KETERPADUAN EKONOMI KARET ALAM THAILAND

  Inneke Qomariah, Doli M Ja’far Dalimunthe: Pengaruh pengetahuan kewirausahaan, motif…

KETERPADUAN EKONOMI KARET ALAM THAILAND Muchtar Ahmad

  Guru Besar Faperikan UNRI m_ahmad945@yahoo.com

  

Abstract: Although some studies on the importance of integration have been discussed,

especially on commodity marketing and regional economic integration, but how and

why the integration happened are still not much studied and published, especially on

the economic integration of natural rubber commodity. Based on a brief visit to

Thailand, it is found that the economy of natural rubber is well integrated started since

1980s; it beginning from production input supply and research, plantation farming

and extension services up to trade and export. It indicates that agribusiness and

market systems and their institutions are well established efficiently, yet the

competitiveness is high and sustainable agriculture of natural rubber in Thailand is

persistent. However, rubber agroindustry is not yet well develop as entrepreneur in

this capital intensive industry is still weak.

  Keywords: agribusiness system, competitiveness, institution, market system, sustainable agriculture.

  PENDAHULUAN

  Dalam suatu ekonomi yang agraris di negara berkembang, sering ditemukan tidak terin-tegrasinya ekonomi tradisional yang umumnya di pedesaan dengan ekonomi moderen yang efi-sien yang dijumpai di perkotaan. Hal ini telah disimak oleh Boeke (1951) yang terkenal dengan teori masyarakat ganda (dual societies), bahkan dikatakannya tidak mungkin dirubah. Sedangkan Lewis (1954) menyatakannya sebagai ekonomi ganda (dual economies), yakni sektor kapitalis yang moderen dan sektor tradisional pertanian yang efisiensinya sangat berbeda. Oleh karena itu kedua sektor ekonomi itu perlu diatasi dalam suatu pembangunan ekonomi.

  Sejak itu, kajian tentang pentingnya keterpaduan ekonomi telah banyak dilakukan, teru-tama dalam pemasaran dan ekonomi negara, namun bagaimanakah bentuk keterpaduan yang hendak diwujudkan, belum banyak kajiannya, khusus mengenai keterpaduan ekonomi jenis komoditi pertanian atau bersifat sektoral, seperti karet alam. Kalaupun ada kajian integrasi ekonomi, yang banyak dilaporkan lebih menonjol pada hal yang bersifat analisis makro ekonomi dari yang menekankan kepada perdagangan dan kelembagaan. Seperti yang diungkapkan oleh Balassa (1961): “economic integration

  is a process and as a state of affairs. As a process, it encompasses measures designed to abolish discrimination between economic units belonging to different national satates. As a state of affairs, it can be represented by the absence of variopus forms of discrimination between national economies.” Sedangkan Haggard (1996)

  membuat batasan pemaduan ekonomi sebagai suatu proses koordinasi dan penyesuaian kebijakan yang bertujuan mempererat-kuatkan saling ketergantungan ekonomi dan pengelolaan eksternalitas yang dihasilkan oleh saling ketergantungan tersebut.

  Sebenarnya ada beberapa laporan kajian yang berkaitan dengan integrasi dalam ekonomi pertanian dan wilayah. Misalnya tentang integrasi pasar melalui harga oleh pedagang ikan tuna (Junaidi 2006), integrasi pasar hasil pertanian (Meyer 2004) serta analisis sosial ekonomi sawit yang bertujuan mengintegrasikan dualistik ekonomi (Syarfi 2007). Sedangkan Chou (2006) me- nguji integrasi ekonomi China dari aspek kelembagaan, yang berkesimpulan bahwa pemerintah China mempunyai kapasitas dalam menerapkan perjanjian internasional yang diabaikan oleh ma-salah struktural administrasi. Sungguhpun demikian kajian yang berdasarkan analisis mikro eko-nomi dan integrasi ekonomi komoditi karet memang masih langka dilaporkan. Karena itu tujuan utama tulisan ini ialah untuk memahami terjadinya integrasi ekonomi karet di

   Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

  Thailand, mulai dari usaha tani, pemsaran sampai ke perdagangan internasional yang ditinjau dari pelbagai aspek teori integrasi ekonomi.

  METODE

  Agar dapat difahami proses terwujudnya integrasi dan keadaan keterpaduan ekonomi ka-ret Thai, maka telah dilakukan kunjungan khusus ke Thailand selama sepekan (30 Juni sampai 5 Juli 2008) yang lalu. Selama kunjungan itu telah diamati daerah pertanian karet bagian tanggara negara itu, lembaga penelitian di lapangan dan di universitas, pengusaha pengolah hasil perkebunan karet, lembaga semi pemerintah yang mengelola perdagangan karet serta asosiasinya, maupun pasar pertanian atau pasar lelang karet. Juga diadakan kesempatan melihat desa pertani-an, pusat penelitian karet, pengolahan hasil dan pengembangan usaha karet yang mendukungnya serta perusahaan pengekspornya. Dengan mengamati keadaan di tempat tersebut, akan dapat di- ketahui bukan saja masalah, tetapi juga penyebab mengapa pertanian karet di Thailand termasuk terdepan dalam produksi dan ekspor karet dari Asia Tenggara.

  Dalam kunjungan itu pula ditinjau perkembangan perkebunan karet dari hulu sampai ke hilir bagi meneroka sebab yang menjadikan Thailand penghasil karet nomor satu di dunia. Untuk itu telah dilakukan tukar-fikiran dengan para peneliti dan pimpinan lembaga penelitian karet ber- kenaan dengan penelitian karet, usaha budidaya karet dan pemuliaannya sampai kepada pengola- han dan perdagangan karet alam termasuk ekspor karet dari Thailand.

  Sebagai nara sumber adalah para pekebun karet dan pengolah karet, serta peneliti karet pada Pusat Penelitian Karet (Rubber Research Center) di provinsi Chaengsao, Lembaga Penelitan Karet Thailand (Institute of Rubber Research of Thailand: IRRT), yang ada di dalam kampus Universitas Kasetsart di Bangkok, pimpinan dan staf Kantor Bantuan Dana Penanaman Kembali Karet (ORRAF: Office of Rubber Replanting Aid Fund), dan eksportir karet alam terbesar di Thailand, Thai Hua Rubber Public Co., Ltd dan staf Thai Rubber Association. Dalam pelbagai kesempatan berbincang dengan berbagai petani, para peneliti dan teknisi, pedagang karet dalam negeri dan pengekspor maupun komentar rombongan dicatat sebagai informasi data primer, ter- masuk catatan pengamatan sepintas tentang keadaan lingkungan pedesaan di sepanjang jalan dan di desa yang dikunjungi. Sedangkan data dari berbagai penerbitan resmi dan lembaga terkait di-kumpulkan sebagai data sekunder.

  Informasi dan data yang dikumpulkan diurai dan dibahas menurut sistem agribusinis; diikuti dengan menggambarkan hubungannya dari segii integrasi ekonomi, yaitu proses dan keadaan (status)nya. Kemudian dibahas dengan sintuhan sosial- ekonomi pertanian sehingga gambaran peranannya menjadikan Thailand pengekspor utama karet dunia serta para petani karetnya sejahtera dapat diungkapkan.

  Keadaan keterpaduan ekonomi karet alam di Thailand ditemukan sudah mapan dan man-tap. Secara mum negara itu memang kompeten dalam memajukan perkebunan karetnya dan bah-kan memadukannya dengan ekonomi karet dunia. Pada hal diakui para peneliti, bahwa mereka banyak belajar dari Indonesia, bahkan penanam karet di Thailand Selatan pada awalnya didatang-kan dari Sumatera. Kemantapan integasi ekonomi karet alam itu dapat dilukiskan secara sederha-na sistem agribisnis karet alam di Thailand; yang gambaran secara rajah (schematic) seka-ligus memperlihatkan proses terpadunya ekonomi karet alam di sana seperti pada Rajah1. Keadaan dan proses integrasi ekonomi karet alam Thailand itu tergambar mantap seperti terlihat dari rangkaian hubungan antar subsistemnya yang terpadu, mulai dari penyediaan sarana produksi, usaha tani karet oleh pekebun rakyat dan perusahaan besar, pengolahan dan pemasaran karet oleh koperasi dan perdagangan ekspor sampai ke importer karet di Amerika Serikat, China dan Jepang.

  Demikian pula subsistem penunjangnya, yaitu berupa subsistem dukungan pela- yanan administrasi, pendanaan, penyuluhan/latihan serta penelitian dan pengembangan-nya (Ahmad 2009). Semua subsistem itu dilengkapi dengan kelembagaan yang bersifat swasta, semi-

  Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

  pemerintah (ORRAF) dan pemerintah (Kementerian Pertanian dan Kope-rasi) untuk mendukung kegiatan niaga karet dengan mekanisme kerja yang sifatnya ke- lembagaan menghidupkan sistem agribisnis karet itu agar giat mencapai tujuan niaga ka-ret alam. Dampak dari kemantapan sistem tersebut terlihat dari perkembangan luasan per-kebunan karet dan produktivitas karet alam, maupun stabilitas harga karet dan juga kese-jahteraan para pelaku yang terlibat dalam niaga karet alam itu. Keadaan yang terjadi itu bemula dari pembenahan kelembagaan yang dibangun pemerintah sejak tahun 1970-an, sampai kepada perhatin dan kegiatan Raja Bumiphol, yang istananya berada di tengah kota Bangkok de-ngan luas dua kilometer persegi (400hektar), berkunjung ke daerah perkebunan karet. Di ling-kungan istana sendiri dilakukan kegiatan pertanian, dengan adanya sawah, kebun, buah-buahan, peternakan sapi perah, dan lain-lain; yang kononnya Raja dan keluarganya ikut bekerja sebagai petani. Sedangkan hasilnya disumbangkan kepada rakyat miskin di kawasan pedesaan yang dian-tarkan langsung oleh anggota keluarga istana.

  Sehingga memang raja amatlah dihormati dan di-sayangi rakyat karena merasa diperhatikan pekerjaan dan kehidupan mereka. Pemerintah juga umumnya berfihak kepada kepentingan petani; dan rakyat banyak amatlah diutamakan, sehingga misalnya pedana menteri Thaksin pun waktu berkuasa, juga mengikuti prilaku raja, maka dipuja pula oleh rakyat sampai saat ini, walaupun sudah berada di luar negeri. Itulah contoh dampak ke- lemba-gaan yang walaupun sifatnya informal tapi dilakukan oleh fihak pemerintah.

  Jadi kemajuan pertanian di Thailand didukung oleh: mantap dan lengkapnya sistem agri-bisnis setiap komiditi pertanian dengan kelembagaan yang kuat. Termasuk kelembagaan menge-nai pendanaan, administrasi, penelitian dan pengembangan, penyuluhan maupun koperasi perta-nian di pedesaan. Semuanya akuntabel dan berfungsi secara nyata memajukan pertanian dan ke-sejahteraan petani.

  Sistem Agribisnis Karet Rakyat

  Baik Malaysia maupun Thailand memakai pola yang digunakan Belanda dalam mengem- bangkan perkebunan sawit rakyatnya sampai dewasa ini. Setiap petani karet dibayar seluruh pe-ngeluarannya dalam membangun kebun karet atau bahkan bila menanam kembali dengan sawit. Pembayaran itu berupa hibah yang tidak perlu dikembalikan. Total biaya membangun dan meme-lihara karet satu hektar sampai bisa ‘dipotong’ (dideres/sadap) sekitar Rp. 25 juta. Dengan pola itu sedang dikembangkan di daerah provinsi Thailand Utara dan Timur Laut seluas 250 ribu hektar lagi menjelang akhir tahun 2010. Sampai tahun 2008 ini telah selesai ditanam di daerah tersebut seluas 120 ribu hektar oleh Lembaga Penelitan Karet Thailand (Institute for Rubber Research of Thailand:

  IRRT), yang ada di dalam kampus Universitas Kasetsart di pinggiran kota Bangkok.

  I Sarana Produksi A R d R Koperasi m T n

  / Usaha Produksi / R P

  R Koperasi Pengolahan e C n T Rubber Central Market d / \ O Fabrik Eksportir l R a

  R Ekspor t A i F Importir/ Industri Pengolahan h

  Rajah 1. Sistem agribisnis karet secara fungsional di Thailand

   Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

  Sedangkan sisanya dikembangkan oleh mau pun sebagai penanaman kembali menggantikan karet yang sudah tua. Jumlah petani karet di Thai-land mencapai satu juta orang dengan luas kebun karet terkecil satu hektar sampai 20 hektar. Sa-saran pemerintah Thailand pada tahun 2010 akan memiliki kebun karet sekitar 270 ribu hektar. Rerata produksi ke-bun karet rakyat tak berbeda dengan perkebunan swasta besar, yaitu minimal 1300 kg per hektar per tahun. Dengan harga karet yang diekspor sekitar Rp30.000,- maka peng-hasilan petani karet dapat mencapai Rp 39 juta per 120 hari kerja setahun atau rerata lebih Rp 3 - 6juta per bulan per keluarga bagi yang memiliki satu hektar kebun karet. Produksi tertinggi su-dah dapat dicapai se-kitar 2,3 ton per hektar per tahun. Pendapatan demikian termasuk sejahtera di negeri itu, lagi pula, sungguh jauh tinggi dari pendapatan petani karet di Indonesia yang hasil-nya 700kg/ha/th, bekerja sepanjang tahun, dan dengan harga yang diterimanya hanya sekitar se-pertiga yang diterima petani Thailand.

  Sekedar untuk perbandingan, di provinsi Riau untuk meningkatkan pendapatan masyara-kat pedesaan telah diterapkan transmigrasi bagi mengisi pola perkebunan inti rakyat atau lebih dikenal dengan sebutan PIR-Trans. Akan tetapi pekasanaan kebijakan tersebut belum berjalan lancar sebab: a) tidak seimbangnya peserta lokal dengan penda-tang; b) tidak setaranya biaya pro-duksi dan kebutuhan hidup dengan kredit yang diberi-kan; sehingga bagi penduduk tempatan pro-yek itu tidak mampu memanfaatkan atau kurang dirasakan adanya manfaat yang berarti (Masperi 2004). Keadaan ini menggam- barkan adanya diskriminasi, yang menunjukkan pula belum terin-tegrasinya ekonomi karet di Riau khususnya. Secara nyata proyek PIR-Trans karet di kabupaten Kuantan-Singingi yang dibangun pada tahun 1970-an gagal.

  Perkembangan Produksi Karet Alam

  Produksi karet di dunia terdiri dari karet alam dan karet sintetis. Thailand merupakan pro-dusen karet alam terbesar di dunia, diikuti oleh Indonesia dan Malaysia. Pada tahun 2007 produk-si karet alam

  Indonesia lebih 2,7 juta ton; sedangkan ton. Jumlah seluruh produksi karet alam dunia sebesar 9.948.000 ton dan karet syntetis sebanyak 12.941.000 ton. Tak berapa lama lagi produksi karet sintetis diperkirakan akan berkurang karena tingginya harga minyak bumi yang merupakan bahan baku utamanya. Hal itu akan terjadi menje-lang tiga tahun ke depan. Maka kebutuhan karet dunia akan bertumpu pada karet alam. Bagaimanakah Thailand dapat menjadi produsen karet alam terbesar (30% dunia)? Pada hal tahun 1970 produksinya hanya 9,9% saja, saat Indonesia sudah mencapai 26,9%. Lagi pula luasan lahan karet di Thailand hanya 2,46 juta ha lebih kecil dari Indonesia yang mencapai lebih dari tiga juta hektar. Bahkan dari tahun 1950—1959 Indonesia merupakan penghasil 45% karet alam dunia (Lee 1975). Tak mengherankan karena karet itu diperkenalkan di Asia pertama kali di Hindia Belanda pada menjelang pertengahan abad lalu atau sekitar tahun 1930-an. Di Riau karet dikembangkan dengan ‘sistem kupon’ sekitar tahun 1933. Sistem ini relatif dapat meningkatkan pendapatan petani sekali gus juga meransang pengembangan perkebunan karet rakyat maupun peningakatan produksi karet alam. Setiap karet yang ditanam dan dipelihara petani dibayar oleh pemerintah penjajah Belanda yang dinilai hasilnya pada saat sudah berumur tertentu. Nilai yang dibayar berdasarkan harga pasar pada saat itu. Sedangkan ketika karet sudah dapat dipanen (disa- dap) hasilnya pasti dibeli oleh perusahaan Belanda dengan harga pasar ketika itu. Jadi Belanda menjamin ditanam dan dipeliharanya karet dan dijamin pula pemasaran hasilnya. Itulah yang pernah memakmurkan petani karet di Riau dan Jambi pada masa lalu sampai menjelang pembe-rontakan daerah tahun 1950-an. Kurang dari 18 tahun kemudian Indonesia menjadi produsen karet alam dunia. Indonesia adalah penghasil karet dunia terbesar sejak tahun 1950—1959. Terjadinya pemberontakan daerah telah menyebabkan kebun karet terlantar dan hasil karet yang terkumpul dirampas oleh perusahaan yang ‘ditunjuk’ pemerintah dan dilindungi tentara.

  Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

  Pada tahun 1951 misalnya, 43,2% produksi karet alam dunia dihasilkan dari Indonesia. Sedangkan Malaysia hanya 32,2% dan Thailand 5,8%. Namun 20 tahun kemudian kemerosotan peranan Indonesia dalam karet alam semakin nyata. Hal itu terbukti dari hasil karet alam Indone-sia tahun 1970 tinggal 26,9% dari produksi dunia; sedangkan Malaysia naik menggantikannya dengan pangsa pasarnya 42,1% dan Thailand hanya 9,9% (Lee 1975). Akan tetapi sejak tahun 1990-an Thailand bangkit dan menjadi penghasil karet alam terbesar dunia yang menguasai ham-pir 30% pasar karet alam dunia, berkat dari upaya belajar terus menerus dari pengalaman Indone-sia dan Malaysia sejak tahun 1970-an.

  Pendanaan Penanaman Kembali (Replanting)

  Sedangkan dana untuk penanaman kembali, dikeluarkan oleh Kantor Bantuan Dana Pe-nanaman Kembali Karet (ORRAF: Office of Rubber Replanting Aid Fund); suatu badan semi pemerintah, yang berfungsi mengeluarkan izin ekspor karet dari Thailand dan memungut uang 1,48 Baht per kilogram karet yang diekspor dari para eksportir. Dana ini 85% dihibahkan kepada petani karet yang menanam kembali kebunnya, 10% untuk administrasi dan pengelolaan ORRAF, sisanya 5% untuk biaya penelitian yang dilakukan IRRT. Apa yang dapat dipelajari dari kemaju-an karet di Thailand ialah: mantap dan lengkapnya sistem agribisnis karet dan kelembagaannya. Termasuk kelembagaan pendanaan, administrasi, penelitian dan pengembangan, maupun koperasi petani karet di tingkat pedesaan. Dengan demikian ekonomi petani karet terpadu sepenuhnya pada ekonomi karet nasional bahkan internasional.

  Di Riau seperti yang dilaporkan oleh Gazali dan Asrol (1934) sumber pendanaan disediakan oleh para pedagang pengumpul dengan pengembalian melalui hasil karet yang harus dijual kepadanya, sehingga harga yang ditetapkan oleh dagang pengumpul mutlak dan tidak ada tawar menawar. Jadi pembiayaan dan harga bersifat ‘buyer market’. Hal itu juga merupakan pertanda tidak efisiensnya tataniaga karet dan belum adanya kelembagaan pembiayaan resmi tersedia di lingkungan para petani. Seperti yang dikemukakan oleh Galbraith (1979) dan Myrdal (1981) tidak mempunyai modal untuk pembangunan dan anggaran biaya yang tidak cukup menyebabkan terjadinya kemiskinan dan keadaan yang rawan.

  Infrastruktur

  Dalam perjalanan ke Chaengsao propinsi pertanian di selatan ataupun ke Pattaya di timur Bangkok, yang berjarak lebih 160 kilometer, di kiri kanan jalan yang beraspal rapi itu menghijau oleh pelbagai jenis tanaman palawija. Memang

  300 600 900 1,200 1,500 1,800 2,100 2,400 2,700 3,000 3,300 Production Export Consumption

   Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

  tak ada hutan alamiah yang terlihat. Jalan masing-masing tiga lajur pada setiap jalurnya. Pada pagi hari menjelang siang, Nampak banyak truk membawa buah- buahan dan sayuran ke Bangkok dan kota wisata terdekat Pattaya. Akan tetapi jalan ke ibukota kecamatan dan desa pun beraspal walau pun hanya satu lajurnya. Rumah di sepanjang pinggir jalan, tak ada kelihatan seperti gubuk buruk yang ditempelkan pada rumah asli. Hampir semua rumah-rumah itu seperti dibangun tertib dan tidak asal-asalan. Keadaan itu ditemukan mulai dari Bangkok sampai ke desa perkebunan karet. Walaupun ada juga rumah di pinggir sungai pinggiran Bangkok misalnya, yang memberi kesan kumuh, tapi hal itu tak ada di sepanjang jalan di kawasan pertanian. Dua kesan itu – rumah dan jalan – yang baik amat menonjol. Pertama ,diperhatikannya infrastruktur ke kawasan pertanian dan pedesaan, sehingga hasil pertanian dapat mencapai konsumen di kota bahkan ke luar negeri (ekspor). Kedua kesan makmur juga dari tanaman dan tumbuhan yang dipelihara baik merupakan pemandangan kehidupan dan pemukiman yang ada di pedesaan kawasan pertanian! Apalagi kalau dibandingkan dengan 35 tahun yang silam ketika pertama kali saya mengunjungi Thailand dalam perjalanan dari Bangkok ke Chiangmay, keadaan amat berbeda; jauh sekali perubahannya dan le-bih baik dari keadaan Agustus 1972 yang silam. Beberapa kali pula sejak tahun 1992 saya mene-lusuri Thailand dari selatan ke Bangkok dengan perjalanan kereta api, sehingga dapat memban-dingkan perubahan yang terjadi kearah yang semakin baik dan petani yang semakin sejahtera.

  Di pinggir kedua jalan itu sekarang pada abad awal 21, pada lahan dataran rendah terlihat ditanami pelbagai jenis tanaman pangan, buah-buahan, dan bunga- bungaan. Kesan tentang tanam an ubi kayu agak mencolok, karena ditanam di samping padi di sawah terdekat. Ubi kayu itu amat rendah, tak ada yang sampai satu meter tingginya. ubi ini memang sudah direkayasa, bukan ba-tang dan daunnya yang banyak, melainkan umbi akarnya yang tumbuh subur. Hasilnya Thailand merupakan negeri terbesar mengekspor tepung tapioka ke Eropa, China, Jepang dan quota ekspor tapioka Indonesia tak terpenuhi, maka diserahkan kepada Thailand untuk mengisinya.

  Pertanyaan yang mendasar ialah: kenapa Thailand dapat menjadikan pertanian demikian berarti bagi ekonomi negaranya? Dalam masa kurang dari 20 tahun mampu menjadi penghasil karet dunia utama. Di sisi lain, produktivitasnya yang tinggi diiringi oleh kesejahteraan petaninya lebih nyata, lagi pula tumbuh secara berkelanjutan. Pertumbuhan dan kemakmuran rakyat adalah hal yang diutamakan dalam ekonomi. Hal itu terkesan ada di lingkungan ekonomi karet alam di Thailand. Itu dapat dibuktikan pula dari tidak adanya pengemis di pedesaan Selatan, seperti hal-nya juga amat sulit menemukan pengemis di kota Bangkok maupun Pattaya. Pada hal para bhik-su setiap hari diberi makan oleh masyarakatnya ketika lewat di depan rumahnya. Artinya secara budaya ‘mengemis’ adalah bukan suatu hal yang memalukan. Tapi mereka tidak menjadikan me-ngemis sebagai pekerjaan. Tangan di atas juga tak dianggap mulia. Karena semua merasa derma-wan dengan biasa memberi makan para bhiksu, peminta yang lebih dimuliakan.

  Sungguhpun system agribisnis karet alam di Thailand kelihatannya mantap, namun nega-ra itu belum berhasil dalam mengembangkan agroindustri karetnya. Gambar 1. Menunjukkan konsumsi dalam negeri hanya sekita 5% saja dari produksinya, sedangkan sebagian besar hasil olahan karet, terutama ban kendaraan bermotor diimpor dari negara pengimpor karet Thailand. Hal itu terjadi terutama karena terbatasnya usahawan dan keusahawanan dalam bidang agroin- dustri karet yang memerlukan modal dan teknologi yang besar (padat modal) serta lemahnya du-kungan pemerintah pada pengembangan industry pengolahan hasil pertanian skala besar.

  Kelembagaan Ekonomi Karet

  Organisasi atau kaidah, baik formal maupun informal yang mengatur prilaku dan mem-pengaruhi tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan

  Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

  rutin sehari-hari maupun dalam usahanya kelembagaan (institution). Kelem-bagaan dalam suatu masyarakat ada yang bersifat asli berasal dari adat-istiadat dan kebiasaan yang turun temurun. Akan tetapi ada pula yang baru dicipta-kan baik dari dalam maupun dari luar masyarakat tersebut (Mubyarto 1976). Organisasi yang didirikan secara resmi oleh pemerintah bedasarkan hokum maupun badan yang dibentuk masyarakat berdasarkan kebiasaan adalah ben-tuk kelembagaan yang amat mem- pengaruhi tingkahlaku social dan ekonomi masyarakat. Jaring- an kerja melalui ataupun kelembagaan itu untuk mencapai tujuan bersama yang disusun secara sukarela dan berda-sarkan amanah saling- percaya (trust) dapat menjadi modal masyarakat (social capital). Seperti yang dikemukakan oleh Fukuyama (1995) bahwa amanah sebagai dasar modal social merupakan hal yang penting dalam menciptakan kemakmuran suatu masyarakat.

  Dalam system agribisnis karet alam di Thailand kelembagaan seperti itu sudah mantap; ada yang dibangun secara sengaja oleh pemerintah seperti Dinas Pertanian dan Perkebunan, ba-dan latihan, pendidikan dan penyuluhan, maupun lembaga penelitian. Di Thailand lembaga pene-litian karet didirikan di lingkungan Universitas Kasetsart di Bangkok yang dibiayai bersama oleh badan semi pemerintah yang mengeluarkan izin ekspor, mengum-pulkan cukainya dan mengagih-kan sebagian dana terkumpul untuk pengembangan perke- bunan karet dan sawit serta membiayai penelitian dan pengembangan teknologi agronomi dan pengolahan karet. Sedangkan Pusat Pene-litian Karet ada pada enam wilayah yang membawahi bebeapa provinsi.

  Hasil kelembagaan yang sudah mapan itu ialah menjadikan Thailand pengekspor karet alam dunia. Sebagai produsen karet terbesar di dunia, Thailand menguasai pangsa pasar karet dunia sekitar 30%. Hal itu terjadi karena 90% produksi karet Thailand diekspor dan hanya 10% yang dipakai untuk industri berbahan baku karet. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah ialah me-ningkatkan konsumsi karet dalam negeri dan mendukung penanaman modal dalam industri berba-han baku karet. Hal itu getah dan pengolahannya. Hasil karet rakyat berupa getah cair (susu getah berwarna putih) dan karet olahan berupa kering-asap (rib smoked sheet: RSS) dan karet standard (STR: Standard Thai Rubber) dibeli pengusaha pe-ngolah karet melaui koperasi. Pengusaha karet ini memiliki pengolahan karet menjadi remah ka-ret yang fabriknya ada 19 di sekitar kota Bangkok. Umumnya pengusaha pengolah karet ini juga berperanan sebagai eksportir dan bergabung dalam Asosiasi Karet Thai (Thai Rubber Associa-tion). Mereka ada yang mempunya kebun sendiri, tetapi bagian terbesar karet yang diekspor dibeli dari hasil olahan rakyat atau koperasi di pedesaan.

  Koperasi selain menampung penjualan getah jadi juga ‘susu’ karet rakyat untuk dibuat latex (concentrated latex). Koperasi juga berfungsi merekomendasikan petani anggotanya yang mendapat hibah penanaman kembali kebun karetnya yang sudah tua. Karet yang sudah dibeli koperasi dijual di pasar lelang yang dikenal sebagai Rubber Central Market (Pusat Pasar Karet) yang berada di empat wilayah, dan dijual secara lelang, tanpa adanya tengkulak ataupun peda-gang perantara komoditi pada tingkat petani. Tataniaga karet di Thailand dapat digambarkan seperti pada Rajah 2. Pusat pasar karet berfungsi melakukan lelang dengan wajar, sehingga petani mendapatkan harga karetnya pada tingkat yang wajar pula. Misalnya, pada saat harga karet yang lumayan baik pada tahun 2007, petani karet memperoleh harga lelang mencapai Rp30.000/kg, manakala petani karet di Riau hanya menerima sekitar Rp.14.000kg saja. Keadaan produktivitas dan harga karet yang diterima petani Thailand sekitar dua kali petani di Riau, maka dapat diper-kirakan tingkat kesejahteraan mereka pun jauh berbeda, hasil perbedaan system agribisnis dan system tataniaga serta kelembagaan agribisnis karet di kedua tampat itu.

  Suatu sistem tataniaga seyogyanya mampu menyampaikan karet dari petani produsen ke konsumen dengan biaya yang murah; lagi pula mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar terakhir kepada semua fihak

   Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

  yang ikut serta di dalam kegiatan dan dikatakan sistem tataniaga yang dianggap efisien (Mubyarto, 1982). Bahkan dengan sistem tata-niaga karet seperti itu didukung oleh kelembagaan yang kuat, pengekspor karetpun dapat membiayai penanaman kembali (replanting) karet dan juga penelitian inovatif agribisnis dan teknoogi karet. Inovasi agribisnis dan teknologi karet itu dikem-bangkan ke masyarakat melalui pusat penelitian karet dan penyuluh pertanian.

  Di Riau Koperasi Unit Desa lemah dalam pengelolaan, organisasi, usaha, dan keuangan sehingga pedagang karet merupakan kelembagaan di tingkat petani yang megikat ketergantungan petani (Rahmadani 2005, Gazali dan Asrol 2004). Dengan tidak adanya kelembagaan yang me-ngembangkan kemampuan koperasi dan petani, terutama dalam meningkatkan mutu karet alam yang diproduksi rakyat, maka semakin jelas tidak terintegrasinya ekonomi karet di Indonesia, khususnya di Riau dengan ekonomi karet alam dunia. Hal ini berdampak tidak sejahteranya peta-ni karet dibandingkan dengan petani sawit misalnya, yang ekonomi sawit lebih terpadu dengan perekonomian sawit dunia. Akibatnya ekonmi pertanian karet tidak berkelanjutan, bila dilihat In-donesia sudah tidak menjadi penghasil utama karet di dunia lagi, selama lebih 45 tahun terakhir.

  Penelitian dan Pengembangan

  Penelitian karet dan pengembangan teknologi agronomi dan pengolahannya kepada ma-syarakat petani karet merupakan sumber inovasi yang berterusan di Thailand. Hasil kegiatan itu terekam dalam perkembangan produktivitas karet dan rencana pengembangan luasan karet di Thailand yang sedang dikembangkan.

  Sampai tahun 2008 ini telah selesai ditanam di daerah bagian Utara dan Timur Laut Thai-land kebun karet seluas 120 ribu hektar oleh Lembaga Penelitan Karet Thailand (Institute of Rubber Research of

  Thailand:

  IRRT), yang ada di dalam kampus Universitas Kasetsart di ping-giran kota Bangkok. 5% dari total hasil pengutipan resmi sebesar 1,48 Baht setiap kilogram ekspor karet adalah untuk biaya penelitian yang dilakuan IRRT. Selain itu penelitinya yang ber-jumlah lebih 60 orang dan 60% bergelar Doktor, dibiayai oleh pemerintah dan departemen per-tanian di bawah Universitas Kasetsart yang fokus pola ilmu pokoknya ilmu-ilmu pertanian.

  Ada empat pusat penelitian karet di Thailand yang berfungsi menghasilkan dan menye-arkan klon karet baru serta penyuluhan perkebunan karet. Satu di antaranya yang kami tinjau di Provinsi Chaengsao 200 km dari kota Bangkok, yaitu Chaengsao Rubber Research Center (Pusat Penelitian Karet di Chaengsao).

  Produsen Petani karet + Perkebunan

  Koperasi Karet Pusat Pasar Karet

  Industri + Pedagang + Eksportir Fabrik Ekspor

  Industri Karet Luar Negeri Rajah 2. Tataniaga Karet di Thailand

  Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

  Ada delapan sarjana peneliti di pusat dan dua lainnya sedang mengambil S3 dan sisanya bergelar S2. Tentu saja dalam bidang yang berkenaan dengan karet. Kebun percobaannya seluas 350 hektar di suatu kecamatan dalam provinsi Chaengsao. Dengan laboratorium yang lengkap, tetapi sewaktu kami kunjungi, ke lihatannya laboratorium itu kurang berfungsi. Tidak ada peneliti atau teknisi sedang bekerja pada tiga dari empat laboratoria yang ada di dalam pusat penelitian ini. Kecuali laboratorium sosial- ekonominya ditemukan seorang peneliti senior yang sedang menulis makalah. Akan tetapi di ke-bun percobaan dan bengkel pengolahan karet, ditemukan para pekerja sedang mengerjakan peme-liharaan tanaman karet atau sedang melakukan pengolahan karet yang kemudian diasap (ribbed smoked sheet).

  Pusat penelitian ini berada di bawah departemen pertanian yang membiayainya. Untuk biaya penelitan keempat pusat penelitian karet ini setiap tahun dikeluarkan Rp3 milyar dengan sekitar 30 orang sarjana peneliti bergelar Doktor dan S2 itu. Mereka dibantu oleh sekitar 200 pe-tani, pekerja tak tetap dan teknisi tetap pada setiap kebun pusat penelitian yang luasnya 150 sam-pai 500 hektar itu. Akan tetapi dengan biaya sebanyak itu mereka harus menekan kontrak meng-hasilkan minimal satu klon karet baru setiap tahun. Kalau tidak mereka dianggap gagal, dan tentu saja akibatnya tersedia jalan ke luar, pensiun atau tidak menjabat jabatan tertentu. Untuk itu me- reka berjuang keras mencari dan menemukan karet unggul dari berbagai negara terutama dari te-tangganya. Pada saat ini mereka sedang membuat dan menguji coba klon, yang induknya berasal dari Indonesia (PB235, 255, 260) dan Malaysia (BPM24) selain dari klon Thai sendiri (RRIT no. 251, 226). Tidak juga tertutup kemungkinan mereka membuat klon hibrida. Misalnya mengga-bungkan karet yang unggul dari semua negara. Sasaran yang hendak dicapai ialah membuat klon yang mampu menghasilkan latex 3125kg/ha/tahun. Pada saat ini baru tercapai klon karet pengha-sil latex tertinggi 2188kg/ha/tahun. Sementara dalam rangka diversifikasi karena sulitnya kayu dan baiknya harga perabot dari kayu karet, menghasilkan bibit karet klon penghasil kayu antara 315 – 375 meter kubik per hektar dengan masa pemeliharaan lima sampai enam tahun.

  Sungguhpun kerja keras untuk mencapai sasaran dengan mantap dan akuntabel dilakukan mereka, tetapi Direktur

  IRRT yang sering bertemu dengan peneliti karet Indonesia dan pernah berkunjung ke balai penelitian karet di Medan, dengan rendah hati menyatakan: “Sebenarnya In- donesia yang memiliki kebun karet lebih tiga juta hektar, dapat menjadi penghasil karet dunia menjelang lima tahun mendatang!” Sewaktu ditanyakan bagaimanakah caranya? Dengan singkat dijawabnya: ”Jangan biarkan kebun karet menjadi hutan karet (rubber forestry)!” Karena kebun karet (rubber plantation) kalau sudah menjadi hutan, maka rerata produksinya menurun. Misalnya perkebunan karet rakyat, jumlahnya lebih 2,5 juta hektar di Indonesia, tetapi menghasilkan hanya sekitar 700 kg/ha/tahun. Sedangkan hasil kebun karet rakyat di Thailand, hampir semuanya su- dah mencapai rerata 1300kg/ha/tahun. Suatu angka yang mendekati dua kali produktivitas petani karet kita. Artinya, untuk lebih baiknya kehidupan petani karet rakyat, maka ada dua hal yang pen ting dilakukan, peningkatan produktivitas dan kelembagaan system agribisnis karet perlu dikem-bangkan. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis sebaiknya dilakukan pemerintah sedang-kan usaha agribisnis karet dikembangkan oleh pihak swasta. Walaupun idealnya keduanya akan lebih cepat berkembang bilamana ketiga anasir pemangku pertanian karet – petani karet, pengusa-ha swasta dan pemerintah – bekerjasama atau berkoordinasi tentulah akan lebih baik. Sebenarnya produksi karet alama pada beberapa perusahaan perkebunan negara (PTPN) dan swasta di Indo-nesia sudah ada yang mencapai lebih dari 1500 kg/ha/tahun, namun teknologi itu tidak sampai pada pekebun getah kecil atau perkebunan rakyat, suatu petunjuk lemahnya sistem agribnisnis karet dan belum terpadunya ekonomi karet di Indonesia. Sedangkan di Thailand seluruh teknologi baru dikembangkan ke

   Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

  masyarakat oleh pusat penelitian karet dan bawah kementerian pertaniannya.

  Dengan sistem agribisnis dan agroindustri yang sudah terpadu seperti itu di Thailand itu pun, mereka masih merasa belum kuat daya saingnya. Karena itu upaya membangun lembaga penelitian karet dan program penelitian untuk mendukung pengembangan usaha perkebunan dan teknologi karet yang berkelanjutan juga dilakukan.

  Integrasi ekonomi karet rakyat

  Secara umum keterpaduan ekonomi dapat menimbulkan masyarakat yang lebih sejahtera, keterpaduan sosial serta keterpaduan daerah, sebaliknya ketakpterpaduan (disintegrasi) dapat pula menimbulkan ketergantungan, diskriminasi, yang mengakibatkan timbulnya masalah sosial dan politik. Keterpaduan ekonomi karet dapat terbentuk bilamana sistem agribisnis dan agroindustri-nya terpadu dengan perdagangan dan ekspor, yang didukung kelembagaan yang dapat menjamin penyediaan dana bagi penanaman kembali maupun membuat perkebunan lain di lahan karet yang ada. Pengalaman Thailand tersebut jauh bermanfaat, tidak seperti hasil penelitian Syarfi (2007) tentang pembangunan ekonomi kerakyatan dengan pola perkebunan inti rakyat di Sumatera Barat. Peneliti itu menyatakan bahwa pembangunan perkebunan di Indonesia masih belum memberikan manfaat yang memadai besarnya bagi para pekebun sawit. Oleh sebab itu, disarankannya model integrasi pembangunan perkebunan agroindustri dan kelembagaan pekebun sebagai alternatif un-tuk revitalisasi perkebunan dalam ekonomi ganda (dual

  economy )-nya. Keterpaduan karet alam di

  Thailand menunjukkan tidak tepatnya teori Boeke (1951) pesimistis ‘dualisme sosial’ dan ‘pover-ty shared’-nya Geertz (1976), yang simpulan pokoknya bahwa perekonomian agraris tidak memi-liki dasar untuk berkembang menjadi suatu perekonomian modern yang dinamis dalam tatanan sistim perekonomian pasar, dan sebab bersifat statis akan terperangkap dalam lingkaran kemis-kinan (vicious

  poverty cycke ). Ataupun tidak selaras

  dengan teori ‘subsistence ethics’-nya Scott merupakan suatu pengaturan normatif berdasarkan nilai sa-ling menolong antara sesama, nilai reprositas, nilai balas-budi seperti itu mengental sedemikian rupa, sehingga membuat para petani keras kepala menolak atau menerima inovasi, walaupun hal itu dinyatakan akan memperbaiki hidup mereka. Mereka menolak dengan keras, terutama kalau yang dilakukan oleh aparat dari lembaga pemerintah tidak menunjukkan bukti dan etika yang ber’moral-hazard’. Kegagalan proyek umumnya akibat korupsi dan penyelewengan yang nyata dan dirasakan akan membuat masyarakat tidak mempercayai kelembagaan yang berkenaan. Ka-rena terbukti pula para pekebun karet alam menanggapi secara positif kelembagaan karet alam di Thailand yang dirasakan amanah itu maupun tanggap terhadap perdagangan dan perkembangan industri karet, seperti yang dikemukakan Hayami dan Kawaguchi (1993). Keadaan seperti itu menjadi lancar karena petani diberi bantuan semua dana untuk menanam ulang karet yang tua atau merubahnya menjadi kebun sawit, mendapatkan harga karet yang setara dengan harga pasar dunia; kedua hal ini saja secara mendasar akan membuka peluang agribisnis karet sebagai usaha tani yang berkelanjutan (sustainable agribusiness), bila dipadukan dengan perdagangan karet moderen dalam suatu sistem agribisnis (Ahmad 2010). Dalam mengembangkan sistem agribisnis karet alamnya, Thailand memulai pada tahun 1970-an dan sebagiannya merujuk dan belajar dari keadaan pada masa awal karet di Indonesia.

  Sungguhpun demikian, analisis dan model yang diusulkannya bersifat parsial dan belum teruji kebenarannya. Lagi pula belum menjangkau integrasi sistem agribisnis sawit dalam pereko-nomian sawit secara menyeluruh. Ketakterpaduan ekonomi ikan tuna, juga ditemukan oleh Ju- naidi (2007) yang melaporkan bahwa terdapat hubungan antar pasaran wilayah dalam jangka panjang, yang apabila terjadi perubahan harga di suatu pasaran, maka akan diinformasikan atau ditanggap oleh pasaran wilayah lainnya. Para agen di pasaran lelang dan pemborong di pasaran

  Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

  Boeke, J.H. 1951. Economics and

  Proverty . Cambridge Mass. and

  Galbraith, J.K. 1979. The Nature of Mass

  Virtues and the Creation of Prosperity . New York: Free Press.

  9 September 2007: 40 – 45. Fukuyama, Francis. 1995. Trust The Social

  Rubber Futures Market. Rubber International Magaz ine Vol. 9 No.

  9 (9September 2007): 46– 50. Furui, Chiaki. 2007. Hedge Fund and

  Rubber International Magazine

  Rubber Technologis’s Handbook. 576 pages. Editorial. 2007. Rubber consumption of the present Global’s major rubber producer and consumer countries.

  communist Studies 39(2006): 431– 435. De, S.K. and J.R. White.

  York: AMS Press. Chou, K.P. Bill. 2006. China’s economic integration into global regulatory frameworks: A study of govenment procurement. Communist and Post-

  Economic Policy of Dual Societies as Exemplified by Indonesia, New

  American Jurnal of Agriculture Economics 72(1): 49 – 66.

  wilayah tak membayar sesuai harga pasaran pemborong dan sub-agen me-ngambil keuntungan lebih dari pedagang tetapi membauyar kurang kepada agen dan produsen (nelayan). Akan tetapi bila terjadi lonjakan harga di pasaran, maka sub-agen dan pem-borong di pasaran wilayah akan membayar sesuai dengan faktur dari agen. Agen juga tidak mem-bayar kepada nelayan sesuai dengan harga yang berlaku di pasaran lelang. Dengan demikian ter-jadi sistem tataniaga yang tidak efisien atau efisiensinya rendah dan tidak mantap. Gambaran seperti itu berlaku di hamper seluruh komoditi pertanian yang melibatkan rakyat banyak dan pengusaha utamanya adalah warganegara Indonesia keturunan China.

  Integration of Spatial Markets.

  Benson, B.L. and M.D. Faminof. 1990.

  Economic Integration . Homewood, Illinois: Irwin.

  Balassa, Bela. 1961. The Theory of

  Politics of Regionalism . London: Frances Pinter Ltd.

  Axline, W. A. Caribbean Intgegration. The

  Ahmad, M. 2009. Sistem Agribisnis Karet Alam di Thailand. Jur. Sistem Agribisnis I(1): 1 – 14.

  Riau yang telah membiayai kunjungan ke Thailand dan juga kepada Kepala dan staf RRC, ORRAF, serta Direktur Utama dan Ketua Asosiasi Karet Thai-land serta stafnya. Tak lupa terimakasih kepada empat anggota rombongan kunjungan lainnya dari Dewan Kom isaris PTPN-Vyang membahas bahan yang ditayangkan ketika berkunjung ke lembaga berkenaan.

  Ucapan Terimakasih

  Kelembagaan karet meliputi undang-undang yang menjamin penanaman kembali (re-planting), bantuan pendanaan yang pasti, administrasi, penelitian dan pengembangan, penyuluhan mau pun koperasi pertanian di pedesaan sampai kepada pengusaha eksportir yang terkait dan terpadu ke hulu maupun ke hilir. Semuanya akuntabel dan berfungsi secara nyata memajukan agribisnis karet ke arah pertanian yang berkelanjutan, yang berbasiskan kesejahteraan petani.

  Ekonomi karet alam di Thailand terpadu mulai dari penyediaan sarana produksi sampai kepada ekspor atau perdagangan internasionalnya. Hal itu berasal dari upaya pemantapan sistem agribisnisnya dengan sistem tataniaga yang efisien dan dukungan kelembagaan yang lengkap, termasuk penelitian dan pengembangan agronomi dan teknologi pengolahannya, sehingga dayasaingnya tinggi sehingga kemungkinan keberlanjutan pertanian karet alam di Thailand boleh tampil dengan nyata. Namun, Thai-land belum berhasil dalam mengembangkan agroindustri karetnya, karena masih lemahnya segi usahawan dan keusahawanan dalam bidang itu, yang bersifat padat modal karena memerlukan modal besar dan teknologi yang lebih tinggi.

  KESIMPULAN

  London: Harvard University Press, Gazali, F dan Asrol 2004. Strategi tataniaga karet provinsi Riau.

   Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011 Dinamika Pertanian

  New York: Pantheon. Nasuruddeen, P. And S.R. Subramanian

  Perkebunan Rakyat di Sumatera Barat: Suatu kajian dalam perspektif pembangunan ekonomi kerakyatan.

  Syarfi, Ira Wahyuni. 2007. Pembangunan

  Magazine 9(9) September 2007:40– 45.

  Siam Part 11. Rubber Plantation after WW2 Era. Rubber International

  Celery. American Agricultural Economics 72(2) : 568-580. Suthisong, Surasak. 2007. The Tracking of the History of Rubber Plantation in

  Efficiency of Arbitrage, and Imperfect Competition. Me- thodology and Application to U.S.

  XX(2) Agustus 2005: 205 – 216. Sexton et al. 1990. Market Integration,

  Dinamika Pertanian

  Rahmadani, Elfi 2005. Institusi pemasaran kaomoditi karet rakyat: Studi kasus desa Teratak Air Hitam kecamatan Benai, kabupaten Kuantang Singingi.

  1995. Price Integration of Oil and Oilseeds. Indian Journal of Agricultural Economics 50(4): .

  Myrdal, Gunnar. 1971. Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations .

  XIX(1) April Geertz, C. 1970. Agricultural Involution:

  327–334. Mubyarto 1982. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.

  Masperi 2004. Analisis implementasi kebijakan publik di sektor perkebunan pola PIR-TRANS (Studi kasus di Kecamatan Kepenuhan, kabupaten Rokan Hulu, propinsi Riau): Jurnal Ilmu Administrasi Negara 4(1) Januari 2004: 11-23. Meyer, Jochen. 2004. Measuring market integration in the presence of transaction costs—a threshold vector error correction approach.

  Manchester School of Economic Social Studies . Vol 22 May 1954.

  Lewis. W.A. 1954. ‘Economic development with unlimited supplies of labour’,

  Unpublished Doctor Dissertation in Economics at the University of Malaya, Kuala Lumpur.

  Berbagai Pasar di Wilayah Sumatera Barat. Berkala Perikanan Terubuk. 33(1): 29 – 33. Lee Hock Lock 1975. Public Policies and Economic Diversification .

  a. New Yor: St Martin’s Press. Junaidi. 2006. Efisiensi Harga Tuna pada

  Agrarian Origins of Commerce and Industry: A study of Peasant Marketing in Indonesi

  Washington, DC. The Brookings Institution. Hayami, Y and T. Kawagoe. 1993. The

  Haggard, S. 1995. Developing Nations and the Politics of Global Integration .

  The Process of Ecological Change in Indonesia. Ber-keley and Los Angeles: University of California Press

  Disertasi Doktor. Pascasarjana Universitas Andalas, Padang. (tidak diterbitkan).