Perbedaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi antara Siswa yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) pada Konsep Fungi.

(1)

LEARNING

) DAN PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK

(

PROJECT BASED LEARNING

) PADA KONSEP FUNGI

(Penelitian Kuasi Eksperimen di SMAN 39 Jakarta)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

LATIFA NURRACHMAN

1110016100023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) pada Konsep Fungi, Skripsi, Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan pembelajaran berbasis proyek (project based learning) pada konsep fungi. Penelitian ini dilakukan di SMAN 39 Jakarta Tahun Pelajaran 2014/2015 dengan metode kuasi eksperimen yang menggunakan desain two group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas X MIA 1 berjumlah 36 orang sebagai kelas eksperimen I (kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah) dan siswa kelas X MIA 2 berjumlah 36 orang sebagai kelas eksperimen II (kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis proyek). Instrumen penelitian berupa soal uraian sebanyak 15 soal dan lembar observasi guru. Analisis data kedua kelompok menggunakan uji beda Mann Whitney U, diperoleh harga signifikansi sebesar 0,264 lebih besar

dari harga alpha sebesar 0,05 (Sig > α ). Hal ini menunjukkan tidak terdapat

perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) dan pembelajaran berbasis proyek (project based learning) pada konsep fungi.

Kata kunci : Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi, Pembelajaran Berbasis Masalah, Pembelajaran Berbasis Proyek


(6)

vi

Program, Department of Natural Science Education, Faculty of Tarbiya and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.

The aim of this research study is to determine the differences high order thinking skill between students using problem based learning model and project based learning model on the concept of fungi. This research was conducted at SMAN 39 Jakarta academic year 2014/2005 with a quasi experimental method which uses two design group pretest posttest design. Sampling in this study was purposive sampling technique. The sample were class X MIA 1 with 36 students as the first experimental class (class using problem based learning model) and X MIA 1 with 36 students as the second experimental class (class using project based learning model). The instrument test were an essay test consist of 15 question and teacher observation sheet. Data analysis the two groups was Mann Whitney U test, the result of significance value is 0,264 over alpha value 0,05

(Sig > α). This suggest that there were no differences high order thinking skill

between students using problem based learning model and project based learning model on the concept of fungi.

Keyword : High Order Thinking Skill, Problem Based Learning, Project Based Learning


(7)

vii

dengan ridho-Nya yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi dengan judul Perbedaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi antara Siswa yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) pada Konsep Fungi.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasihkepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Baiq Hana Susanti, M.Sc., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Zulfiani, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Zulfiani, M.Pd., Dosen pembimbing I dan Dr. Yanti Herlanti, M.Pd., Dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Meiry F. Noor, M.Si., Dosen pembimbing akademik pendidikan biologi A 2010 yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan.

6. Seluruh dosen dan staf karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bantuan untuk menyelesaikan penelitian ini.

7. Drs. H. Sukandi, MM., Kepala Sekolah SMA Negeri 39 Jakarta yang telah memberi izin untuk melaksanakan penelitian ini dan Dra. Tri Hardani, guru bidang studi Biologi Kelas X SMA Negeri 39 Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan arahan.


(8)

viii memberikan motivasi kepada penulis.

10. Seluruh kawan-kawan Pendidikan Biologi 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih selalu memberikan semangat dan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.

11. Seluruh kawan-kawan PPKT SMA Negeri 4 Depok yaitu Aldian Kurnia Putra, Bayu Purnomo, Kurnia Dewi N, Ardi Wahyudi, dan Mulianingsih yang selalu memberikan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.

12. Asisten laboratorium pendidikan kimia dan pendidikan biologi FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.

13. Kawan-kawanku, Anastasya desy P, Amalia Amin, Zulfah F, Sekar Wisma W, Anas Binazar yang telah memberikan semangat dalam penelitian ini. 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung

maupun tidak langsung, penulis mengucapkan terima kasih.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya.

Jakarta, Mei 2015


(9)

ix

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah………...5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Kajian Teoritis ... 8

1. Kajian Teoritis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 8

2. Kajian Teoritis Teori Belajar Konstruktivisme ... 24

3. Kajian Teoritis Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) ... 28

4. Tinjauan Konsep Fungi ... 42

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 44


(10)

x

B. Metode Penelitian ... 50

C. Variabel Penelitian ... 51

D. Populasi dan Sampel ... 51

E. Teknik Pengumpulan Data ... 52

F. Instrumen Penelitian ... 52

G. Prosedur Penelitian ... 56

H. Kalibrasi Instrumen ... 57

I. Teknik Analisis Data ... 61

J. Hipotesis Statistik ... 67

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 68

1. Data Hasil Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II... 68

2. Data Hasil Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah) Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II... 73

B. Analisis Data Tes Hasil Belajar ... 77

1. Uji Normalitas ... 77

2. Uji Beda Gain (Uji Mann Whitney U) Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 78

3. Uji Homogenitas Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah ... 79

4. Uji Hipotesis Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah ... 80

C. Data Hasil Observasi Kegiatan Pembelajaran ... 80

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 81

BAB VPENUTUP A. Kesimpulan ... 89


(11)

xi


(12)

xii

Tabel 2.2Sintaks PBL ... 31

Tabel 2.3KI dan KD Konsep Fungi ... 42

Tabel 3.1Tahapan Persiapan, Uji Coba, dan Penelitian ... 49

Tabel 3.2Jadwal Penelitian Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II ... 50

Tabel 3.3Desain Penelitian... 51

Tabel 3.4 Kisi-Kisi Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Konsep Fungi ... 53

Tabel 3.5 Kisi-Kisi Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Konsep Fungi ... 55

Tabel 3.6Interpretasi Kriteria Realibilitas Instrumen... 59

Tabel 3.7Interpretasi Tingkat Kesukaran ... 60

Tabel 3.8Interpretasi Daya Pembeda ... 60

Tabel 4.1 Pretest, Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) ... 68

Tabel 4.2 Hasil Ketercapaian Belajar (Keterampilan Berpikir TingkatTinggi) Sub-Konsep Pretest,Posttest, dan N-Gain Kelas Eksperimen I danKelas Eksperimen II ... 69

Tabel 4.3Hasil Ketercapaian Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) Ranah Pengetahuan dan Jenjang Kognitif Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II ... 72

Tabel 4.4Hasil N-Gain (Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi) Ranah Pengetahuan dan Jenjang Kognitif Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II ... 72

Tabel 4.5 Pretest, Posttest, dan N-Gain Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II (Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah) ... 73 Tabel 4.6Hasil Ketercapaian Belajar (Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah)


(13)

xiii

dan Kelas EksperimenII ... 75 Tabel 4.8Uji Normalitas Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Siswa Kelompok Eksperimen I dan Eksperimen II ... 77 Tabel 4.9Uji Normalitas Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah

Siswa Kelompok Eksperimen I dan Eksperimen II ... 78 Tabel 4.10 Uji Beda Gain (Uji Mann Whitney U) Keterampilan Berpikir

Tingkat Tinggi ... 79 Tabel 4.11 Uji Homogenitas berdasarkan Gain Keterampilan Berpikir

Tingkat Rendah ... 79 Tabel 4.12Uji Hipotesis berdasarkan Gain Keterampilan Berpikir Tingkat

Rendah... 80 Tabel 4.13 Data Hasil Observasi Guru selama Pembelajaran di Kelas

Eksperimen I ... 80 Tabel 4.14 Data Hasil Observasi Guru selama Pembelajaran di Kelas


(14)

xiv

Lampiran 3. LKS Kelas Eksperimen I ... 191

Lampiran 4. LKS Kelas Eksperimen II ... 223

Lampiran 5. Instrumen Tes Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi... 258

Lampiran 6. Rubrik Penilaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi... 273

Lampiran 7. Rekap Analisis Butir Soal Instrumen Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah... 284

Lampiran 8. Instrumen Soal Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah ... 286

Lampiran 9. Data Nilai Pretest dan Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen I dan II ... 292

Lampiran 10.Nilai Pretest, Posttest, dan N-Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen I dan II ... 300

Lampiran 11.Hasil Ketercapaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Tiap Subkonsep Kelas Eksperimen I dan II ... 303

Lampiran 12.Hasil Ketercapaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Tiap Ranah Pengetahuan dan Jenjang Kognitif I dan II ... 315

Lampiran 13.Data Nilai Pretest dan Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Kelas Eksperimen I dan II... 331

Lampiran 14.Nilai Pretest, Posttest, dan N-Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Kelas Eksperimen I dan II... 339

Lampiran 15.Hasil Ketercapaian Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Tiap Subkonsep Kelas Eksperimen I dan II ... 341

Lampiran 16.Hasil Ketercapaian Keterampilan Berpikir Tingkat Rendah Tiap Jenjang Kognitif Kelas Eksperimen I dan II ... 353

Lampiran 17.Uji Normalitas Gain ... 365

Lampiran 18.Uji Beda Gain (Mann Whitney U) Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 366


(15)

xv

Lampiran 23.Uji Beda Gain (Mann Whitney U) Keterampilan Berpikir Tingkat

Tinggi Ranah Pengetahuan dan Jenjang Kognitif ... 372

Lampiran 24.Lembar Observasi Guru Kelas Eksperimen I... 373

Lampiran 25.Lembar Observasi Guru Kelas Eksperimen II ... 385

Lampiran 26.Lembar Uji Referensi ... 397

Lampiran 27.Surat Permohonan Izin Penelitian ... 407

Lampiran 28.Surat Keterangan Penelitian ... 408


(16)

1 A. Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi, setiap bangsa memiliki visi yang sama yaitu maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. UNESCO Science Report 2010 dalam Sari menyatakan bahwa kejayaan suatu bangsa di era globalisasi seperti sekarang ini ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang menguasai sains dan teknologi (saintek).1Keunggulan dalam saintek mampu menciptakan berbagai barang dan jasa yang baik serta diminati oleh berbagai negara. Akibatnya, ekonomi negara tersebut akan maju. Sebaliknya, jika suatu negara tidak unggul dalam saintek, maka negara tersebut akan bergantung kepada negara lain.

Keunggulan dalam saintek ditentukan oleh kualitas pendidikan. Kegiatan pendidikan dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang bermutu mampu membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan di era globalisasi sehingga menjadikannya manusia unggul dalam bidang saintek. Salah satu indikator pembelajaran bermutu adalah dapat membelajarkan peserta didik belajar secara mandiri dan mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

Keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah proses berpikir untuk menemukan jawaban atau solusi di tengah-tengah situasi yang sulit dan membingungkan dengan cara mengambil informasi baru dan informasi yang tersimpan dalam memori kemudian mampu menguhubungkannya menjadi informasi yang lebih luas sehingga solusi ditemukan. Berpikir tingkat tinggi pada Taksonomi Bloom berada pada proses kognitif analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi (C6). Proses kognitif menganalisis dan mengevaluasi digolongkan ke dalam

1

Milya Sari, “Usaha Mengatasi Problematika Pendidikan Sains di Sekolah dan Perguruan Tinggi”, Jurnal Al-Ta’lim, Jilid 1, No. 1, Februari 2012, h. 74


(17)

berpikir kritis (critical thinking), sementara mencipta digolongkan ke dalam berpikir kreatif (creative thinking).2

Siswa memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak hanya hafal informasi tetapi memiliki kemampuan menerapkan informasi pada situasi baru. Keterampilan berpikir tingkat tinggi juga meliputi keterampilan siswa dalam menalar.3

Indonesia tidak termasuk negara yang diperhitungkan dalam perkembangan saintek.4 Hal ini dikarenakan prestasi pendidikan Indonesia yang masih rendah. Prestasi ini dinilai dari kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal yang menggunakan daya pikir tingkat tinggi. Berdasarkan data PISA tahun 2012 yaitu dari 65 negara peserta, peringkat Indonesia untuk kemampuan matematika dan sains berada di posisi 64.5Siswa di Indonesia hanya terbiasa dengan soal-soal rutin pada level 1 dan level 2 sehingga nilainya rendah ketika diberi soal dengan standar PISA yang terdiri atas level 1-6 dan soal bersifat kontekstual.6

Pemerintah menerapkan kurikulum 2013 untuk menghadapi tuntutan pendidikan di era globalisasi.Tema pengembangan kurikulum 2013yaitu kurikulum yang dapat menghasilkan insan indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.7Kompetensi sikap yang harus dimiliki siswa berupa perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santu, responsif dan pro-aktif.Selain itu, siswa juga memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam berbagai bidang ilmu

2

Muslimin Ibrahim, “Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thinking)”, Makalah yang disampaikan pada seminar Pendidikan FMIPA di Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 11 April 2015), h. 3

3

Emi Rofiah, Nonoh Siti Aminah, Elvin Yusliana Ekawati, “Penyusunan Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Fisika Pada Siswa SMP”, Jurnal Pendidikan Fisika, Vol. 1, No. 2,September 2013,ISSN: 2338 - 0691, h. 17.

4

Sari., loc. cit.

5

OECD, PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know, 2015, p.5, (http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results-overview.pdf)

6

I Ketut Kertayasa, Tanpa Judul, 2014,

(http://www.indonesiapisacenter.com/2014/03/tentang-website.html)

7Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014, “

Konsep dan Implementasi Kurikulum”, Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Bidang Pendidikan, Jakarta, 14 Januari 2014, h. 24


(18)

pengetahuan sebagai kompetensi pengetahuan. Kompetensi keterampilan menuntut siswa memiliki kemampuan bertindak secara efektif, kreatif dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan dalam mengaplikasikan materi yang dipelajari di sekolah di kehidupan sehari-hari.8

Pola pembelajaran kurikulum 2013 menekankan kepada high order thinking skill.9 Keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dapat dikembangkan dengan teknik pembelajaran yang mendorong siswa menggali pengetahuannya secara aktif dan mandiri. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu menggunakan pembelajaran berdasarkan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna.10

Model pembelajaran yang sesuai paham konstruktivisme dan kurikulum 2013 diantaranya Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning).11Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berfokus pada siswa dan menggunakan masalah dalam dunia nyata sebagai bahan bagi siswa untuk belajar. Masalah yang dihadirkan bersifat rumit sehingga tidak ada jawaban atau prosedur yang jelas untuk diikuti oleh siswa. Siswa menganalisis masalah, konteks dan menerapkan proses berpikir deduktif dan induktif untuk memahami masalah dan menemukan solusi.12 Sementara itu, pembelajaran berbasis proyek adalah metode pembelajaran yang melatih kemampuan siswa untuk membuat suatu produk guna mengaplikasikan pengetahuannya dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Pembelajaran berbasis proyek memiliki sifat menjelajahi daerah baru, menemukan

8

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA), (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), h. 12

9

Kemdikbud, Perubahan Pola Pikir dalam Kurikulum 2013, 2014, h. 39, tersedia melalui kemdikbud.go.id diakses pada tanggal 2 April 2015.

10

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet ke 2, h. 69

11

Salinan Lampiran Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, h. 3, tersedia melalui akmadsudrajat.wordpress.com diunduh pada tanggal 12 Mei 2015.

12

Matthew B. Eterington, “Investigative Primary Science: A Problem-based Learning Approach”,Australian Journal of Teacher Education, Vol. 36, No. 9, September 2011, p.37


(19)

masalah ilmiah baru dan mengintegrasikan pengetahuan dari mata pelajaran yang berbeda.13

Persamaan kedua model ini antara lain kegiatan pembelajaran bersifat student centered, pertanyaan yang disajikan menuntut banyak jawaban alternatif, dan siswa bekerja secara kooperatif dalam sebuah grup, serta fokus pembelajaran bermuara kepada pemecahan masalah. Perbedaan dari kedua model tersebut adalah produk Problem Based Learning(PBL) berupa suatu solusi permasalahan yang disampaikan dalam bentuk tulisan atau presentasi sedangkan pada Project Based Learning(PjBL)siswa diharuskan membuat produk hasil kreasinya sebagai solusi permasalahan sehingga mendorong siswa untuk menggunakan keterampilan psikomotoriknya.

Penulis menerapkan penggunaan model Problem Based Learning dan Project Based Learningpada konsep kingdom fungi (jamur). Konsep fungi yang digunakan dalam penelitian ini dikarenakan jamur banyak memunculkan isu positif maupun isu negatif bagi manusia. Isu yang muncul karena jamur dapat bermanfaat maupun merugikan kehidupan manusia dan lingkungannya.

Sejauh ini belum banyak penelitian membedakanketerampilan berpikir tingkat tinggi antara model Problem Based Learning (PBL) dan Project Based Learning (PjBL) yang disertai dengan pembagian instrument pada ranah pengetahuan dan jenjang kognitif. Instrumen pembelajaran penting dikembangan sesuai dengan ranah pengetahuan dan jenjang kognitif agar memudahkan guru dalam menentukan strategi pembelajaran.

Berdasarkan paparan di atas, penulis mencoba melakukan penelitian dengan

mengangkat judul penelitian “PerbedaanKeterampilan Berpikir Tingkat Tinggi antara Siswa yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) Pada Konsep Fungi”.

13

Milan Kubiatko dan Ivana Vaculova, “Project-based learning:characteristic and the experiences with application in the science subjects”, Energy Education Science and Technology Part B: Social and Educational Studies, Vol. 3, No. 1, p. 66


(20)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Rata-rata keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa Indonesia masih rendah.

2. Pembelajaran kurikulum 2013 telah mengarah kepada pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

3. Model Problem Based Learning (PBL) dan Project Based Learning (PjBL) dianggap sebagai solusi untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

4. Belum banyak penelitian untuk melihat perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dan Project Based Learning (PjBL).

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, maka penelitian ini hanya dibatasi pada: 1. Subyek penelitian adalah siswa kelas X semester genap tahun pelajaran

2014/2015 di SMAN 39 Jakarta.

2. Instrumen untuk keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu soal uraian dan instrumen untuk hasil belajar tingkat rendah yaitu soal pilihan ganda 3. Keterampilan berpikir tingkat tinggi mengukur pengetahuan faktual,

konseptual, dan prosedural pada jenjang kognitif Bloom C4-C6, sementara untuk pengetahuan metakognitif dibatasi pada jenjang kognitif Bloom C2 dan C4 sebagai data primer.

4. Keterampilan berpikir tingkat rendah yang diukur dalam soal pilihan ganda dominan soal jenjang kognitif Bloom C1-C3 sebagai data sekunder.

5. Model pembelajaran yang digunakan yaitu Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning).


(21)

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Apakah keterampilan berpikir tingkat tinggisiswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) lebih tinggi dari siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) pada konsep Fungi?”

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) pada Fungi di SMAN 39 Jakarta.

F. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Bagi guru

Khususnya bagi guru bidang studi biologi dapat menjadikan penggunaan Problem Based Learning dan Project Based Learning sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa

2. Bagi siswa

Untuk membantu siswa meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tingginya yang meliputi kemampuan analisis, evaluasi, dan kreasi

3. Bagi pembaca

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi untuk diadakan penelitian lebih mendalam dan relevan.


(22)

4. Bagi peneliti

Penelitian ini dapat menyampaikan informasi tentang perbedaan penggunaan Problem Based Learning dan Project Based Learning terhadap keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa


(23)

8 A. Kajian Teoritis

1. Kajian Teoritis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi a. Pengertian Keterampilan Berpikir

Menurut Gilmer dalam Kuswana, berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau simbol-simbol pengganti suatu aktivitas yang tampak secara fisik. Berpikir juga sebuah proses dari penyajian suatu peristiwa internal dan eksternal, kepemilikan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan yang satu sama lain saling berinteraksi.1

Berpikir dianggap sebagai sebuah tindakan dan kegiatan. Berpikir adalah tindakan yang melebihi informasi yang diberikan dan kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.2

Berpikir terkenal sulit untuk didefinisikan, tetapi jika kita ingin mendefinisikannya, berpikir adalah proses psikologi abstrak yang memanipulasi pengetahuan. Proses-proses yang abstrak tidak dapat dibatasi oleh keterangan-keterangan dari pengalaman sebelumnya dan berpikir abstrak merupakan dasar dari klaim rasionalitas manusia. Tidak seperti mengingat sebagai proses berpikir abstrak yang dibatasi oleh peristiwa sebelumnya, meskipun pengetahuan atau isi pikiran itu sendiri mungkin menjadi pengalaman sebelumnya.3

“Costa menyatakan bahwa berpikir terdiri atas kegiatan atau proses berupamenemukan hukum sebab akibat, pemberian makna terhadap sesuatu

1

Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. 1, h. 2

2

Maya Kusumaningrum dan Abdul Aziz Saefudin, “Mengoptimalkan Kemampuan Berpikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika”, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 10 November 2012, ISBN : 978-979-16353-8-7, h. 573

3

R. Read Hunt dan Henry C. Ellis, Fundamentals of Cognitive Psychology, (New York: McGraw-Hill Higher Education, 2004), p. 347


(24)

yang baru; , mendeteksi keteraturan di antara fenomena, penentuan kualitas bersama (klasifikasi); dan menemukan ciri khas suatu fenomena”4

Berpikir terkait dengan fungsi otak bagian tertentu sehingga perlu diasah supaya terbentuk pola pemikiran yang baik dengan terbiasa berpikir secara logis, kompleks, realitis, dan sistematis. Oleh karena itu, diperlukan strategi berpikir untuk mengembangkannya. Strategi berpikir atau taktik berpikir adalah sekumpulan keterampilan berpikir yang digunakan secara bersama-sama.5

Keterampilan adalah aksi kompleks yang membutuhkan pengetahuan, melibatkan perbuatan, dan mudah dipelajari dalam waktu yang singkat.6Sehingga dapat dikatakan keterampilan tidak hanya melibatkan fungsi kognitif (pengetahuan) tetapi juga gerakan (motorik).

Keterampilan berpikir dibagi menjadi berpikir dasar dan berpikir kompleks. Proses berpikir dasar adalah menemukan hubungan, menghubungkan sebab akibat, mentransformasikan, mengklasifikasi, dan memberi kualifikasi. Sedangkan proses berpikir kompleks yang dikenal sebagai proses berpikir tingkat tinggi dikategorikan dalam 4 kelompok yaitu pemecahan masalah, pembuatan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.7

Keterampilan berpikir sejalan dengan wacana meningkatkan mutu pendidikan melalui proses pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan hasil belajar. Hasil belajar yang diharapkan adalah hasil belajar yang sampai pada tahapan berpikir tingkat tinggi. Menurut Gagne, hasil belajar yang paling tinggi adalah kemampuan menyelesaikan masalah karena ketika seseorang berhasil menyelesaikan masalah maka seseorang telah mencapai dua hal

4

Kowiyah, “Kemampuan Berpikir Kritis”, Jurnal Pendidikan Dasar, Vol. 3, No. 5, Desember 2012, h. 175

5

Dian Musial. et al., Foundations of Meaningful Educational Assessment, (New York: McGraw-Hill, 2009), p. 83

6

Thomas M. Haladyna, Writing Test Items to Evaluate Higher Order Thinking, (USA: Alyyn and Bacon, 1997), p. 8

7

Hilda Karli, “Model Pembelajaran Untuk Mengembangkan Keterampilan Berpikir”, Jurnal Pendidikan Penabur, No. 18, Tahun ke 11, Juni 2012, h. 60


(25)

sekaligus yaitu jawaban terhadap masalahnya (pengetahuan) dan cara menyelesaikan masalah (proses).

Maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir adalah usaha aktif seseorang menggunakan fungsi otak untuk memperoleh dan mengolah pengetahuan yang ada guna menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.

b. Pengertian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Taksonomi Bloom dianggap sebagai dasar untuk mengelompokkan keterampilan berpikir.Dalam taksonomi Bloom revisi, kemampuan analisis, evaluasi, dan mengkreasi dikategorikan dalam transferring atau processing yang merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi, sementara kemampuan mengingat, memahami, dan mengaplikasikan masuk ke dikategorikan ke dalam recalling yang merupakan bagian kemampuan berpikir tingkat rendah.8

Mc Loughlin dan Luca dalam Widodo dan Kadarwati menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi berarti kemampuan untuk memahami informasi lebih dari yang diberikan, mengadopsi sikap kritis, memiliki kesadaran metakognitif, dan

mampu memecahkan masalah.9Kemampuan berpikir tingkat tinggi (High

Order Thingking Skills – HOTS) merupakan merupakan kemampuan menghubungkan, memanipulasi, dan mentransformasi pengetahuan serta pengalaman yang sudah dimiliki untuk berpikir secara kritis dan kreatif dalam upaya menentukan keputusan dan memecahkan masalah pada situasi baru.10

Menurut Susan M. Brookhart keterampilan berpikir tingkat tinggi dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Kategori tersebut adalah mendefinisikan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam istilah transfer, mendefinisikan keterampilan berpikir dalam hal berpikir kritis, dan

8

Ibrahim, loc. cit.

9

Tri Widodo dan Sri Kadarwati, “Higher Order Thinking Berbasis Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Berorientasi Pembentukan Karakter Siswa”,Jurnal Cakrawala Pendidikan, Nomor 1 Th. XXXII, Februari 2013, h. 163.

10


(26)

mendefinisikan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam hal pemecahan masalah.11

Berdasarkan definisi di atas, muara keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah keterampilan pemecahan masalah. Menurut Woolfook dalam Eka Sastrawati keterampilan pemecahan masalah adalah suatu keterampilan seorang siswa dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.12

Dapat disimpulkan keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah keterampilan seseorang untuk mengkritisi, menyelesaikan masalah yang sifatnya kompleks dan mampu memberikan berbagai solusi alternatif dari pemecahan masalah dengan memanipulasi berbagai informasi yang ia dapatkan. Manusia bukan satu-satunya makhluk yang dapat memecahkan masalah, namun pemecahan masalah diidentifikasikan sebagai hal yang paling khas dari aktivitas manusia.13

c. Taksonomi Bloom

Pada tahun 1956, Benyamin S Bloom membagi domain belajar kognitif ke dalam enam jenjang yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kemudian pada tahun 2001, Anderson dan Krathwohl merasa perlu melakukan revisi pada kawasan kognitif karena menurut pendapat mereka proses berpikir itu dinamis sehingga harus dinyatakan menggunakan kata kerja dan terdapat kerancuan sehingga sulit membedakan

11

Susan M. Brookhart, How to Assess Higher-Order Thinking Skills in Your Classroom, (Alexandria: ASCD, 2010), p. 3

12

Eka Sastrawati., Muhammad Rusdi, dan Syamsurizal, “Problem-Based Learning, Strategi Metakognisi, dan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa”. Tekno-Pedagogi. Vol. 1, No. 2, September 2011, ISSN: 2088-205X, h. 5.

13

Stephen K. Reed, Kognisi: Teori dan Aplikasi, Terj dari Cognition: Theory and Applications oleh Aliya Tusyani, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 306.


(27)

setiap levelnya.14 Menurut mereka terdapat dua kategori yaitu dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan.

1) Dimensi Proses Kognitif

Dimensi proses kognitif merupakan pengklasifikasian proses-proseskognitif siswa yang terdapat dalam tujuan bidang pendidikan. Pada dimensi proses kognitif ada enam jenjang tujuan belajar yaitu mengingat, mengerti, mengaplikasikan, menganalisis, menilai, dan mencipta.15

Level pertama adalahremembering (mengingat). Level ini merujuk pada kemampuan peserta didik untuk mengingat kembali (recall) apa yang disampaikan oleh gurunya. Peserta didik menyampaikan informasi sederhana secara lisan atau tulisan. Misalnya tentang tanggal lahir suatu tokoh, nama-nama ilmuwan, nama-nama presiden, menghafal puisi, dll. Jadi sifatnya ingatan semata tanpa ada interpretasi atau manipulasi dari peserta didik sebab yang diingat dan disampaikan adalah data dan fakta belaka.

Level kedua adalah understanding (memahami). Level ini merujuk pada kemampuan peserta didik untuk memahami, menjabarka atau menegaska informasi yang masuk seperti menafsirkan dengan bahasa sendiri, member contoh, menjelaskan ide, membuat rangkuman, dan melakukan interpretasi sederhana terhadap data serta memperkirakan kecenderungan masa depan. Contohnya, peserta didik diminta untuk menafsirkan informasi yang diberikan dari satu media ke media lain atau memberikan penjelasan sesuatu dengan kata-kata mereka sendiri.

Level ketiga adalahapplying (menerapkan).Aplikasi memerlukan informasi yang dipelajari untuk digunakan dalam mencapai solusi atau menyelesaikan tugas. Contohnya, peserta didik menerapkan aturan tata bahasa ketika menulis makalah atau menerapkan teorema geometris ketika memecahkan masalah geometri. Untuk dikategorikan sebagai kegiatan mengaplikasikan, soal yang disajikan harus unik. Dalam level ini, peserta

14

Ibrahim, loc. cit

15

Yuli Kwartolo, “Multiple Intelligences dan Implementasinya dalam Taksonomi Bloom”,


(28)

didik dapat melakukan aktivitas belajar dengan melaksanakan, menggunakan, menjalankan, melakukan, mempraktikan, memilih, menyusun, memulai, menyelesaikan, mendeteksi, dsb.

Level keempat adalah analysis (menganalisis). Level ini merujuk pada kemampuan anak didik dalam menguraikan, membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang, mengubah struktur, membuat kerangka, menyusun outline, mengintegrasikan, membedakan, menyamakan, mengelompokka, menjelaskan cara kerja sesuatu, menganalisis hubungan antara bagian-bagian, mengenali motif, dsb. Seorang guru sains misalnya bertanya bagaimana sistem peredaran darah manusia bekerja. Seorang guru kelas VIII meminta gagasan tentang cara menggunakan sebuah kata dalam sebuah kalimat. Sedangkan seorang guru IPS meminta peserta didik untuk menjelaskan sikap yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Level kelima adalah evaluating (mengevaluasi). Level ini merujuk pada kemampuan peserta didik memberikan penilaian terhadap sesuatu yang dievalusi. Peserta didik dengan sendirinya memiliki berbagai bahan pertimbangan yang diperlukan untuk member nilai. Selain itu, peserta didik mampu menyusun hipotesis, mengkritik, menguji, membenarkan, menyalahkan, dsb. Contoh, peserta didik diminta menentukan sumber energi terbaik bagi Indonesia. Intinya, peserta didik diminta memutuskan yang terbaik maupun yang terburuk; mengidentifikasi paling tidak atau paling penting yang membutuhkan pemikiran dan penalaran tingkat tinggi.

Level keenam adalah creating (berkreasi). Level ini merujuk pada kemampuan peserta didik memadukan berbagai macam informasi dan mengembangkannya sehingga terjadi suatu bentuk baru. Selain itu juga ditunjukkan dengan kemampuan dalam merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah, menggubah, dsb.


(29)

2) Dimensi Pengetahuan

Dimensi pengetahuan merupakan klasifikasi jenis pengetahuan yang dipelajari di kelas. Dimensi pengetahuan dibagi menjadi empat kategori yaitu faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif.16

Pengetahuan faktual berisi elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa jika mereka akan diperkenalkan dengan suatu masalah tertentu atau suatu mata pelajaran tertentu. Elemen-elemen ini lazimnya berupa simbol-simbol yang berkaitan dengan makna konkret atau simbol-simbol yang menyampaikan informasi penting.

Pengetahuan faktual dibedakan menjadi dua subjenis yaitu pengetahuan tentang terminologi dan pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen yang spesifik. Pengetahuan tentang terminologi merupakan pengetahuan tentang label dan simbol verbal dan nonverbal. Contoh pengetahuan tentang terminologi antara lain pengetahuan mengenai alphabet, istilah tertentu misal nama-nama bagian sel, pengetahuan tentang kosakata dalam seni rupa, dan pengetahuan tentang simbol-simbol yang digunakan untuk menggambarkan pengucapan kata yang tepat. Pengetahuan tentang detail dan elemen-elemen yang spesifik merupakan pengetahuan yang meliputi semua informasi yang mendetail dan spesifik. Contohnya pengetahuan tentang fakta-fakta pokok perihal kebudayaan dan masyarakat tertentu; pengetahuan tentang nama orang, lokasi, tanggal, dan peristiwa yang signifikan di koran, pengetahuan tentang produk utama dan produk ekspor negara-negara tertentu, pengetahuan tentang sumber-sumber informasi yag terpercaya tentang pembelian yang tepat.

Pengetahuan konseptual meliputi skema-skema, model-model mental, atau teori eksplisit dan implicit dalam beragam model psikologi kognitif. Skema-skema, model-model dan teori-teori ini menunjukkan pengetahuan

16

Lorin W. Anderson and David R. Krathwohl, Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, Terj. dari A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing; A Revivon of Bloom Taxonomy of Educational Objective oleh Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 1, h. 67-71


(30)

yang seseorang miliki mengenai bagaimana pokok bahasan tertentu diatur dan disusun, bagaimana bagian-bagian informasi yag berbeda saling berhubungan dan berkaitan dalam suatu cara yang lebih sistematis, bagaimana bagian-bagian ini berfungsi bersama-sama.

Pengetahuan konseptual terdiri dari tiga subjenis yaitu pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori, pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi, dan pengetahuan tentang teori, model, dan struktur. Pengetahuan klasifikasi dan kategori meliputi kategori, kelas, pembagian, dan penyusunan spesifik yang digunakan dalam pokok bahasan yang berbeda. Contohnya pengetahuan tentang macam-macam bentuk usaha, pengetahuan tentang beraneka kalender, dan pengetahuan tentang berbagai jenis masalah psikologi. Pengetahuan prinsip dan generalisasi meliputi pengetahuan dari abstraksi-abstraksi tertentu yang merangkum pengamatan-pengamatan fenomena. Contohnya, pengetahuan tentang hukum-hukum fisika dasar, pengetahua tentang prinsip-prinsip kimia yang relevan dengan proses kehidupan dan kesehatan, dan pengetahuan tentang implikasi-implikasi kebijakan perdagangan Amerika pada perekonomian dunia dan sikap masyarakat internasional. Sementara itu, pengetahuan tentang teori, model, dan struktur meliputi pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi serta interelasi antara keduanya yang menghadirkan pandangan yang jelas, utuh, dan sistemik tentang sebuah fenomena, masalah, atau materi kajian yang kompleks. Contohnya pengetahuan mengenai semua struktur MPR, pengetahuan perihal rumusan lengkap teori evolusi, dan pengetahuan tentang model-model genetika.

Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang cara melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu ini boleh jadi mengerjakan latihan rutin sampai menyelesaikan masalah-masalah baru.

Pengetahuan prosedural dibedakan menjadi tiga subjenis yaitu pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang tertentu dan algoritme, pengetahuan tentang teknik dan metode dalam bidang tertentu, dan pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan harus menggunakan


(31)

prosedur yang tepat. Pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang tertentu dan algoritma sebagai suatu rangkaian langkah-langkah yang secara kolektif dikenal sebagai prosedur. Contohnya pengetahuan tentag keterampilan-keterampilan yang dipakai dalam melukis dengan cat air. Pengetahuan tentang teknik dan metode dalam bidang tertentu mencakup pengetahuan yang galibnya merupakan hasil kesepakatan dalam disiplin ilmu bukan hasil pengamatan atau eksperimen. Contohnya pengetahuan tentang metode-metode untuk mengevaluasi konsep-konsep kesehatan. Sementara itu, contoh pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan harus menggunakan prosedur yang tepat contohnya pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan metode apa dalam menyelesaikan persamaan-persamaan aljabar.

Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kognitif secara umum dan kesadaran akan serta pengetahuan tentang kognisi diri sendiri. Penekanan kepada murid untuk lebih sadar dan bertanggung jawab untuk pengetahuan dan pemikiran mereka sendiri membuat gaya belajar mereka menjadi lebih baik.

Peserta didik perlu memiliki, menyadari, dan memahami tiga jenis pengetahuanuntuk meningkatkan kemampuan metakognitif . Ketiga jenis penetahuan itu adalah pengetahuan deklaratif (declarative knowledge), pengetahuan prosedural (procedural knowledge), dan pengetahuan kondisional (conditional knowledge).17

Pengetahuan deklaratif adalah informasi faktual yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan ini dapat diungkapkan baik dengan lisan maupun tulisan. Contoh dari pengetahuan ini misalnya adalah seorang peserta didik mengetahui bahwa formula untuk menghitung momentum dalam mata

17

Djemari Mardapi, Metakognisi dan Tipe-Tipe Pengetahuan, 2015, tersedia melalui http://pps.uny.ac.id/berita/metakognisi-dan-tiga-tipe-pengetahuan.html diakses pada tanggal 4 April 2015


(32)

pelajaran fisika. Formula momentum adalah massa dikalikan dengan kecepatan.

Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan bagaimana seseorang melakukan sesuatu, pengetahuan bagaimana cara seseorang dalam menjalankan langkah-langkah dalam suatu proses. Contoh dari pengetahuan ini adalah seorang peserta didik mengetahui masa suatu benda, kecepatannya, dan bagaimana prosedur menentukan momentum benda tersebut.

Pengetahuan kondisional adalah pengetahuan terkait kapan suatu prosedur digunakan dan kapan tidak digunakan, pada kondisi apa suatu prosedur dapat digunakan, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari prosedur yang lain. Contoh dari pengetahuan ini misalnya identifikasi suatu kasus/ soal cerita yang mensyaratkan perhitungan momentum sebagai salah satu bagian dalam menentukan solusi penyelesaian.

d. Indikator Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Menurut Krathwohl dalam A revision of Bloom Taxonomy: an overview-Theory Into Practice menyatakan bahwa indikator untuk mengukur berpikir tingkat tinggi yaitu cara berpikir yang sifatnya menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.

Indikator untuk berpikir analisis yaitumenganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenalipola atau hubungannya, mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuahskenario yang rumit, dan mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan.

Indikator untuk berpikir evaluasi antara lain memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya, membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian, serta menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yangtelah ditetapkan.


(33)

Mengkreasi, merupakan tahapan berpikir yang terdiri dari membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu, merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah, mengorganisasikan unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi strukturbaru yang belum pernah ada sebelumnya.18

Menilai keterampilan menganalisis siswa, dapat dilihat dari bagaimana mereka menemukan informasi, membagi suatu informasi menjadi bagian-bagiannya dan mencari hubungan dari setiap informasi yang ditemukan. Kemudian, siswa mengajukan pertanyaan atau masalah yang jawabannya memerlukan berbagai cara penyelesaian. Menjelaskan alasan yang digunakan untuk menghubungkan berbagai bagian satu sama lainnya sering menjadi bagian dari suatu tugas analisis.19

Menilai keterampilan mengevaluasi siswa, dapat dilihat dari bagaimana siswa menilai manfaat beberapa materi menggunakan sudut pandangnya sendiri. Penilaian yang diberikan oleh siswa bukan berdasarkan kesukaan yang sifatnya personal melainkan harus didukung dengan data dan alasan yang logis. 20

Menilai keterampilan siswa dalam mencipta, dapat dinilai dari bagaimana siswa mengorganisaskan berbagai hal yang ada untuk menjadi sesuatu yang baru. Caranya dengan memberikan siswa tugas yang tuntutannya adalah memberikan berbagai solusi, merencanakan suatu prosedur untuk menyelesaikan suatu tujuan tertentu, atau memproduksi sesuatu yang baru.21

e. Cara Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Kesulitan (difficulty) mengacu kepada besarnya upaya yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah. Kerumitan (complexity) merujuk pada proses berpikir yang dilakukan otak dalam memproses informasi. Menciptakan siswa ditengah sesuatu yang sulit merupakan hal yang mudah. Siswa cukup

18

Lewy, Zulkardi, dan Nyimas Aisyah, loc. cit

19

Susan M. Brookhart, op. cit, h. 42

20

Ibid., h.53

21


(34)

diperintahkan untuk mengucapkan fakta-fakta yang ada atau menghafal rumus dengan cara pengulangan terus menerus. Contohnya menghafal karakteristik dan anggota semua divisi fungi. Hal ini mudah dan sepintas kelihatannya murid sudah melakukan suatu proses pembelajaran yang mendalam karena mampu mengingat banyak fakta. Tetapi contoh tersebut menempati level paling bawah dalam aspek kognitif menurut taksonomi Bloom walau memerlukan upaya yang besar dari siswa. 22

Perintah guru agar siswa menghafal beberapa fakta tidaklah salah asal siswa diberi kesempatan untuk bisa masuk ke dalam tahapan berpikir yang lebih tinggi. Sangat disayangkan jika murid hanya menghabiskan banyak waktu dan energi untuk melakukan proses berpikir tingkat rendah. Murid yang mampu menghafal dengan baik jelas akan mendapatkan nilai yang tinggi. Tapi tidak ada jaminan jika ia dikenal sebagai orang yang cerdas dan mampu berpikir tingkat tinggi.

HOT dapat dipelajari dan dapat diajarkan kepada siswa. Otak akan berkembang dengan maksimal dalam lingkungan yang kaya akan multi sensori dan tantangan berpikir.23 Kondisi lingkungan yang seperti itu dapat meningkatkan komunikasi diantara sel-sel otak. Sel-sel otak selalu berusaha mecari dan menciptakan arti dari suatu pembelajaran. Sehingga otak sangat membutuhkan rangsangan dari luar yang bersifat segera dan menawarkan banyak pilihan.

Jika pemecahan masalah merupakan bagian dari berpikir tingkat tinggi, maka tujuan pembelajaran adalah memfasilitasi siswa agar mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah dalam urusanakademik dan masalah kehidupan sehari-hari yang mereka alami.24 Oleh karena itu, penting bagi guru untuk mendesain pembelajaran di mana siswa lebih sering mengerjakan soal yang berbasis pemecahan masalah (problem solving test)

22

Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menetapkan Accelerated Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 170

23

Ibid., h. 9.

24


(35)

bukan menyelesaikan soal latihan (exercise test). Adapun perbedaan problem solving dan exercise solving test yaitu:25

Tabel 2.1 Perbedaan Problem Solving Test dan Exercise SolvingTest

No. Problem Solving Test Exercise Solving Test 1. Membutuhkan banyak cara yang

belum diketahui untuk menemukan jawaban yang benar.

Melibatkan satu cara dan sudah ada satu jawaban yang benar

2. Situasinya tidak bisa diprediksikan, masalah tidak diungkapkan secara eksplisit oleh guru sehingga siswa harus berusaha untuk menemukan sebuah permasalahan dalam ketidakteraturan

Masalah dimunculkan secara eksplisit dalam soal.

3. Permasalahan yang diajukan bersifat baru bagi siswa. Siswa belum pernah menghadapi kasus itu sebelumnya di tiap pembelajaran.

Soal sama seperti yang ada di buku atau pernah dijelaskan oleh guru sebelumnya.

4. Tidak ada instruksi yang jelas bagi siswa untuk menentukan langkah-langkah pemecahan masalahnya (apa yang perlu dicari, alat bahan, dan cara kerja)

Ada instruksi yang jelas bagi siswa untuk memecahkan masalah yang diminta.

5. Menimbulkan banyak solusi Hanya ada satu solusi 6. Tidak ada rumus Ada rumusnya

7. Mengintegrasikan berbagai cabang ilmu

Satu topik di dalam satu cabang ilmu pengetahuan 8. Menuntut kemampuan

berkomunikasi secara lisan dan tulisan dalam memecahkan masalah.

Tidak menuntut kemampuan berkomunikasi dalam ememcahkan masalah.

Siswa juga dituntut untuk bisa mengembangkan keterampilan HOT secara mandiri. Maksudnya supaya siswa tergantung kepada guru. Selain itu, mencoba mengembangkan HOT secara mandiri berarti memberikan

25

N, J Mourtos., DeJong Okamoto and J. Rhee. Defining, Teaching, and Assessing Problem solving skills”, 7th UICEE Annual Conference on Engineering Education, Mumbai, 9-13 February 2014, p.2.


(36)

kesempatan bagi siswa untuk bertanggung jawab dalam mengendalikan isi pikirannya sehingga ketika ia sudah dewasa diharapkan ia mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada karena sudah berpengalaman bekerja atau berpikir secara mandiri. Ada lima belas langkah untuk mengembangkan HOT:26

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mencari potensi atau kekuatan apa yang ada dalam diri sendiri. Potensi tersebut harus dimanfaatkan secara maksimal untuk memecahkan masalah yang ada.

Kedua, ketika menghadapi konsep atau masalah baru, anda perlu membandingkan dan menghubungkan konsep baru tersebut dengan konsep yang sudah ada di dalam memori otak. Contohnya ketika belajar materi sel di kelas XI, siswa harus memutar kembali ingatan di otak terhadap materi sel yang pernah dipelajari di SMP, kemudian mencari informasi baru dari konsep sel di kelas XI dan menghubungkan dengan konsep sebelumnya.

Ketiga, buatlah skema skema visual dari materi yang sedang anda pelajari. Satu gambar yang simple untuk satu konsep.

Keempat, melakukan identifikasi konsep-konsep penting dan menentukan jenis konsepnya (konkret,abstrak, verbal, nonverbal , atau proses). Identifikasi konsep penting dilakukan supaya siswa dapat menentukan strategi pemecahan masalah.

Kelima, membuat peta pikiran untuk memudahkan mengingat konsep. Konsep-konsep yang ada dibuat skemanya sesuai dengan yang ada dalam pikiran dan dipahami. Ketika siswa lupa materi, ia tidak perlu membuka buku catatan dan buku pelajarannya yang cukup tebal, cukup melihat peta pikiran yang dibuatnya maka konsep yang sebelumnya lupa akan mudah diingat kembali.

Keenam, anggaplah anda sedang menonton film ketika anda menghadapi konsep yang lebih kompleks dan luas. Maksudnya, jangan dianggap itu

26

Alice Thomas, Glenda Thorne and Bob Small, “Higher Order Thinking–It’s HOT!”,The Newsletter for the Center for Development and Learning, Louisiana, March 2000, Vol. 1, No. 4, p.10


(37)

adalah hal yang sulit. Ketika anda menonton film, anda akan terbawa pada rasa penasaran mengenai akhir film tersebut dan sabar dalam menontonnya. Perasaan emosional inilah yang juga sebaiknya anda gunakan ketika ingin melatih HOT.

Ketujuh, mencari apa saja yang sudah dipahami dan apa yang belum dipahami. Kemudian bekerja pada konsep-konsep yang belum anda dipahami. Ajukan pertanyaan tentang konsep itu, telusuri konsep tersebut dengan banyak membaca dan diskusi dengan orang yang lebih mengerti.

Kedelapan, dalam memecahan suatu masalah, buatlah tahapan perencanaan yang matang. Pikirkan tentang apa yang ingin ada capai. Kembangkan beberapa cara untuk menemukan jawabannya dan pilih solusi yang palingbaik.

Kesembilan, bekerjalah dengan orang yang sudah dikenal baik sebagai problem solver. Contohnya teman anda yang cerdas, guru anda, atau pekerja professional. Lihat bagaimana cara mereka bekerja menyelesaikan masalah. Pikirkan bagaimana cara ia bekerja dan bagaimana cara anda mencari alternatif pemecahan masalah.

Kesepuluh, gunakan beberapa langkah yang runut dalam menyelesaikan masalah seperti menentukan permasalahan. Pahamilah apa yang ditanyakan, identifikasi apa yang ingin kamu cari tahu. Ada banyak solusi yang dapat diambil dan pikirkanlah solusi mana yang paling efektif. Cari sumber informasi yang dapat membantu kamu dan jelaskan informasi tersebut dengan benar. Jangan lupa untuk selalu melakukan pengecekan terhadap kinerja anda. Jadilah orang yang flexible. Jangan takut untuk mengubah rencana jika memang dibutuhkan. Evaluasi solusi yang anda pilih. Jika solusi tersebut tidak bekerja, carilah solusi lain.

Kesebelas, anda perlu memikirkan tentang apakah anda cenderung menggunakan berpikir analitis,praktis atau kreatif. Berani mengambil risiko dan mencoba menggunakan duajenis kemampuan berpikir yang cenderung mendukung anda. Untuk studi sosial, coba kembangkan kemampuan berpikir kreatif, untuk tes ilmu pengetahuan, berpikir aalitis mungkin lebih


(38)

baik, dan ketika memilih formula untuk memecahkan masalah matematik, gunakan kecerdasan praktis anda.

Kedua belas, cocokan permasalahan yang ada dengan kemampuan berpikir yang ingin digunakan. Jika anda ingin membuat poster, gunakan berpikir kreatif, jika ada ingin memecahakan soal ulangan IPA, gunakan berpikir analisis, jika ada ingin mencari rumus untuk memecahkan soal matematika gunakan kecerdasan praktis.

Ketiga belas, perhatikan cara anda menggunakan kemampuan berpikir yang berbeda. Pahami bagaimana anda berpikir adalah langkah pertama untuk meningkatkan proses berpikir.

Keempat belas, pantau dan aturlah pemikiran anda. Hal ini dapat membantu anda dalam menyesuaikan dan meningkatkan kemampuan berpikir.

Kelima belas, yang paling penting, ingatlah bahwa ada banyak cara untuk berpikir dan memecahkan masalah. Jangan lupa untuk perluas relasi dengan orang-orang yang dapatmendukung kinerja anda.

f. Kegunaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi tentunya memberikan banyakmanfaat diantaranya siswa lebih mudah memahamikonsep yang kompleks dan abstrak, dapat membedakan ide atau gagasan secara jelas, dapat berargumen dengan baik dan mengkonstruksi penjelasan, membantu siswa untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi, melatih kemampuan berpikir secara induktif dan deduktif, melatih siswa untuk menghasilkan ide yang berkualitas, melatih siswa menjadi pemikir yang mandiri, dan pembelajaran dikelas terasa lebih produktif.

Berpikir induktif seperti mengenal hubungan, menganalisis masalah yang bersifat terbuka, menentukan sebab dan akibat, membuat kesimpulan dan memperhitungkan data yang relevan. Sedangkan keahlian berpikir


(39)

deduktif melibatkan kemampuan memecahkan masalah yang bersifat spasial, logis, silogisme, dan membedakan antara fakta dan opini. 27

Penggunaan HOT sebagai salah satu pendekatan pembelajaran menghasilkan aktivitas belajar yang produktif misalnya dalam hal memberi dan menerima bantuan; mengubah dan melengkapi sumber informasi; mengelaborasi dan menjelaskan konsep; berbagi pengetahuan dengan teman; saling memberi dan menerima balikan; menyelesaikan tugas dalam bentuk kolaboratif, dan berkontribusi dalam menghadapi tantangan.

2. Kajian Teoritis Teori Belajar Konstruktivisme a. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Teori konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang barudalam psikologi pendidikan. Pandangan klasik yang selama ini berkembang adalah pengetahuan secara utuh dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran anak. Kemudian,seiring dengan berkembangnya penelitian pendidikan sains, terungkaplah bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut di dunia pendidikan.

Belajar menurut pandangan konstruktivistik artinya membangun yaitu siswa dapat mengkonstruksi sendiri pemahamannya dengan melakukan aktifitas aktif dalam pembelajaran.28Menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru, dengan kata lain konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita (Slavin, 1994: 225).29Seseorang dikatakan mengasimilasikan informasi ketika ia sudah menggabungkan informasi baru yang didapatkan ke dalam pengetahuannya yang sudah ada. Sedangkan mengakomodasikan infornasi

27

Adi, W. Gunawan., op. cit. 177

28

Zulfiani, Tonih Feronika, dan Kinkin Suartini, Strategi Pembelajaran Sains, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), Cet. 1., h. 119

29


(40)

adalah terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru atau melakukan modifikasi pengetahuan yang ada untuk mencocokkannya denga informasi yang baru.

Guru semata-mata bukan hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa harus mampu membangun pengetahuan dalam benaknya. Peranan guru pada pendekatan konstruktivisme adalah sebagai fasilitator. Tugas guru sebagai fasilitator yaitu menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, memberikan tugas yang dapat merangsang siswa berpikir aktif dengan membangun pengetahuannya dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya serta memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa dapat diberlakukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan atau tidak.30

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran yang menekankan proses pembentukan pengetahuan terjadi di dalam diri peserta didik bukan dari seorang pendidik ke peserta didiknya.

b. Prinsip-Prinsip Teori Belajar Konstruktivisme

Winataputra dalam Putrayasa mengemukakan beberapa karakteristik yang juga merupakan prinsip dasar konstruktivisme dalam pembelajaran. Prinsip tersebut antara lain mengembangkan strategi alternatif untuk memperoleh dan menganalisis informasi, dimungkinkannya perspektif jamak dalam proses belajar, student center, penggunaan scaffolding, peran guru sebagai fasilitator, mementingkan kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik.31 Berikut penjelasan lebih rinci dari setiap butir prinsip yang telah disebutkan.

30

Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.41

31

Ida Bagus Putrayasa, Buku Ajar Landasan Pembelajaran, 2013, (Singaraja: Undiksha Press, 2013), Cet ke 1, h. 88-89


(41)

Tujuan dari prinsip pertama yaitu siswa perlu dibiasakan untuk dapat mengakses informasi dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, koran, pengamatan, wawancara, dan dengan menggunakan internet. Sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa, mereka perlu belajar bagaimana memproses informasi seperti menganalisis informasi, sejauh mana kebenarannya, asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana mengklasifikasikan informasi tersebut, dan menyederhanakan informasi yang banyak.

Maksud dari prinsip kedua yaitu selama kegiatan belajar mengajar akan muncul pendapat, pandangan, dan pengalaman yang beragam. Dalam menjelaskan suatu fenomena, di antara siswa pun akan terjadi perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh pengalaman, budaya dan struktur berpikir yang dimiliki.

Student center artinya siswa aktif dalam kegiatan belajar bersama supaya ia paham dengan pengetahuan yang didapatnya. Siswa perlu terlatih untuk mendengarkan dan mencerna dengan baik pendapat siswa lain dan guru. Sesuai dengan tahap perkembangan emosi dan berpikirnya, dia perlu dapat menganalisis pendapat tersebut dikaitkan dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Scaffolding adalah proses memberikan bimbingan kepada siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarang sudah diketahui siswa. Siswa dilatih secara perlahan dengan intensitas bimbingan yang semakin berkurang. Dengan cara ini, kemampuan berpikir siswa akan semakin berkembang.

Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator, dan mentor untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa. Halini menandai telah terjadi perubahan paradigmdari pembelajaran berorientasi gurumenjadi pembelajaran berorientasi siswa. Siswa diharapkan mampu secara sadar dan aktif mengelola belajarnya sendiri.

Kegiatan belajar yang otentik yaitu seberapa dekat kegiatan belajar yang dilakukan dengan kehidupan dan permasalahan nyata yang terjadi dalam


(42)

masyarakat yang dihadapi siswa ketika berusaha menerapkan pengetahuan tertentu.

c. Ciri-Ciri Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme

Menurut Driver dan Oldham dalam Siregar dan Nara, ada lima ciri-ciri pembelajaran berbasis konstruktivis. Lima ciri tersebut antara lain orientasi, elisitasi, restrukturisasi ide, penggunaan ide dalam berbagai situasi, dan review.32

Orientasi, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi ketika mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan melakukan observasi. Motivasi penting untuk dibentuk supaya siswa tidak bosa denga pembelajaran. Kegiatan observasi bertujuan supaya siswa aktif menggunaka seluruh panca inderanya dalam kegiatan pembelajaran.

Elisitasi, yaitu siswa mengembangkan idenya dengan kegiatan diskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain. Semakin sering ia mengembangkan idenya maka semakin banyak pengalaman yang ia dapat.

Restrukturisasi ide, yaitu setiap siswa saling mengklarifikasi, membangun, dan mengevaluasi ide baru. Tujuannya supaya siswa dapat saling bertukar pikiran dan membangun rasa toleransi.

Penggunaan ide baru dalam berbagai situasi, yaitu ide yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada berbagai macam situasi. Maksudnya supaya siswa dapat berpikir kreatif.

Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan, ide yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah. Kegiatan review membentuk siswa menjadi seorang yang mempunyai sifat berpikir fleksibel.

Ada beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar konstruktivisme diantaranya pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek. Dari segi pedagogis, pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada teori konstruktivis dengan ciri pemahaman yang diperoleh berasal dari interaksi antara skenario permasalahan dengan lingkungan belajar; pergulatan masalah dan proses inquiry masalah

32


(43)

menciptakan disonansi kognitif yang menstimulasi belajar; pengetahuan terjadi melalui proses kolaborasi negosiasi sosial dan evaluasi terhadap keberadaan sebuah sudut pandang.33 Pembelajaran berbasis proyek didasarkan pada teori konstruktivis karena dipandang sebagai salah satu model yang dapat mendorong anak membangun pengetahuan dan keterampilan secara personal. Mereka akan memahami bahan kajian untuk membuat proyek memnggunakan bahasa mereka sendriri berdasarkan apa yang mereka lihat, temukan, dan alami.

3. Kajian Teoritis Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)

a. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran adalah menghasilkan siswa yang memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah yang akan dihadapinya di masyarakat. Tentunya diperlukan serangkaian kegiatan pembelajaran pemecahan masalah yang diterapkan di sekolah untuk menghasilkan siswa yang memiliki kompetensi handal dalam pemecahan masalah. Serangkaian kegiatan itu bisa diterapkan di kelas dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning).

Rumusan mengenai pengertian PBL yang cukup mewakili, salah satunya rumusan yang diungkapkan menurut Prof. Howard Barrows dan Kelson:34

Problem Based Learining (PBL) adalah kurikulum dan pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya

33

Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), Cet. 4, h. 231

34

M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), Cet. 2, h.21


(44)

menggunakan pendekatan sistemik untuk memcahkan masalah atau menghadapi masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dan kehidupan sehari-hari.

Menurut Boud, Felleti dan Fogarty dala Wena strategi belajar berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-strctured atau open ended melalui stimulus dalam belajar.35 Pada umumnya, permasalahan yang ditawarkan oleh guru menjurus pada masalah di kehidupan nyata dan bersifat terbuka. Jawaban dari masalah tersebut belum pasti. Guru dan setiap siswa dapat mengembangkan kemungkinan jawaban.

PBL or Problem Based Learning, is an instructional method of group-based learning centered on utilizing each member of the group's own information, resources, and personal experiences.36 Selama memecahkan masalah secara berkelompok, masing-masing siswa saling mengkonstruk pengetahuannya dan mengembangkan kemampuan penyelesaian masalah sebaik mungkin.

Menurut Tan dalam Rusman, Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam pembelajaran ini kemampuan berpikir siswa dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampun berpikirnya secara berkesinambungan.37

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa model Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan pembelajaran yang menyajikan materi berupa suatu permasalahan yang memungkinkan banyak jawaban alternatif untuk diselesaikan siswa bersama-sama, mampu membangun rasa ingin tahu dan berpikir aktif siswa.

35

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), Cet, 6, h. 91.

36

Priyanka Mahendru dan D.V. Mahindru, Problem Based Learning:Influence on Students’s Learning in an Electronics & Communication Engineerig Course,Global Journal of Researces in Engineering Electronic and Electronics Engineering, Vol. 11, Desember 2011, ISSN: 2249-4588, p. 3.

37


(45)

b. Karakteristik Problem Based Learning(PBL)

Savoie dan Hughes dalam Wena menyatakan bahwa strategi belajar berbasis masalah memiliki enam karakteristik. Karakteristik tersebut antara lain permasalahan merupakan pintu pembuka proses pembelajaran, permasalahan yang diajukan berhubungan dengan dunia nyata, pembelajaran berpusat di sekitar permasalahan bukan di seputar displin ilmu, memberikan tanggung jawab yang besar dalam menjalankan proses belajarmereka sendiri, pembelajaran dilakukan dengan membentuk kelompok kecil, dan siswa dituntut untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajarinya dalam bentuk produk dan kinerja.38

Dari enam karakteristik tersebut, dikerucutkan lagi menjadi tga ciri utama. Terdapat tiga ciriutama PBL yaitu merupakan serangkaian aktivitas pembelajaran yang artinya dalamimplementasimodel ini ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. PBL menuntut siswa untuk aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan, bukan hanya sekedar mendengar, mencatat, dan menghafal materi. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Masalahditempatkan sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Jadi tanpa masalah, tidak akan ada proses pembelajaran. Ketiga, pendekatan masalah dilakukan dengan pendekatan berpikir ilmiah. Berpikir dengan metode ilmiah yaitu dengan proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu; sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.39

38

Made Wena. loc. cit

39

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2008), h. 214.


(46)

Pengertian masalah dalam strategi PBL ialah kesenjangan antara situasi nyata dan kondisi yang diharapkan.40 Sehingga masalah atau materi pembelajaran yang disajikan melalui PBL ini tidak terbatas pada materi yang bersumber dari buku saja, tetapi juga dari sumber lain seperti peristiwa tertentu yang terjadi dalam masyarakat yang menimbulkan kerisauan atau keluhan dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

Menurut Sanjaya dalam Rusmono, setidaknya terdapat lima kriteria dalam memilih materi pelajaran untuk digunakan dalam pembelajaran berbasis masalah. Lima kriteria tersebut yaitu materi pelajaran harus mengandung isu yang dapat bersumber dari berita, video, radio, dan lainnya; materi yang dipilih familiar dengan siswa supaya semua siswa dapat mengikutinya dengan baik; materi yang dipilih berhubungan dengan keperluan orang banyak sehingga dirasakan manfaatnya; materi yang dipilih mendukung kompetensi yang harus dimiliki siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku; materi yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga siswa merasa penting untuk mempelajarinya.41

c. Langkah Problem Based Learning (PBL)

Secara operasional, ada lima tahapan dalam model pembelajaran PBL yang disajikan pada Tabel 2.2 di bawah ini.42

Tabel 2.2 Sintaks PBL

Tahapan Pembelajaran Perilaku Guru Tahap 1 : Memberikan orientasi

tentang permasalahannya kepada siswa

Guru membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah

Tahap 2 : Mengorganisasikan siswa untuk meneliti

Guru membantu siswa untuk

mendefinisikan dan

mengorganisaskan tugas belajar

40

Rusmono, Strategi Pembelajaran Dengan Problem Based Learning Itu Perlu, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 78

41

Ibid.

42

Sugiyanto, Model-Model Pembelajaran Inovatif, (Surakarta: Yuma Pustaka bekerja sama dengan FKIP UNS Surakarta, 2010), Cet. 2, h. 136


(47)

yang terkait dengan permasalahannya

Tahap 3 : Membantu investigasi mandiri dan kelompok

Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan serta solusi Tahap 4 : Mengembangkan dan

mempresentasikan hasil

Guru membantu siswa selama merencanakan dan menyiapkan hasil-hasil yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model dan membantu mereka menyampaikan kepada orang lain

Tahap 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan

Tahapan pembelajaran PBL lainnya juga diungkapkan oleh Ridwan Abdullah Sani. Menurut Sani ada tujuh sintaks PBL. Ketujuh sintaks itu adalah guru menyampaikan masalah kepada siswa atau siswa mengajukan permasalahan yang relevan dengan topik yang dikaji, siswa mendiskusikan permasalahan dalam kelompok kecil, siswa membuat perencanaan untuk menyelesaikan masalah dengan berbagi tugas pencarian, masing-masing siswa melakukan penelusuran informasi, siswa berdiskusi kembali bersama kelompoknya menyampaikan hasil penelusuran informasi yang didapat, tiap kelompok menyajikan solusi permasalahan kepada teman sekelas, dan anggota kelompok melakukan review terhadap solusi yang telah dilakukan dan menilai kontribusi dari masing-masing anggota.43

Menurut M. Taufiq Amir juga mengungkapkan ada tujuh langkah proses PBL. Tujuh langkah yang dimaksud yaitu mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas, merumuskan masalah, menganalisis masalah, manata gagasan dan secara sistematis menganalisisnya secara mendalam,

43

Ridwan Abdullah Sani, Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), Cet ke 1, h.153-514


(48)

memformulasikan tujuan pembelajaran, mencari informasi tambahan dari sumber lain, mensintesis dan menguji informasi serta membuat laporan.44

Berdsarkan tiga pendapat di atas, peneliti memilih menggunakan sintaks PBL menurut Sugiyono yang lebih sngkat. Hal ini didasarkan atas pertimbangan waktu jam pelajaran biologi di kelas yang tidak terlalu lama (45 menit untuk satu jam pelajaran).

d. Kelebihan dan kekurangan Problem Based Learning (PBL)

Pembelajaran berbasih masalah yang berdasar pada teori konstruktivis tentunya memiliki banyak kelebihan. Adaenam kelebihan daripembelajaran berbasis masalah yang diungkapkan oleh Smith dalam M. Taufiq Amir.45

Pertama, siswa menjadi lebih ingat dan meningkatkan pemahamannya atas materi ajar. Pengetahuan yang didapatkan lebih dekat dengan konteks praktiknyaakan lebih mudah diingat. Dengan konteks yang dekat dan sekaligus melakukan deep learning (banyak mengajukan pertanyaan menyelidik) bukan surface learning (sekedar hafalan saja) maka materi akan lebih mudah diserap.

Kedua, meningkatkan fokus siswa pada pengetahuan yang relevan.Kritikansbagi dunia pendidikan adalah materi yang diajarkan di kelas jauh dari apa yang terjadi di dunia praktik. Pembelajaran berbasis masalah yang baik mencoba untuk mengatasi kritikan itu. Dengan kemampuan pendidik membangun masalah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, siswa bisa merasakan lebih baik konteks operasinya di lapangan. Ketiga,mendorong siswa untuk berpikir. Pembelajaran ini melatih siswa untuk bertanya, berpikir kritis dan reflektif. Siswa tidak disarankan untuk terburu-buru menyimpulkan, mencoba menemukan landasan atas argumennya, dan fakta-fakta yang mendukung alasan. Daya nalar siswa dilatih dan kemampuan berpikir ditingkatkan sehingga ia tidak hanya sekedar tahu.

44

M. Taufiq Amir, op. cit., h. 25

45


(49)

Keempat, membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial. Kegiatan pemecahan masalah dilakukan secara berkelompok, maka Pembelajaran Berbasis Masalah yang baik dapat meningkatkan kecakapan kerja tim dan kecakapan sosial. Siswa diharapkan memahami perannya dalam kelompok, menerima pendapat orang lain, dan bisa memberikan pengertian bahkan untuk orang-orang yang mungkin tidak mereka senangi.

Kelima, membangun kecakapan belajar siswa (life-long learning skills). Ilmu dan keterampilan yang siswa butuhkan nantinya akan terus berkembang.Struktur masalah di dunia kerja bersifat mengambang bahkan open-endedsehingga mereka harus terbiasa belajar untuk mengembangkan bagaimana kemampuan untuk belajar.

Keenam, memotivasi pemelajar. Tantangan yang sesungguhnya bagi seorang guru adalah bagaiana memotivasi siswa, terlepas dari apapun metode yang digunakan. PBL memberikan peluang kepada guru untuk membangkitkan minat belajar siswa guru dan siswa saling menciptakan masalah dengan konteks pekerjaan. Memang tidak semua siswa semangat ketika melakukan pemecahan masalah yang menantang. Mungkin beberapa diantara mereka ada yang justru merasa kebingungan. Di sinilah peran pendidik menjadi sangat ditentukan.

Selain memiliki kelebihan, pembelajaran berbasis masalah juga memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan yang dimaksud antara lain:46

Pertama,diperlukan guru yang terampil dalam menentukan masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah, dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa. Disini dapat dilihat bahwa peran guru sebagai fasilitator tidaklah mudah. Guru perlu mempersiapkan segala materi dan hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran sesuai dengan kondisi yang telah disebutkan supaya siswa tidak merasa sulit dalam pembelajaran.

46

Salmiah, Metode Pembelajaran Berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Kompetensi Peserta Diklat Guru Mata Pelajaran Aqidah Akhlak Kementerian Agama Se-Provinsi Sumatera Utara danAceh, 2015, (http://sumut.kemenag.go.id)


(50)

Kedua, memerlukan waktu yang cukup banyak dan terkadang terpaksa mengambil jam pelajaran lain. Hal ini dikarenakan siswa perlu waktu untuk mengumpulkan dan menganalisis berbagai sumber informasi sebelum ia menemukan solusi pemecahan masalah.

Ketiga, perlu adaptasi siswa terhadap perubahan kegiatan belajar. Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berpikir memecahkan masalah sendiri atau kelompok yang memerlukan berbagai sumber belakar merupakan kesulitan sendiri bagi siswa.

e. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)

Di SMA Mountlake Terrace, di Moutlake Terrace, Washington, tim dari murid kelas geometri SMA mendesign SMA yang canggih untuk tahun 2050.47 Siswa membuat rencana lokasi, design arsitek yang sederhana dari ruang dan model fisik, budget, dan laporan narasi. Hasil proyek mereka diserahkan kepada arsitek untuk dinilai. Cerita tersebut merupakan gambaran pembelajaran berbasis proyek. Pembelajaran berbasis proyek adalah sebuah model pembelajaran yang inovatif, dan lebih menekankan pada belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks.48

Pembelajaran berbasis proyek merupakan pembelajaran yang melibatkan peserta didik di dalam transfer pengetahuan dan keterampilan melalui proses penemuan dengan serangkaian pertanyaan yang tersusun dalam tugas atau proyek (Buck Institute of Education49. Istilah proyek diambil dari manual arts (pekerjaan tangan) di mana anak-anak harus menyelesaikan suatu

47

Forrest W. Parkay dan Beverly Hardcastle Stanford, Menjadi Seorang Guru, Terj. dari

Becoming a Teacher, 7th Edition oleh Dani Dharyani, (Jakarta: PT Indeks, 2008), Cet. I, h. 505.

48

Made Wena, op. cit., h. 145.

49

Navies Luthvitasari, Ngurah Made D. P, dan Suharto Linuwih, “Implementasi Pembelajaran Fisika Berbasis Proyek Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis, Berpikir Kreatif Dan Kemahiran Generik Sains”,Journal of Innovative Science Education, Vol. 1, No. 2, November 2012, ISSN: 2252-6412, h. 93.


(51)

pekerjaan tertentu.50 Proyek yang dirancang merupakan hasil pikiran siswa sendiri secara berkelompok, bukan ide dari guru. Jika siswa melaksanakan suatu kegiatan yang idenya dari guru, maka itu bukan sebuah proyek.

Definisi secara lebih komperehensif tentang Project Based Learningdiungkapkanoleh The George Lucas Educational Foundation. Definisi yang diuraikan antara lain:51

Pertama, project-based learning is curriculum fueled and standards based. Project Based Learning. merupakan pendekatan pembelajaran yang menghendaki adanya standar isi dalam kurikulumnya. Melalui Project Based Learning, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen mayor sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah displin yang sedang dikajinya.

Kedua, project-based learning asks a question or poses a problem that each student can answer. Project Based Learning adalah model pembelajaran yang menuntut pengajar dan atau peserta didik mengembangkan pertanyaan penuntun (a guiding question). Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Project Based Learning memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Hal ini memungkinkan setiap peserta didik pada akhirnya mampu menjawab pertanyaan penuntun.

Ketiga, project-based learning asks students to investigateissues and topics addressing real-world problems while integrating subjects across the

50

S. Nasution, Mengajar Dengan Sukses , (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Ed. 2, Cet. 1, h. 14

51

Sabar Nurohman, Pendekatan project based learning sebagai upaya internalisasi scientific method bagi siswa calon guru fisika, 2013,h. 7-8,(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132309687/project-based-learning.pdf).


(52)

curriculum. Project Based Learning merupakan pendekatan pembelajaran

yang menuntut peserta didik membuat “jembatan” yangmenghubungkan

antar berbagai subjek materi. Melalui jalan ini, peserta didik dapat melihat pengetahuan secara holistik. Lebih daripada itu, Project Based Learning merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topikdunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.

Keempat, project-based learning is a method that fosters abstract, intellectual tasks to explore complex issues. Project Based Learning merupakan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan pemahaman. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi dan mensintesisinformasi melalui cara yang bermakna.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat diartikan jika Project Based Learning adalah sebuah model pembelajaran yang menekankan aktivitas motorik siswa untuk memecahkan sebuah masalah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Proyek yang diciptakan merupakan hasil ide siswa secara kolaboratif di dalam masing-masing kelompoknya.

f. Karakteristik Project Based Learning(PjBL)

Ada delapan karakteristik belajar berbasis proyek menurut Buck Institute for Education dalam Made Wena. Kedelapan karakteristik tersebut adalah siswa membuat keputusan dan kerangka kerja, terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, siswa merancang proses untuk mencapai hasil, siswa bertanggung jawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan, siswa melakukan evaluasi secara kontinu, siswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, kelas memiliki atmosfir yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.52

Sedangkan karakteristik penting dari strategi proyek menurut Nolker & Schoenfeldt dalam Made Wena adalah siswa dapat menerapkan berbagai keterampilan teori dan praktik yang dimiliki guna menanggulangi gugus

52


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

410

Lampiran 29

Foto Penelitian Kelas Eksperimen I

Kelas Eksperimen II

Pretes Praktikum Jamur Diskusi kelompok Diskusi online

Pretest Praktikum

Jamur

Diskusi kelompok

Diskusi online