The Relationship Between Family Support and Marital Satisfaction in Ethnic of Batak Toba
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPUASAN
PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
SUSI TAMBUNAN
081301061
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GANJIL, 2013/2014
(2)
PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA
Dipersiapkan dan Disusun oleh: SUSI TAMBUNAN
081301061
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 09 November 2013
Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi., psikolog Penguji I
NIP. 198602032010122003 Merangkap Pembimbing
2. Dr.Wiwik Sulistyaningsih Penguji II
NIP. 196501122000032001
3. Ika Sari Dewi, S.Psi., psikolog Penguji III NIP. 197809102005012001
(3)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepuasan Pernikahan Pada Suku Batak Toba
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Oktober 2013
SUSI TAMBUNAN NIM 081301061
(4)
ABSTRAK
Awal pernikahan merupakan masa yang rentan bagi pasangan menikah untuk mengalami perceraian. Perceraian merupakan indikasi dari tidak adanya kepuasan pernikahan. Namun, pada suku Batak Toba sangat jarang ditemukan perceraian dan keluarga sangat berpengaruh terhadap pernikahan anak-anak mereka. Kepuasan pernikahan adalah penilaian positif terhadap pernikahan yang telah dijalani bersama oleh suami dan istri, meliputi area-area dalam pernikahan yakni komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya. Kepuasan pernikahan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah adanya dukungan sosial.
Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang tujuannya untuk melihat hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Subjek penelitian berjumlah 70 orang individu menikah dengan rentang usia pernikahan 1-4 tahun. Tekhnik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala dukungan keluarga berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan skala kepuasan pernikahan berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (1989). Analisa data yang digunakan adalah analisis korelasi Pearson Product Moment.
Dari analisa data diperoleh hasil nilai korelasi antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba dengan nilai r = 0.745 dengan p<0.05, artinya ada hubungan positif antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Dukungan keluarga memberikan sumbangan efektif sebesar 55.6% terhadap kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
(5)
The Relationship Between Family Support and Marital Satisfaction in Ethnic of Batak Toba
Susi Tambunan and Rahmi Putri Rangkuti
ABSTRACT
Early of marriage is a susceptible phase for married couples to get a divorce. Divorce is an indication of the absence of marital satisfaction. However, in the ethnic of Batak Toba, divorce was very rare and the family was very influential towards the marriage of their children. Marital satisfaction is a positive assessment to whose marriage has lived together by a husband and wife, including the areas in marriage that is fun commnunication, religious life is good, how to fill in spare time, solve problems, manage finances, quality and quantity of sexual intercourse, good relations with family and friends, caregiving to children, accepting the nature of partner, and the egalitarian roles between husband and wife in their marriage. Marital satisfaction can be affected by various factors, one of them is the existence of social support.
This research is a quantitative correlation, which the purpose is to see the relationship between family support and marital satisfaction in the ethnic of Batak Toba. Subject of this research amounted to 70 married people with length of married one to four year. The instrument of this research are family support scale based on the theory by Sarafino (2006) and marital satisfaction scale based on theory by Olson and Fowers (1989). Data analysis used is the analysis of correlation Pearson Product Moment.
From the calculations result obtained that the correlation between family support with marital satisfaction in ethnic of Batak Toba amounted r = 0.745 with p <0.05, meaning that there is a positive relationship between family support and marital satiscation in the ethnic of Batak Toba. Family support give an effective contribution as many as 55.6% to marital satisfaction in the ethnic of Batak Toba.
(6)
berkat, karunia dan kekuatan yang Dia berikan dalam penyelesaian skripsi ini yang berjudul “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepuasan Pernikahan pada Suku Batak Toba” untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Syukur kepada Tuhan Yesus untuk penyertaanNya kepada peneliti dalam menyelesaikan tahap demi tahap penyelesaian skripsi ini.
Terutama sekali peneliti mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua peneliti yaitu Bapak Ropinus Tambunan dan Mamak Kentina Siahaan yang tidak henti-hentinya berdoa, memberikan perhatian, dukungan dan semangat kepada peneliti sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara peneliti, yaitu Kak Stephanie/ Bang Stephanie, Bang Michelle/ Eda Michelle, Bang Ronaldo, Kak Denny, dan Kak July. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
(7)
atas bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, waktu dan tenaga yang telah Kakak berikan kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini. Semua kebaikan dan kesabaran Kakak dalam membimbing peneliti tidak akan mampu peneliti balas dengan apapun dan akan peneliti kenang selalu. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan Kakak.
3. Arliza Juairiani Lubis M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang juga sebagai kakak dan orangtua bagi peneliti. Terima kasih atas bimbingan, arahan dan bantuan selama peneliti mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi USU. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan Kakak.
4. Ibu Dr.Wiwik Sulistyaningsih, M.Si., psikolog selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan dan saran yang sangat berarti bagi peneliti guna membuat penelitian ini menjadi lebih baik. Semoga Tuhan senantiasa memberkati dan melimpahkan kasihNya kepada Ibu.
5.Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi., psikolog selaku dosen penguji skripsi, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran dan masukan yang sangat berarti bagi peneliti. Semoga Tuhan senantiasa memberkati dan melimpahkan kasihNya kepada Ibu.
6. Responden peneliti yang berada di kecamatan Balige sekitarnya kabupaten Toba Samosir. Terima kasih atas kesediaannya dan telah meluangkan waktu untuk mengisi skala peneliti.
(8)
telah diberikan kepada peneliti selama ini.
8. Kakak dan teman-teman KTB Solideo Gloria, Kak Rani, Alfine, dan Erika Gresia Sihombing. Terimakasih untuk bantuan, semangat, doa, saran-saran, dan kesediaannya untuk mendengarkan setiap curahan dan keluh kesah peneliti. 9.Adik KK Blessing, Karin dan Yosefine, yang bersedia mendengarkan curahan
peneliti, memberikan doa dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman senasib dan seperjuangan, Alfine, Yosi, Asda, Kak Dewi, Erika, Moyang, Nanda dan semua teman stambuk 2008 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk setiap masukan, cerita, dan perjuangan kita.
11.Semua orang yang telah membantu peneliti, secara khusus kepada kekasih tercinta Soritua Panggabean. Terimakasih untuk setiap masukan, kritikan, dan bantuannya selama pengerjaan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu peneliti terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi tercapainya penulisan yang lebih baik lagi. Akhir kata, semoga Tuhan Yesus berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.
Medan, Oktober 2013 Peneliti
(9)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang . ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 12
2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan.... 13
3. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan ... 15
4. Kriteria Kepuasan Pernikahan... 19
B. Dukungan Keluarga 1. Pengertian Dukungan Sosial ... 20
2. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial... 21
3. Sumber Dukungan Sosial... 23
4. Dukungan Keluarga ... 24
C. Kepuasan Pernikahan pada Suku Batak Toba. ... 26
D. Dewasa Awal 1. Pengertian Dewasa Awal……… 28
2. Karakteristik Dewasa Awal……….28
3. Tugas Perkembangan Dewasa Awal………... 29
4. Tugas Psikososial Dewasa Awal……….30
F. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepuasan Pernikahan pada Suku Batak Toba. ... 31
G. Hipotesis... 35
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian... 36
B. Definisi Operasional 1. Kepuasan Pernikahan. ... 36
2. Dukungan Keluarga. ... 37
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi ... 38
2. Metode Pengambilan Sampel... 39
(10)
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 46
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian ... 50
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 51
3. Tahap Pengolahan Data ... 52
H. Metode Analisis Data ... 52
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian 1. Usia Pernikahan Subjek Penelitian ... 54
2. Jumlah Anak dari Subjek Penelitian ... 55
3. Keterangan Tempat Tinggal dari Subjek Penelitian ... 56
4. Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian ... 57
5. Penghasilan/ Bulan Subjek Penelitian... 57
B. Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 58
a. Uji Normalitas Sebaran... 59
b. Uji Linearitas... 59
2. Hasil Utama Penelitian a. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepuasan Pernikahan pada Suku Batak Toba ... 61
3. Hasil Analisa Tambahan a. Kategorisasi Data Penelitian ... 62
1. Kategorisasi Skor Dukungan Keluarga... 62
2. Kategorisasi Skor Kepuasan Pernikahan. ... 64
b. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Status... 67
c. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Tempat Tinggal. ... 68
d. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Tingkat Pendidikan. ... 69
e. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Penghasilan/Bulan ... 69
C. Pembahasan ... 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 75
B. Saran 1. Saran Metodologis... 76
2. Saran Praktis ... 77 DAFTAR PUSTAKA
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Data Tingkat Perceraian di Kota Medan. ...5
Tabel 2. Blue print Skala Kepuasan Pernikahan Sebelum Uji Coba...42
Tabel 3. Blue-Print Skala Dukungan Keluarga Sebelum Uji Coba... ...43
Tabel 4. Distribusi Susunan Aitem Skala Kepuasan Pernikahan Sesudah Uji Coba...47
Tabel 5. Distribusi Susunan Aitem Skala Kepuasan Pernikahan Pada Saat Penelitian...48
Tabel 6. Distribusi Susunan Aitem Skala Dukungan Keluarga Sesudah Uji Coba...49
Tabel 7. Distribusi Susunan Aitem Skala Dukungan Keluarga Pada Saat Penelitian...50
Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Pernikahan ...54
Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Anak. ...55
Tabel 10. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Keterangan Tempat Tinggal. ...56
Tabel 11 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan...57
Tabel 12 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Penghasilan/Bulan ...57
Tabel 13. Normalitas Sebaran Variabel Dukungan Keluarga dan Kepuasan Pernikahan ...59
Tabel 14. Linearitas Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepuasan Pernikahan ...60
Tabel 15. Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik Variabel Dukungan Keluarga dan Kepuasan Pernikahan ...63
Tabel 16. Kategorisasi Data Variabel Dukungan Keluarga. ...63
Tabel 17. Gambaran Skor Mean Dukungan Keluarga. ...64
Tabel 18. Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik VaribelKepuasan Pernikahan. 64 Tabel 19. Kategorisasi Data Kepuasan Pernikahan...65
Tabel 20. Kategorisasi Data Kepuasan Pernikahan pada Suami dan Istri...66
Tabel 21. Gambaran Skor Mean Kepuasan Pernikahan...67
Tabel 22. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Status. ...67
Tabel 23. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Keterangan Tempat Tinggal...68
Tabel 24. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Tingkat Pendidikan. ...69
(12)
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 A. Data Mentah Skala Dukungan Keluarga Saat Uji Coba B. Data Mentah Skala Kepuasan Pernikahan Saat Uji Coba Lampiran 2 A. Reliabilitas Skala Dukungan Keluarga Saat Uji Coba
B. Reliabilitas Skala Kepuasan Pernikahan Saat Uji Coba Lampiran 3 A. Data Mentah Penelitian Dukungan Keluarga
B. Data Mentah Penelitian Kepuasan Pernikahan Lampiran 4 A. Hasil Uji Asumsi
B. Hasil Penelitian
(14)
ABSTRAK
Awal pernikahan merupakan masa yang rentan bagi pasangan menikah untuk mengalami perceraian. Perceraian merupakan indikasi dari tidak adanya kepuasan pernikahan. Namun, pada suku Batak Toba sangat jarang ditemukan perceraian dan keluarga sangat berpengaruh terhadap pernikahan anak-anak mereka. Kepuasan pernikahan adalah penilaian positif terhadap pernikahan yang telah dijalani bersama oleh suami dan istri, meliputi area-area dalam pernikahan yakni komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya. Kepuasan pernikahan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah adanya dukungan sosial.
Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang tujuannya untuk melihat hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Subjek penelitian berjumlah 70 orang individu menikah dengan rentang usia pernikahan 1-4 tahun. Tekhnik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala dukungan keluarga berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan skala kepuasan pernikahan berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (1989). Analisa data yang digunakan adalah analisis korelasi Pearson Product Moment.
Dari analisa data diperoleh hasil nilai korelasi antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba dengan nilai r = 0.745 dengan p<0.05, artinya ada hubungan positif antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Dukungan keluarga memberikan sumbangan efektif sebesar 55.6% terhadap kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
(15)
The Relationship Between Family Support and Marital Satisfaction in Ethnic of Batak Toba
Susi Tambunan and Rahmi Putri Rangkuti
ABSTRACT
Early of marriage is a susceptible phase for married couples to get a divorce. Divorce is an indication of the absence of marital satisfaction. However, in the ethnic of Batak Toba, divorce was very rare and the family was very influential towards the marriage of their children. Marital satisfaction is a positive assessment to whose marriage has lived together by a husband and wife, including the areas in marriage that is fun commnunication, religious life is good, how to fill in spare time, solve problems, manage finances, quality and quantity of sexual intercourse, good relations with family and friends, caregiving to children, accepting the nature of partner, and the egalitarian roles between husband and wife in their marriage. Marital satisfaction can be affected by various factors, one of them is the existence of social support.
This research is a quantitative correlation, which the purpose is to see the relationship between family support and marital satisfaction in the ethnic of Batak Toba. Subject of this research amounted to 70 married people with length of married one to four year. The instrument of this research are family support scale based on the theory by Sarafino (2006) and marital satisfaction scale based on theory by Olson and Fowers (1989). Data analysis used is the analysis of correlation Pearson Product Moment.
From the calculations result obtained that the correlation between family support with marital satisfaction in ethnic of Batak Toba amounted r = 0.745 with p <0.05, meaning that there is a positive relationship between family support and marital satiscation in the ethnic of Batak Toba. Family support give an effective contribution as many as 55.6% to marital satisfaction in the ethnic of Batak Toba.
(16)
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika manusia sudah menginjak usia dewasa, mereka dituntut untuk memenuhi berbagai hal sesuai dengan tugas perkembangannya. Havighurst (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa menginjak usia dewasa atau biasa disebut sebagai usia dewasa awal yang berada pada rentang usia 18 – 40 tahun, individu dihadapkan pada tugas perkembangan untuk memilih pasangan hidup. Pada masa ini mereka dituntut untuk melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau sebuah rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (UU No.1 tahun1974 dalam Subekti & Tjitrosudibio, 2001). Wismanto (2012) menambahkan bahwa pernikahan mengandung harapan untuk mencapai suatu kebahagiaan baik material maupun spiritual. Kebahagiaan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan yang kekal karenanya pernikahan yang diharapkan juga merupakan pernikahan yang kekal, yang hanya berakhir dengan kematian dari salah satu pasangan.
Setiap orang menginginkan keluarga yang utuh dan bahagia selamanya di dalam pernikahannya. Namun pada kenyataannya bahwa tidak semua orang dapat menjalani kehidupan pernikahannya dengan baik sehingga tidak mampu lagi
(17)
2
meneruskan pernikahan tersebut. Ketika ketegangan antara pasangan tidak mereda dan terus memuncak, dan terjadi pada waktu yang cukup lama, maka tidaklah mengherankan jika perceraian dilihat sebagai alternatif penyelesaian yang baik untuk permasalahan yang sedang dihadapi (Miller & Siegel, dalam Margiantari, 2008).
Ketika pasangan memilih untuk melakukan perceraian, hal itu merupakan indikasi dari adanya ketidakpuasan pasangan di dalam pernikahannya. Seperti yang diungkapkan Wismanto (2004) yang menyatakan bahwa perceraian adalah indikasi tidak adanya kepuasan pernikahan di antara suami istri. Ketika seseorang puas dengan pernikahannya, maka kehidupannya akan bahagia dan berusaha mempertahankan pernikahan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang merasa tidak puas dengan pernikahannya, maka ia cenderung akan mengakhiri hubungan itu dan dapat mengakibatkan perceraian. Hurlock (1999) juga berpendapat bahwa perceraian merupakan puncak dari ketidakpuasan pernikahan yang tertinggi dan terjadi apabila suami dan istri sudah tidak mampu lagi saling memuaskan, saling melayani dan mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
Penelitian yang dilakukan oleh Markman (dalam Larsen & Olson, 1989) menemukan bahwa terdapat 77% pasangan yang bercerai mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kepuasan pernikahan. Gottman dan Levenson (2002) juga mengadakan studi penelitian longitudinal terhadap 79 pasangan mengenai prediksi terjadinya perceraian melalui kepuasan pernikahan dan menemukan bahwa kepuasan pernikahan
(18)
tersebut merupakan salah satu aspek penting dalam menentukan kestabilan dan keberhasilan dalam pernikahan. Dengan kata lain, jika kepuasan pernikahan tidak terpenuhi, pernikahan tersebut akan menjadi tidak stabil dan bahkan berakhir dengan perceraian.
Kepuasan pernikahan itu sendiri merupakan evaluasi yang dilakukan oleh suami dan istri terhadap hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan (Hendrick & Hendrick, 1992). Roach, dkk (dalam Pujiastuti & Retnowaty, 2004) juga menambahkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu. Kepuasan pernikahan dapat dilihat dari evaluasi yang dilakukan terhadap sepuluh aspek dalam pernikahan, meliputi komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya (Olson & Fowers, 1989). Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan berkaitan erat dengan kebahagiaan di dalam pernikahan dan tingkat perceraian yang mungkin terjadi (Wismanto, 2004).
Kepuasan pernikahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni latarbelakang ekonomi, pendidikan, hubungan dengan orang tua, kehadiran anak dan usia pernikahan (Hendrick & Hendrick, 1992). Salim (2010) dalam
(19)
4
penelitiannya juga menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah latarbelakang sosial budaya.
Budaya itu sendiri dianut oleh manusia dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia tersebut. Individu sebagai makhluk sosial tidak dapat dilepaskan dari lingkungan dimana mereka hidup dengan norma-norma dan adat istiadat yang selalu mengikat, termasuk pernikahannya (Amir dkk, 1986). Pernikahan sebagai bagian dari kehidupan manusia dan merupakan salah satu cara hidup di dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh budaya.
Pandangan setiap budaya terhadap pernikahan berbeda-beda. Menurut Saragih (1980), pada budaya tertentu pernikahan bukan hanya menjadi masalah antara pihak yang menikah tetapi juga menjadi masalah kedua keluarga belah pihak. Bagi sebagian suku, kehidupan pernikahan dipandang sebagai urusan bersama oleh keluarga besarnya sedangkan sebagian suku lainnya memandang bahwa kehidupan pernikahan itu merupakan urusan kedua pasangan yang telah menikah dan tidak ada campur tangan dari keluarga besarnya. Misalnya di dalam suku adat Minangkabau dimana pernikahan menjadi urusan bersama didasarkan pada falsafah yang menganggap bahwa manusia dan individu hidup bersama-sama sehingga masalah rumah tangga menjadi urusan bersama pula (Amir dkk., 1986). Pada suku Jawa, pernikahan tidak dipandang sebagai penggabungan dua jaringan keluarga yang luas, tetapi dimaksudkan untuk membentuk suatu rumah tangga sebagai unit yang berdiri sendiri dan semua keputusan berada di tangan pasangan yang telah menikah tersebut. Dengan kata lain, pihak orang tua tidak begitu berpengaruh terhadap satu rumah tangga yang telah dibina (Hariyono, 2006). Pada
(20)
budaya Batak Toba, adat istiadat sangat dijunjung tinggi dan berperan dalam mengatur keseluruhan tingkah laku masyarakatnya, begitu juga dengan pernikahan sebagai salah satu siklus kehidupan seseorang, sangat dipengaruhi oleh budaya yang terdapat pada suku tersebut (Saragih, 1980).
Sumatera Utara merupakan provinsi yang mayoritas didiami oleh Suku Batak Toba (Hadiluwih, 2008). Walaupun merupakan suku mayoritas, tingkat perceraian pada suku ini ditemukan sangat rendah. Berikut data tingkat perceraian suku Batak Toba yang terjadi di kota Medan berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Medan.
Tabel 1.
Data Tingkat Perceraian Di Kota Medan Tahun Jumlah orang yang
bercerai
Jumlah seluruh kasus perceraian
Persentase
2011 40 1894 2.11 %
2012 43 2229 1.93 %
Sumber: Pengadilan Negeri Medan 2013 & Pengadilan Agama Medan 2013
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus perceraian pada suku Batak Toba pada tahun 2011 sebesar 40 kasus dari total 1894 kasus perceraian atau sebesar 2.11%. Pada tahun 2012, tercatat sebanyak 43 kasus dari total 2229 kasus perceraian atau sebesar 1.93% (sumber data dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Medan). Jika kita memperhatikan tabel di atas lebih lanjut, dapat dilihat bahwa tingkat perceraian semakin meningkat pada periode tahun 2011 ke 2012, namun sebaliknya kasus perceraian pada suku Batak Toba tidak mengalami peningkatan dan justru mengalami penurunan, yakni dari 2.11% menjadi 1.93%.
Silaban (2010) menyebutkan bahwa adanya adat yang mengikat akan mempersempit kesempatan orang untuk bercerai. Pernyataan ini didukung oleh
(21)
6
Sitohang dan Sibarani (1988) yang menyatakan bahwa pada suku Batak Toba, perceraian sangat dilarang dan apapun akan dilakukan agar perceraian antara pasangan yang telah menikah tidak terjadi. Ia juga menambahkan bahwa pasangan suami istri Batak Toba adalah satu perasaan baik susah maupun senang dan atas seluruh kehidupan mereka dan tidak dapat dipisahkan, apapun alasannya.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, rendahnya tingkat perceraian merupakan indikasi dari adanya kepuasan pernikahan sehingga pasangan akan mempertahankan pernikahan tersebut (Wismanto, 2004). Berdasarkan data yang dikemukakan sebelumnya, tingkat perceraian pada suku Batak Toba adalah rendah. Rendahnya tingkat perceraian ini menunjukkan bahwa umumnya pernikahan Batak Toba cenderung stabil, bertahan, dan kekal. Hal ini sesuai dengan pendapat Matlin (2008) yang menyatakan bahwa pernikahan yang stabil dan langgeng itu merupakan pernikahan yang memuaskan, bahagia, dan bertahan lama. Adanya kepuasan di dalam kehidupan pernikahan membuat pernikahan itu kekal dan hanya akan dapat berakhir dengan kematian dari salah satu pasangan (Wismanto, 2004).
Adat suku Batak Toba juga tidak terlepas dari sistem kekerabatan dan kekeluargaan yang disebut dengan dalihan na tolu. Nilai adat ini memandang bahwa pernikahan merupakan urusan bersama kedua belah pihak keluarga dan bukan hanya menjadi masalah antara pihak yang menikah. Hal ini disebabkan karena pernikahan pada suku Batak Toba bertujuan untuk melanjutkan keturunan marga dan akan bertambahnya keluarga yaitu orang tua dan keluarga pihak suami ataupun pihak istri (Saragih, 1980). Payung Bangun (dalam Lubis, 1999)
(22)
menyebutkan bahwa pernikahan suku Batak Toba merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat kaum kerabat si laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat si wanita (parboru) dalam suatu hubungan yang tertentu.
Di awal pernikahan, semua keluarga memberikan nasehat agar pasangan menikah tersebut menjadi keluarga yang rukun dan ‘gabe’ atau bahagia, memiliki anak laki-laki dan perempuan. Hal ini tampak pada pesan yang selalu disampaikan pada pesta pernikahan pasangan agar: “maranak sampulu pitu, marboru sampulu onom”, artinya mempunyai putra tujuh belas orang dan putri enam belas (Siahaan, 2005). Pasangan tersebut sangat diharapkan untuk menjadi keluarga yang kekal sampai selama-lamanya, tetap harmonis sampai memiliki cucu, langgeng, bahagia, saling memahami dan menghargai. Pasangan tersebut diharapkan untuk tetap bersama baik dalam keadaan suka maupun duka, dan akan tetap mempertahankan pernikahannya (Sitohang & Sibarani, 1988).
Lubis (1999) menyebutkan bahwa keluarga Batak Toba dari kedua belah pihak pasangan suami istri turut dalam penyelesaian konflik yang terjadi di antara pasangan tersebut. Apabila terjadi perselisihan di antara pasangan, maka akan diselesaikan oleh sistem keluarga dalihan na tolu tersebut. Dalihan na tolu ikut serta mengatasi masalah di antara pasangan dengan cara musyawarah dan mufakat dan keputusan yang diambil harus dipatuhi anggotanya. Dalihan na tolu ini juga turut berperan dalam mempertahankan pernikahan pasangan tersebut. Secara psikologis, penerapan nilai adat dalihan na tolu yang ada pada pernikahan suku Batak Toba merupakan bentuk dukungan sosial dalam pernikahan.
(23)
8
Sunarti, dkk. (2005) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan. Semakin besar dukungan sosial yang diperoleh oleh pasangan, maka semakin baik kepuasan pernikahannya. Blood (dalam Margiantari, 2008) juga menambahkan bahwa adanya support (dukungan) berperan penting untuk mencapai pernikahan yang sukses. Hal ini senada dengan penelitian Atirah (2005) yang menemukan bahwa dukungan sosial, baik itu dukungan yang berasal dari keluarga besar, keluarga inti, dan tetangga berhubungan dengan pernikahan.
Dukungan sosial itu sendiri merupakan perasaan nyaman yang dirasakan, dihargai, atau bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain (Sarafino, 2006). Sunarti dkk. (2005) mendefinisikan dukungan sosial itu sebagai bantuan fisik dan nonfisik dari keluarga luas, tetangga, atau teman yang mendatangkan nilai positif kepada pasangan dalam menjalankan fungsi dan perannya. Anggraeni (2009) menambahkan adanya berbagai dukungan sosial yang diterima oleh individu menyebabkan individu merasa kuat dan tetap tegar dalam menjalani hidupnya, termasuk kehidupan pernikahannya. Dukungan sosial itu dapat diperoleh dari keluarga, teman, orang tua, pasangan, komunitas sosial, rekan sekerja, tetangga, maupun professional kesehatan (Baron & Byrne, 2000; Taylor, 2009; Nichole, 2004).
Keluarga merupakan sumber dukungan sosial pertama yang penting untuk mengatasi masalah. Kertamuda (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga menjadi kebutuhan setiap anggotanya, dikarenakan keluarga merupakan tempat memperoleh kenyamanan, cinta, dukungan emosional sehingga individu menjadi
(24)
bahagia, sehat, dan aman. Gunarsa dan Gunarsa (2000) juga menyatakan hubungan yang didapatkan dari keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh terhadap keharmonisan atau ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh seseorang.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah “apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis, sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
- Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian Psikologi, terutama Psikologi Perkembangan mengenai hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
(25)
10
- Penelitian ini dapat dijadikan bahan perbandingan pada penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan dengan dukungan keluarga dan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
2. Manfaat Praktis
- Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai gambaran kepuasan pernikahan dan dukungan keluarga pada suku Batak Toba.
- Masyarakat umum dapat mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
- Pasangan menikah memperoleh informasi sejauhmana hubungan dukungan keluarga dalam meningkatkan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan laporan ini adalah: BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah yang ingin diteliti yaitu mengenai hubungan antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba dan berisikan perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
(26)
BAB II : Landasan Teori
Bab ini berisi tentang tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori yang digunakan adalah teori yang berhubungan dengan kepuasan pernikahan, dukungan keluarga, dan hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Bab ini juga mengajukan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisikan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari kepuasan pernikahan dan dukungan keluarga, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas, uji daya beda dan reliabilitas alat ukur, hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data.
BAB IV : Analisa Data Dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil analisis data yang diperoleh, meliputi subjek penelitian, hasil uji asumsi meliputi uji normalitas dan linearitas, hasil utama penelitian, deskripsi data penelitian, dan hasil tambahan serta pembahasan hasil penelitian.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi tentang kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan metodologis.
(27)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KEPUASAN PERNIKAHAN
1. Pengertian Kepuasan Pernikahan
Olson dan Fowers (1989) mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi terhadap area-area dalam pernikahan. Area ini mencakup komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya. Senada dengan pendapat tersebut, Hawkins (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) juga mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam suatu pernikahan, seperti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya.
Hendrick dan Hendrick (1992) berpendapat bahwa kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan. Hughes dan Noppe (1985) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya. Matlin (2008) menambahkan pernikahan yang
(28)
memuaskan adalah pernikahan yang stabil, langgeng, bahagia, saling memahami dan menghargai.
Berdasarkan uraian definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap kehidupan pernikahannya, dilihat dari area-area dalam pernikahan meliputi komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan
Hendrick dan Hendrick (1992) menyatakan ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu :
a. Premarital Factors adalah faktor-faktor sebelum pernikahan, meliputi: 1) Latar belakang ekonomi
2) Pendidikan
3) Hubungan dengan orang tua
b. Postmarital Factors adalah faktor-faktor setelah pernikahan, meliputi:
1) Kehadiran anak, penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stres pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan. Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak tersebut.
(29)
14
2) Usia pernikahan, seperti yang dikemukakakan oleh Newman dan Newman (2006) bahwa kemungkinan munculnya perceraian sangat tinggi selama tahun pertama pernikahan dan mencapai puncaknya antara antara usia dua dan empat tahun pernikahan.
Senada dengan hal tersebut, Papalia dkk. (2007) juga mengemukakan ada lima faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan, yaitu:
a. Usia saat menikah, merupakan salah satu prediktor utama. Orang yang menikah pada usia dua puluhan memiliki kesempatan lebih sukses dalam pernikahan, daripada yang menikah pada usia yang lebih muda.
b. Latar belakang pendidikan dan penghasilan. Karena pendidikan dan penghasilan adalah saling berhubungan, mereka yang berpendidikan tinggi pada umumnya berpenghasilan lebih tinggi dan memiliki cara berpikir yang lebih terbuka.
c. Agama, dimana orang yang memandang agama sebagai hal yang penting relatif jarang mengalami masalah pernikahan dibandingkan orang yang memandang agama sebagai hal yang tidak penting.
d. Dukungan emosional. Kegagalan dalam pernikahan ini ada kemungkinan terjadi karena ketidakcocokan secara emosional dan tidak adanya dukungan emosional dari lingkungan.
e. Perbedaan harapan, dimana perempuan cenderung lebih mementingkan ekspresi emosional dalam pernikahan, di sisi lain suami cenderung puas jika istri mereka menyenangkan.
(30)
Selain faktor-faktor di atas, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi kepuasan pernikahan menurut Salim (2010), yaitu harapan dalam perkawinan, usia dan alasan saat menikah, latar belakang sosial-budaya, kebahagiaan pernikahan orangtua, peran orangtua dan keluarga, pola komunikasi, waktu bersama suami, waktu bersama anak, peran dan tanggung jawab dalam pernikahan, dan kondisi keuangan. Sunarti dkk. (2005) juga mengemukakan bahwa faktor dukungan sosial yang diterima oleh pasangan akan mempengaruhi kepuasan pernikahan. Semakin besar dukungan sosial yang diperoleh pasangan maka akan semakin baik kepuasan pernikahannya.
3. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan
Menurut Olson dan Fowers (1989) terdapat beberapa area dalam pernikahan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan. Adapun area-area tersebut adalah sebagai berikut:
a. Komunikasi
Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya. Laswell (1991) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu : keterbukaan diantara pasangan (openness), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap
(31)
16
pasangan (empathy), dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill).
b. Orientasi Keagamaan
Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan pernikahan. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orang tua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut kepada anaknya, dan merasa bahwa mereka wajib memberi teladan kepada anaknya dengan membiasakan diri beribadah, melaksanakan praktek agama, bersembah yang secara teratur, ikut dalam kegiatan atau organisasi agama (Hurlock, 1999).
c. Kegiatan di waktu luang
Area ini menilai pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat menikmati kebersamaan yang mereka ciptakan.
d. Penyelesaian Konflik
Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan
(32)
untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.
e. Pengelolaan Keuangan
Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.
f. Orientasi Seksual
Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam hal kasih sayang dan hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan dan memilih waktu yang tepat untuk berhubungan seksual
(33)
18
sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan pernikahan.
g. Keluarga dan teman
Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Hubungan yang baik antara menantu dan mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika individu dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri. Pernikahan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu yang lama (Hurlock, 1999).
h. Anak dan pengasuhan anak
Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan.
i. Kepribadian
Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan tersebut. Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku,
(34)
kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.
j. Kesetaraan Peran
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock (1999) menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi dan tidak hanya berlaku untuk jenis kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
4. Kriteria Kepuasan Pernikahan
Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain :
a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi, dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga.
(35)
20
b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam keluarga.
c. Model parental role yang baik. Pola orang tua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini dapat membentuk keharmonisan dalam keluarga.
d. Penerimaan terhadap konflik-konflik. Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga. e. Kepribadian yang sesuai dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling
memahami satu sama lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling melengkapi satu sama lain.
f. Mampu memecahkan konflik. Kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang dapat mendukung kepuasan pernikahan pasangan tersebut.
B. DUKUNGAN KELUARGA 1. Pengertian Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (2006) dukungan sosial adalah perasaan nyaman yang dirasakan, diperhatikan, dihargai, atau bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan disayangi. Gottlieb (dalam Kuntjoro, 2002) juga mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi verbal atau non verbal, bantuan yang nyata atau tingkah laku
(36)
yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.
Baron dan Byrne (2000) juga menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan fisik dan psikologis yang disediakan oleh teman dan anggota keluarga. Lebih jauh lagi Taylor (2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan bernilai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama.
Berdasarkan uraian definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang menjadikan individu merasa diperhatikan, bernilai, dan disayangi.
2. Bentuk – bentuk Dukungan Sosial
Sarafino (2006) mengemukakan empat bentuk dari dukungan sosial, yaitu: a. Dukungan Emosional
Jenis dukungan mencakup mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan. Kesediaan
(37)
22
untuk mendengar keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka.
b. Dukungan Instrumental
Jenis dukungan mencakup bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, dapat berupa jasa atau materi. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau menghibur saat individu mengalami stres. Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya.
c. Dukungan Informasional
Jenis dukungan mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk.
d. Dukungan Persahabatan
Jenis dukungan mencakup kesediaan waktu orang lain untuk menghabiskan waktu atau bersama dengan individu, dengan demikian akan memberikan rasa keanggotaan dari suatu kelompok yang saling berbagi minat dan melakukan aktivitas sosial bersama.
(38)
3. Sumber Dukungan Sosial
Taylor (2009) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari banyak sumber yang berbeda, seperti orangtua, pasangan atau orang yang dicintai, keluarga, teman, maupun komunitas sosial.
Kahn dan Antonucci (dalam Orford, 1992) menyatakan bahwa seorang individu dikelilingi oleh suatu pengiring yang selalu mendukung atau menyertai individu tersebut sepanjang masa hidupnya. Ada anggota-anggota pengiring yang stabil sepanjang waktu perannya, yaitu yang menyertai dan mendukung individu. Peran mereka sangat berarti bagi individu. Yang tergolong ke dalam pengiring ini adalah pasangan, keluarga, dan teman dekat.
Kahn dan Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi tiga kategori yaitu:
a. Sumber dukungan sosial yang stabil sepanjang waktu perannya, yaitu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang menyertai dan mendukungan individu tersebut. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami atau istri) atau teman dekat.
b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai sepanjang waktu. Misalnya teman kerja, tetangga, sanak keluarga, dan teman sepergaulan.
c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang member dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber dukungan ini misalnya tenaga ahli atau professional dan keluarga jauh dan sesama pekerja.
(39)
24
4. Dukungan Keluarga
Menurut Gerungan (2009) menyatakan keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Setiono (2011) juga menyatakan keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan. Burgess dan Locke (dalam Degenova, 2008) juga menyatakan keluarga adalah pola kecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang disatukan oleh ikatan pernikahan, ikatan darah, ikatan adopsi, hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan antar anggota keluarga saling bereaksi, berkomunikasi dalam peran-peran sosial keluarga, sesuai dengan kultur bagi masyarakat tetapi dengan ciri yang unik. Kertamuda (2009) menambahkan bahwa keluarga adalah tempat seseorang untuk bergantung baik secara ekonomi maupun untuk kehidupan sosial lainnya, tempat untuk memperoleh dukungan, sekaligus berperan dominan dalam pengambilan keputusan dalam kehidupan.
Gunarsa dan Gunarsa (2000) menyatakan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memegang peranan penting dan berguna untuk mengurangi masalah yang mungkin terjadi. Di dalam keluarga terjadi interaksi antara pribadi antara orangtua dan anak maupun sebaliknya, yang berpengaruh terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada anggota keluarga tersebut.
(40)
1. Keluarga batih/ inti (nuclear family), terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang kesemuanya sedarah.
2. Keluarga besar (extended family), adalah semua orang dari satu keturunan dari kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan istri atau merujuk pada keluarga inti dengan penambahan anggota keluarga selain anak, misalnya paman, bibi, serta orang tua dari pasangan suami istri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya dan merupakan pendukung utama bagi individu dalam menghadapi suka dan duka di dalam kehidupannya.
Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial yang berasal dari keluarga merupakan dukungan yang cukup penting bagi pasangan yang telah menikah. Dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang diperoleh individu dari keluarganya yang dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, ataupun materiil yang menjadikan individu merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan tempat utama pasangan yang menikah untuk mendapatkan nasehat, saran, informasi, interaksi yang dapat mendukung mereka di dalam pernikahannya. Tipe keluarga yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keluarga besar (extended family).
(41)
26
C. KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA
Suku Batak Toba merupakan suatu kesatuan yang memiliki kebudayaan dan bahasa tersendiri yang berbeda dengan suku lainnya (Irmawati, 2002). Suku Batak Toba merupakan masyarakat patrilineal dan menarik garis kekeluargaan dari pihak laki-laki, juga memiliki aturan dan adat pernikahan. Suku ini mengenal bentuk pernikahan eksogami marga yaitu pernikahan dengan orang di luar kelompok marga sendiri dan tidak boleh melakukan pernikahan secara timbal balik (Saragih dkk, 1980).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Irmawati (dalam Irmawati, 2008), suku bangsa Batak Toba memiliki nilai-nilai budaya yang sangat berbeda. Dalam menjalani hidupnya suku Batak Toba berpedoman pada sejumlah nilai-nilai utama yang menjadi keyakinan, penghormatan, dan cita-cita hidupnya. Sistem kekerabatan dan kekeluargaan memegang peranan penting dalam mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya. Sistem kekerabatan tersebut disebut dalihan na tolu. Sistem kekerabatan dalihan na tolu merupakan prinsip dasar kekerabatan suku Batak Toba (Gultom, 1992). Ihromi (dalam Vergouwen, 2004) juga mengemukakan bahwa segi kehidupan kemasyarakatan serta beberapa hal penting, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga orang Batak Toba, berkaitan erat dengan hubungan-hubungan kekerabatan yang disebut dalihan na tolu.
Khans dan Eva (dalam majalah Horas, 2003) menyatakan bahwa lembaga pernikahan dan hubungan kekerabatan merupakan tiang terpenting yang menyangga kehidupan orang suku Batak Toba. Orang Batak Toba sangat suka
(42)
memiliki keluarga besar dengan banyak kerabat. Pernikahan dan hubungan kekerabatan menjadi tujuan hidup dan yang memberi makna hidup bagi orang Batak Toba. Pernikahan juga dipandang sebagai pernikahan yang sakral dan oleh karena itu hanya berlangsung satu kali seumur hidupnya, pasangan yang telah menikah tidak diperbolehkan untuk berpisah apapun yang terjadi.
Pernikahan dipandang bukan hanya menjadi urusan pria dan wanita yang melakukan pernikahan, tetapi menjadi urusan bersama di dalam kedua belah pihak keluarga (Saragih dkk., 1980). Bahkan ketika pasangan tersebut mengalami konflik di dalam pernikahannya, maka dalihan na tolu akan langsung turut menyelesaikan perselisihan tersebut dan mengambil keputusan untuk pasangan tersebut (Lubis, 1999). Dalihan na tolu memiliki pengaruh di dalam kehidupan pernikahan suami dan istri tersebut.
Suami dan istri disebut mardongan saripe, artinya berbagi atas suatu hak milik benda. Karena itu di dalam kehidupan pernikahannya, seorang suami dan istri dikatakan ‘na marripe ripe do nasida di saluhut hangoluan, di nasa sitaonon, hasonangan, parulian dohot lan angka na asing’, ‘gumul na so jadi bagian, ansimun na so tupa bola on.’ Suami dan istri adalah satu perasaan baik susah maupun senang dan atas seluruh kehidupan mereka, mereka berdua tidak dapat dipisahkan dengan alasan apapun (Sitohang & Sibarani, 1988).
Pasangan suku Batak Toba sangat jarang melakukan perceraian sehingga pernikahan pada suku Batak Toba umumnya bertahan lama dan hanya dipisahkan oleh kematian salah satu dari pasangan (Sitohang & Sibarani, 1988). Siagian (2012) juga mengemukakan bahwa orang suku Batak Toba sangat setia kepada
(43)
28
pasangannya, hanya memiliki pasangan satu saja di sepanjang kehidupannya. Wismanto (2004) juga menyatakan bahwa adanya pernikahan yang kekal dan bertahan lama dikarenakan adanya kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh pasangan di dalam pernikahannya. Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba adalah baik yang ditunjukkan dari jarangnya pasangan melakukan perceraian dan cenderung untuk mempertahankan pernikahannya.
D. DEWASA AWAL
1. Pengertian Dewasa Awal
Masa dewasa awal merupakan masa dewasa yang dimulai dari usia 18 tahun – 40 tahun. Pada masa ini, terjadi perubahan-perubahan fisik, psikologis dan kemampuan reproduktif (Hurlock, 1999).
2. Karakteristik Dewasa Awal
Hurlock (1999) menyebutkan ada beberapa karakteristik dari usia dewasa awal yaitu sebagai masa pengaturan, usia reproduktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosional, masa keterasingan emosional, masa komitmen, masa ketergantungan, masa perubahan nilai, masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru, masa kreatif.
Sebagai masa pengaturan, individu sudah saatnya menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Sebagai usia reproduktif, individu berperan menjadi orangtua dan membesarkan anak-anaknya. Sebagai masa bermasalah, individu
(44)
banyak mengalami masalah baru pada tahun awal masa dewasanya. Sebagai masa ketegangan emosional, individu mungkin agak bingung dan mengalami keresahan emosional dikarenakan memasuki suatu wilayah baru. Sebagai masa keterasingan sosial, individu merasakan keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan berkurang seiring dengan berakhirnya pendidikan formal dan masuknya ke dalam pola kehidupan orang dewasa sehingga individu mengalami keterasingan sosial.
Sebagai masa komitmen, individu mengalami perubahan tanggungjawab menjadi orang dewasa dan membuat komitmen-komitmen baru di dalam hidupnya. Sebagai masa ketergantungan, individu yang telah mencapai usia dewasa awal masih agak tergantung kepada orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda, misalnya kepada orangtua, lembaga pendidikan, atau pemerintah. Sebagai masa perubahan nilai, individu mengalami perubahan pandangan karena pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dan karena nilai-nilai dilihat dari kacamata orang dewasa. Sebagai masa penyesuaian diri, individu melakukan penyesuaian diri terhadap gaya hidup yang baru, seperti penyesuaian pola kehidupan keluarga ataupun peran seks. Sebagai masa kreatif, individu bebas untuk mengembangkan kreatifitas tergantung pada minat, kemampuan individual dan kesempatan untuk mewujudkan keinginan-keinginannya.
(45)
30
3. Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Hurlock (1994) menyebutkan ada beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu usia dewasa awal, yaitu:
1. Mendapatkan suatu pekerjaan
2. Memilih seorang teman hidup atau menikah
3. Belajar hidup bersama dengan suami atau istri membentuk suatu keluarga 4. Membesarkan anak-anak
5. Mengelola sebuah rumah tangga
6. Menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam kelompok sosial yang cocok
4. Tugas Psikososial Dewasa Awal
Erikson mengatakan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa awal adalah intimacy versus isolation, sebagai salah satu tugas yang penting bagi dewasa awal (dalam Papalia, 2007). Intimacy akan muncul saat seseorang sudah mencapai atau menemukan cara untuk membentuk dan mempertahankan identitas secara menetap, yang dilakukan dalam masa remaja. Intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk menyatukan identitas diri yang sudah ditemukan di masa remaja dengan identitas diri orang lain. Newman dan Newman (2006) menambahkan bahwa intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk mengalami, baik itu menerima atupun memberi, suatu hubungan yang terbuka, saling mendukung dan hubungan yang penuh kasih dengan orang lain tanpa adanya ketakutan kehilangan identitas diri di dalam proses tersebut. Intimacypada
(46)
dewasa awal dapat ditemukan melalui hubungan intim yang dibentuk dengan pasangan romantisnya (pacar, suami atau istri) dan juga dengan sahabat (Papalia, 2007). Newman dan Newman (2006) juga mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan pada dewasa awal adalah membangun hubungan yang intim dengan seseorang di luar dari anggota keluarganya.
Suatu hubungan yang intim memiliki komponen kognitif dan afektif. Seseorang akan mampu untuk memahami pandangan dan pemikiran dari pasangannya. Individu biasanya juga akan mengalami suatu rasa kepercayaan diri dan saling memberikan perhatian yang merefleksikan kasih sayang mereka terhadap pasangannya. Intimacy juga akan mendorong individu untuk terbuka dengan perasaannya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk berbagi ide-ide dan rencana dengan pasangannya (Newman & Newman, 2006).
E. HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPUASAN
PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, tingkat perceraian pun semakin meningkat. Berdasarkan data Badilag pada tahun 2010, kasus dan tingkat perceraian di Indonesia tampak terus meningkat dari tahun ke tahunnya. Data menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia tergolong besar, bahkan di atas lima puluh persen angka pernikahan.
Menurut Brigham (1986), salah satu penyebab terjadinya perceraian adalah karena individu merasa tidak puas dengan kehidupan pernikahannya. Menurut Roach (dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004) kepuasan pernikahan
(47)
32
merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu. Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Hughes & Noppe, 1985). Kepuasan pernikahan tersebut dapat dilihat melalui beberapa aspek yang dikemukakan Olson dan Fowers, yaitu meliputi komunikasi, orientasi keagamaan, kegiatan di waktu luang, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan,hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.
Adanya kepuasan pernikahan di dalam sebuah pasangan suami istri dapat dilihat dari bagaimana mereka mempertahankan pernikahannya atau dengan kata lain bertahan dengan pernikahannya. Di dalam pernikahan tersebut, masing-masing suami dan istri merasa bahagia satu sama lain, saling memahami dan menghargai satu sama lain. Suami dan istri juga memahami dan menilai latar belakang budaya mereka (dalam Matlin, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salim (2010) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah latar belakang sosial budaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya dapat mempengaruhi pernikahan yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri. Hal ini dapat dilihat pada suku Batak Toba yang sangat berpengaruh terhadap pernikahan pasangan suami istri. Keluarga dari pihak suami dan istri turut serta mengambil keputusan dalam pernikahan tersebut (Saragih, 1980).
(48)
Dalam pernikahan suku Batak Toba, pernikahan bertujuan untuk melanjutkan keturunan marga dan akan bertambahnya keluarga baik pada pihak suami maupun istri. Oleh karena itu kedua belah pihak keluarga terlibat dalam pasangan yang telah menikah (Saragih, 1980). Ketika ada konflik dalam keluarga maka keluarga akan turut serta dalam menyelesaikan masalah tersebut dengan cara musyawarah dan mufakat (Lubis, 1999). Sistem kekeluargaan yang disebut dengan dalihan na tolu ini sangat berpengaruh di dalam pernikahan yang utuh, dan adat pada budaya ini juga sangat melarang adanya perceraian (Saragih, 1980). Dengan kata lain, pada suku Batak Toba keluarga berperan penting terhadap kehidupan pernikahan.
Keluarga adalah sumber dukungan sosial pertama yang penting untuk mengatasi masalah. Keluarga dapat menyediakan dukungan dan dapat memberikan rasa aman serta melalui ekspresi kehangatan, empati, persetujuan atau penerimaan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga yang lain (Santrock, 2005). Hartanti (2002) juga mengatakan apabila individu mendapat dukungan keluarga akan mengalami berkurangnya kelelahan emosi dan stress sehingga individu menjadi tidak sedih lagi, tidak merasa kecewa dan mendapatkan masukan-masukan untuk masalah yang sedang dihadapi, akibatnya individu akan mampu menyelesaikan masalah dengan sikap yang positif.
Dukungan keluarga merupakan kebutuhan dari setiap anggotanya, baik ketika masih anak-anak hingga dewasa. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan tempat bagi seseorang untuk memperoleh kenyamanan, cinta, dan dukungan emosional, sehingga individu merasakan kebahagiaan (Kertamuda, 2009). Papalia
(49)
34
(2007) menambahkan ketika pasangan menikah tidak mendapatkan dukungan emosional maka dapat menimbulkan kegagalan dalam pernikahan. Lestari (2012) juga menyatakan adanya dukungan yang diberikan orang tua berupa dukungan emosional dan instrumental merupakan hal yang sangat penting bagi pasangan.
Dukungan yang diberikan oleh keluarga mampu meningkatkan kepuasan yang dirasakan pasangan di dalam pernikahannya (Nichole, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh House (dalam Maldonado, 2005) juga menemukan bahwa dukungan dari keluarga merupakan hal yang paling efektif dalam mengurangi beban pada individu. Pentingnya dukungan keluarga juga diungkapkan oleh Holahan dan Moos (dalam Pakalns, 1990) yang menemukan bahwa dukungan dari keluarga lebih berpengaruh kepada mood dibandingkan dengan dukungan dari lingkungan kerja terhadap individu. Sunarti dkk. (2005) juga mengatakan bahwa semakin besar dukungan yang diperoleh oleh pasangan menikah maka akan semakin baik pula kepuasan pernikahannya sehinnga pernikahan itu akan bertahan.
Tidak adanya perceraian di dalam sebuah pasangan suami istri merupakan bukti dari adanya kepuasan pernikahan di dalam pasangan tersebut (Wismanto, 2004). Sependapat dengan hal tersebut, Matlin (2008) juga mengemukakan bahwa pernikahan yang memuaskan adalah pernikahan yang stabil, bahagia, dan pasangan saling memahami dan menghargai. Dengan kata lain, pernikahan itu tidak bercerai, bertahan, dan pasangan merasakan kebahagiaan.
Berdasarkan literatur yang telah dikemukakan di atas bahwa perceraian pada suku Batak Toba sangat rendah dan juga didukung oleh hasil survei di
(50)
lapangan yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat bahwa kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba adalah tinggi. Adanya campur tangan keluarga besar terhadap pernikahan juga menunjukkan bahwa pasangan suku Batak Toba tidak dapat dilepaskan dari keluarga dan sangat dipengaruhi oleh keluarganya. Besarnya pengaruh keluarga besar terhadap pernikahan bahkan ketika pasangan tersebut mengalami konflik juga menunjukkan dukungan yang diberikan oleh keluarga terhadap pasangan dalam menjalankan kehidupan pernikahannya (Lubis, 1999).
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
F. HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Ada korelasi positif antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba”. Semakin tinggi dukungan keluarga yang diperoleh maka kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba semakin tinggi, dan semakin rendah dukungan keluarga yang diperoleh maka kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba semakin rendah.
(51)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam suatu penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak (Hadi, 2000). Penelitian ini bersifat korelasional, yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki sejauhmana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2010).
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Variabel tergantung : Kepuasan pernikahan b. Variabel bebas : Dukungan keluarga
B. DEFINISI OPERASIONAL 1. Kepuasan Pernikahan
Kepuasan pernikahan adalah penilaian positif terhadap pernikahan yang telah dijalani bersama oleh suami dan istri, meliputi area-area dalam pernikahan yakni komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman,
(52)
pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya.
Data mengenai kepuasan pernikahan diperoleh melalui skala kepuasan pernikahan berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dikemukan oleh Olson dan Fowers (1989) yang terdiri dari 10 dimensi yaitu komunikasi, kegiatan di waktu luang, orientasi agama, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, orientasi seksual, keluarga dan teman, anak dan pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.
Skor yang diperoleh menunjukkan tinggi rendahnya tingkat kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri. Skor tinggi yang diperoleh oleh seorang individu dari skala kepuasan pernikahan menunjukkan subjek memiliki kepuasan pernikahan yang tinggi. Sedangkan skor rendah yang diperoleh oleh seorang individu menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang rendah.
2. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah bantuan yang diperoleh individu dari keluarga besarnya, yang dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang menjadikan individu merasa diperhatikan, disayangi, dan bernilai.
Data mengenai dukungan keluarga diperoleh melalui skala dukungan keluarga berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasional, dan dukungan persahabatan.
(53)
38
Skor yang diperoleh menunjukkan tinggi rendahnya tingkat dukungan keluarga pada pasangan suami istri Batak Toba. Skor tinggi yang diperoleh oleh seorang individu dari skala dukungan keluarga menunjukkan subjek mendapatkan dukungan sosial yang tinggi. Sedangkan skor rendah yang diperoleh oleh seorang individu menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat dukungan keluarga yang rendah.
C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi pada jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000).
Karakteristik populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Usia subjek 20-40 tahun
Karakteristik ini digunakan oleh peneliti berdasarkan teori Hurlock yang menyatakan bahwa usia dewasa awal memiliki tugas perkembangan yaitu menikah (Hurlock, 1999).
b. Pasangan suami dan istri yang berasal dari suku Batak Toba
Karakteristik ini digunakan oleh peneliti berdasarkan teori yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah sosial-budaya (Salim, 2010). Hal ini juga tampak pada suku Batak Toba dimana pernikahan di dalam suku batak toba dipengaruhi oleh keluarga, baik pihak istri maupun suami (Saragih, 1980).
(54)
c. Usia pernikahan
Karakteristik ini digunakan oleh peneliti berdasarkan teori Hendrick & Hendrick (1992) yang mengatakan bahwa kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh usia pernikahan. Usia pernikahan pada pasangan yang dijadikan subjek dalam penelitian ini yakni 1-4 tahun pernikahan. Alasan peneliti menggunakan rentang usia pernikahan ini adalah data yang menunjukkan bahwa kemungkinan munculnya perceraian sangat tinggi selama tahun pertama pernikahan dan mencapai puncaknya antara antara usia dua dan empat tahun pernikahan (Newman & Newman, 2006).
d. Memiliki anak
Karakteristik ini digunakan oleh peneliti berdasarkan teori Hendrick dan Hendrick (1999), bahwa kehadiran anak turut mempengaruhi kepuasan pernikahan suami dan istri.
2. Metode Pengambilan Sampel
Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka peneliti hanya meneliti sebahagian dari populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian yang dikenal dengan nama sampel. Sampel adalah sebahagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).
Metode pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang mewakili populasi (Hadi, 2000). Teknik pengambilan
(55)
40
sampel yang digunakan adalah teknik non probability sampling yaitu purposive sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan memilih sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat yang dipandang memiliki kaitan dengan ciri atau sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya. Dengan menggunakan tekhnik ini diharapkan kriteria sampel yang diperoleh benar-benar sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.
Suatu sampel yang baik harus memenuhi syarat bahwa ukuran atau besarnya sampel memadai untuk dapat meyakinkan kestabilan ciri-cirinya. Azwar (2010) menyatakan jumlah sampel lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Maka jumlah total sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 70 orang. Sampel yang digunakan adalah individu menikah suku Batak Toba dengan rentang usia pernikahan 1-4 tahun di kecamatan Balige sekitarnya Kabupaten Toba Samosir.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala psikologi yang berbentuk skala Likert dengan lima pilihan. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan skala yang berisi daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan disusun sedemikian rupa sehingga subjek penelitian dapat mengisi dengan mudah (Azwar, 2010).
(56)
Hadi (2000) mengemukakan bahwa skala psikologis mendasarkan diri pada laporan-laporan pribadi (self report). Selain itu skala psikologis memiliki kelebihan dengan asumsi sebagai berikut :
1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.
2. Bahwa apa yang dikatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.
3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sama dengan apa yang dimaksud peneliti.
Prosedur penskalaan model Likert ini didasari oleh dua asumsi (Azwar, 2002).
1. Setiap pernyataan yang ditulis dapat disepakati sebagai pernyataan yang favorable(positif) atau pernyataan yang unfavorable(negatif).
2. Jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kepuasan pernikahan dan dukungan keluarga.
1. Skala Kepuasan Pernikahan
Skala kepuasan pernikahan dibuat dalam bentuk skala Likert. Aitem-aitem dalam skala ini disusun berdasarkan teori mengenai area-area dalam pernikahan untuk mengukur kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (1989).
(57)
42
Metode skala yang digunakan disajikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Pernyataan dalam skala ini berbentuk skala jenjang yang mengungkap intensitas kejadian. Skala yang digunakan memiliki empat pilihan jawaban yaitu : Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan bersifat favorabel (pernyataan berbentuk positif) dan tidak favorabel (pernyataan bersifat negatif). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favorabel adalah SS = 4, S = 3, TS = 2 dan STS = 1. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan tidak favorabel yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3, dan STS = 4.
Tabel 2.
Blue-print Skala Kepuasan Pernikahan Sebelum Uji Coba No Aspek Kepuasan
Pernikahan
Nomor Aitem Jum
lah
Bobot (%)
Favourable Unfavourable
1 Komunikasi 1, 11, 21, 61, 71 31, 41, 51, 81, 91 10 10 % 2 Orientasi agama 2, 12, 22, 62, 72 32, 42, 52, 82, 92 10 10 % 3 Kegiatan di waktu
luang 3, 13, 23, 63, 73 33, 43, 53, 83, 93 10 10 % 4 Penyelesaian
konflik 4, 14, 24, 64, 74 34, 44, 54, 84, 94 10 10 % 5 Pengelolaan
keuangan 5, 15, 25, 65, 75 35, 45, 55, 85, 95 10 10% 6 Orientasi seksual 10, 20, 30, 70,
80
40, 50, 60, 90,
100 10 10 %
7 Keluarga dan
teman 9, 19, 29, 69, 79 39, 49, 59, 89, 99 10 10 %
8 Anak dan
pengasuhan anak 8, 18, 28, 68, 78 38, 48, 58, 88, 98 10 10 % 9 Kepribadian 7, 17, 27, 67, 77 37, 47, 57, 87, 97 10 10 % 10 Kesetaraan peran 6, 16, 26, 66, 76 36, 46, 56, 86, 96 10 10 %
(1)
25 Orangtua mau menemani saya berbelanja saat persiapan pesta kelahiran anak saya
26 Saya pergi bersama dengan mertua/ orangtua ketika akan menghadiri suatu pesta
27 Orangtua memberikan petunjuk ketika saya kesulitan dalam mengambil keputusan
28 Mertua saya sulit meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan saya
Skala II
No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya dan pasangan tahu apa yang harus kami lakukan saat sedang menghadapi suatu masalah 2 Pasangan saya tidak menerima saya apa adanya
3 Saya dan pasangan membicarakan tentang apa yang sedang kami rasakan satu sama lain
4 Saya belum menemukan cara membuat pasangan untuk nyaman dalam berhubungan seksual
5 Sulit bagi saya dan pasangan untuk memutuskan bersama apa yang akan kami lakukan pada waktu luang
6 Saya dan pasangan menyempatkan waktu untuk menghadiri acara-acara keluarga
7 Saya merasa pasangan saya merupakan rekan yang baik dalam urusan rumah tangga
8 Saya dan pasangan beribadah ke gereja setiap minggunya
(2)
9 Pasangan saya terkesan kurang peduli dalam hal pengasuhan anak
10 Pasangan suka membeli barang-barang di luar kebutuhan sehingga membuat keuangan kami tidak stabil
11 Saya memendam perasaan saya dibanding menceritakannya kepada pasangan
12 Saya dan pasangan berdiskusi untuk melakukan kegiatan waktu luang bersama
13 Saya dan pasangan mendiskusikan bersama mengenai keputusan pendidikan untuk anak kami 14 Saya dan pasangan membuat perencanaan
pengeluaran dan pemasukan setiap bulannya
15 Saya menemukan cara membuat pasangan untuk nyaman dalam berhubungan seksual
16 Kebiasaan-kebiasaan buruk pasangan saya semakin lama semakin berkurang
17 Kesibukan saya dan pasangan membuat kami tidak mengikuti organisasi keagamaan
18 Ketika ada permasalahan, saya dan pasangan sulit untuk mencari jalan keluarnya bersama
19 Saya dan pasangan berbagi tugas mengenai peran kami sebagai orangtua bagi anak-anak kami
20 Saya dan pasangan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar kami
(3)
21 Sulit bagi saya untuk menjalin komunikasi dengan keluarga pasangan saya
22 Saya merasa pasangan mengabaikan perannya dalam rumah tangga
23 Sulit bagi saya dan pasangan untuk melibatkan diri dalam organisasi keagamaan
24 Saya dan pasangan membicarakan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang kami hadapi
25 Saya percaya bahwa pasangan menceritakan apa yang dirasakannya kepada saya
26 Saya sulit menyesuaikan diri dengan sifat-sifat pasangan saya
27 Saya dan pasangan tidak pernah membicarakan cara yang nyaman dalam berhubungan seksual 28 Saya dan pasangan menghabiskan waktu
senggang kami secara terpisah
29 Saya dan pasangan mampu menghindari pengeluaran yang tak diperlukan
30 Kehadiran anak membuat saya dan pasangan semakin saling menyayangi satu sama lain
31 Saya dan pasangan sepakat mengenai bagaimana kami menghabiskan hari libur
32 Pasangan tidak melibatkan saya untuk mengatur keuangan
(4)
33 Saya menutupi kesalahan yang saya perbuat dari pasangan
34 Saya merasa bahwa pasangan saya kurang perhatian dengan keluarga besar saya
35 Sulit bagi saya dan pasangan untuk mencari penyelesaian masalah kami bersama
36 Pasangan saya bukanlah rekan yang baik dalam urusan rumah tangga
37 Sesibuk apapun saya dan pasangan, kami berusaha menyempatkan diri untuk ikut partangiangan (kebaktian sektor) setiap minggunya
38 Saya mampu menyesuaikan diri dengan sifat-sifat pasangan saya
39 Saya memutuskan sendiri bagaimana cara mendidik anak kami
40 Pasangan saya tidak pernah membuat kejutan pada moment tertentu
41 Saya dan pasangan menyumbangkan dana semampu kami dalam pembangunan rumah ibadah
42 Sulit bagi saya dan pasangan untuk menikmati waktu luang kami
43 Saya merasa bahwa pasangan perhatian dan sayang kepada keluarga besar saya
44 Pasangan saya membiarkan permasalahan yang sedang saya alami
(5)
45 Saya mengabaikan keluh kesah pasangan mengenai masalah yang sedang dihadapinya
46 Saya dan pasangan mengatur keuangan keluarga secara bersama
47 Saya dan pasangan mampu menyeimbangkan peran kami sebagai orangtua dan pasangan
48 Saya dan pasangan sharing mengenai cara yang nyaman dalam berhubungan seksual
49 Pasangan mengecewakan saya karena suka tidak menepati janjinya
50 Adanya anak membuat saya dan pasangan lebih bersemangat dalam mencari nafkah
51 Pasangan saya kurang peduli terhadap kegiatan keagamaan
52 Pasangan mau mendengarkan keluh kesah saya
53 Pasangan membantu mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang saya hadapi
54 Sulit bagi kami berbagi peran dengan seimbang dalam rumahtangga kami
55 Rasa capek yang saya rasakan berkurang setelah berkumpul bersama pasangan dan anak-anak
56 Saya percaya bahwa pasangan mampu mengatur keuangan, begitu juga sebaliknya
(6)
MOHON PERIKSA KEMBALI JAWABAN ANDA, PASTIKAN TIDAK ADA JAWABAN YANG KOSONG
TERIMA KASIH ATAS BANTUAN ANDA 57 Saya merasa bahwa pasangan saya lebih banyak
menghabiskan waktu dengan keluarganya sendiri
58 Sulit bagi saya membagi waktu antara pasangan dan anak
59 Sulit bagi saya menerima sifat pemarah pasangan saya
60 Saya dan pasangan memiliki panggilan sayang masing-masing