KETERPADUAN EKONOMI KARET ALAM THAILAND

Inneke Qomariah, Doli M Ja’far Dalimunthe: Pengaruh pengetahuan kewirausahaan, motif…

KETERPADUAN EKONOMI KARET ALAM THAILAND
Muchtar Ahmad
Guru Besar Faperikan UNRI
m_ahmad945@yahoo.com
Abstract: Although some studies on the importance of integration have been discussed,
especially on commodity marketing and regional economic integration, but how and
why the integration happened are still not much studied and published, especially on
the economic integration of natural rubber commodity. Based on a brief visit to
Thailand, it is found that the economy of natural rubber is well integrated started since
1980s; it beginning from production input supply and research, plantation farming
and extension services up to trade and export. It indicates that agribusiness and
market systems and their institutions are well established efficiently, yet the
competitiveness is high and sustainable agriculture of natural rubber in Thailand is
persistent. However, rubber agroindustry is not yet well develop as entrepreneur in
this capital intensive industry is still weak.
Keywords: agribusiness system, competitiveness, institution, market system,
sustainable agriculture.
PENDAHULUAN
Dalam suatu ekonomi yang agraris di

negara berkembang, sering ditemukan tidak
terin-tegrasinya ekonomi tradisional yang
umumnya di pedesaan dengan ekonomi
moderen yang efi-sien yang dijumpai di
perkotaan. Hal ini telah disimak oleh Boeke
(1951) yang terkenal dengan teori
masyarakat ganda (dual societies), bahkan
dikatakannya tidak mungkin dirubah.
Sedangkan Lewis (1954) menyatakannya
sebagai ekonomi ganda (dual economies),
yakni sektor kapitalis yang moderen dan
sektor
tradisional
pertanian
yang
efisiensinya sangat berbeda. Oleh karena itu
kedua sektor ekonomi itu perlu diatasi
dalam suatu pembangunan ekonomi.
Sejak itu, kajian tentang pentingnya
keterpaduan ekonomi telah banyak

dilakukan, teru-tama dalam pemasaran dan
ekonomi negara, namun bagaimanakah
bentuk
keterpaduan
yang
hendak
diwujudkan, belum banyak kajiannya,
khusus mengenai keterpaduan ekonomi
jenis komoditi pertanian atau bersifat
sektoral, seperti karet alam. Kalaupun ada
kajian integrasi ekonomi, yang banyak
dilaporkan lebih menonjol pada hal yang
bersifat analisis makro ekonomi dari yang
menekankan kepada perdagangan dan
kelembagaan. Seperti yang diungkapkan
oleh Balassa (1961): “economic integration
is a process and as a state of affairs. As a
process, it encompasses measures designed

26


to abolish discrimination between economic
units belonging to different national
satates. As a state of affairs, it can be
represented by the absence of variopus
forms of discrimination between national
economies.” Sedangkan Haggard (1996)
membuat batasan pemaduan ekonomi
sebagai suatu proses koordinasi dan
penyesuaian kebijakan yang bertujuan
mempererat-kuatkan saling ketergantungan
ekonomi dan pengelolaan eksternalitas
yang dihasilkan oleh saling ketergantungan
tersebut.
Sebenarnya ada beberapa laporan
kajian yang berkaitan dengan integrasi
dalam ekonomi pertanian dan wilayah.
Misalnya tentang integrasi pasar melalui
harga oleh pedagang ikan tuna (Junaidi
2006), integrasi pasar hasil pertanian

(Meyer 2004) serta analisis sosial ekonomi
sawit yang bertujuan mengintegrasikan
dualistik ekonomi (Syarfi 2007). Sedangkan
Chou (2006) me- nguji integrasi ekonomi
China dari aspek kelembagaan, yang
berkesimpulan bahwa pemerintah China
mempunyai kapasitas dalam menerapkan
perjanjian internasional yang diabaikan
oleh ma-salah struktural administrasi.
Sungguhpun
demikian
kajian
yang
berdasarkan analisis mikro eko-nomi dan
integrasi ekonomi komoditi karet memang
masih langka dilaporkan. Karena itu tujuan
utama tulisan ini ialah untuk memahami
terjadinya integrasi ekonomi karet di

Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011


Thailand, mulai dari usaha tani, pemsaran
sampai ke perdagangan internasional yang
ditinjau dari pelbagai aspek teori integrasi
ekonomi.
METODE
Agar
dapat
difahami
proses
terwujudnya
integrasi dan
keadaan
keterpaduan ekonomi ka-ret Thai, maka
telah dilakukan kunjungan khusus ke
Thailand selama sepekan (30 Juni sampai 5
Juli 2008) yang lalu. Selama kunjungan itu
telah diamati daerah pertanian karet bagian
tanggara negara itu, lembaga penelitian di
lapangan dan di universitas, pengusaha

pengolah hasil perkebunan karet, lembaga
semi
pemerintah
yang
mengelola
perdagangan karet serta asosiasinya,
maupun pasar pertanian atau pasar lelang
karet. Juga diadakan kesempatan melihat
desa pertani-an, pusat penelitian karet,
pengolahan hasil dan pengembangan usaha
karet yang mendukungnya serta perusahaan
pengekspornya.
Dengan
mengamati
keadaan di tempat tersebut, akan dapat diketahui bukan saja masalah, tetapi juga
penyebab mengapa pertanian karet di
Thailand termasuk terdepan dalam produksi
dan ekspor karet dari Asia Tenggara.
Dalam kunjungan itu pula ditinjau
perkembangan perkebunan karet dari hulu

sampai ke hilir bagi meneroka sebab yang
menjadikan Thailand penghasil karet nomor
satu di dunia. Untuk itu telah dilakukan
tukar-fikiran dengan para peneliti dan
pimpinan lembaga penelitian karet berkenaan dengan penelitian karet, usaha
budidaya karet dan pemuliaannya sampai
kepada pengola- han dan perdagangan karet
alam termasuk ekspor karet dari Thailand.
Sebagai nara sumber adalah para
pekebun karet dan pengolah karet, serta
peneliti karet pada Pusat Penelitian Karet
(Rubber Research Center) di provinsi
Chaengsao, Lembaga Penelitan Karet
Thailand (Institute of Rubber Research of
Thailand: IRRT), yang ada di dalam
kampus Universitas Kasetsart di Bangkok,
pimpinan dan staf Kantor Bantuan Dana
Penanaman Kembali Karet (ORRAF:
Office of Rubber Replanting Aid Fund),
dan eksportir karet alam terbesar di

Thailand, Thai Hua Rubber Public Co., Ltd
dan staf Thai Rubber Association. Dalam
pelbagai kesempatan berbincang dengan
berbagai petani, para peneliti dan teknisi,

pedagang karet dalam negeri dan
pengekspor maupun komentar rombongan
dicatat sebagai informasi data primer, termasuk catatan pengamatan sepintas tentang
keadaan lingkungan pedesaan di sepanjang
jalan dan di desa yang dikunjungi.
Sedangkan data dari berbagai penerbitan
resmi dan lembaga terkait di-kumpulkan
sebagai data sekunder.
Informasi dan data yang dikumpulkan
diurai dan dibahas menurut sistem
agribusinis; diikuti dengan menggambarkan
hubungannya dari segii integrasi ekonomi,
yaitu proses dan keadaan (status)nya.
Kemudian dibahas dengan sintuhan sosialekonomi pertanian sehingga gambaran
peranannya

menjadikan
Thailand
pengekspor utama karet dunia serta para
petani
karetnya
sejahtera
dapat
diungkapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan keterpaduan ekonomi karet
alam di Thailand ditemukan sudah mapan
dan man-tap. Secara mum negara itu
memang kompeten dalam memajukan
perkebunan
karetnya
dan
bah-kan
memadukannya dengan ekonomi karet
dunia. Pada hal diakui para peneliti, bahwa
mereka banyak belajar dari Indonesia,

bahkan penanam karet di Thailand Selatan
pada awalnya didatang-kan dari Sumatera.
Kemantapan integasi ekonomi karet alam
itu dapat dilukiskan secara sederha-na
sistem agribisnis karet alam di Thailand;
yang gambaran secara rajah (schematic)
seka-ligus memperlihatkan proses terpadunya
ekonomi karet alam di sana seperti pada
Rajah1. Keadaan dan proses integrasi
ekonomi karet alam Thailand itu tergambar
mantap seperti terlihat dari rangkaian
hubungan antar subsistemnya yang terpadu,
mulai dari penyediaan sarana produksi,
usaha tani karet oleh pekebun rakyat dan
perusahaan
besar,
pengolahan
dan
pemasaran karet oleh koperasi dan
perdagangan ekspor sampai ke importer

karet di Amerika Serikat, China dan
Jepang.
Demikian pula subsistem penunjangnya,
yaitu berupa subsistem dukungan pelayanan
administrasi,
pendanaan,
penyuluhan/latihan serta penelitian dan
pengembangan-nya (Ahmad 2009). Semua
subsistem
itu
dilengkapi
dengan
kelembagaan yang bersifat swasta, semi-

27

Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

pemerintah (ORRAF) dan pemerintah
(Kementerian Pertanian dan Kope-rasi)
untuk mendukung kegiatan niaga karet
dengan mekanisme kerja yang sifatnya kelembagaan menghidupkan sistem agribisnis
karet itu agar giat mencapai tujuan niaga
ka-ret alam. Dampak dari kemantapan
sistem tersebut terlihat dari perkembangan
luasan per-kebunan karet dan produktivitas
karet alam, maupun stabilitas harga karet
dan juga kese-jahteraan para pelaku yang
terlibat dalam niaga karet alam itu. Keadaan
yang terjadi itu bemula dari pembenahan
kelembagaan yang dibangun pemerintah
sejak tahun 1970-an, sampai kepada
perhatin dan kegiatan Raja Bumiphol, yang
istananya berada di tengah kota Bangkok
de-ngan luas dua kilometer persegi
(400hektar),
berkunjung
ke
daerah
perkebunan karet. Di ling-kungan istana
sendiri dilakukan kegiatan pertanian,
dengan adanya sawah, kebun, buah-buahan,
peternakan sapi perah, dan lain-lain; yang
kononnya Raja dan keluarganya ikut
bekerja sebagai petani. Sedangkan hasilnya
disumbangkan kepada rakyat miskin di
kawasan pedesaan yang dian-tarkan
langsung oleh anggota keluarga istana.
Sehingga memang raja amatlah dihormati
dan di-sayangi rakyat karena merasa
diperhatikan pekerjaan dan kehidupan
mereka. Pemerintah juga umumnya
berfihak kepada kepentingan petani; dan
rakyat banyak amatlah diutamakan,
sehingga misalnya pedana menteri Thaksin
pun waktu berkuasa,
juga mengikuti
prilaku raja, maka dipuja pula oleh rakyat
sampai saat ini, walaupun sudah berada di

luar negeri. Itulah contoh dampak kelemba-gaan yang walaupun sifatnya
informal tapi dilakukan oleh fihak
pemerintah.
Jadi kemajuan pertanian di Thailand
didukung oleh: mantap dan lengkapnya
sistem agri-bisnis setiap komiditi pertanian
dengan kelembagaan yang kuat. Termasuk
kelembagaan
menge-nai
pendanaan,
administrasi, penelitian dan pengembangan,
penyuluhan maupun koperasi perta-nian di
pedesaan. Semuanya akuntabel dan
berfungsi
secara
nyata
memajukan
pertanian dan ke-sejahteraan petani.
Sistem Agribisnis Karet Rakyat
Baik Malaysia maupun Thailand
memakai pola yang digunakan Belanda
dalam mengem- bangkan perkebunan sawit
rakyatnya sampai dewasa ini. Setiap petani
karet dibayar seluruh pe-ngeluarannya
dalam membangun kebun karet atau bahkan
bila menanam kembali dengan sawit.
Pembayaran itu berupa hibah yang tidak
perlu
dikembalikan.
Total
biaya
membangun dan meme-lihara karet satu
hektar sampai bisa ‘dipotong’ (dideres/sadap)
sekitar Rp. 25 juta. Dengan pola itu sedang
dikembangkan di daerah provinsi Thailand
Utara dan Timur Laut seluas 250 ribu
hektar lagi menjelang akhir tahun 2010.
Sampai tahun 2008 ini telah selesai ditanam
di daerah tersebut seluas 120 ribu hektar
oleh Lembaga Penelitan Karet Thailand
(Institute for Rubber Research of Thailand:
IRRT), yang ada di dalam kampus
Universitas Kasetsart di pinggiran kota
Bangkok.

I
Sarana Produksi
A
R
d
R
Koperasi
m
T
n
/
Usaha Produksi
/
R
P
R
Koperasi
Pengolahan
e
C
n
T
Rubber Central Market
d
/
\
O
Fabrik
Eksportir
l
R
a
R
Ekspor
t
A
i
F
Importir/ Industri Pengolahan
h
Rajah 1. Sistem agribisnis karet secara fungsional di Thailand

28

Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

Sedangkan sisanya dikembangkan oleh
petani karet, baik sebagai kebun karet baru
mau pun sebagai penanaman kembali
menggantikan karet yang sudah tua. Jumlah
petani karet di Thai-land mencapai satu juta
orang dengan luas kebun karet terkecil satu
hektar sampai 20 hektar. Sa-saran
pemerintah Thailand pada tahun 2010 akan
memiliki kebun karet sekitar 270 ribu
hektar. Rerata produksi ke-bun karet rakyat
tak berbeda dengan perkebunan swasta
besar, yaitu minimal 1300 kg per hektar per
tahun. Dengan harga karet yang diekspor
sekitar Rp30.000,- maka peng-hasilan
petani karet dapat mencapai Rp 39 juta per
120 hari kerja setahun atau rerata lebih Rp
3 - 6juta per bulan per keluarga bagi yang
memiliki satu hektar kebun karet. Produksi
tertinggi su-dah dapat dicapai se-kitar 2,3
ton per hektar per tahun. Pendapatan
demikian termasuk sejahtera di negeri itu,
lagi pula, sungguh jauh tinggi dari
pendapatan petani karet di Indonesia yang
hasil-nya 700kg/ha/th, bekerja sepanjang
tahun, dan dengan harga yang diterimanya
hanya sekitar se-pertiga yang diterima
petani Thailand.
Sekedar untuk perbandingan, di
provinsi
Riau
untuk
meningkatkan
pendapatan masyara-kat pedesaan telah
diterapkan transmigrasi bagi mengisi pola
perkebunan inti rakyat atau lebih dikenal
dengan sebutan PIR-Trans. Akan tetapi
pekasanaan kebijakan tersebut belum
berjalan lancar sebab: a) tidak seimbangnya
peserta lokal dengan penda-tang; b) tidak
setaranya biaya pro-duksi dan kebutuhan
hidup dengan kredit yang diberi-kan;
sehingga bagi penduduk tempatan pro-yek
itu tidak mampu memanfaatkan atau kurang
dirasakan adanya manfaat yang berarti
(Masperi 2004). Keadaan ini menggambarkan
adanya
diskriminasi,
yang
menunjukkan pula belum terin-tegrasinya
ekonomi karet di Riau khususnya. Secara
nyata proyek PIR-Trans karet di kabupaten
Kuantan-Singingi yang dibangun pada
tahun 1970-an gagal.
Perkembangan Produksi Karet Alam
Produksi karet di dunia terdiri dari
karet alam dan karet sintetis. Thailand
merupakan pro-dusen karet alam terbesar di
dunia, diikuti oleh Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 2007 produk-si karet alam

Indonesia lebih 2,7 juta ton; sedangkan
Malaysia. 1,3 juta ton dan Thailand 3,3 juta
ton. Jumlah seluruh produksi karet alam
dunia sebesar 9.948.000 ton dan karet
syntetis sebanyak 12.941.000 ton. Tak
berapa lama lagi produksi karet sintetis
diperkirakan akan berkurang karena
tingginya harga minyak bumi yang
merupakan bahan baku utamanya. Hal itu
akan terjadi menje-lang tiga tahun ke
depan. Maka kebutuhan karet dunia akan
bertumpu pada karet alam.
Bagaimanakah Thailand dapat menjadi
produsen karet alam terbesar (30% dunia)?
Pada hal tahun 1970 produksinya hanya
9,9% saja, saat Indonesia sudah mencapai
26,9%. Lagi pula luasan lahan karet di
Thailand hanya 2,46 juta ha lebih kecil dari
Indonesia yang mencapai lebih dari tiga
juta hektar. Bahkan dari tahun 1950—1959
Indonesia merupakan penghasil 45% karet
alam dunia (Lee 1975). Tak mengherankan
karena karet itu diperkenalkan di Asia
pertama kali di Hindia Belanda pada
menjelang pertengahan abad lalu atau
sekitar tahun 1930-an. Di Riau karet
dikembangkan dengan ‘sistem kupon’
sekitar tahun 1933. Sistem ini relatif dapat
meningkatkan pendapatan petani sekali gus
juga meransang pengembangan perkebunan
karet rakyat maupun peningakatan produksi
karet alam. Setiap karet yang ditanam dan
dipelihara petani dibayar oleh pemerintah
penjajah Belanda yang dinilai hasilnya pada
saat sudah berumur tertentu. Nilai yang
dibayar berdasarkan harga pasar pada saat
itu. Sedangkan ketika karet sudah dapat
dipanen (disa- dap) hasilnya pasti dibeli
oleh perusahaan Belanda dengan harga
pasar ketika itu. Jadi Belanda menjamin
ditanam dan dipeliharanya karet dan
dijamin pula pemasaran hasilnya. Itulah
yang pernah memakmurkan petani karet di
Riau dan Jambi pada masa lalu sampai
menjelang pembe-rontakan daerah tahun
1950-an. Kurang dari 18 tahun kemudian
Indonesia menjadi produsen karet alam
dunia. Indonesia adalah penghasil karet
dunia terbesar sejak tahun 1950—1959.
Terjadinya pemberontakan daerah telah
menyebabkan kebun karet terlantar dan
hasil karet yang terkumpul dirampas oleh
perusahaan yang ‘ditunjuk’ pemerintah dan
dilindungi tentara.

29

Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

3,300
3,000
2,700
2,400
2,100
1,800
1,500
1,200
900
600
300
0

Production

Export

Pada tahun 1951 misalnya, 43,2%
produksi karet alam dunia dihasilkan dari
Indonesia. Sedangkan Malaysia hanya
32,2% dan Thailand 5,8%. Namun 20
tahun kemudian kemerosotan peranan
Indonesia dalam karet alam semakin nyata.
Hal itu terbukti dari hasil karet alam
Indone-sia tahun 1970 tinggal 26,9% dari
produksi dunia; sedangkan Malaysia naik
menggantikannya dengan pangsa pasarnya
42,1% dan Thailand hanya 9,9% (Lee
1975). Akan tetapi sejak tahun 1990-an
Thailand bangkit dan menjadi penghasil
karet alam terbesar dunia yang menguasai
ham-pir 30% pasar karet alam dunia, berkat
dari upaya belajar terus menerus dari
pengalaman Indone-sia dan Malaysia sejak
tahun 1970-an.
Pendanaan
Penanaman
Kembali
(Replanting)
Sedangkan dana untuk penanaman
kembali, dikeluarkan oleh Kantor Bantuan
Dana Pe-nanaman Kembali Karet (ORRAF:
Office of Rubber Replanting Aid Fund);
suatu badan semi pemerintah, yang
berfungsi mengeluarkan izin ekspor karet
dari Thailand dan memungut uang 1,48
Baht per kilogram karet yang diekspor dari
para eksportir. Dana ini 85% dihibahkan
kepada petani karet yang menanam kembali
kebunnya, 10% untuk administrasi dan
pengelolaan ORRAF, sisanya 5% untuk
biaya penelitian yang dilakukan IRRT. Apa
yang dapat dipelajari dari kemaju-an karet

30

Consumption
di Thailand ialah: mantap dan lengkapnya
sistem
agribisnis
karet
dan
kelembagaannya. Termasuk kelembagaan
pendanaan, administrasi, penelitian dan
pengembangan, maupun koperasi petani
karet di tingkat pedesaan. Dengan demikian
ekonomi petani karet terpadu sepenuhnya
pada ekonomi karet nasional bahkan
internasional.
Di Riau seperti yang dilaporkan oleh
Gazali dan Asrol (1934) sumber pendanaan
disediakan oleh para pedagang pengumpul
dengan pengembalian melalui hasil karet
yang harus dijual kepadanya, sehingga
harga yang ditetapkan oleh dagang
pengumpul mutlak dan tidak ada tawar
menawar. Jadi pembiayaan dan harga
bersifat ‘buyer market’. Hal itu juga
merupakan pertanda tidak efisiensnya
tataniaga karet dan belum adanya
kelembagaan pembiayaan resmi tersedia di
lingkungan para petani.
Seperti yang
dikemukakan oleh Galbraith (1979) dan
Myrdal (1981) tidak mempunyai modal
untuk pembangunan dan anggaran biaya
yang tidak cukup menyebabkan terjadinya
kemiskinan dan keadaan yang rawan.
Infrastruktur
Dalam perjalanan ke Chaengsao
propinsi pertanian di selatan ataupun ke
Pattaya di timur Bangkok, yang berjarak
lebih 160 kilometer, di kiri kanan jalan
yang beraspal rapi itu menghijau oleh
pelbagai jenis tanaman palawija. Memang

Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

tak ada hutan alamiah yang terlihat. Jalan
mulus dua jalur dengan ditengahi tanaman,
masing-masing tiga lajur pada setiap
jalurnya. Pada pagi hari menjelang siang,
Nampak banyak truk membawa buahbuahan dan sayuran ke Bangkok dan kota
wisata terdekat Pattaya. Akan tetapi jalan
ke ibukota kecamatan dan desa pun
beraspal walau pun hanya satu lajurnya.
Rumah di sepanjang pinggir jalan, tak ada
kelihatan seperti gubuk buruk yang
ditempelkan pada rumah asli. Hampir
semua rumah-rumah itu seperti dibangun
tertib dan tidak asal-asalan. Keadaan itu
ditemukan mulai dari Bangkok sampai ke
desa perkebunan karet. Walaupun ada juga
rumah di pinggir sungai pinggiran Bangkok
misalnya, yang memberi kesan kumuh, tapi
hal itu tak ada di sepanjang jalan di
kawasan pertanian. Dua kesan itu – rumah
dan jalan – yang baik amat menonjol.
Pertama ,diperhatikannya infrastruktur ke
kawasan pertanian dan pedesaan, sehingga
hasil pertanian dapat mencapai konsumen
di kota bahkan ke luar negeri (ekspor).
Kedua kesan makmur juga dari tanaman
dan tumbuhan yang dipelihara baik
merupakan pemandangan kehidupan dan
pemukiman yang ada di pedesaan kawasan
pertanian! Apalagi kalau dibandingkan
dengan 35 tahun yang silam ketika pertama
kali saya mengunjungi Thailand dalam
perjalanan dari Bangkok ke Chiangmay,
keadaan amat berbeda; jauh sekali
perubahannya dan le-bih baik dari keadaan
Agustus 1972 yang silam. Beberapa kali
pula sejak tahun 1992 saya mene-lusuri
Thailand dari selatan ke Bangkok dengan
perjalanan kereta api, sehingga dapat
memban-dingkan perubahan yang terjadi
kearah yang semakin baik dan petani yang
semakin sejahtera.
Di pinggir kedua jalan itu sekarang
pada abad awal 21, pada lahan dataran
rendah terlihat ditanami pelbagai jenis
tanaman pangan, buah-buahan, dan bungabungaan. Kesan tentang tanam an ubi kayu
agak mencolok, karena ditanam di samping
padi di sawah terdekat. Ubi kayu itu amat
rendah, tak ada yang sampai satu meter
tingginya. ubi ini memang sudah
direkayasa, bukan ba-tang dan daunnya
yang banyak, melainkan umbi akarnya yang
tumbuh
subur.
Hasilnya
Thailand
merupakan negeri terbesar mengekspor

tepung tapioka ke Eropa, China, Jepang dan
Korea Sela-tan. Pernah terjadi, karena
quota ekspor tapioka Indonesia tak
terpenuhi, maka diserahkan kepada
Thailand untuk mengisinya.
Pertanyaan yang mendasar ialah:
kenapa Thailand dapat menjadikan pertanian
demikian berarti bagi ekonomi negaranya?
Dalam masa kurang dari 20 tahun mampu
menjadi penghasil karet dunia utama. Di
sisi lain, produktivitasnya yang tinggi
diiringi oleh kesejahteraan petaninya lebih
nyata,
lagi
pula
tumbuh
secara
berkelanjutan.
Pertumbuhan
dan
kemakmuran rakyat adalah hal yang
diutamakan dalam ekonomi. Hal itu
terkesan ada di lingkungan ekonomi karet
alam di Thailand. Itu dapat dibuktikan pula
dari tidak adanya pengemis di pedesaan
Selatan, seperti hal-nya juga amat sulit
menemukan pengemis di kota Bangkok
maupun Pattaya. Pada hal para bhik-su
setiap
hari
diberi
makan
oleh
masyarakatnya ketika lewat di depan
rumahnya.
Artinya secara budaya
‘mengemis’ adalah bukan suatu hal yang
memalukan. Tapi mereka tidak menjadikan
me-ngemis sebagai pekerjaan. Tangan di
atas juga tak dianggap mulia. Karena semua
merasa derma-wan dengan biasa memberi
makan para bhiksu, peminta yang lebih
dimuliakan.
Sungguhpun system agribisnis karet
alam di Thailand kelihatannya mantap,
namun nega-ra itu belum berhasil dalam
mengembangkan agroindustri karetnya.
Gambar 1. Menunjukkan konsumsi dalam
negeri hanya sekita 5% saja dari
produksinya, sedangkan sebagian besar
hasil olahan karet, terutama ban kendaraan
bermotor diimpor dari negara pengimpor
karet Thailand. Hal itu terjadi terutama
karena
terbatasnya
usahawan
dan
keusahawanan dalam bidang agroin- dustri
karet yang memerlukan modal dan
teknologi yang besar (padat modal) serta
lemahnya du-kungan pemerintah pada
pengembangan industry pengolahan hasil
pertanian skala besar.
Kelembagaan Ekonomi Karet
Organisasi atau kaidah, baik formal
maupun informal yang mengatur prilaku
dan mem-pengaruhi tindakan anggota
masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan

31

Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

rutin sehari-hari maupun dalam usahanya
untuk mencapai tujuan tertentu adalah suatu
kelembagaan (institution). Kelem-bagaan
dalam suatu masyarakat ada yang bersifat
asli berasal dari adat-istiadat dan kebiasaan
yang turun temurun. Akan tetapi ada pula
yang baru dicipta-kan baik dari dalam
maupun dari luar masyarakat tersebut
(Mubyarto 1976). Organisasi yang didirikan
secara resmi oleh pemerintah bedasarkan
hokum maupun badan yang dibentuk
masyarakat berdasarkan kebiasaan adalah
ben-tuk kelembagaan yang amat mempengaruhi tingkahlaku social dan ekonomi
masyarakat. Jaring- an kerja melalui
ataupun kelembagaan itu untuk mencapai
tujuan bersama yang disusun secara
sukarela dan berda-sarkan amanah salingpercaya (trust) dapat menjadi modal
masyarakat (social capital). Seperti yang
dikemukakan oleh Fukuyama (1995) bahwa
amanah sebagai dasar modal social
merupakan hal yang penting dalam
menciptakan
kemakmuran
suatu
masyarakat.
Dalam system agribisnis karet alam
di Thailand kelembagaan seperti itu sudah
mantap; ada yang dibangun secara sengaja
oleh pemerintah seperti Dinas Pertanian dan
Perkebunan, ba-dan latihan, pendidikan dan
penyuluhan, maupun lembaga penelitian.
Di Thailand lembaga pene-litian karet
didirikan di lingkungan Universitas
Kasetsart di Bangkok yang dibiayai
bersama oleh badan semi pemerintah yang
mengeluarkan izin ekspor, mengum-pulkan
cukainya dan mengagih-kan sebagian dana
terkumpul untuk pengembangan perkebunan karet dan sawit serta membiayai
penelitian dan pengembangan teknologi
agronomi dan pengolahan karet. Sedangkan
Pusat Pene-litian Karet ada pada enam
wilayah yang membawahi bebeapa
provinsi.
Hasil kelembagaan yang sudah
mapan itu ialah menjadikan Thailand
pengekspor karet alam dunia. Sebagai
produsen karet terbesar di dunia, Thailand
menguasai pangsa pasar karet dunia sekitar
30%. Hal itu terjadi karena 90% produksi
karet Thailand diekspor dan hanya 10%
yang dipakai untuk industri berbahan baku
karet. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah
ialah me-ningkatkan konsumsi karet dalam
negeri dan mendukung penanaman modal

32

dalam industri berba-han baku karet. Hal itu
diikuti dengan peningkatan mutu susugetah dan pengolahannya. Hasil karet
rakyat berupa getah cair (susu getah
berwarna putih) dan karet olahan berupa
kering-asap (rib smoked sheet: RSS) dan
karet standard (STR: Standard Thai
Rubber) dibeli pengusaha pe-ngolah karet
melaui koperasi. Pengusaha karet ini
memiliki pengolahan karet menjadi remah
ka-ret yang fabriknya ada 19 di sekitar kota
Bangkok. Umumnya pengusaha pengolah
karet ini juga berperanan sebagai eksportir
dan bergabung dalam Asosiasi Karet Thai
(Thai Rubber Associa-tion). Mereka ada
yang mempunya kebun sendiri, tetapi
bagian terbesar karet yang diekspor dibeli
dari hasil olahan rakyat atau koperasi di
pedesaan.
Koperasi selain menampung penjualan
getah jadi juga ‘susu’ karet rakyat untuk
dibuat latex (concentrated latex). Koperasi
juga berfungsi merekomendasikan petani
anggotanya
yang
mendapat
hibah
penanaman kembali kebun karetnya yang
sudah tua. Karet yang sudah dibeli koperasi
dijual di pasar lelang yang dikenal sebagai
Rubber Central Market (Pusat Pasar Karet)
yang berada di empat wilayah, dan dijual
secara lelang, tanpa adanya tengkulak
ataupun peda-gang perantara komoditi pada
tingkat petani. Tataniaga karet di Thailand
dapat digambarkan seperti pada Rajah 2.
Pusat pasar karet berfungsi melakukan
lelang dengan wajar, sehingga petani
mendapatkan harga karetnya pada tingkat
yang wajar pula. Misalnya, pada saat harga
karet yang lumayan baik pada tahun 2007,
petani karet memperoleh harga lelang
mencapai Rp30.000/kg, manakala petani
karet di Riau hanya menerima sekitar
Rp.14.000kg saja. Keadaan produktivitas
dan harga karet yang diterima petani
Thailand sekitar dua kali petani di Riau,
maka
dapat
diper-kirakan
tingkat
kesejahteraan mereka pun jauh berbeda,
hasil perbedaan system agribisnis dan
system tataniaga serta kelembagaan
agribisnis karet di kedua tampat itu.
Suatu sistem tataniaga seyogyanya
mampu menyampaikan karet dari petani
produsen ke konsumen dengan biaya yang
murah; lagi pula mampu mengadakan
pembagian yang adil dari keseluruhan harga
yang dibayar terakhir kepada semua fihak

Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

yang ikut serta di dalam kegiatan dan
tataniaga karet itu. Keadaan demikian
dikatakan sistem tataniaga yang dianggap
efisien (Mubyarto, 1982). Bahkan dengan
sistem tata-niaga karet seperti itu didukung
oleh kelembagaan yang kuat, pengekspor
karetpun dapat membiayai penanaman
kembali (replanting) karet dan juga
penelitian inovatif agribisnis dan teknoogi
karet. Inovasi agribisnis dan teknologi karet
itu dikem-bangkan ke masyarakat melalui
pusat penelitian karet dan penyuluh
pertanian.
Di Riau Koperasi Unit Desa lemah
dalam pengelolaan, organisasi, usaha, dan
keuangan
sehingga pedagang karet
merupakan kelembagaan di tingkat petani
yang megikat ketergantungan petani
(Rahmadani 2005, Gazali dan Asrol 2004).
Dengan tidak adanya kelembagaan yang
me-ngembangkan kemampuan koperasi dan
petani, terutama dalam meningkatkan mutu
karet alam yang diproduksi rakyat, maka
semakin jelas tidak terintegrasinya ekonomi
karet di Indonesia, khususnya di Riau
dengan ekonomi karet alam dunia. Hal ini
berdampak tidak sejahteranya peta-ni karet
dibandingkan
dengan
petani
sawit
misalnya, yang ekonomi sawit lebih terpadu
dengan
perekonomian
sawit dunia.
Akibatnya ekonmi pertanian karet tidak
berkelanjutan, bila dilihat In-donesia sudah
tidak menjadi penghasil utama karet di
dunia lagi, selama lebih 45 tahun terakhir.

Penelitian dan Pengembangan
Penelitian karet dan pengembangan
teknologi agronomi dan pengolahannya
kepada ma-syarakat petani karet merupakan
sumber inovasi yang berterusan di
Thailand. Hasil kegiatan itu terekam dalam
perkembangan produktivitas karet dan
rencana pengembangan luasan karet di
Thailand yang sedang dikembangkan.
Sampai tahun 2008 ini telah selesai
ditanam di daerah bagian Utara dan Timur
Laut Thai-land kebun karet seluas 120 ribu
hektar oleh Lembaga Penelitan Karet
Thailand (Institute of Rubber Research of
Thailand: IRRT), yang ada di dalam
kampus Universitas Kasetsart di ping-giran
kota Bangkok. 5% dari total hasil
pengutipan resmi sebesar 1,48 Baht setiap
kilogram ekspor karet adalah untuk biaya
penelitian yang dilakuan IRRT. Selain itu
penelitinya yang ber-jumlah lebih 60 orang
dan 60% bergelar Doktor, dibiayai oleh
pemerintah dan departemen per-tanian di
bawah Universitas Kasetsart yang fokus
pola ilmu pokoknya ilmu-ilmu pertanian.
Ada empat pusat penelitian karet di
Thailand yang berfungsi menghasilkan dan
menye-arkan klon karet baru serta
penyuluhan perkebunan karet. Satu di
antaranya yang kami tinjau di Provinsi
Chaengsao 200 km dari kota Bangkok,
yaitu Chaengsao Rubber Research Center
(Pusat Penelitian Karet di Chaengsao).

Produsen
Petani karet + Perkebunan
Koperasi Karet
Pusat Pasar Karet
Industri + Pedagang + Eksportir
Fabrik

Ekspor

Industri Karet Luar Negeri

Rajah 2. Tataniaga Karet di Thailand

33

Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

Ada delapan sarjana peneliti di pusat
penelitian karet ini. Dua bergelar doktor
dan dua lainnya sedang mengambil S3 dan
sisanya bergelar S2. Tentu saja dalam
bidang yang berkenaan dengan karet.
Kebun percobaannya seluas 350 hektar di
suatu
kecamatan
dalam
provinsi
Chaengsao. Dengan laboratorium yang
lengkap, tetapi sewaktu kami kunjungi, ke
lihatannya
laboratorium itu
kurang
berfungsi. Tidak ada peneliti atau teknisi
sedang bekerja pada tiga dari empat
laboratoria yang ada di dalam pusat
penelitian ini. Kecuali laboratorium sosialekonominya ditemukan seorang peneliti
senior yang sedang menulis makalah. Akan
tetapi di ke-bun percobaan dan bengkel
pengolahan karet, ditemukan para pekerja
sedang
mengerjakan
peme-liharaan
tanaman karet atau sedang melakukan
pengolahan karet yang kemudian diasap
(ribbed smoked sheet).
Pusat penelitian ini berada di bawah
departemen pertanian yang membiayainya.
Untuk biaya penelitan keempat pusat
penelitian karet ini setiap tahun dikeluarkan
Rp3 milyar dengan sekitar 30 orang sarjana
peneliti bergelar Doktor dan S2 itu. Mereka
dibantu oleh sekitar 200 pe-tani, pekerja tak
tetap dan teknisi tetap pada setiap kebun
pusat penelitian yang luasnya 150 sam-pai
500 hektar itu. Akan tetapi dengan biaya
sebanyak itu mereka harus menekan
kontrak meng-hasilkan minimal satu klon
karet baru setiap tahun. Kalau tidak mereka
dianggap gagal, dan tentu saja akibatnya
tersedia jalan ke luar, pensiun atau tidak
menjabat jabatan tertentu. Untuk itu mereka berjuang keras mencari dan
menemukan karet unggul dari berbagai
negara terutama dari te-tangganya. Pada
saat ini mereka sedang membuat dan
menguji coba klon, yang induknya berasal
dari Indonesia (PB235, 255, 260) dan
Malaysia (BPM24) selain dari klon Thai
sendiri (RRIT no. 251, 226). Tidak juga
tertutup kemungkinan mereka membuat
klon hibrida. Misalnya mengga-bungkan
karet yang unggul dari semua negara.
Sasaran yang hendak dicapai ialah
membuat klon yang mampu menghasilkan
latex 3125kg/ha/tahun. Pada saat ini baru
tercapai klon karet pengha-sil latex tertinggi
2188kg/ha/tahun. Sementara dalam rangka
diversifikasi karena sulitnya kayu dan

34

baiknya harga perabot dari kayu karet,
pusat penelitian di Thailand juga
menghasilkan bibit karet klon penghasil
kayu antara 315 – 375 meter kubik per
hektar dengan masa pemeliharaan lima
sampai enam tahun.
Sungguhpun kerja keras untuk
mencapai sasaran dengan mantap dan
akuntabel dilakukan mereka, tetapi Direktur
IRRT yang sering bertemu dengan peneliti
karet Indonesia dan pernah berkunjung ke
balai penelitian karet di Medan, dengan
rendah hati menyatakan: “Sebenarnya Indonesia yang memiliki kebun karet lebih
tiga juta hektar, dapat menjadi penghasil
karet dunia menjelang lima tahun
mendatang!”
Sewaktu
ditanyakan
bagaimanakah caranya? Dengan singkat
dijawabnya: ”Jangan biarkan kebun karet
menjadi hutan karet (rubber forestry)!”
Karena kebun karet (rubber plantation)
kalau sudah menjadi hutan, maka rerata
produksinya
menurun.
Misalnya
perkebunan karet rakyat, jumlahnya lebih
2,5 juta hektar di Indonesia, tetapi
menghasilkan
hanya
sekitar
700
kg/ha/tahun. Sedangkan hasil kebun karet
rakyat di Thailand, hampir semuanya sudah mencapai rerata 1300kg/ha/tahun.
Suatu angka yang mendekati dua kali
produktivitas petani karet kita. Artinya,
untuk lebih baiknya kehidupan petani karet
rakyat, maka ada dua hal yang pen ting
dilakukan, peningkatan produktivitas dan
kelembagaan system agribisnis karet perlu
dikem-bangkan. Pengembangan kelembagaan
sistem agribisnis sebaiknya dilakukan
pemerintah sedang-kan usaha agribisnis
karet dikembangkan oleh pihak swasta.
Walaupun idealnya keduanya akan lebih
cepat berkembang bilamana ketiga anasir
pemangku pertanian karet – petani karet,
pengusa-ha swasta dan pemerintah –
bekerjasama atau berkoordinasi tentulah
akan lebih baik. Sebenarnya produksi karet
alama
pada
beberapa
perusahaan
perkebunan negara (PTPN) dan swasta di
Indo-nesia sudah ada yang mencapai lebih
dari 1500 kg/ha/tahun, namun teknologi itu
tidak sampai pada pekebun getah kecil atau
perkebunan
rakyat,
suatu
petunjuk
lemahnya sistem agribnisnis karet dan
belum terpadunya ekonomi karet di
Indonesia. Sedangkan di Thailand seluruh
teknologi
baru
dikembangkan
ke

Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

masyarakat oleh pusat penelitian karet dan
badan penyuluhan pertanian yang berada di
bawah kementerian pertaniannya.
Dengan
sistem
agribisnis
dan
agroindustri yang sudah terpadu seperti itu
di Thailand itu pun, mereka masih merasa
belum kuat daya saingnya. Karena itu
upaya membangun lembaga penelitian karet
dan program penelitian untuk mendukung
pengembangan usaha perkebunan dan
teknologi karet yang berkelanjutan juga
dilakukan.
Integrasi ekonomi karet rakyat
Secara umum keterpaduan ekonomi
dapat menimbulkan masyarakat yang lebih
sejahtera,
keterpaduan
sosial
serta
keterpaduan
daerah,
sebaliknya
ketakpterpaduan (disintegrasi) dapat pula
menimbulkan ketergantungan, diskriminasi,
yang mengakibatkan timbulnya masalah
sosial dan politik. Keterpaduan ekonomi
karet dapat terbentuk bilamana sistem
agribisnis dan agroindustri-nya terpadu
dengan perdagangan dan ekspor, yang
didukung kelembagaan
yang dapat
menjamin
penyediaan
dana
bagi
penanaman kembali maupun membuat
perkebunan lain di lahan karet yang ada.
Pengalaman Thailand tersebut jauh
bermanfaat, tidak seperti hasil penelitian
Syarfi (2007) tentang pembangunan
ekonomi
kerakyatan
dengan
pola
perkebunan inti rakyat di Sumatera Barat.
Peneliti
itu
menyatakan
bahwa
pembangunan perkebunan di Indonesia
masih belum memberikan manfaat yang
memadai besarnya bagi para pekebun sawit.
Oleh sebab itu, disarankannya model
integrasi
pembangunan
perkebunan
agroindustri dan kelembagaan pekebun
sebagai alternatif un-tuk revitalisasi
perkebunan dalam ekonomi ganda (dual
economy)-nya. Keterpaduan karet alam di
Thailand menunjukkan tidak tepatnya teori
Boeke (1951) pesimistis ‘dualisme sosial’
dan ‘pover-ty shared’-nya Geertz (1976),
yang
simpulan
pokoknya
bahwa
perekonomian agraris tidak memi-liki dasar
untuk
berkembang
menjadi
suatu
perekonomian modern yang dinamis dalam
tatanan sistim perekonomian pasar, dan
sebab bersifat statis akan terperangkap
dalam lingkaran kemis-kinan (vicious
poverty cycke). Ataupun tidak selaras

dengan teori ‘subsistence ethics’-nya Scott
(1976) yaitu etika yang lebih kurang
merupakan suatu pengaturan normatif
berdasarkan nilai sa-ling menolong antara
sesama, nilai reprositas, nilai balas-budi
seperti itu mengental sedemikian rupa,
sehingga membuat para petani keras kepala
menolak atau menerima inovasi, walaupun
hal itu dinyatakan akan memperbaiki hidup
mereka. Mereka menolak dengan keras,
terutama kalau yang dilakukan oleh aparat
dari
lembaga
pemerintah
tidak
menunjukkan bukti dan etika yang
ber’moral-hazard’.
Kegagalan
proyek
umumnya
akibat
korupsi
dan
penyelewengan yang nyata dan dirasakan
akan
membuat
masyarakat
tidak
mempercayai kelembagaan yang berkenaan.
Ka-rena terbukti pula para pekebun karet
alam menanggapi secara positif kelembagaan
karet alam di Thailand yang dirasakan
amanah itu maupun tanggap terhadap
perdagangan dan perkembangan industri
karet, seperti yang dikemukakan Hayami
dan Kawaguchi (1993). Keadaan seperti itu
menjadi lancar karena petani diberi bantuan
semua dana untuk menanam ulang karet
yang tua atau merubahnya menjadi kebun
sawit, mendapatkan harga karet yang setara
dengan harga pasar dunia; kedua hal ini saja
secara mendasar akan membuka peluang
agribisnis karet sebagai usaha tani yang
berkelanjutan (sustainable agribusiness),
bila dipadukan dengan perdagangan karet
moderen dalam suatu sistem agribisnis
(Ahmad 2010). Dalam mengembangkan
sistem agribisnis karet alamnya, Thailand
memulai pada tahun 1970-an dan
sebagiannya merujuk dan belajar dari
keadaan pada masa awal karet di Indonesia.
Sungguhpun demikian, analisis dan
model yang diusulkannya bersifat parsial
dan belum teruji kebenarannya. Lagi pula
belum menjangkau integrasi sistem
agribisnis sawit dalam pereko-nomian sawit
secara menyeluruh.
Ketakterpaduan
ekonomi ikan tuna, juga ditemukan oleh Junaidi (2007) yang melaporkan bahwa
terdapat hubungan antar pasaran wilayah
dalam jangka panjang, yang apabila terjadi
perubahan harga di suatu pasaran, maka
akan diinformasikan atau ditanggap oleh
pasaran wilayah lainnya. Para agen di
pasaran lelang dan pemborong di pasaran

35

Muchtar Ahmad : Keterpaduan ekonomi karet alam Thailand

wilayah tak membayar sesuai harga pasaran
yang berlaku. Hal ini terjadi karena
pemborong dan sub-agen me-ngambil
keuntungan lebih dari pedagang tetapi
membauyar kurang kepada agen dan
produsen (nelayan). Akan tetapi bila terjadi
lonjakan harga di pasaran, maka sub-agen
dan pem-borong di pasaran wilayah akan
membayar sesuai dengan faktur dari agen.
Agen juga tidak mem-bayar
kepada
nelayan sesuai dengan harga yang berlaku
di pasaran lelang. Dengan demikian ter-jadi
sistem tataniaga yang tidak efisien atau
efisiensinya rendah dan tidak mantap.
Gambaran seperti itu berlaku di hamper
seluruh komoditi pertanian yang melibatkan
rakyat banyak dan pengusaha utamanya
adalah warganegara Indonesia keturunan
China.
KESIMPULAN
Ekonomi karet alam di Thailand
terpadu mulai dari penyediaan sarana
produksi sampai kepada ekspor atau
perdagangan internasionalnya. Hal itu
berasal dari upaya pemantapan sistem
agribisnisnya dengan sistem tataniaga yang
efisien dan dukungan kelembagaan yang
lengkap,
termasuk
penelitian
dan
pengembangan agronomi dan teknologi
pengolahannya, sehingga dayasaingnya
tinggi sehingga kemungkinan keberlanjutan
pertanian karet alam di Thailand boleh
tampil dengan nyata. Namun, Thai-land
belum berhasil dalam mengembangkan
agroindustri karetnya, karena masih
lemahnya
segi
usahawan
dan
keusahawanan dalam bidang itu, yang
bersifat padat modal karena memerlukan
modal besar dan teknologi yang lebih
tinggi.
Kelembagaan
karet
meliputi
undang-undang yang menjamin penanaman
kembali (re-planting), bantuan pendanaan
yang pasti, administrasi, penelitian dan
pengembangan, penyuluhan mau pun
koperasi pertanian di pedesaan sampai
kepada pengusaha eksportir yang terkait
dan terpadu ke hulu maupun ke hilir.
Semuanya akuntabel dan berfungsi secara
nyata memajukan agribisnis karet ke arah
pertanian yang berkelanjutan, yang
berbasiskan kesejahteraan petani.

36

Ucapan Terimakasih
Penulis berterimakasih kepada PTPN-V
Riau yang telah membiayai kunjungan ke
Thailand dan juga kepada Kepala dan staf
RRC, ORRAF, serta Direktur Utama dan
Ketua Asosiasi Karet Thai-land serta
stafnya. Tak lupa terimakasih kepada empat
anggota rombongan kunjungan lainnya dari
Dewan
Kom
isaris
PTPN-Vyang
membahas bahan yang ditayangkan ketika
berkunjung ke lembaga berkenaan.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, M. 2009. Sistem Agribisnis Karet
Alam di Thailand. Jur. Sistem
Agribisnis I(1): 1 – 14.
Axline, W. A. Caribbean Intgegration. The
Politics of Regionalism. London:
Frances Pinter Ltd.
Balassa, Bela. 1961. The Theory of
Economic Integration. Homewood,
Illinois: Irwin.
Benson, B.L. and M.D. Faminof. 1990.
Integration of Spatial Markets.
American Jurnal of Agriculture
Economics 72(1): 49 – 66.
Boeke,
J.H. 1951. Economics and
Economic Policy of Dual Societies
as Exemplified by Indonesia, New
York: AMS Press.
Chou, K.P. Bill. 2006. China’s economic
integration into global regulatory
frameworks: A study of govenment
procurement. Communist and Postcommunist Studies 39(2006): 431–
435. De, S.K. and J.R. White.
Rubber Technologis’s Handbook.
576 pages.
Editorial. 2007. Rubber consumption of the
present Global’s major rubber
producer and consumer countries.
Rubber International Magazine 9
(9September 2007): 46– 50.
Furui, Chiaki. 2007. Hedge Fund and
Rubber Futures Market. Rubber
International Magazine Vol. 9 No.
9 September 2007: 40 – 45.
Fukuyama, Francis. 1995. Trust The Social
Virtues and the Creation of
Prosperity. New York: Free Press.
Galbraith, J.K. 1979. The Nature of Mass
Proverty. Cambridge Mass. and
London: Harvard University Press,
Gazali, F dan Asrol 2004. Strategi
tataniaga karet provinsi Riau.

Jurnal Ekonom, Vol 14, No.1 Januari 2011

Dinamika Pertanian XIX(1) April
2004: 81–90.
Geertz, C. 1970. Agricultural Involution:
The Process of Ecological Change in
Indonesia. Ber-keley and Los
Angeles: University of California
Press
Haggard, S. 1995. Developing Nations and
the Politics of Global Integration.
Washington, DC. The Brookings
Institution.
Hayami, Y and T. Kawagoe. 1993. The
Agrarian Origins of Commerce and
Industry: A study of Peasant
Marketing in Indonesia. New Yor: St
Martin’s Press.
Junaidi. 2006. Efisiensi Harga Tuna pada
Berbagai Pasar di Wilayah Sumatera
Barat. Berkala Perikanan Terubuk.
33(1): 29 – 33.
Lee Hock Lock 1975. Public Policies and
Economic
Diversification.
Unpublished Doctor Dissertation in
Economics at the University of
Malaya, Kuala Lumpur.
Lewis. W.A. 1954. ‘Economic development
with unlimited supplies of labour’,
Manchester School of Economic
Social Studies. Vol 22 May 1954.
Masperi 2004. Analisis implementasi
kebijakan
publik
di
sektor
perkebunan pola PIR-TRANS (Studi
kasus di Kecamatan Kepenuhan,
kabupaten Rokan Hulu, propinsi
Riau): Jurnal Ilmu Administrasi
Negara 4(1) Januari 2004: 11-23.
Meyer, Jochen. 2004. Measuring market
integration in the presence of
transaction costs—a
threshold

vector error correction approach.
Agricultural Economics 31 (2004):
327–334.
Mubyarto 1982. Pengantar Ekonomi
Pertanian. Jakarta: LP3ES.
Myrdal, Gunnar. 1971. Asian Drama: An
Inquiry into the Poverty of Nations.
New York: Pantheon.
Nasuruddeen, P. And S.R. Subramanian
1995. Price Integration of Oil and
Oilseeds.
Indian
Journal
of
Agricultural Economics 50(4): .
Rahmadani, Elfi 2005. Institusi pemasaran
kaomoditi karet rakyat: Studi kasus
desa Teratak Air Hitam kecamatan
Benai, kabupaten Kuantang Singingi.
Dinamika Pertanian XX(2) Agustus
2005: 205 – 216.
Sexton et al. 1990. Market Integration,
Efficiency
of
Arbitrage,
and
Imperfect
Competition.
Methodology and Application to U.S.
Celery.
American
Agricultural
Economics 72(2): 568-580.
Suthisong, Surasak. 2007. The Tracking of
the History of Rubber Plantation in
Siam Part 11. Rubber
Plantation
after WW2 Era. Rubber International
Magazine 9(9) September 2007:40–
45.
Syarfi, Ira Wahyuni. 2007. Pembangunan
Perkebunan Rakyat di Sumatera
Barat: Suatu kajian dalam perspektif
pembangunan ekonomi kerakyatan.
Disertasi Doktor.
Pascasarjana
Universitas Andalas, Padang. (tidak
diterbitkan).

37