BAB II LANDASAN TEORI - The Relationship Between Family Support and Marital Satisfaction in Ethnic of Batak Toba

BAB II LANDASAN TEORI A. KEPUASAN PERNIKAHAN

1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

  Olson dan Fowers (1989) mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi terhadap area-area dalam pernikahan. Area ini mencakup komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya. Senada dengan pendapat tersebut, Hawkins (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) juga mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu pernikahan, seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya.

  Hendrick dan Hendrick (1992) berpendapat bahwa kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan. Hughes dan Noppe (1985) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai

  . Matlin (2008) menambahkan p

  dengan kebutuhan dan harapannya ernikahan yang

  12 memuaskan adalah pernikahan yang stabil, langgeng, bahagia, saling memahami dan menghargai.

  Berdasarkan uraian definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap kehidupan pernikahannya, dilihat dari area-area dalam pernikahan meliputi komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

  Hendrick dan Hendrick (1992) menyatakan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu :

  a. Premarital Factors adalah faktor-faktor sebelum pernikahan, meliputi:

  1) Latar belakang ekonomi 2) Pendidikan 3) Hubungan dengan orang tua

  b. Postmarital Factors adalah faktor-faktor setelah pernikahan, meliputi:

  1) Kehadiran anak, penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stres pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan. Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak tersebut.

  2) Usia pernikahan, seperti yang dikemukakakan oleh Newman dan Newman (2006) bahwa kemungkinan munculnya perceraian sangat tinggi selama tahun pertama pernikahan dan mencapai puncaknya antara antara usia dua dan empat tahun pernikahan.

  Senada dengan hal tersebut, Papalia dkk. (2007) juga mengemukakan ada lima faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan, yaitu: a. Usia saat menikah, merupakan salah satu prediktor utama. Orang yang menikah pada usia dua puluhan memiliki kesempatan lebih sukses dalam pernikahan, daripada yang menikah pada usia yang lebih muda.

  b. Latar belakang pendidikan dan penghasilan. Karena pendidikan dan penghasilan adalah saling berhubungan, mereka yang berpendidikan tinggi pada umumnya berpenghasilan lebih tinggi dan memiliki cara berpikir yang lebih terbuka.

  c. Agama, dimana orang yang memandang agama sebagai hal yang penting relatif jarang mengalami masalah pernikahan dibandingkan orang yang memandang agama sebagai hal yang tidak penting.

  d. Dukungan emosional. Kegagalan dalam pernikahan ini ada kemungkinan terjadi karena ketidakcocokan secara emosional dan tidak adanya dukungan emosional dari lingkungan.

  e. Perbedaan harapan, dimana perempuan cenderung lebih mementingkan ekspresi emosional dalam pernikahan, di sisi lain suami cenderung puas jika istri mereka menyenangkan.

  Selain faktor-faktor di atas, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi kepuasan pernikahan menurut Salim (2010), yaitu harapan dalam perkawinan, usia dan alasan saat menikah, latar belakang sosial-budaya, kebahagiaan pernikahan orangtua, peran orangtua dan keluarga, pola komunikasi, waktu bersama suami, waktu bersama anak, peran dan tanggung jawab dalam pernikahan, dan kondisi keuangan. Sunarti dkk. (2005) juga mengemukakan bahwa faktor dukungan sosial yang diterima oleh pasangan akan mempengaruhi kepuasan pernikahan. Semakin besar dukungan sosial yang diperoleh pasangan maka akan semakin baik kepuasan pernikahannya.

3. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan

  Menurut Olson dan Fowers (1989) terdapat beberapa area dalam pernikahan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan. Adapun area-area tersebut adalah sebagai berikut:

  a. Komunikasi Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya. Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu : keterbukaan diantara pasangan (openness), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (empathy), dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).

  b. Orientasi Keagamaan Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan pernikahan. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orang tua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya, dan merasa bahwa mereka wajib memberi teladan kepada anaknya dengan membiasakan diri beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembah yang secara teratur, ikut dalam kegiatan atau organisasi agama (Hurlock, 1999).

  c. Kegiatan di waktu luang Area ini menilai pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat menikmati kebersamaan yang mereka ciptakan.

  d. Penyelesaian Konflik Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.

  e. Pengelolaan Keuangan Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk- bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

  f. Orientasi Seksual Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam hal kasih sayang dan hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan dan memilih waktu yang tepat untuk berhubungan seksual sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan pernikahan.

  g. Keluarga dan teman Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dan mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Pernikahan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama (Hurlock, 1999).

  h. Anak dan pengasuhan anak Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. i. Kepribadian

  Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan- kebiasaan serta kepribadian pasangan. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia. j. Kesetaraan Peran

  Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock (1999) menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

4. Kriteria Kepuasan Pernikahan

  Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain : a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi, dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga. b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam keluarga.

  c. Model parental role yang baik. Pola orang tua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini dapat membentuk keharmonisan dalam keluarga.

  d. Penerimaan terhadap konflik-konflik. Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga.

  e. Kepribadian yang sesuai dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling melengkapi satu sama lain.

  f. Mampu memecahkan konflik. Kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang dapat mendukung kepuasan pernikahan pasangan tersebut.

B. DUKUNGAN KELUARGA

1. Pengertian Dukungan Sosial

  Menurut Sarafino (2006) dukungan sosial adalah perasaan nyaman yang dirasakan, diperhatikan, dihargai, atau bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan disayangi. Gottlieb (dalam Kuntjoro, 2002) juga mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi verbal atau non verbal, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.

  Baron dan Byrne (2000) juga menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan fisik dan psikologis yang disediakan oleh teman dan anggota keluarga. Lebih jauh lagi Taylor (2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan bernilai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama.

  Berdasarkan uraian definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang menjadikan individu merasa diperhatikan, bernilai, dan disayangi.

2. Bentuk – bentuk Dukungan Sosial

  Sarafino (2006) mengemukakan empat bentuk dari dukungan sosial, yaitu:

  a. Dukungan Emosional Jenis dukungan mencakup mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengar keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka.

  b. Dukungan Instrumental Jenis dukungan mencakup bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, dapat berupa jasa atau materi. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau menghibur saat individu mengalami stres. Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya.

  c. Dukungan Informasional Jenis dukungan mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis.

  Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk.

  d. Dukungan Persahabatan Jenis dukungan mencakup kesediaan waktu orang lain untuk menghabiskan waktu atau bersama dengan individu, dengan demikian akan memberikan rasa keanggotaan dari suatu kelompok yang saling berbagi minat dan melakukan aktivitas sosial bersama.

3. Sumber Dukungan Sosial

  Taylor (2009) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari banyak sumber yang berbeda, seperti orangtua, pasangan atau orang yang dicintai, keluarga, teman, maupun komunitas sosial.

  Kahn dan Antonucci (dalam Orford, 1992) menyatakan bahwa seorang individu dikelilingi oleh suatu pengiring yang selalu mendukung atau menyertai individu tersebut sepanjang masa hidupnya. Ada anggota-anggota pengiring yang stabil sepanjang waktu perannya, yaitu yang menyertai dan mendukung individu.

  Peran mereka sangat berarti bagi individu. Yang tergolong ke dalam pengiring ini adalah pasangan, keluarga, dan teman dekat.

  Kahn dan Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi tiga kategori yaitu: a. Sumber dukungan sosial yang stabil sepanjang waktu perannya, yaitu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang menyertai dan mendukungan individu tersebut. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami atau istri) atau teman dekat.

  b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai sepanjang waktu. Misalnya teman kerja, tetangga, sanak keluarga, dan teman sepergaulan.

  c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang member dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber dukungan ini misalnya tenaga ahli atau professional dan keluarga jauh dan sesama pekerja.

4. Dukungan Keluarga

  Menurut Gerungan (2009) menyatakan keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Setiono (2011) juga menyatakan keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan. Burgess dan Locke (dalam Degenova, 2008) juga menyatakan keluarga adalah pola kecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang disatukan oleh ikatan pernikahan, ikatan darah, ikatan adopsi, hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan antar anggota keluarga saling bereaksi, berkomunikasi dalam peran-peran sosial keluarga, sesuai dengan kultur bagi masyarakat tetapi dengan ciri yang unik. Kertamuda (2009) menambahkan bahwa keluarga adalah tempat seseorang untuk bergantung baik secara ekonomi maupun untuk kehidupan sosial lainnya, tempat untuk memperoleh dukungan, sekaligus berperan dominan dalam pengambilan keputusan dalam kehidupan.

  Gunarsa dan Gunarsa (2000) menyatakan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memegang peranan penting dan berguna untuk mengurangi masalah yang mungkin terjadi. Di dalam keluarga terjadi interaksi antara pribadi antara orangtua dan anak maupun sebaliknya, yang berpengaruh terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada anggota keluarga tersebut.

  Setiono (2011) menyatakan secara umum ada dua bentuk keluarga, yaitu:

  1. Keluarga batih/ inti (nuclear family), terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang kesemuanya sedarah.

  2. Keluarga besar (extended family), adalah semua orang dari satu keturunan dari kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan istri atau merujuk pada keluarga inti dengan penambahan anggota keluarga selain anak, misalnya paman, bibi, serta orang tua dari pasangan suami istri.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya dan merupakan pendukung utama bagi individu dalam menghadapi suka dan duka di dalam kehidupannya.

  Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial yang berasal dari keluarga merupakan dukungan yang cukup penting bagi pasangan yang telah menikah. Dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang diperoleh individu dari keluarganya yang dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, ataupun materiil yang menjadikan individu merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan tempat utama pasangan yang menikah untuk mendapatkan nasehat, saran, informasi, interaksi yang dapat mendukung mereka di dalam pernikahannya. Tipe keluarga yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keluarga besar (extended family).

C. KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA

  Suku Batak Toba merupakan suatu kesatuan yang memiliki kebudayaan dan bahasa tersendiri yang berbeda dengan suku lainnya (Irmawati, 2002). Suku Batak Toba merupakan masyarakat patrilineal dan menarik garis kekeluargaan dari pihak laki-laki, juga memiliki aturan dan adat pernikahan. Suku ini mengenal bentuk pernikahan eksogami marga yaitu pernikahan dengan orang di luar kelompok marga sendiri dan tidak boleh melakukan pernikahan secara timbal balik (Saragih dkk, 1980).

  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Irmawati (dalam Irmawati, 2008), suku bangsa Batak Toba memiliki nilai-nilai budaya yang sangat berbeda. Dalam menjalani hidupnya suku Batak Toba berpedoman pada sejumlah nilai-nilai utama yang menjadi keyakinan, penghormatan, dan cita-cita hidupnya. Sistem kekerabatan dan kekeluargaan memegang peranan penting dalam mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya. Sistem kekerabatan tersebut disebut dalihan na tolu. Sistem kekerabatan dalihan na tolu merupakan prinsip dasar kekerabatan suku Batak Toba (Gultom, 1992). Ihromi (dalam Vergouwen, 2004) juga mengemukakan bahwa segi kehidupan kemasyarakatan serta beberapa hal penting, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga orang Batak Toba, berkaitan erat dengan hubungan-hubungan kekerabatan yang disebut dalihan na tolu.

  Khans dan Eva (dalam majalah Horas, 2003) menyatakan bahwa lembaga pernikahan dan hubungan kekerabatan merupakan tiang terpenting yang menyangga kehidupan orang suku Batak Toba. Orang Batak Toba sangat suka memiliki keluarga besar dengan banyak kerabat. Pernikahan dan hubungan kekerabatan menjadi tujuan hidup dan yang memberi makna hidup bagi orang Batak Toba. Pernikahan juga dipandang sebagai pernikahan yang sakral dan oleh karena itu hanya berlangsung satu kali seumur hidupnya, pasangan yang telah menikah tidak diperbolehkan untuk berpisah apapun yang terjadi.

  Pernikahan dipandang bukan hanya menjadi urusan pria dan wanita yang melakukan pernikahan, tetapi menjadi urusan bersama di dalam kedua belah pihak keluarga (Saragih dkk., 1980). Bahkan ketika pasangan tersebut mengalami konflik di dalam pernikahannya, maka dalihan na tolu akan langsung turut menyelesaikan perselisihan tersebut dan mengambil keputusan untuk pasangan tersebut (Lubis, 1999). Dalihan na tolu memiliki pengaruh di dalam kehidupan pernikahan suami dan istri tersebut.

  Suami dan istri disebut mardongan saripe, artinya berbagi atas suatu hak milik benda. Karena itu di dalam kehidupan pernikahannya, seorang suami dan istri dikatakan ‘na marripe ripe do nasida di saluhut hangoluan, di nasa sitaonon,

  hasonangan, parulian dohot lan angka na asing’, ‘gumul na so jadi bagian, ansimun na so tupa bola on.’ Suami dan istri adalah satu perasaan baik susah

  maupun senang dan atas seluruh kehidupan mereka, mereka berdua tidak dapat dipisahkan dengan alasan apapun (Sitohang & Sibarani, 1988).

  Pasangan suku Batak Toba sangat jarang melakukan perceraian sehingga pernikahan pada suku Batak Toba umumnya bertahan lama dan hanya dipisahkan oleh kematian salah satu dari pasangan (Sitohang & Sibarani, 1988). Siagian (2012) juga mengemukakan bahwa orang suku Batak Toba sangat setia kepada pasangannya, hanya memiliki pasangan satu saja di sepanjang kehidupannya. Wismanto (2004) juga menyatakan bahwa adanya pernikahan yang kekal dan bertahan lama dikarenakan adanya kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh pasangan di dalam pernikahannya. Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba adalah baik yang ditunjukkan dari jarangnya pasangan melakukan perceraian dan cenderung untuk mempertahankan pernikahannya.

D. DEWASA AWAL

  1. Pengertian Dewasa Awal

  Masa dewasa awal merupakan masa dewasa yang dimulai dari usia 18 tahun – 40 tahun. Pada masa ini, terjadi perubahan-perubahan fisik, psikologis dan kemampuan reproduktif (Hurlock, 1999).

  2. Karakteristik Dewasa Awal

  Hurlock (1999) menyebutkan ada beberapa karakteristik dari usia dewasa awal yaitu sebagai masa pengaturan, usia reproduktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosional, masa keterasingan emosional, masa komitmen, masa ketergantungan, masa perubahan nilai, masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru, masa kreatif.

  Sebagai masa pengaturan, individu sudah saatnya menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Sebagai usia reproduktif, individu berperan menjadi orangtua dan membesarkan anak-anaknya. Sebagai masa bermasalah, individu banyak mengalami masalah baru pada tahun awal masa dewasanya. Sebagai masa ketegangan emosional, individu mungkin agak bingung dan mengalami keresahan emosional dikarenakan memasuki suatu wilayah baru. Sebagai masa keterasingan sosial, individu merasakan keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan berkurang seiring dengan berakhirnya pendidikan formal dan masuknya ke dalam pola kehidupan orang dewasa sehingga individu mengalami keterasingan sosial.

  Sebagai masa komitmen, individu mengalami perubahan tanggungjawab menjadi orang dewasa dan membuat komitmen-komitmen baru di dalam hidupnya. Sebagai masa ketergantungan, individu yang telah mencapai usia dewasa awal masih agak tergantung kepada orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda, misalnya kepada orangtua, lembaga pendidikan, atau pemerintah. Sebagai masa perubahan nilai, individu mengalami perubahan pandangan karena pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dan karena nilai-nilai dilihat dari kacamata orang dewasa. Sebagai masa penyesuaian diri, individu melakukan penyesuaian diri terhadap gaya hidup yang baru, seperti penyesuaian pola kehidupan keluarga ataupun peran seks. Sebagai masa kreatif, individu bebas untuk mengembangkan kreatifitas tergantung pada minat, kemampuan individual dan kesempatan untuk mewujudkan keinginan-keinginannya.

  3. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

  Hurlock (1994) menyebutkan ada beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu usia dewasa awal, yaitu:

  1. Mendapatkan suatu pekerjaan

  2. Memilih seorang teman hidup atau menikah

  3. Belajar hidup bersama dengan suami atau istri membentuk suatu keluarga

  4. Membesarkan anak-anak

  5. Mengelola sebuah rumah tangga

  6. Menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam kelompok sosial yang cocok

  4. Tugas Psikososial Dewasa Awal

  Erikson mengatakan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa awal adalah intimacy versus isolation, sebagai salah satu tugas yang penting bagi dewasa awal (dalam Papalia, 2007). Intimacy akan muncul saat seseorang sudah mencapai atau menemukan cara untuk membentuk dan mempertahankan identitas secara menetap, yang dilakukan dalam masa remaja. Intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk menyatukan identitas diri yang sudah ditemukan di masa remaja dengan identitas diri orang lain. Newman dan Newman (2006) menambahkan bahwa intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk mengalami, baik itu menerima atupun memberi, suatu hubungan yang terbuka, saling mendukung dan hubungan yang penuh kasih dengan orang lain tanpa adanya ketakutan kehilangan identitas diri di dalam proses tersebut. Intimacy pada dewasa awal dapat ditemukan melalui hubungan intim yang dibentuk dengan pasangan romantisnya (pacar, suami atau istri) dan juga dengan sahabat (Papalia, 2007). Newman dan Newman (2006) juga mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan pada dewasa awal adalah membangun hubungan yang intim dengan seseorang di luar dari anggota keluarganya.

  Suatu hubungan yang intim memiliki komponen kognitif dan afektif. Seseorang akan mampu untuk memahami pandangan dan pemikiran dari pasangannya. Individu biasanya juga akan mengalami suatu rasa kepercayaan diri dan saling memberikan perhatian yang merefleksikan kasih sayang mereka terhadap pasangannya. Intimacy juga akan mendorong individu untuk terbuka dengan perasaannya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk berbagi ide- ide dan rencana dengan pasangannya (Newman & Newman, 2006).

E. HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA

  Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, tingkat perceraian pun semakin meningkat. Berdasarkan data Badilag pada tahun 2010, kasus dan tingkat perceraian di Indonesia tampak terus meningkat dari tahun ke tahunnya. Data menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia tergolong besar, bahkan di atas lima puluh persen angka pernikahan.

  Menurut Brigham (1986), salah satu penyebab terjadinya perceraian adalah karena individu merasa tidak puas dengan kehidupan pernikahannya.

  Menurut Roach (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) kepuasan pernikahan merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu. Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Hughes & Noppe, 1985). Kepuasan pernikahan tersebut dapat dilihat melalui beberapa aspek yang dikemukakan Olson dan Fowers, yaitu meliputi komunikasi, orientasi keagamaan, kegiatan di waktu luang, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan,hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.

  Adanya kepuasan pernikahan di dalam sebuah pasangan suami istri dapat dilihat dari bagaimana mereka mempertahankan pernikahannya atau dengan kata lain bertahan dengan pernikahannya. Di dalam pernikahan tersebut, masing- masing suami dan istri merasa bahagia satu sama lain, saling memahami dan menghargai satu sama lain. Suami dan istri juga memahami dan menilai latar belakang budaya mereka (dalam Matlin, 2008).

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salim (2010) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah latar belakang sosial budaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya dapat mempengaruhi pernikahan yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri.

  Hal ini dapat dilihat pada suku Batak Toba yang sangat berpengaruh terhadap pernikahan pasangan suami istri. Keluarga dari pihak suami dan istri turut serta mengambil keputusan dalam pernikahan tersebut (Saragih, 1980).

  Dalam pernikahan suku Batak Toba, pernikahan bertujuan untuk melanjutkan keturunan marga dan akan bertambahnya keluarga baik pada pihak suami maupun istri. Oleh karena itu kedua belah pihak keluarga terlibat dalam pasangan yang telah menikah (Saragih, 1980). Ketika ada konflik dalam keluarga maka keluarga akan turut serta dalam menyelesaikan masalah tersebut dengan cara musyawarah dan mufakat (Lubis, 1999). Sistem kekeluargaan yang disebut dengan dalihan na tolu ini sangat berpengaruh di dalam pernikahan yang utuh, dan adat pada budaya ini juga sangat melarang adanya perceraian (Saragih, 1980).

  Dengan kata lain, pada suku Batak Toba keluarga berperan penting terhadap kehidupan pernikahan.

  Keluarga adalah sumber dukungan sosial pertama yang penting untuk mengatasi masalah. Keluarga dapat menyediakan dukungan dan dapat memberikan rasa aman serta melalui ekspresi kehangatan, empati, persetujuan atau penerimaan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga yang lain (Santrock, 2005). Hartanti (2002) juga mengatakan apabila individu mendapat dukungan keluarga akan mengalami berkurangnya kelelahan emosi dan stress sehingga individu menjadi tidak sedih lagi, tidak merasa kecewa dan mendapatkan masukan-masukan untuk masalah yang sedang dihadapi, akibatnya individu akan mampu menyelesaikan masalah dengan sikap yang positif.

  Dukungan keluarga merupakan kebutuhan dari setiap anggotanya, baik ketika masih anak-anak hingga dewasa. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan tempat bagi seseorang untuk memperoleh kenyamanan, cinta, dan dukungan emosional, sehingga individu merasakan kebahagiaan (Kertamuda, 2009). Papalia

  (2007) menambahkan ketika pasangan menikah tidak mendapatkan dukungan emosional maka dapat menimbulkan kegagalan dalam pernikahan. Lestari (2012) juga menyatakan adanya dukungan yang diberikan orang tua berupa dukungan emosional dan instrumental merupakan hal yang sangat penting bagi pasangan.

  Dukungan yang diberikan oleh keluarga mampu meningkatkan kepuasan yang dirasakan pasangan di dalam pernikahannya (Nichole, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh House (dalam Maldonado, 2005) juga menemukan bahwa dukungan dari keluarga merupakan hal yang paling efektif dalam mengurangi beban pada individu. Pentingnya dukungan keluarga juga diungkapkan oleh Holahan dan Moos (dalam Pakalns, 1990) yang menemukan bahwa dukungan dari keluarga lebih berpengaruh kepada mood dibandingkan dengan dukungan dari lingkungan kerja terhadap individu. Sunarti dkk. (2005) juga mengatakan bahwa semakin besar dukungan yang diperoleh oleh pasangan menikah maka akan semakin baik pula kepuasan pernikahannya sehinnga pernikahan itu akan bertahan.

  Tidak adanya perceraian di dalam sebuah pasangan suami istri merupakan bukti dari adanya kepuasan pernikahan di dalam pasangan tersebut (Wismanto, 2004). Sependapat dengan hal tersebut, Matlin (2008) juga mengemukakan bahwa pernikahan yang memuaskan adalah pernikahan yang stabil, bahagia, dan pasangan saling memahami dan menghargai. Dengan kata lain, pernikahan itu tidak bercerai, bertahan, dan pasangan merasakan kebahagiaan.

  Berdasarkan literatur yang telah dikemukakan di atas bahwa perceraian pada suku Batak Toba sangat rendah dan juga didukung oleh hasil survei di lapangan yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat bahwa kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba adalah tinggi. Adanya campur tangan keluarga besar terhadap pernikahan juga menunjukkan bahwa pasangan suku Batak Toba tidak dapat dilepaskan dari keluarga dan sangat dipengaruhi oleh keluarganya.

  Besarnya pengaruh keluarga besar terhadap pernikahan bahkan ketika pasangan tersebut mengalami konflik juga menunjukkan dukungan yang diberikan oleh keluarga terhadap pasangan dalam menjalankan kehidupan pernikahannya (Lubis, 1999).

  Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

  Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Ada korelasi positif antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba”. Semakin tinggi dukungan keluarga yang diperoleh maka kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba semakin tinggi, dan semakin rendah dukungan keluarga yang diperoleh maka kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba semakin rendah.