sering mengalami
frustasi karena terdapat perbedaan yang besar antara
yang ingin mereka lakukan dengan tingkat keterampilan
mereka
yang
sebenarnya.
Karena
itu
mulailah
memberikan contoh yang sederhana, selain itu anak pada
usia ini sangat mudah untuk dialihkan perhatiannya,
sehingga dapat memberikan kesempatan untuk merubah
objek
yang
membuatnya
stress.
Dan
ketika
anak
mencapai usia 2 tahun, dapat diajarkan bagaimana
berhenti sebentar ketika sedang melakukan sesuatu.
2. Usia 3 – 5 tahun; ajari anak untuk menggunakan
waktunya dengan baik, mintalah anak untuk berhenti dan
tenang selama beberapa waktu ketika anak mulai kesal
terhadap sesuatu.
3. Usia 6 – 9 tahun; ajari anak mengenai beberapa strategi
sederhana untuk menyelesaikan masalahnya. Selain itu,
bantulah
anak
untuk
melepaskan
stress
dengan
mengajarkannya menarik nafas yang panjang selama
beberapa detik, atau dengan membantunya mencari
aktivitas lain yang lebih seru buatnya.
4. Usia 10 – 17 tahun; ajari anak untuk memikirkan
konsekuensi
apa
yang
akan
diterimanya
apabila
melakukan sesuatu, berikan petunjuk yang sesuai dengan
kebutuhan
anak
masalahnya,
menyelesaikan
mengenai
namun,
biarkan
masalah
yang
hal-hal
yang
anak
menjadi
sendiri
dihadapinya.
yang
Ajarkan
kedisiplinan kepada anak terhadap hal-hal yang sangat
krusial,
misalnya
disiplin
dalam
mematuhi
waktu.
Tunjukkan contoh yang baik kepada anak.
Kebutuhan Terhadap Dokter atau Psikolog Anak
Anak harus dikonsultasikan kepada dokter atau psikolog
apabila:
1. Terdapat pertanyaan menganai apa yang harus dilakukan
oleh orang tua atau apa yang sedang dilakukan oleh si anak.
2. Tantrum
muncul
lebih
sering
atau
lebih
lama
bila
dibandingkan dengan tindakan antisipasinya.
3. Orang tua tidak merasa nyaman dengan respon dari anak.
4. Tantrum mulai menghasilkan perasaan yang tidak enak pada
anak maupun pada orang tua.
5. Tantrum
mulai
bertambah
intensitasnya,
frekuensinya,
maupun durasinya.
Dokter sangat dibutuhkan untuk memeriksa adanya
masalah fisik yang dapat memberikan kontribusi kepada
tantrum, walaupun hal tersebut jarang terjadi, misalnya
gangguan bicara, penyakit kronis, maupun ketidakmampuan
belajar.
Pada anak usia sekolah, tanda yang mengindikasikan
bahwa anak lebih baik mengunjungi psikolog anak adalah:
1. Jarang beristirahat
2. Impulsif
3. Senang menantang
4. Sangat sulit untuk berkonsentrasi
5. Rendahnya kepercayaan dan penilaian terhadap diri
6. Penurunan
kemampuan
(Rutherford, 2001).
dan
penampilan
di
sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Bakwin, H., Bakwin, R. M. 1972. Behavior Disorder in Children.
Philadelphia: WB Saunders Company.
Connely, K.P. 2001. The Truth About Temper Tantrum, Temper
Tantrum
(Three-and
One-Half-Year-Old),
(online),
(www.kiddiekorp.com, diakses tanggal 5 Juni 2004).
Herbert, M. 1975. Problems of Childhood, A Complete guide for
All Concerned. London: Panbooks Ltd.
McDaniel, S.S. 2000. Temper Tantrum Question, (online),
(www.sandymcdaniel.com, diakses tanggal 5 Juni 2004).
Rutherford,
K.
2001.
Temper
Tantrum,
(www.kidshealth.org, diakses tanggal 5 Juni 2004).
(online),
Sarwono, S. 2003. Amuk (Makalah 4). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Seorang anak berusia 3 ½ tahun, di preschool dia
menunjukkan perilaku yang baik, begitu pula dengan perilakunya
terhadap babysitter-nya. Namun, ketika ibunya mengatakan
“tidak ” untuk permen maupun ingin memakaikannya baju ia
kemudian berubah. Ia marah, melemparkan mainan ke wajah
ibunya, berteriak dengan keras, menangis terus menerus,
bahkan berusaha memukulkan kepalanya di tembok. Tingkah
laku inilah yang pada umumnya disebut temper tantrum.
Temper tantrum merupakan salah satu bentuk masalah
agresifitas
dan
menjadi
manifestasi
dari
kemarahan
yang
berlangsung pada empat tahun awal sejak kelahiran (Bakwin &
Bakwin, 1972). Temper tantrum berkembang dari tangisan dan
rajukan menjadi teriakan, tendangan, memukul dan menahan
nafas. Umumnya ditemukan pada anak yang berusia 1-3 tahun.
Beberapa anak dapat mengalami tantrum yang biasa, sedangkan
untuk anak yang lain, tantrum jarang ditunjukkan oleh mereka.
Rutherford (2001) menyatakan bahwa temperamen anak
sangatlah dramatis, anak berada di dunianya sendiri dengan
temperamen yang mereka atur sendiri, dan beberapa sangat
rapuh terhadap tantrum dibandingkan dengan yang lainnya.
Ketika anak mengalami temper tantrum, ia merasakan
bahwa dengan melakukan hal tersebut keinginannya yang
menyenangkan baginya dapat diperoleh. Hal ini normal bagi
anak berusia 2 sampai 3 tahun, rajukan ini terkadang meningkat
ketika anak merasa orang tuanya terutama ibu membuatnya
frustasi. Pada saat ia marah dia tampak membenci ibunya,
namun dia menunjukkan agresinya dengan jalan menyakiti
dirinya sendiri dan bukan kepada ibunya. Dengan kata lain,
sebenarnya si anak mengekspresikan rasa sayangnya terhadap
si ibu (Herbert, 1975).
Perasaan benci anak sering diiringi dengan perasaan
sayangnya terhadap orang tuanya. Anak membenci ibunya,
bukan karena dia benar-benar membencinya, namun karena ia
menyayangi ibunya sehingga ia menginginkan agar ibunya
mengerti
kemauannya.
Ketika
seseorang
tidak
mengerti
kemauannya inilah, maka ia akan mulai merajuk dan bahkan
menunjukkan temper tantrum.
Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan
energi yang berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada
anak-anak yang dianggap “sulit”, dengan ciri sebagai berikut
(Sarwono, 2003):
1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar yang
tidak teratur.
2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3. lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4. Mood-nya lebih sering negatif.
5. Mudah terprovokasi, gampang merasa marah atau kesal.
6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Etiologi
Menurut Bakwin & Bakwin (1972) terdapat beberapa
kondisi yang dapat menjadi penyebab anak menunjukkan
luapan kemarahan yang berlebihan dalam bentuk temper
tantrum, yaitu:
A. Anak yang menemukan bahwa luapan kemarahan yang
berlebihan merupakan cara yang efektif dalam mencapai
tujuannya akan mengalami temper tantrum dua kali lebih
banyak dari frekuensi anak yang menemukan bahwa
perilaku tersebut tidak berlaku untuknya. Anak yang terus
sakit-sakitan, pada umumnya ketika masih di preschool,
secara
berkelanjutan
akan
memperlihatkan
disebabkan
oleh
ketidakmampuan
biasanya
memenuhi
keinginannya
sendiri
serta
marah,
untuk
keluarga
yang
mendukung perilakunya ketika ia sakit, sehingga ia tidak
mampu untuk membentuk toleransi terhadap frustasi.
B. Anak yang menjadi subjek ketidakkonsistenan metode
disiplin
akan
menunjukkan
marah
lebih
sering
dibandingkan dengan anak lain, ditambah lagi, ia akan
lebih menolak terhadap berbagai hal yang disuruhkan
kepadanya. Kemarahan ini dapat pula timbul di dalam
keluarga
yang
terdiri
atas
beberapa
orang
dewasa,
disebabkan oleh konflik standar dan metode dari tugas
yang diberikan. Faktor lain yang cenderung meningkatkan
kemarahan adalah kritik dan kecemasan yang berlebihan,
omelan serta perhatian yang berlebih dari orang tua.
C. Marah dapat menjadi kondisional, serta situasi yang secara
normal tidak akan menghasilkan kemarahan ternyata dapat
menimbulkan kemarahan. Misalnya anak yang sedang
bermain, namun kemudian diinterupsi oleh ibunya karena
ibunya ingin mengganti baju si anak. Hal ini dapat
menimbulkan
kemarahan
kesenangannya terganggu.
pada
anak
karena
D. Luapan kemarahan seringkali diimitasi oleh anak. Sebagian
besar
anak
yang
memiliki
temperamen
yang
tidak
terkontrol juga memiliki orang tua yang sama dengannya.
Pengaruh somatik seperti penyakit, kelelahan dan rasa
lapar juga dapat meningkatkan keadaan yang lekas marah.
E. Luapan kemarahan yang eksplosif, tanpa adanya penyebab
yang jelas atau tidak ditemukan stimulus penyebabnya,
pada umumnya dialami oleh anak yang memiliki gangguan
atau kerusakan pada otak. Hal ini terjadi apabila ditemukan
masalah pada hypothalamus yang erat hubungannya
dengan kontrol kortikal.
F.
Anak dengan perkembangan bicara yang lambat atau
defektif seringkali menjadi marah ketika tidak ada orang
yang dapat memahami apa yang ingin disampaikannya.
G. Temper tantrum tanpa adanya masalah atau penyebab
yang muncul atau hanya tampak provokasi yang sedikit,
sering
ditemukan
pada
anak
yang
mengalami
schizophrenia. Reaksi kemarahan mereka dapat muncul
sebagai pelepas rasa cemas.
Menurut Sarwono (2003) temper tantrum dapat disebabkan
oleh:
1. Terhalangnya keinginan anak untuk mendapatkan sesuatu.
2. Ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan diri karena
keterbatasan bahasa yang mereka miliki.
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan anak, terutama bagi anak
yang aktif, karena kebutuhan akan ruang dan waktu yang
cukup untuk selalu bergerak sangat krusial bagi mereka.
4. Pola asuh orang tua yang seringkali berlebihan di mata
anak.
5. Anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit.
6. Anak sedang stress maupun tidak merasa aman.
Perilaku Anak yang Mengalami temper Tantrum
Manifestasi
perilaku
anak
yang
mengalami
temper
tantrum menurut Sarwono (2003) adalah:
1. Di bawah usia 3 tahun:
a. Menangis, memekik-mekik dan menjerit dengan keras
b. Menggigit
c. Memukul dan menendang
d. Melengkungkan punggung
e. Melempar barang maupun badan ke lantai
f. Membenturkan kepala dan memukul-mukulkan tangan
g. Menahan nafas
2. Usia 3 – 4 tahun:
a. Menunjukkan perilaku yang sama dengan di bawah usia 3
tahun
b. Merengek-rengek dan berteriak
c. Mengkritik
d. Meninju dan membanting pintu
3. Usia 5 tahun ke atas:
a. Menunjukkan perilaku yang sama dengan di bawah usia 4
tahun
b. Memaki dan menyumpah
c. Memukul saudara maupun teman
d. Memcahkan barang dengan sengaja
e. Mengkritik diri sendiri
f. Mengancam
Management of Temper Tantrum
Cara terbaik dalam menghadapi temper tantrum adalah
dengan cara mencoba untuk menghindarinya kapanpun hal
tersebut bisa dilakukan, atau dengan kata lain lakukan
tindakan pencegahan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
beberapa cara (Rutherford, 2001) yaitu:
A. Cari tahu terlebih dahulu bahwa anak merajuk disebabkan
oleh apa.
B. Berusaha untuk menetapkan kebiasaan
di mana anak
senang melakukannya, karena dengan begitu anak akan
merasa diberi penghargaan yang positif.
C. Memberi kontrol terhadap hal-hal kecil kepada anak, cara ini
dapat memenuhi kebutuhan anak untuk mandiri dan dapat
pula menunda munculnya tantrum. Berikan pilihan kecil,
misalnya minum jus jeruk atau jus apel? Dengan begini anak
akan
lebih
menunjukkan
kemandirian
pilihannya
dibandingkan dengan menjawab tidak.
D.Berikan pengajaran kepada anak agar berusaha melakukan
sesuatu dengan tangannya sendiri, ini dapat dimulai dengan
mengajarkan anak menggunakan tangan sendiri ketika
makan.
E. Ambil keuntungan terhadap pengalihan perhatian anak,
dengan begitu anak bisa dialihkan perhatiannya dari objek
yang membuatnya frustasi atau objek yang dilarang. Atau
ubah lingkungannya, seperti mengajak anak ke suatu
tempat.
F. Ketika
anak
menginginkan
sesuatu,
pertimbangkan
permintaannya sebaik mungkin, bahkan bila perlu gunakan
akal untuk mengelabuinya.
Ketika anak mulai melakukan temper tantrum, tetaplah
tenang. Karena anak yang sedang meningkat emosinya, akan
lebih emosi lagi apabila orang di sekitarnya menjadi frustasi
atau kebingungan untuk melakukan sesuatu. Tariklah nafas
yang
panjang,
dan
berpikirlah
dengan
jelas.
Jangan
memberikan pukulan kepada anak ketika ia sedang marah,
karena hal tersebut tidak akan membantu. Amankan situasi
sambil mencoba mencari tahu sumber kemarahan anak. Ketika
anak melakukan temper tantrum disebabkan oleh hal kecil,
abaikan dia, namun tetaplah perhatikan gerak-geriknya tanpa
sepengetahuan anak. Ini bertujuan agar anak dapat belajar
bahwa apa yang dilakukannya tidak akan menghasilkan apaapa. Apabila anak mulai menyakiti dirinya sendiri, bawalah ia
ke tempat terpencil atau yang tenang, atau peganglah dia
selama beberapa saat, sambil berusaha menenangkannya. Jika
anak yang melakukan temper tantrum sudah mencapai usia
sekolah, perintahkan kepada anak untuk masuk ke kamarnya.
Katakan padanya agar dia harus terus berada di kamar sampai
dia sudah tenang kembali (McDaniel, 2000).
Frekuensi luapan kemarahan dapat dikurangi dengan jalan
menghindari pengekangan yang tidak berguna, pembatasan,
sayarat yang berlebihan, penentuan tugas yang tidak masuk
akal, dan kesewenang-wenangan (Connely, 2001). Yang paling
penting adalah perilaku yang konsisten dari orang tua
sehingga
dapat
membantu
anak
dalam
mempelajari
keseragaman pengalaman. Hal ini tidak berarti bahwa perilaku
yang ditunjukkan akan bersifat mekanis terhadap rutinitas
sehari-hari. Anak harus diajarkan untuk memiliki penghargaan
atau rasa hormat yang sesuai terhadap hak dan opini orang
lain (Herbert, 1975).
Ketika anak telah melakukan tantrum, jangan berikan
reward dalam bentuk apapun kepadanya. Karena hanya akan
menunjukkan bahwa perilakunya efektif. Selain itu, jangan
memberikan hukuman, tapi berikanlah kata-kata yang dapat
membantunya dalam mengontrol dirinya kembali. Berikan
pelukan dan tunjukkan kepadanya bahwa dia selalu disayangi
(Rutherford, 2001).
Menangani Temper Tantrum
Belajar untuk menangani luapan perilaku dan tantrum
merupakan peran besar orang tua. Berbagai masalah perilaku
dan kebingungan dapat ditangani oleh anak apabila anak telah
diajarkan terlebih dahulu mengenai kontrol diri.
A. Apakah kontrol diri itu?
Kontrol diri merupakan kemampuan untuk membuat
pilihan mengenai bagaimana seseorang berperilaku dan
bertindak dibandingkan dengan hanya percaya kepada
impuls yang datang (Connely, 2001). Dengan melatih kontrol
diri, anak akan belajar untuk membuat keputusan yang
paling
tepat
dan
memilih
perilaku
yang
lebih
dapat
memberikan hasil yang positif.
B. Mengapa kontrol diri sangat penting?
Kontrol
diri
merupakan
hal
yang
kritikal
dalam
membangun hubungan dengan orang lain. kontrol diri dapat
mencegah
perilaku
impulsif
yang
dapat
membentuk
konsekuensi yang berbahaya atau negatif (McDaniel, 2000).
Tanpa kontrol diri, anak akan berkata dan bertindak tanpa
memikirkan konsekuensinya. Hal ini tidak hanya akan dapat
menempatkan mereka ke dalam situasi yang frustasi, yang
akan membuat anak lebih susah lagi dalam mengontrol
dirinya sendiri, namun, juga dapat menempatkan mereka ke
dalam situasi yang berbahaya. Mengajarkan anak mengenai
kontrol diri akan membantunya dalam berhubungan dengan
kawan sebaya dan keluarga, serta akan membuatnya
merasa aman.
C. Bagaimana membantu anak dalam membangun kontrol
dirinya?
Terdapat beberapa saran untuk membantu anak dalam
belajar mengontrol perilakunya sesuai dengan tingkatan
umur yang dimilikinya (Rutherford, 2001) yaitu:
1. Usia lahir – 2 tahun; bayi dan balita sering mengalami
frustasi karena terdapat perbedaan yang besar antara
yang ingin mereka lakukan dengan tingkat keterampilan
mereka
yang
sebenarnya.
Karena
itu
mulailah
memberikan contoh yang sederhana, selain itu anak pada
usia ini sangat mudah untuk dialihkan perhatiannya,
sehingga dapat memberikan kesempatan untuk merubah
objek
yang
membuatnya
stress.
Dan
ketika
anak
mencapai usia 2 tahun, dapat diajarkan bagaimana
berhenti sebentar ketika sedang melakukan sesuatu.
2. Usia 3 – 5 tahun; ajari anak untuk menggunakan
waktunya dengan baik, mintalah anak untuk berhenti dan
tenang selama beberapa waktu ketika anak mulai kesal
terhadap sesuatu.
3. Usia 6 – 9 tahun; ajari anak mengenai beberapa strategi
sederhana untuk menyelesaikan masalahnya. Selain itu,
bantulah
anak
untuk
melepaskan
stress
dengan
mengajarkannya menarik nafas yang panjang selama
beberapa detik, atau dengan membantunya mencari
aktivitas lain yang lebih seru buatnya.
4. Usia 10 – 17 tahun; ajari anak untuk memikirkan
konsekuensi
apa
yang
akan
diterimanya
apabila
melakukan sesuatu, berikan petunjuk yang sesuai dengan
kebutuhan
anak
masalahnya,
menyelesaikan
mengenai
namun,
biarkan
masalah
yang
hal-hal
yang
anak
menjadi
sendiri
dihadapinya.
yang
Ajarkan
kedisiplinan kepada anak terhadap hal-hal yang sangat
krusial,
misalnya
disiplin
dalam
mematuhi
waktu.
Tunjukkan contoh yang baik kepada anak.
Kebutuhan Terhadap Dokter atau Psikolog Anak
Anak harus dikonsultasikan kepada dokter atau psikolog
apabila:
1. Terdapat pertanyaan menganai apa yang harus dilakukan
oleh orang tua atau apa yang sedang dilakukan oleh si anak.
2. Tantrum
muncul
lebih
sering
atau
lebih
lama
bila
dibandingkan dengan tindakan antisipasinya.
3. Orang tua tidak merasa nyaman dengan respon dari anak.
4. Tantrum mulai menghasilkan perasaan yang tidak enak pada
anak maupun pada orang tua.
5. Tantrum
mulai
bertambah
intensitasnya,
frekuensinya,
maupun durasinya.
Dokter sangat dibutuhkan untuk memeriksa adanya
masalah fisik yang dapat memberikan kontribusi kepada
tantrum, walaupun hal tersebut jarang terjadi, misalnya
gangguan bicara, penyakit kronis, maupun ketidakmampuan
belajar.
Pada anak usia sekolah, tanda yang mengindikasikan
bahwa anak lebih baik mengunjungi psikolog anak adalah:
1. Jarang beristirahat
2. Impulsif
3. Senang menantang
4. Sangat sulit untuk berkonsentrasi
5. Rendahnya kepercayaan dan penilaian terhadap diri
6. Penurunan
kemampuan
(Rutherford, 2001).
dan
penampilan
di
sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Bakwin, H., Bakwin, R. M. 1972. Behavior Disorder in Children.
Philadelphia: WB Saunders Company.
Connely, K.P. 2001. The Truth About Temper Tantrum, Temper
Tantrum
(Three-and
One-Half-Year-Old),
(online),
(www.kiddiekorp.com, diakses tanggal 5 Juni 2004).
Herbert, M. 1975. Problems of Childhood, A Complete guide for
All Concerned. London: Panbooks Ltd.
McDaniel, S.S. 2000. Temper Tantrum Question, (online),
(www.sandymcdaniel.com, diakses tanggal 5 Juni 2004).
Rutherford,
K.
2001.
Temper
Tantrum,
(www.kidshealth.org, diakses tanggal 5 Juni 2004).
(online),
Sarwono, S. 2003. Amuk (Makalah 4). Jakarta: Universitas
Indonesia.