42054 ID the interpretation of istighotsah tradition post ndoro purbos grave destruction
Dandung Budi Yuwono
MEMAKN AI TRAD IS I IS TIGH OS AH
P AS CA PERU S AKAN MAKAM N D ORO PU RB O D I
YOGYAKARTA
Th e In t e r p r e t a t io n o f Is t ig h o t s a h Tr a d it io n Po s t N d o r o Pu r b o ’s Gr a v e
D e s t r u ct io n in Y o g y a k a r t a
DANDUNG BUDI YUWONO
Peneliti LP2M UIN Sunan KalijagaJl. Marsda Adisucipto Yogyakarta Telp. (0274) 550776 E-mail: [email protected]
Naskah diterima : 9 November 2015 Naskah direvisi : 19 – 23 November 2015 Naskah disetujui : 4 Desember 2015
A bstract
Yogy akarta is kn ow n as a tolerans society , suddenly shocked by an incidence of the destruction of the N doro Purbo’s grav e, the 6th Sultan H am engku Buw ono’s grandchild, by irresponsible persons. In respon se to this incidence, a N ahdliy in (N U) com m unity in Yogy akarta perform s sacred rituals called an ‘istighotsah’. This is a qualitativ e research (case
study ) tha t a i ms to a nsw er thr ee pr oblems: ( 1) how does N U i n Y og y a ka r ta look a t the i g ur e
of N doro Purbo? (2) H ow do they interpret the acts of N doro Purbo’s grav e destruction? An d (3) W hy does N U Yogy akarta perform a ritual ‘istighotsah’, and how do they interpret ‘istighotsah’? This study aim s to explain the interpretation of N U m em bers on the acts of N doro Purbo’s grav e destruction, to understand the reasons of N U do ‘istighotsah’, an d to
i nd the mea ni ng of ‘i sti g hotsa h’ for N U member s. D a ta w a s collected thr oug h obser v a ti on,
participan t observ ation and in-depth in terv iew s, w hile the interpretiv e data analy sis is
done usi ng emi c a nd ethi ca l per specti v e. T he study ’s i ndi ng s i ndi ca te tha t N dor o Pur bo w a s i ma g ed a s a i g ur e of sa i nt a nd know n a s a per son w i th super na tur a l pow er . T he N dor o
Purbo’s grav e destruction w as considered as a form of rudeness to the Jav an ese v alue, w hich is interpreted as v iolation of the Islam ic v alues an d a gam e of sy m bol, and it w as considered
a s a n a ct of w r ong doer s. T o i g ht such i njusti ce a mong the N U member s, they per for m r i tua l
‘istighotsah’ as an expression of a protest to God and a form of spiritual resistance during
the di icult si tua ti on i n fa ci ng di sobedi ent or ‘v i si ble si n’.
K e y w o r d s : Interpretation, Istighotsah, Grav e-Destruction, N doro Purbo.
A bstrak
M asy arakat Yogy akarta y ang dikenal tolerans, tiba-tiba dikejutkan dengan adany a peristiw a perusakan M akam N doro Purbo, cucu Sultan H am engku Buw ono VI oleh okn um y an g tidak bertanggung jaw ab. Dalam m erespon s peristiw a tersebut m asy arakat di kalan gan nahdliy in (N U) Yogy akarta m elakukan ritual sakral ‘istighotsah’. Penelitian kualitatif (studi kasus) ini m engungkap tiga perm asalahan: (1) Bagaim ana w arga N U
Y og y a ka r ta mema nda ng sosok N dor o Pur bo? ; ( 2) Ba g a i ma na mer eka mena fsi r ka n ti nda ka n per usa ka n M a ka m N dor o Pur bo? ; da n ( 3) M eng a pa w a r g a N U Y og y a ka r ta
m elakukan ritual ‘istighotsah’, dan bagaim an a m ereka m em akn ai ‘istighotsah’ tersebut? Pen elitian ini bertujuan, Pertam a, m en jelaskan tafsir w arga N U terhadap tindakan perusakan M akam N doro Purbo. Kedua, m em aham i alasan -alasan w arga N Um elakukan ’istighotsah’. Ketiga, m engetahui apa m akn a ’istighotsah’ bagi w arga di kalangan N U. M etode pengum pulan data dilakukan m elalui pengam atan, pengam atan terlibat dan w aw an cara m en dalam , sem entara an alisis data dilakukan secara interpretatif m elalui perspektif em ik dan etik. Tem uan penelitian m en unjukkan, bahw a N doro Purbo dicitrakan sebagai sosok ‘w aliy y ullah’ dan dikenal sebagai ‘orang sakti’. Tindakan perusakan M akam N doro Purbo dian ggap m erupakan bentuk penghinaan bagi orang Jaw a, y ang ditafsirkan sebagai penodaan terhadap nilai-nilai luhur agam a Islam dan m erupakan perm ainan sim bol, serta dian ggap sebagai tin dakan zalim . Untuk m elaw an kezalim an tersebut m aka w arga di kalangan N U m elakukan ritual ‘istighotsah’ sebagai ekspresi tindakan ‘pengaduan’ kepada San g Pencipta atau m erupakan ben tuk perlaw anan secara ‘baṭiniyah’ atas kesulitan
m en ghadapi kem aksiatan ‘ ḍohiriyah’.
K a t a k u n ci: Mem aknai, Istighotsah, PerusakanMakam , N doro Purbo.
(2)
P
EN D AH U LU ANMasyarakat Yogyakarta yang dikenal tolerans, tiba-tiba dikejutkan dengan peristiwa perusakan Makam Ndoro Purbo, cucu Sultan Ham engku Buwono VI, di Sem aki Yogyakarta pada tanggal 16 Septem ber 20 13. Perusakan tersebut, dilakukan oleh ’oknum ’ yang tidak bertanggung jawab. Pelaku
tidak hanya melakukan perusakan terhadap i sik
m akam , tetapi juga m encoret-coret dinding dan lantai m akam dengan tulisan ’haram ’, ’m usyrik’, yang m enurut juru kunci m akam para pelaku dalam aksinya m enggunakan atribut ’bercadar’
sehingga tidak teridentii kasi dengan jelas (SKH
Kedaulatan Rakyat, 17-0 9-20 13). Peristiwa tersebut m em unculkan kom entar di kalangan m asyarakat Yogyakarta. Hal ini sebagaim ana pem beritaan di berbagai m edia cetak dan m edia sosial. Kom entar tokoh agam a, tokoh intelektual dan tokoh budaya, m enyayangkan tindakan anarkis itu terjadi. Salah satu kom entar adalah pernyataan Sri Sultan Ham engku Buwono X, sebagaim ana dilansir di SKH Kedaulatan Rakyat, 18 Septem ber 20 13:
“Kalau m em ang praktik ziarah kubur dipandang sebagai suatu bentuk penyim pangan, tetapi yang
disayangkan mengapa harus i sik makam yang
dirusak. Karenanya peristiwa tersebut hendaknya segera diusut tuntas, siapa pelakunya, apa m otivasinya, latarbelakangnya, dan apakah pelaku m erupakan representasi dari suatu kelom pok agam a tertentu”.
Sebagian m asyarakat m engatakan bahwa pelaku adalah oknum dari kalangan kelom pok agam a Islam tertentu yang selam a ini tidak setuju dengan praktik ziarah kubur, yang dianggap sebagai sebuah penyim pangan (bid’ah dan sy irik) karena tidak ada dalam tuntunan Islam . Sebagian yang lain m engatakan, bisa jadi kejadian itu adalah ulah oknum (baca: pihak ketiga) di luar kelom pok keagam aan Islam yang sengaja ingin m em ecah, m em benturkan sesam a kelom pok keagam aan Islam dengan tujuan m em perkeruh
suasana keberagamaan dan memicu konl ik
sosial. Tindakan perusakan m akam m erupakan peristiwa yang m em iliki sarat m akna, yang dapat m em pertajam perbedaan atau m erenggangkan hubungan antara warga kelom pok keagam aan
Islam satu dengan lainnya yang berseberangan
paham, bahkan dapat menyulut konl ik
perpecahan di antara kelom pok keagam aan Islam . Peristiwa tersebut, dapat dipaham i bahwa warga di kalangan NU yang notabene dalam kehidupannya sangat kental dengan ritual ziarah kubur, adalah pihak yang m erasa m enjadi sasaran bidik atas peristiwa perusakan m akam tersebut, dan wajar jika m ereka m elakukan tindakan balasan (counter attack). Nam un kenyataannya, m ereka justru m eresponsnya dengan cara yang santun, arif, dan agam is, tidak em osional, yakni dengan m enggelar ritual ’istighotsah’, pada tanggal 22 Septem ber 20 13 di kom pleks Makam Ndoro Purbo, diprakarsai oleh Gerakan Pem uda Ansor Kota Yogyakarta, yang dihadiri oleh beberapa kom ponen m asyarakat Yogyakarta.
Pertanyaannya, m engapa dan apa alasan yang m elatarbelakangi warga NU Yogyakarta lebih m em ilih m elakukan ritual sakral ‘istighotsah’ dalam m erespons perusakan Makam Ndoro Purbo, adalah persoalan m enarik dan penting untuk diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada 3 rum usan m asalah, yakni (1) Bagaim ana warga Yogyakarta, khususnya warga di kalangan NU m em andang sosok Ndoro Purbo; (2) Bagaim ana warga NU Yogyakarta m enafsirkan tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo?; (3) Mengapa warga NU Yogyakarta m elakukan ritual ‘istighotsah’ dalam m erespons tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo, dan apa m akna ‘istighotsah’ tersebut bagi warga NU Yogyakarta?
Penelitian ini selain berperan dalam m enjelaskan bagaim ana warga di kalangan NU Yogyakarta m enafsirkan tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo, dan bagaim ana m ereka m em aknai ‘istighotsah’, penelitian sem acam ini penting karena hasilnya diharapkan dapat m enjelaskan bagaim ana warga NU Yogyakarta
melakukan pengelolaan konl ik di tengah
berbaurnya keragam an kelom pok sosial-keagam aan Islam . Hasil penelitian ini juga dapat m em berikan gam baran dalam rangka m enggali m odel yang diperlukan untuk m encegah terjadinya
(3)
belakangan ini kerap terjadi di beberapa wilayah, atau yang diperlukan dalam rangka m em bangun harm onisasi hubungan internal kelom pok keagam aan khususnya dalam tubuh Islam . Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan dapat m em buka ruang perdebatan dan m em perluas kajian yang dapat m em berikan pem aham an lebih terhadap fenom ena pem bauran hubungan internal kelom pok sosial-keagam aan Islam yang terus m engalam i perkem bangan aktualisasi karakter hubungan seiring dengan tantangan zam an yang terus berubah dan kom pleks. Selain itu, hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kebijakan bagi Kem entrian Agam a yang berkom peten m enangani persoalan kerukunan kehidupan beragam a.
Saat ini keberadaan kelom pok-kelom pok sosial-keagam aan Islam tidak dalam
batas-batas i sik (phy sical boundaries) yang tegas.
Satu sam a lain telah bercam pur dalam satu
ruang i sik yang antarmereka telah membagi
wilayah secara saling bersinggungan bahkan berhim pitan. Untuk m elihat proses interaksi kelom pok-kelom pok sosial-keagam aan Islam dalam suatu setting sosial tertentu ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. Pertam a, artikulasi keberadaan suatu kelom pok sosial-keagam aan di m ana kehadiran setiap warga kelom pok sosial-keagam aan m engalam i proses penegasan baik oleh pem eluk kelom pok sosial-keagam aan yang bersangkutan m aupun oleh pem eluk kelom pok sosial-keagam aan lain yang ada di suatu lingkungan sosial. Sebagaim ana dalam hubungan antaretnis yang dijelaskan Appadurai (1994), bahwa ekspresi etnisitas bagi suatu etnis m erupakan keberlanjutan m asa lalu yang m erupakan bentuk politik em ansipatoris dan penegasan autentisitas etnis. Politik em ansipatoris m erupakan suatu strategi untuk m enghadirkan kesukubangsaannya dalam suatu setting sosial yang cenderung m enghilangkan batas-batas etnis (Abdullah, 1999; Soros, 20 0 0 ). Artinya, proses penegasan suatu identitas um at Islam (dalam berbagai kelom pok sosial-keagam aan) dapat pula dilakukan oleh lingkungannya atau oleh kelom pok lain untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam serangkaian proses sosial sem acam ini, identitas bukan lagi m erupakan sesuatu yang dibawa secara biologis, tetapi m erupakan suatu konstruksi sosial yang keberadaannya berlangsung karena pem aknaan dalam serangkaian interaksi yang terjadi antara kelom pok sosial-keagam aan satu dengan kelom pok sosial-keagam aan lain.
Kedua, keberadaan ruang publik di m ana perbedaan antarkelom pok sosial-keagam aan m endapatkan pengikisan dalam proses pem bauran di suatu ruang publik. Dalam suatu ruang publik tertentu setiap orang belajar berkom unikasi dengan cara lebih cepat dapat diterim a secara um um di satu sisi dan setiap kelom pok pun di lain sisi belajar untuk m enerim a perbedaan-perbedaan yang dim iliki oleh kelom pok lain (Green, 1995). Ruang-ruang publik yang terbentuk pada dasarnya m em iliki potensi pengikat yang sangat kuat di dalam pem bentukan solidaritas baru yang lintas etnis, lintas agam a, dan lintas budaya (Starr, 1999; Kappus, 1999). Dalam interaksi sem acam ini juga selain akan m enghilangkan perbedaan-perbedaan atau terjadinya penerim aan terhadap ciri-ciri yang berbeda, juga akan m enghasilkan pengayaan-pengayaan dalam berbagai bentuknya. Ciri-ciri yang berbeda dapat saja kem udian tidak dinilai sebagai faktor pem beda yang m em isahkan satu kelom pok dengan kelom pok lain tetapi dianggap sebagai variasi yang m em perkaya lingkungan sosial m ereka. Pengayaan-pengayaan akan terjadi pada saat penyerapan bentuk-bentuk ekspresi satu kelom pok diadopsi oleh kelom pok lain yang seringkali dipakai dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari ekspresi seseorang atau sekelom pok orang (Eller, 1999). Proses sem acam ini m em iliki potensi di dalam pem bauran antarkelom pok sosial-keagam aan Islam dalam lingkungan sosial tertentu. Ruang-ruang publik yang tersedia dalam berbagai bentuk m em ungkinkan kom unikasi budaya berlangsung dengan baik.
Ketiga, sim bol-sim bol kom unikasi antarkelom pok sosial-keagam aan Islam yang m erupakan kunci dalam proses pem bauran. Manusia sebagai m akhluk sim bolis cenderung hidup dalam proses m enciptakan sim bol dan
(4)
m em baca atau m em aknai sim bol-sim bol dalam proses interaksi. Sim bol tentu saja m engalam i suatu proses konstruksi yang berlangsung secara dinam is (Berger dan Luckm ann, 1979; Cheater, 1999). Walaupun berbagai sim bol telah tersedia dalam kehidupannya, proses pem aknaan dari sim bol tersebut dapat berkem bang sedem ikian rupa sehingga suatu sim bol dapat dikonsepsikan secara berbeda berdasarkan pada generasi berbeda. Makna-m akna sim bolis ini akan diberikan berdasarkan interpretasi sehingga sangat m ungkin bahwa interpretasi tersebut berbeda antara satu generasi dengan generasi lain.
Ketiga aspek di atas m erupakan wilayah cakupan yang penting dalam m enjelaskan proses pem bauran antarkelom pok sosial-keagam aan Islam yang terjadi di dalam suatu lingkungan sosial di wilayah Yogyakarta. Untuk ini, ciri-ciri lingkungan di m ana sejum lah warga (jam aah) kelom pok sosial-keagam aan Islam berada dalam dan m erupakan konteks, sangat m enentukan bagaim ana pola kom unikasi berlangsung, yang dalam hal ini konteks sosial m em beri kerangka dan m em bentuk karakter kelom pok dan hubungan antarkelom pok sosial-keagam aan Islam . Di lain pihak, dalam kasus kebudayaan dom inan, lingkungan sosial m em beri pengaruh yang besar di dalam m em bangun suatu kom unikasi budaya dalam proses interaksi antarkelom pok sosial-keagam aan. Sejalan dengan ini, setiap lingkungan sosial m em iliki latar belakang historis yang penting untuk dikaji dan m em iliki realitas obyektif yang secara langsung m aupun tidak langsung m em iliki daya paksa terhadap setiap anggota (warga, jam aah) kelom pok-kelom pok sosial-keagam aan Islam dalam proses integrasi sosial (Berger dan Luckm ann, 1979).
Di bagian lain, dunia hidup sosial senantiasa dibangun m elalui m akna-m akna m asyarakat yang m enjadi partisipan, yang disebut Berger dengan batasan-batasan realitas (Berger et. al., 1992: 21). Batasan-batasan realitas yang berbeda tentang hidup sehari-hari, m enurut Berger, m em erlukan tatanan yang m enyeluruh, sehingga seseorang individu m em erlukan batasan-batasan realitas yang berlingkup luas untuk m em berikan m akna
kepada hidup sebagai satu keseluruhan. Dengan dem ikian antara perilaku individu dengan realitas di dalam m asyarakat terjadi satu proses dialektika (Berger dan Luckm ann, 1990 ). Proses inilah yang kem udian m elahirkan cara pandang baru, cara berperilaku baru, dan cara m engatasi m asalah baru yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial. Sesuatu yang ‘baru’ tentu bukan benar-benar baru, karena m ungkin m ereka peroleh m elalui pengalam an-pengalam an hidup berinteraksi dengan orang lain, m endengar perilaku orang lain, atau m em ang lahir dan m uncul dari proses
dialektika yang khas dan spesii k dari hubungan
sosial itu sendiri.
Proses dialektik antara m anusia dengan lingkungan, m anusia senantiasa m em bentuk dunianya sendiri, dan dunia itu adalah kebudayaan (Berger, 1994: 7-10 ). Itu sebabnya, konteks kebudayaan sangat m em pengaruhi proses perilaku m anusia dalam m em bangun dunianya, karena hanya dalam satu dunia yang dihasilkan oleh dirinya sendiri, m anusia dapat m enem patkan diri serta m erealisasikan kehidupannya. Oleh karena itu, dalam proses sosialisasi diperlukan satu interaksi, karena m anusia tidak dapat bereksistensi dalam kehidupan sehari-hari tanpa secara terus m enerus berinteraksi dan berkom unikasi dengan orang lain (Berger dan Luckm ann, 1990 : 34). Di dalam praktiknya, proses interaksi dan kom unikasi itu tidak selalu tanpa ham batan, karena satu perilaku tertentu bisa saja tidak dapat diterim a dengan m udah oleh lingkungan sosial dan budaya di m ana seseorang itu berada.
Faktor lain yang tidak kalah penting dalam hubungannya dengan perilaku adalah realitas obyektif individu atau kelom pok. Manusia yang senantiasa m engalam i perkem bangan tidak hanya berhubungan secara tim bal-balik dengan suatu lingkungan alam tertentu, tetapi dengan suatu
tatanan budaya dan sosial yang spesii k atau ruang
sosial yang dihubungkannya m elalui perantaraan orang-orang berpengaruh ( sig nii cant other s)
yang m erawatnya (Berger dan Luckm ann, 1990 : 68). Seseorang dibentuk tidak hanya atas dasar aturan-aturan sosial, tetapi bahwa perkem bangan
(5)
organism enya juga ditentukan secara sosial. Aturan-aturan sosial seringkali dirasakan oleh individu sebagai satu proses dan bentuk reproduksi sosial yang m engharuskan seseorang untuk berbuat sesuatu. Proses m enghadapi reproduksi sosial itu um um nya dihadapi dengan strategi-strategi tertentu agar m anusia dapat hidup di dalam nya.
Itu sebabnya m anusia yang m em bentuk m asyarakat dipandang sebagai suatu dialektika antara data obyektif dan m akna-m akna subyektif, yaitu yang terbentuk dari interaksi tim bal balik antara apa yang dialam i sebagai realitas luar dan apa yang dialam i sebagai apa yang didalam kesadaran individu. Dengan kata lain, sem ua realitas sosial m em iliki kom ponen esensial kesadaran. Kesadaran akan hidup sehari-hari m erupakan jaringan m akna-m akna yang m em buat individu m am pu m enem puh jalannya m elintasi peristiwa-peristiwa biasa dan kom unikasi dengan orang lain. Keseluruhan m akna-m akna itulah yang akhirnya m em bentuk dunia hidup sosial (Berger et. al., 1992: 18-19). Dengan kata lain, realitas obyektif sebagai proses dialektik m engandung pengertian bahwa kesadaran individu terhadap lingkungan sosial dan kebudayaan akan m em bentuk m asyarakat. Kem udian, pada proses berikutnya ‘dunia’ yang dibentuk oleh individu yang disebut dengan m asyarakat pada gilirannya akan m em pengaruhi pula ke dalam kesadaran individu.
Lingkungan sosial um um nya akan m em peroleh keam anan psikologis yang cukup besar dari perasaan akrab dan m enyatu, karena m anusia dalam konteks kebudayaan tidaklah sendirian m elainkan m erupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kelom pok, dalam kelom pok itu ia diterim a dan m em ainkan peranan (Mulder, 1984: 64). Sejalan dengan ini, setiap lingkungan sosial m em iliki latar belakang historis yang penting untuk dikaji dan m em iliki realitas obyektif (Berger dan Luckm ann, 1979) yang secara langsung m aupun tidak langsung m em iliki daya paksa terhadap setiap anggota dalam proses integrasi sosial.
M
ETOD EP
EN ELITIANPenelitian ini m erupakan penelitian kualitatif (studi kasus) terhadap obyek ritual ‘istighotsah’ (analisis konteks) yang dilakukan warga NU sebagai tindakan dalam m erespons perusakan Makam Ndoro Purbo. Subyek dalam penelitian ini adalah para pelaku ’istighotsah’, baik tokoh-tokoh di kalangan NU, pem rakarsa, warga di kalangan NU, dan para juru kunci m akam yang m em aham i benar kasus perusakan tersebut. Mem pertim bangkan itu sem ua, tidak ada strategi lain dalam teknik pengum pulan datanya selain m enggunakan m etode pengam atan dan wawancara m endalam . Teknik pengam atan digunakan untuk m enentukan subyek penelitian tingkat individual dan subyek penelitian tingkat kelom pok di kalangan warga NU. Selanjutnya, untuk m elengkapi data pengam atan terlibat, juga dilakukan wawancara m endalam (in-depth
interview ) pada tingkat warga secara individu
m aupun kelom pok di kalangan warga NU.
Pengum pulan data pada tingkat individual dilakukan terhadap subyek penelitian yang terpilih untuk m engetahui bagaim ana tafsir m ereka terhadap kasus perusakan Makam Ndoro Purbo. Wawancara pada tingkat kelom pok di kalangan NU diperlukan untuk m engetahui apa arti, dan bagaim ana m ereka m em aknai praktik ritual ‘istighotsah’. Sem ua data hasil wawancara dan pengam atan dicatat secara cerm at dan rinci dan dikum pulkan m enjadi satu catatan lapangan atau i eldnotes (Sanjek, 1990 ; Fetterm an, 1989).
Sem ua data kem udian dianalisis secara kualitatif untuk m enghasilkan thick description dengan m em perhatikan perspektif em ik dan etik.
Kem udian, hasil penelitian disajikan dalam bentuk analisis deskriptif (interpretif) dengan m elibatkan tahap-tahap teknik triangulasi. Sesuai dengan kaidah analisis triangulasi, data yang diperoleh dari inform an akan dianalisis secara terus m enerus selam a proses pengum pulan data di lapangan berlangsung (Yuswandi, dalam Bungin, ed., 20 0 3: 10 0 ). Tahapan analisisnya adalah data dan inform asi yang diperoleh dikelom pok-kelom pokan m enurut
(6)
kriteria-kriteria yang berkaitan dengan perm asalahan penelitian yang m engacu pada konsep atau teori yang digunakan (Faisal, dalam Bungin, ed., 20 0 3: 64). Data dan informasi tersebut diklasii kasikan
dan dipilah-pilah ke dalam satuan-satuan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Geertz m enyebut tahapan ini dengan istilah diagnosis terhadap
tindakan- tindakan simbolis. Setelah diklasii kasi,
data yang telah terspesii kasi tersebut selanjutnya
diabstraksi, diinterpretasi serta dihubungkan antara satu dengan lainnya, sehingga m elahirkan dugaan baru m engenai kenyataan-kenyataan yang ditelusuri (Geertz, 1992: 33). Hasil dugaan tersebut kem udian diperbandingkan dengan fakta yang diperoleh dari wawancara dan observasi, serta sim bol-sim bol.
Setelah diperbandingkan dilakukan pencarian relasi logis untuk m enem ukan konteks yang terbangun dari fakta yang diperbandingkan tersebut. Dengan m em injam istilah Geertz (1992), konteks yang terbangun tersebut m erupakan aliran perbincangan sosial yang diperoleh dari hasil m enerka-nerka m akna, dan m enaksir ulang terkaan tersebut untuk m enem ukan kesim pulan eksplanatoris dari terkaan yang lebih baik.
H
ASIL D ANP
EMBAH ASANA. N d o ro Pu rbo : So s o k W ali d an So s o k yan g D ike n al Sakti
Kyai Ageng Prawiro Poerbo, atau yang lebih dikenal dengan nam a Ndoro Purbo lahir pada tahun Je 1797 atau 1869 Masehi dan m eninggal pada Minggu Kliwon, 15 Dulkangidah Tahun Dal 1863 (5 Mei 1933) adalah putra dari Gusti Pangeran Haryo (GPH) Suryom etaram I dengan perm aisuri yang bernam a Raden Ayu Suryom etaram (anak keem pat dari sem bilan bersaudara). Sem entara GPH Suryom etaram I adalah putra dari Sultan Ham engku Buwono VI, dengan dem ikian Ndoro Purbo adalah cucu dari Sultan Ham engku Buwono VI dari garis keturunan ayahnya. Dengan m elihat garis keturunan, Ndoro Purbo adalah seorang bangsawan tinggi di kalangan rakyat Yogyakarta yang sem asa hidup (1869-1933) bernam a Raden Bekel Prawiro Poerbo yang kem udian akrab dengan sapaan Ndoro Purbo.
Antara tahun 190 5-1933, sosok Ndoro Purbo am atlah dikenal di kalangan m asyarakat Yogyakarta. J ika secara resm i kekuasaan dan tahta kerajaan Yogyakarta ada di tangan pam annya, Sri Sultan Ham engku Buwono VII, nam un di luar ruang kerajaan (di jalanan), Ndoro Purbo bagaikan ‘nyawa’ bagi kehidupan keseharian rakyat Yogyakarta. Ndoro Purbo m enjadi sosok penghubung antara rakyat dan rajanya, dan m enjadi pseudo atas kekuasaan raja Mataram di hadapan rakyatnya. Dem ikian hal ini diungkap oleh Abugiran, juru kunci m akam , pada 5 Oktober 20 13.
Ndoro Purbo dikenal m asyarakat Yogyakarta
sebagai seorang wali atau sui , yang terkadang
dianggap ny leneh atau dapat dikatakan ngedan (dalam istilah tasawuf disebut sathohat). Kegilaan kerap m enim pa sebagaim ana um um nya
terjadi pada kehidupan para sui . Bagi mereka,
kehidupan m anusia yang sudah baku, m apan, dengan aturan-aturan dan tata nilai ternyata tidak m am pu m enem bus batasan waktu dan teka-teki ruang Tuhan yang m elingkupi alam m anusia. Agar dapat m asuk (tune-in) ke alam Tuhan m aka dalam kehidupan m anusia diperlukan sebuah totalitas dalam spiritualnya. Dem ikian halnya dengan Ndoro Purbo, yang dalam perjalanan spiritualnya m engalam i ‘kegilaan’. Ia hidup m enggelandang dari satu tem pat ke tem pat yang lain, bahkan ia terus m encari kebenaran dalam ruang bathinnya. Itu sebabnya, Ndoro Purbo lewat bim bingan Tuhan yang hidup dalam jiwanya, senantiasa m engajak m anusia agar di dalam kehidupannya tidak terjebak pada alam perbudakan m ateri. J iwa harus dilepaskan dari penjara-penjara m ateri, karena sesunguhnya kebahagiaan terbesar m anusia adalah ketika ia bertem u Tuhannya (wawancara dengan Abugiran, 5-10 -20 13). Bagi orang J awa, dunia tidak hanya dapat dilihat dari situasi wadag-nya, tetapi juga situasi yang nir-tam pak (invisible), atau biasa disebut dengan ‘rasa’. Ilm u Ndoro Purbo adalah ‘ilm u m erasai’, sehingga kontem plasi kegilaannya adalah m erupakan ‘ruang bicara’ antara m anusia dengan Tuhan m elalui olah rasa, sebagaim ana ditam bahkan Abugiran:
(7)
“Ndoro Purbo selalu m em berikan pencerahan pada rakyat Yogyakarta bahwa kehidupan yang m erupakan wujud pengabdian kepada Tuhan harus dijalani secara tulus ikhlas, tidak diem bel-em beli dengan berbagai kepentingan dunia. Dalam rangka m em beri pencerahan hidup, Ndoro Purbo kerap m enggelandang di pasar-pasar seputar Yogyakarta, m enjadi gem bel” (wawancara dengan Abugiran, 5 Oktober 20 13).
Selanjutnya Abugiran m engatakan:
“Menghadapi kenyataan yang getir dan kebenciannya terhadap kom peni (m asa penjajahan), Ndoro Purbo m eninggalkan kraton untuk m engem bara dan bertapa. Akan tetapi, dalam situasi bathin yang dem ikian justru m enjadikan titik-balik sejarah kehidupan bagi Ndoro Purbo. Setelah m erasa m endapat cukup ilm u, Ndoro Purbo lalu pulang dan m engabdikan dirinya ke kraton Yogakarta. Banyak orang m elihat perubahan pada diri Ndoro Purbo yang berbeda dengan sebelum nya, selain digdaya juga begitu waskita. Sem isal, ketika ia m enebak pohon beringin yang berada di depan Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe Kaum an saat ini) akan roboh, tidak lam a kem udian tidak ada hujan, tidak ada angin, pohon itu pun benar-benar tum bang”(wawancara dengan Abugiran, 5 Oktober 20 13).
Dalam konstruksi Islam (J awa), diyakini hanya para wali yang m am pu dihinggapi kekuatan-kekuatan yang berasal dari Tuhan, dan m ereka adalah sosok pelaksana dari kehendak Tuhan, yang dapat m enghentikan kejahiliyyahan um at. Dem ikian pula m asyarakat Yogyakarta m em andang Ndoro Purbo. Beliaulah sosok yang sangat dekat dengan rakyat, sebagai tum puan harapan yang dianggap m am pu m enghilangkan kebathilan, dapat m engurai sekaligus m engeluarkan m asyarakat Yogyakarta dari him pitan dan ketertindasan kem iskinan. Artinya, hadirnya Ndoro Purbo adalah representasi i gur
tokoh yang didam bakan m asyarakat Yogyakarta karena keberpihakan dan kepeduliannya terhadap persoalan sosial kem asyarakatan. Atas kelebihan yang dim ilikinya tidak sedikit m asyarakat m enganggap beliau adalah seorang ‘waliyyullah’, yang dalam kehidupannya m irip dengan cara hidup tokoh Sem ar di dunia pewayangan, yakni sederhana nam un penuh kebijakan.
Dalam konstruksi sosial m asyarakat Yogyakarta, fenom ena pencitraan Ndoro Purbo
dan gejala budaya m asyarakat Yogyakarta (baca: Islam J awa) dapat dilihat sebagai sistem tanda
(sy stem of signs). Makna suatu tanda bukanlah ‘innate m eaning’ (m akna bawaan, alam iah, tak
berubah) m elainkan dihasilkan lewat sistem tanda yang dipakai dalam kelom pok orang tertentu, sehingga bersifat historis (Sunardi, 20 0 2). Oleh karena itu, dengan m enggunakan analisis sem iotik dalam m enghubungkan berbagai kem ungkinan sistem tanda yang m uncul dalam jejaring tanda tersebut m am pu m elihat identitas Ndoro Purbo sebagai representasi bangsawan kraton yang khas di Yogyakarta.
Melalui telaah sistem tanda, jika m asyarakat Yogyakarta m em berikan predikat Ndoro Purbo sebagai sosok yang dikenal sebagai ‘waliyyullah’ dan juga ‘orang sakti’, sesungguhnya di dalam dirinya tersim pan m akna sim bolik. Kedua predikat itu hanyalah sebuah tanda sim bolik untuk m erepresentasikan citra Ndoro Purbo secara internal. Dengan dem ikian sebutan ‘waliyyullah’ dan ‘orang sakti’ dalam hal ini berposisi sebagai penanda ( sig nii er ), sedang petanda ( sig nii ed)
akan m engalam i sebuah perkem bangan m akna yang dinam is. Nam un setidaknya dengan sebutan ‘waliyyullah’ dan ‘orang sakti’ sebagai penanda, m aka citra kepribadian Ndoro Purbo yang terbangun adalah sosok wali yang m em iliki kedalam an ilm u agam a yang tinggi. Sedangkan, pada posisi Ndoro Purbo sebagai ‘orang sakti’, m enandai bahwa Ndoro Purbo m em iliki keprihatinan, kepedulian dan kepekaan terhadap persoalan sosial, sehingga kelebihan term asuk kekayaan yang ada pada dirinya sepenuhnya diderm akan kepada m asyarakat untuk m enghilangkan kebathilan dan m engurai sekaligus m engeluarkan m asyarakat Yogyakarta dari him pitan dan ketertindasan kem iskinan agar m ereka dapat lebih berkem ajuan. Nam un, dalam m em posisikan Ndoro Purbo sebagai tanda, pada hubungan sim bolik akan m am pu m em buka peluang untuk m elakukan im ajinasi sim bolik sehingga m akna atas Ndoro Purbo dengan predikat sebagai ‘waliyyullah’ dan ‘orang sakti’ akan m engalam i perkem bangan sesuai dinam ika m asyarakat yang m enafsirkannya.
(8)
Pem aham an orang J awa, m akam adalah suatu tem pat yang dianggap sakral, bukan tem pat pem ujaan tetapi adalah tem pat m engenang adanya hubungan m asa kini dan m asa lalu, bahwa kehidupan m anusia diikatkan pada keterkaitan waktu. Oleh karenanya, m eski Ndoro Purbo sosok yang dikenal sebagai ‘waliyyullah’ dan ‘orang sakti’ telah tiada (secara jasad), nam un ruh beliau dianggap tetap m asih hidup. Itu sebabnya, hingga kini Makam Ndoro Purbo terus diziarahi orang untuk ngalap berkah. Mereka yang datang tidak hanya dari dalam kota Yogyakarta tetapi juga dari berbagai kota, khususnya pada m alam Selasa Kliwon dan J um at Kliwon, terlebih pada Minggu Kliwon (Malam Senin Legi) yang dianggap hari paling baik karena m erupakan hari haul Ndoro Purbo. Berdasar pem aham an sebagaim ana di atas, dirusaknya Makam Ndoro Purbo adalah m erupakan bentuk penghinaan terbesar bagi orang J awa, utam anya sub-kultur Mataram an karena m akam tersebut adalah m akam dari orang yang
dihormati ( wawancara dengan T aui qurrahman,
tokoh NU, 10 Oktober 20 13).
B. Tafs ir W arga N U Atas Pe ris tiw a Pe ru s akan Makam N d o ro Pu rbo
Maraknya kelom pok-kelom pok sosial-keagam aan Islam yang hadir di wilayah Yogyakarta dengan berbagai paham , ajaran dan aliran, m enunjukkan bahwa kehidupan keagam aan Islam di wilayah ini m engalam i eskalasi cukup pesat. Bahkan, kelom pok-kelom pok
keagamaan yang teridentii kasi ke dalam
kelom pok Islam konservatif (NU), Islam m oderat (Muham m adiyah), dan Islam fundam ental atau radikal (MMI, FJ I, FPI, dan HTI) pun telah ikut m ewarnai kehidupan keagam aan m asyarakat. Akan tetapi dengan bercam puraduknya kelom pok-kelom pok keagam aan I slam dalam satu ruang i sik
tanpa batas-batas tegas (phy sical boundaries), sesungguhnya cukup m engindikasikan bahwa m asyarakat di wilayah Yogyakarta rentan dan berpotensi terhadap m unculnya gesekan yang
dapat menyeret ke dalam konl ik sosial- agama,
terutam a ketika m asing-m asing anggota kelom pok
keagam aan bersikukuh dengan klaim -klaim kebenaran ajaran agam a atas kelom pok lain.
Gerakan-gerakan, dan paham ajaran Islam yang diusung dan disebarkan oleh kelom pok-kelom pok keagam aan Islam radikal, fundam entalism e (seperti, MMI, FJ I, HTI) ataupun radikalisasi Islam (seperti, MTA, PKS) m erupakan keniscayaan akan m engalam i benturan karena tidak m engadopsi budaya lokal. Bagi m ereka, tradisi-tradisi atau ritual agam a yang tidak sesuai dengan tuntunan agam a Islam , m enjadi sesuatu yang dipertentangkan dan harus dihapuskan karena dianggap m enyim pang dari ajaran Islam . Bagi kelom pok radikal, tradisi-tradisi keagam aan yang dilakukan kelom pok agam a di luar m ereka yang notabene berakulturasi dengan kebudayaan lokal (sebagaim ana NU) m enjadi sesuatu yang patut ‘disirnakan’, karena alasan pem urnian agam a. Tidak jarang terhadap kelom pok keagam aan konservatif (NU) terstigm asi sebagai kelom pok yang m enyim pang, karena dalam ritual peribadatan seringkali dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam . Praksis persoalan klaim -klaim kelom pok agam a yang m engusung agenda pem urnian agam a akan m engalam i benturan ketika berhadapan dengan kelom pok-kelom pok konservatif Islam , sebagaim ana yang term anifest dalam perusakan Makam Ndoro Purbo.
Pertanyaannya, apakah m asyarakat Yogyakarta sudah bisa terbebas dari kebiasaan m enziarahi kubur yang pada kenyataannya m asih lekat dalam kehidupan m ereka, dan kem bali m em pertanyakan seberapa siap m asyarakat Yogyakarta m enerim a ajaran Islam yang m enekankan pada paradigm a form alism e Arab? Karena sejak awal perkem bangannya, Islam di Indonesia telah m enerim a akom odasi budaya. Karena Islam sebagai agam a m em ang banyak m em berikan norm a-norm a aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agam a-agam a lain.
Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: ‘Islam sebagai konsespsi sosial budaya’ dan ‘Islam sebagai realitas budaya’. Islam sebagai konsepsi
(9)
budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little
tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi
lokal) atau juga Islam icate, bidang-bidang yang ‘Islam ik’, yang dipengaruhi Islam . Tradisi besar (Islam ) adalah doktrin-doktrin original Islam yang perm anen, atau setidak-tidaknya m erupakan interpretasi yang m elekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keim anan dan syariah-hukum Islam yang m enjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak um at Islam . Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan pusat yang dikontraskan dengan periferi (pinggiran). Sem entara tradisi kecil (tradisi lokal, Islam icate) adalah kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam
(great tradition). Tradisi lokal ini m encakup
unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang m eliputi konsep atau norm a, aktivitas serta tindakan m anusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan m asyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal ini kem udian m elahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kem am puan m enyerap sam bil m engadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang m em bawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius m em iliki karakteristik antara lain: m am pu bertahan terhadap budaya luar; m em punyai kem am puan m engakom odasi unsur-unsur budaya luar; m em punyai kem am puan m engintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan, m em iliki kem am puan m engendalikan dan m em berikan arah pada perkem bangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norm a, aturan, m aupun segenap aktivitas m asyarakat Indonesia, ajaran Islam telah m enjadi pola anutan m asyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agam a sekaligus telah m enjadi budaya m asyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di m asyarakat, tidak otom atis hilang dengan kehadiran Islam . Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikem bangkan dengan
m endapat warna-warna Islam . Perkem bangan ini kem udian m elahirkan ‘akulturasi budaya’, antara budaya lokal dan Islam .
Melihat kenyataan di atas tidak terlam pau keliru jika m asyarakat Yogyakarta m enilai, bahwa kasus perusakan Makam Ndoro Purbo m erupakan ekses dari tum pang tindihnya kelom pok-kelom pok sosial-keagam aan yang terjadi dalam ruang kehidupan m asyarakat Islam Yogyakarta, dan adanya pem aksaan klaim kebenaran ajaran agam a kelom pok Islam tetentu atas kelom pok NU. Nam un, yang penting sebagaim ana dikatakan Am bar, Ketua GP Ansor Kodya Yogyakarta,
bahwa persoalan bagaimana mengelola konl ik
agar persoalan ukhuwah islam iyah dapat berdiri tegak di tengah kehidupan m asyarakat yang plural m enjadi sesuatu yang perlu dibangun m elalui kesadaran kolektif (wawancara dengan Am bar, 22-0 9-20 13). Artinya, agam a tidak hanya sekadar sebagai sesuatu yang hanya cukup untuk dim iliki, atau pentingnya keberagam aan apalagi dibarengi dengan klaim -klaim kebenaran, nam un yang jauh lebih penting yaitu bahwa bagaim ana kehidupan segenap warga m asyarakat Yogyakarta m em iliki keberm aknaan dalam beragam a.
Bagi warga NU, kasus tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo diterjem ahkan sebagai bentuk arogansi kelom pok Islam tertentu yang m em aksakan klaim kebenaran ajaran agam a, yang ditafsirkan sebagai:
1. Pe n o d aan te rh ad ap N ilai-n ilai Lu h u r Agam a Is lam
Bagi warga NU Yogyakarta, tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo ditafsirkan sebagai tindakan yang telah m enodai nilai-nilai luhur agam a Islam serta m encoreng ukhuw ah
w athoniah. Oleh karenanya perlu bagi kelom pok
yang m erusak untuk m elihat realitas budaya m asyarakat dan m em buka seluruh teks-teks keagam aan (Islam ). Sebagaim ana di katakan
T aui qurrahaman ( W awancara, 10 - 10 - 20 13) :
“Bahwa, kaum m uslim in di berbagai belahan dunia m em iliki tradisi ziarah ke m akam sebagai penghorm atan dan bukan sebagai kegiatan m usyrik yang berlawanan dengan aqidah Islam . Tradisi yang telah m enjadi budaya itu harus dihorm ati
(10)
dan sekaligus didukung sebagai rasa cinta kepada leluhur. Ziarah ke m akam , m erupakan kearifan lokal yang m am pu m enguatkan pertautan bathin antarsesam a m anusia (‘alaqoh ruh). Lebih dari itu, m ereka yang m elakukan ziarah diharapkan dapat m engam bil pelajaran dari perilaku dan tauladan yang dilakukan para pendahulu atau tokoh yang diziarahi. Tradisi itu juga sebagai bentuk dzikir yaitu m engingatkan kepada m ereka yang m asih hidup di m ana suatu keniscayaan jika suatu saat pun akan kem bali kepada Sang Pencipta”.
Sesungguhnya, realitas m asyarakat yang plural dan m ultikultural adalah suatu keniscayaan. Ini sebagaim ana ditegaskan dalam penciptaan m anusia atas laki-laki m aupun perem puan, berkelom pok dan bersuku-suku, tidak lain agar di antara m ereka dapat saling m engenal (lita’arafu), saling kerja sam a untuk m em ajukan alam dan lingkungannya, sehingga berm anfaat bagi m anusia dan lebih beradab. Artinya, fenom ena m ultikultural sudah m enjadi bagian dari im peratif peradaban m anusia m elingkupi pluralitas ras, etnis, jender, kelas, dan agam a. Prinsip ini setidaknya tertum pu pada dua keyakinan. Pertam a, secara sosial, sem ua kelom pok budaya dapat direpresentasikan dan hidup berdam pingan bersam a. Kedua, diskrim inasi dan rasism e dapat direduksi m elalui penetapan citra positif keragam an etnis dan wawasan terhadap budaya-budaya lain.
Masyarakat Yogyakarta yang terdiri atas beraneka suku, etnis, budaya, dan bahkan terdapatnya berbagai agam a dengan penghayatan dan pengam alan keagam aan yang unik, di satu sisi, fenom ena ini m erupakan m odal dasar yang dapat m em perkaya dinam ika keagam aan yang positif, tetapi di sisi lain, hal dem ikian justru dapat m enjadi faktor kendala, yang dapat m engancam kelangsungan m asyarakat dalam beragam a dan berbangsa. Sebagaim ana ditam bahkan
T aui qurrahman, bahwa:
”Perusakan Makam Ndoro Purbo oleh kelom pok bercadar tentu tidak m ewakili paham Islam yang hum anis dan m enghargai tradisi lokal. Mereka adalah kelom pok yang m asih m em iliki pem aham an agam a (baca: Islam ) relatif dangkal, ahistoris dan tidak m enerim a kenyataan yang ada bahwa Islam tum buh dalam suatu tradisi Indonesia yang pluralistik”.
Melalui fenom ena perusakan Makam Ndoro Purbo (konteks kekinian), dapat dibaca bahwa kenyataannya paradigm a kelom pok-kelom pok keagam aan Islam tertentu lebih m enekankan pada form alism e ‘arab’ yang justru m em unculkan kekerasan dan radikalisasi yang dapat m enggiring
pada konl ik dan perpecahan masyarakat.
Dengan m enggunakan cara pandang ini, dengan sendirinya perbedaan latar belakang budaya, etnis, dan agam a (baca: di internal Islam ) m enjadikan ham batan dalam m ereka bekerjasam a m erespons problem kem anusiaan yang dihadapinya, seperti kem iskinan, kebodohan, hingga isu ketidakadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Akil (1994), m eski keragam an budaya dan agam a m erupakan realitas sosial yang sudah niscaya tetapi pada kenyataannya keragam an itu tidak serta m erta m em bawa im plikasi positif. Itu sebabnya agaknya di dalam diri warga m asyarakat Yogyakarta agar lebih tertanam sikap kesadaran dan pem aham an terhadap realitas keberagam an (m ultietnis, m ultiagam a, dan m ultikultur).
2 . Se bu ah Pe rm ain an Sim bo l: Ce rm in Ke gagalan D akw ah ?
Terlepas dari tindakan destruktif, bagaim anapun tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo dianggap sah m enurut versi dan determ inasi cara-cara pelaku, dan karenanya dianggap sebagai tindakan berm akna. Bisa jadi, bagi pelaku, m odus perusakan m akam dim aksudkan sebagai m edia penyam paian pesan dalam rangka syiar (dakwah), atau sim bol dalam upaya m enghentikan praktik-praktik ziarah kubur. Melalui tindakan perusakan m akam pelaku m engajak agar um at Islam tidak m elakukan praktik ritual m enziarahi kubur, yang dianggap m enyim pang karena tidak ada dalam tuntunan Islam , bahkan dapat m engundang ’kem usyrikan’ dan ’haram ’. Ini senada dengan yang dikatakan Dillistone (20 0 6), bahwa sim bol m em iliki kekuatan m em ecah kebekuan di antara hubungan dan kom unikasi m anusia. Itu sebabnya, di balik tindakan perusakan m akam , sesungguhnya m em punyai sisi positif, yakni sebagai otokritik bagi warga NU. Bisa jadi di antara peziarah m asih ada yang m elakukan hal-hal yang tidak sesuai sebagaim ana esensi ziarah kubur. Sebagaim ana
(11)
dikatakan Syam sul, warga NU yang tinggal di Yogya Utara (Wawancara, 6-10 -20 13):
”Secara i sik memang betul tindakan perusakan
m akam adalah hal yang sangat disayangkan (destruktif). Tetapi hendaknya, kasus tersebut perlu ditanggapi sebagai sebuah otokritik bagi warga di kalangan NU. Karena barangkali m em ang ada di antara pelaku ziarah yang m asih m enyim pang dari esensi m enziarahi kubur, dan adanya kekeliruan dalam m em aknainya”.
Selanjutnya Syam sul m enam bahkan:
”Bahwa tindakan perusakan m akam m erupakan sebuah perm ainan sim bol. Makam dalam hal ini adalah m erupakan tem pat yang dipandang m em iliki nilai bagi para pelaku ziarah (um um nya warga NU). Sem entara, bagi pelaku perusakan m akam , bahwa tindakan tersebut adalah dalam rangka syiar. Meski dem ikian, m elakukan perusakan m akam bukanlah cara-cara dakwah yang efektif, tetapi justru cenderung kontraproduktif karena m elalui cara dan proses yang keliru. J elas ini m erupakan cerm in dari sebuah kegagalan dakwah yang m ereka lakukan”.
Artinya, m eski tindakan perusakan m akam dilakukan dalam rangka am ar m a’ruf
nahi m unkar, tetapi tindakan tersebut dapat
ditafsirkan dan dim aknai sebagai sebuah kegagalan dakwah. Karena sesungguhnya antara
am ar m a’ruf (m engajak kebaikan) dan nahi m unkar (m em berantas kem aksiatan) dalam
term inologi dakwah m erupakan satu m ata rantai yang tidak dapat dipisahkan satu sam a lain. Kalau toh nahi m unkar dapat berlangsung tanpa dikawal dengan am ar m a’ruf, m aka perubahan yang terjadi pada diri seseorang, ham pir dapat dipastikan bukan karena dilandasi atas kesadaran untuk patuh dan tunduk kepada Allah, m elainkan kepada orang karena m erasa takut, atau karena kepentingan tertentu. Bahkan bisa jadi dapat m enim bulkan suatu kebencian dan keterulangan. Berbeda apabila cara-cara dakwah lebih dahulu m engedepankan penanam an nilai-nilai sebagai upaya m engajak ke arah kebaikan (am ar
m a’ruf), m aka akan lebih m am pu m enum buhkan
kesadaran (consciousness), dan atas kesadarannya itu orang tidak akan m elakukan atau tidak akan lagi m elakukan kem aksiatan dan berbagai bentuk penyim pangan agam a. Itu sebabnya, tidak terlam pau keliru jika dikatakan bahwa tindakan
perusakan m akam dem ikian cenderung lebih m erupakan tindakan penyam paian pesan dakwah yang sem ata-m ata hanya m engedepankan nahi m unkar.
3 . I s t i g h o t s a h : R el ek s i R es p o n s A t a s
Pe ru s akan Makam d an Makn an ya
Di Indonesia, ’istighotsah’ diartikan sebagai dzikir atau w iridan yang dilakukan secara bersam a-sam a dan biasanya di tem pat-tem pat terbuka untuk m endapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah Swt. Sem entara doa-doa yang diucapkan pada saat ’istighotsah’ adalah doa-doa atau bacaan yang khas diam alkan dalam jam a’ah thoriqoh, m eski kadang ada beberapa penam bahan doa. Kegiatan ‘istighotsah’ m erupakan salah satu usaha ’bathiniyah’ dengan cara berdzikir, m engingat dan m enyebut nam a Allah serta berdoa bersam a-sam a, m em ohon petunjuk dan pertolongan Allah, agar diberi ketenangan, kelapangan, kem udahan, kelancaran dan kesuksesan, setelah usaha secara ’lahiriyah’ dilakukan. Selain itu kegiatan ‘istighotsah’ m erupakan kegiatan untuk m em bersihkan hati dari noda dan dosa yang kita lakukan.
Beberapa literatur m enyebutkan bahwa m akna ‘istighotsah’ adalah ‘m em inta bantuan’ (pertolongan) untuk dihilangkannya kesulitan yang sedang dihadapi dengan cara berdoa kepada Allah Swt. Nam un doa yang dim aksudkan sifatnya lebih um um karena doa m encakup isti’adzah (m em inta perlindungan sebelum datang bencana) dan istighotsah (m em inta dihilangkan bencana).
‘Istighotsah’ yang dilakukan oleh warga di kalangan NU Yogyakarta, sesungguhnya m erupakan ekspresi ketidakm am puan warga dalam m elawan kezalim an atas tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo. Bukan tidak m am pu m engungkap identitas pelaku, m otif, dan latarbelakang dari tindakan perusakan m akam , tetapi tidak m am pu dan sulit m enjelaskan bahwa ziarah kubur m erupakan bagian dari identitas kebudayaan J awa yang khas. Adanya ketidakm am puan m elawan kezalim an dengan cara lahiriyah dem ikian, m aka m asyarakat di kalangan NU Yogyakarta m elakukan pengaduan
(12)
kepada Sang Pencipta (bathiniy ah) atas tindakan perusakan m akam yang ditafsirkan sebagai sebuah kezalim an yang telah m enodai nilai-nilai luhur agam a, dan dianggap sebagai sebuah bencana. Inilah esensi atau alasan m engapa warga NU Yogyakarta m elakukan ritual ‘istighotsah’ dalam m erespons tindak perusakan Makam Ndoro Purbo. Dengan dem ikian, ‘istighotsah’ m erupakan sebuah sim bol berm akna, yakni sebagai bentuk resistensi secara bathiniy ah atas kesulitan m enghadapi kem aksiatan dhohiriy ah (kasat m ata), dalam hal ini tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo baik itu dilakukan oleh kelom pok keagam aan Islam yang berbeda paham , atau pun pihak ketiga yang ingin m em ecah belah ukhuw ah islam iy ah.
Dipihak lain, ziarah kubur, tirakat, ngalap
berkah m em ang bukan ajaran atau perintah agam a,
tetapi m erupakan tradisi budaya m asyarakat J awa yang sudah ada berabad-abad sejak era Buddha J awa, Hindu J awa, Majapahit, Mataram hingga kem erdekaan RI. Ketika agam a ‘sam awi’ m asuk ke tanah air terjadilah sinkretism e yang kem udian m em unculkan rasa agam a berselera ‘lokal’. Sebab itu, ‘istighotsah’ dalam rangka keprihatinan atas perusakan m akam m engingatkan kepada kita pada kait kelindan kebudayaan dengan kahanan yang bersejarah. Dalam hal ini kebudayaan tanggap terhadap tantangan perubahan dari luar, sehingga ‘istighotsah’ adalah m erupakan bentuk tindakan counterbalance, yakni m erupakan perlawanan seperlunya atas perusakan m akam sam bil m em antas-m antaskan atau m engaprosiasi apa yang asing sebagai bagian dari dirinya. Karena m uatan perspektif yang berbeda-beda, m aka pengertian m engenai kebudayaan itu m em iliki
banyak sekali dei nisi. D engan demikian setiap
pilihan konsep kebudayaan yang kita terapkan akan m em iliki im plikasi yang khas. Melalui kasus ‘perusakan m akam ’ dan ‘istighotsah’ dapat kita lihat betapa kebudayaan m enjadi ‘benang m erah’ yang m entautkan berbagai citra m enjadi lantunan identitas J awa
P
EN U TU PDalam konstruksi sosial m asyarakat Yogyakarta, Ndoro Purbo dicitrakan sebagai sosok ‘waliyyullah’ dan dikenal sebagai ‘orang sakti’, adalah sosok yang dipandang m em iliki kedalam an ilm u agam a yang tinggi dan sebagai sosok yang m em iliki keprihatinan, kepedulian dan kepekaan terhadap persoalan sosial yang ruhnya dianggap m asih hidup. Bagi warga di kalangan NU, perusakan Makam Ndoro Purbo dipandang sebagai tindakan destruktif, tidak m encerm inkan etika m oral, non-agam is, dan ahistoris yang dianggap sebagai sebuah kezalim an sekaligus bencana, yang ditafsirkan sebagai penodaan terhadap nilai-nilai luhur agam a Islam dan m erupakan sebuah perm ainan sim bol, sekaligus m erupakan cerm in kegagalan dakwah. Tidak m am pu m elawan kezalim an, dan sebagai respons atas tindakan perusakan tersebut m aka warga di kalangan NU Yogyakarta m elakukan ritual ‘istighotsah’, yang m erupakan ekspresi tindakan ‘pengaduan’ kepada Sang Pencipta (bathiniy ah). Dengan dem ikian, ‘istighotsah’ m erupakan sim bol tindakan yang oleh warga di kalangan NU dim aknai sebagai bentuk perlawanan secara bathiniyah atas kesulitan dalam m enghadapi kem aksiatan dhohiriy ah.
Di bagian lain, ‘istighotsah’ yang dilakukan warga di kalangan NU adalah m erupakan
bentuk tindakan pengelolaan konl ik dalam
m enjaga tetap tegaknya harm onisasi hubungan antarwarga, antarkelom pok keagam aan (Islam ) di wilayah Yogyakarta. Untuk itu, tidak berlebihan jika tindakan ’istighotsah’ sebagai representasi
counterbalance m erupakan bagian penting yang
dapat dijadikan kerangka acuan pem buatan
model pengelolaan konl ik di tengah berbaurnya
keragam an kelom pok sosial-keagam aan Islam dalam m em bangun harm onisasi di antara kelom pok-kelom pok Islam . Dengan dem ikian,
‘istighotsah’ merupakan resolusi konl ik yang
m enggunakan perspektif internal, yakni, sebuah cara untuk m enyelesaikan persoalan sendiri dengan caranya sendiri, tidak m em erlukan intervensi pihak lain yang kerap hanya
(13)
m enyelesaikan m asalah terbatas pada kulit luar dan bukan pada akar perm asalahan.
D
AFTARP
U STAKAAbdullah, Irwan. 1999. “Dari Bounded System ke Borderless Society: Krisis Metode Antropologi dalam Mem aham i Masyarakat Masa Kini”,
Antropologi Indonesia, Vol. 60 , hal. 11-18.
Akil, Mahm ud. 1994. “Fenom ena Etnisitas di Kalim antan Barat”, dalam Paulus Florus, et. al., Kebuday aan Day ak: Aktualisasi dan
Transform asi. J akarta: Grasindo.
Appadurai, Arjun. 1994. “Global Ethnoscape: Notes and Queries for Transnational Anthropology”, dalam R. G. Fox (ed.),
Recapturing Anthropology , Santa Fee, NM:
School of Am erica Research Press.
Berger, Peter dan Thom as Luckm ann. 1979. The
Social Construction of Reality . New York:
Penguin Books.
Berger, Peter dan Thom as Luckm ann. 1990 . Tafsir
Sosial atas Keny ataan. J akarta: LP3ES.
Berger, Peter, L., et. al. 1992. Pikiran
Kem bara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia.Yogyakarta: Kanisius.
Berger, Peter, L. 1994. Langit Suci: Agam a
sebagai Realitas Sosial. J akarta: LP3ES.
Berger, Peter, L. 1990 . The Sacred Canopy :
Elem ents of Social Theory of Religion. New
York: Double Day.
Bungin, Burhan (ed). 20 0 3. Analisis Data
Penelitian K ualitatif: Pemahaman F ilosoi s
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. J akarta: Raja Grasindo Persada.
Cheater, Angela. 1999. The Anthropology of
Pow er. London: Routledge.
Dillistone, F.W. 20 0 6. The Pow er of Sy m bols, diterj. oleh Widyam artaya, Yogyakarta: Kanisius.
Eller, J . 1999. F r om Cultur e to E thnicity to Conl ict.
Ann Arbor: The University of Michigan Press. Fetterm an, David, M. 1989. Ethnography Step by
Step. California: SAGE Publications.
Geertz, Cliford. 1992. Tafsir
Kebuday aan.Yogyakarta: Kanisius.
Green, J .W. 1995. Cultural Aw areness in the
Hum an Service. Boston: Allyn and Bacon.
Kappus, Elke-Nicole. 1997. “Changing History : Ethnic Identity Managem ent in Treste”, dalam Cora Govers dan Hans Verm eulen (ed.). The
Politics of Ethnic Consciousness. London:
Mac Millan.
Kelly, Gary, F. 1988. Sexuality Today the Hum an
Perspective. USA: The Dushkin Publishing
Group Inc.
Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup
Sehari-hari Orang Jaw a: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. J akarta: PT Gram edia.
Sanjek, R., (ed). 1990 . Fieldnotes: The Makings
of Anthropology . Ithaca and London: Cornell
University Press.
Soros, George. 20 0 0 . Open Society: Reform ing Global Capitalism .
Sunardi, ST. 20 0 2. Sem iotika Negativa.Yogyakarta: Kanal.
Bah an Bacaan Lain :
SKH Kedaulatan Rakyat, 17 Septem ber 20 13. SKH Kedaulatan Rakyat, 18 Septem ber 20 13.
(14)
(1)
budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little
tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi
lokal) atau juga Islam icate, bidang-bidang yang ‘Islam ik’, yang dipengaruhi Islam . Tradisi besar (Islam ) adalah doktrin-doktrin original Islam yang perm anen, atau setidak-tidaknya m erupakan interpretasi yang m elekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keim anan dan syariah-hukum Islam yang m enjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak um at Islam . Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan pusat yang dikontraskan dengan periferi (pinggiran). Sem entara tradisi kecil (tradisi lokal, Islam icate) adalah kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam
(great tradition). Tradisi lokal ini m encakup
unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang m eliputi konsep atau norm a, aktivitas serta tindakan m anusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan m asyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal ini kem udian m elahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kem am puan m enyerap sam bil m engadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang m em bawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius m em iliki karakteristik antara lain: m am pu bertahan terhadap budaya luar; m em punyai kem am puan m engakom odasi unsur-unsur budaya luar; m em punyai kem am puan m engintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan, m em iliki kem am puan m engendalikan dan m em berikan arah pada perkem bangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norm a, aturan, m aupun segenap aktivitas m asyarakat Indonesia, ajaran Islam telah m enjadi pola anutan m asyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agam a sekaligus telah m enjadi budaya m asyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di m asyarakat, tidak otom atis hilang dengan kehadiran Islam . Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikem bangkan dengan
m endapat warna-warna Islam . Perkem bangan ini kem udian m elahirkan ‘akulturasi budaya’, antara budaya lokal dan Islam .
Melihat kenyataan di atas tidak terlam pau keliru jika m asyarakat Yogyakarta m enilai, bahwa kasus perusakan Makam Ndoro Purbo m erupakan ekses dari tum pang tindihnya kelom pok-kelom pok sosial-keagam aan yang terjadi dalam ruang kehidupan m asyarakat Islam Yogyakarta, dan adanya pem aksaan klaim kebenaran ajaran agam a kelom pok Islam tetentu atas kelom pok NU. Nam un, yang penting sebagaim ana dikatakan Am bar, Ketua GP Ansor Kodya Yogyakarta, bahwa persoalan bagaimana mengelola konl ik agar persoalan ukhuwah islam iyah dapat berdiri tegak di tengah kehidupan m asyarakat yang plural m enjadi sesuatu yang perlu dibangun m elalui kesadaran kolektif (wawancara dengan Am bar, 22-0 9-20 13). Artinya, agam a tidak hanya sekadar sebagai sesuatu yang hanya cukup untuk dim iliki, atau pentingnya keberagam aan apalagi dibarengi dengan klaim -klaim kebenaran, nam un yang jauh lebih penting yaitu bahwa bagaim ana kehidupan segenap warga m asyarakat Yogyakarta m em iliki keberm aknaan dalam beragam a.
Bagi warga NU, kasus tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo diterjem ahkan sebagai bentuk arogansi kelom pok Islam tertentu yang m em aksakan klaim kebenaran ajaran agam a, yang ditafsirkan sebagai:
1. Pe n o d aan te rh ad ap N ilai-n ilai Lu h u r Agam a Is lam
Bagi warga NU Yogyakarta, tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo ditafsirkan sebagai tindakan yang telah m enodai nilai-nilai luhur agam a Islam serta m encoreng ukhuw ah
w athoniah. Oleh karenanya perlu bagi kelom pok
yang m erusak untuk m elihat realitas budaya m asyarakat dan m em buka seluruh teks-teks keagam aan (Islam ). Sebagaim ana di katakan T aui qurrahaman ( W awancara, 10 - 10 - 20 13) :
“Bahwa, kaum m uslim in di berbagai belahan dunia m em iliki tradisi ziarah ke m akam sebagai penghorm atan dan bukan sebagai kegiatan m usyrik yang berlawanan dengan aqidah Islam . Tradisi yang telah m enjadi budaya itu harus dihorm ati
(2)
dan sekaligus didukung sebagai rasa cinta kepada leluhur. Ziarah ke m akam , m erupakan kearifan lokal yang m am pu m enguatkan pertautan bathin antarsesam a m anusia (‘alaqoh ruh). Lebih dari itu, m ereka yang m elakukan ziarah diharapkan dapat m engam bil pelajaran dari perilaku dan tauladan yang dilakukan para pendahulu atau tokoh yang diziarahi. Tradisi itu juga sebagai bentuk dzikir yaitu m engingatkan kepada m ereka yang m asih hidup di m ana suatu keniscayaan jika suatu saat pun akan kem bali kepada Sang Pencipta”.
Sesungguhnya, realitas m asyarakat yang plural dan m ultikultural adalah suatu keniscayaan. Ini sebagaim ana ditegaskan dalam penciptaan m anusia atas laki-laki m aupun perem puan, berkelom pok dan bersuku-suku, tidak lain agar di antara m ereka dapat saling m engenal (lita’arafu), saling kerja sam a untuk m em ajukan alam dan lingkungannya, sehingga berm anfaat bagi m anusia dan lebih beradab. Artinya, fenom ena m ultikultural sudah m enjadi bagian dari im peratif peradaban m anusia m elingkupi pluralitas ras, etnis, jender, kelas, dan agam a. Prinsip ini setidaknya tertum pu pada dua keyakinan. Pertam a, secara sosial, sem ua kelom pok budaya dapat direpresentasikan dan hidup berdam pingan bersam a. Kedua, diskrim inasi dan rasism e dapat direduksi m elalui penetapan citra positif keragam an etnis dan wawasan terhadap budaya-budaya lain.
Masyarakat Yogyakarta yang terdiri atas beraneka suku, etnis, budaya, dan bahkan terdapatnya berbagai agam a dengan penghayatan dan pengam alan keagam aan yang unik, di satu sisi, fenom ena ini m erupakan m odal dasar yang dapat m em perkaya dinam ika keagam aan yang positif, tetapi di sisi lain, hal dem ikian justru dapat m enjadi faktor kendala, yang dapat m engancam kelangsungan m asyarakat dalam beragam a dan berbangsa. Sebagaim ana ditam bahkan T aui qurrahman, bahwa:
”Perusakan Makam Ndoro Purbo oleh kelom pok bercadar tentu tidak m ewakili paham Islam yang hum anis dan m enghargai tradisi lokal. Mereka adalah kelom pok yang m asih m em iliki pem aham an agam a (baca: Islam ) relatif dangkal, ahistoris dan tidak m enerim a kenyataan yang ada bahwa Islam tum buh dalam suatu tradisi Indonesia yang pluralistik”.
Melalui fenom ena perusakan Makam Ndoro Purbo (konteks kekinian), dapat dibaca bahwa kenyataannya paradigm a kelom pok-kelom pok keagam aan Islam tertentu lebih m enekankan pada form alism e ‘arab’ yang justru m em unculkan kekerasan dan radikalisasi yang dapat m enggiring pada konl ik dan perpecahan masyarakat. Dengan m enggunakan cara pandang ini, dengan sendirinya perbedaan latar belakang budaya, etnis, dan agam a (baca: di internal Islam ) m enjadikan ham batan dalam m ereka bekerjasam a m erespons problem kem anusiaan yang dihadapinya, seperti kem iskinan, kebodohan, hingga isu ketidakadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Akil (1994), m eski keragam an budaya dan agam a m erupakan realitas sosial yang sudah niscaya tetapi pada kenyataannya keragam an itu tidak serta m erta m em bawa im plikasi positif. Itu sebabnya agaknya di dalam diri warga m asyarakat Yogyakarta agar lebih tertanam sikap kesadaran dan pem aham an terhadap realitas keberagam an (m ultietnis, m ultiagam a, dan m ultikultur).
2 . Se bu ah Pe rm ain an Sim bo l: Ce rm in Ke gagalan D akw ah ?
Terlepas dari tindakan destruktif, bagaim anapun tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo dianggap sah m enurut versi dan determ inasi cara-cara pelaku, dan karenanya dianggap sebagai tindakan berm akna. Bisa jadi, bagi pelaku, m odus perusakan m akam dim aksudkan sebagai m edia penyam paian pesan dalam rangka syiar (dakwah), atau sim bol dalam upaya m enghentikan praktik-praktik ziarah kubur. Melalui tindakan perusakan m akam pelaku m engajak agar um at Islam tidak m elakukan praktik ritual m enziarahi kubur, yang dianggap m enyim pang karena tidak ada dalam tuntunan Islam , bahkan dapat m engundang ’kem usyrikan’ dan ’haram ’. Ini senada dengan yang dikatakan Dillistone (20 0 6), bahwa sim bol m em iliki kekuatan m em ecah kebekuan di antara hubungan dan kom unikasi m anusia. Itu sebabnya, di balik tindakan perusakan m akam , sesungguhnya m em punyai sisi positif, yakni sebagai otokritik bagi warga NU. Bisa jadi di antara peziarah m asih ada yang m elakukan hal-hal yang tidak sesuai sebagaim ana esensi ziarah kubur. Sebagaim ana
(3)
dikatakan Syam sul, warga NU yang tinggal di Yogya Utara (Wawancara, 6-10 -20 13):
”Secara i sik memang betul tindakan perusakan
m akam adalah hal yang sangat disayangkan (destruktif). Tetapi hendaknya, kasus tersebut perlu ditanggapi sebagai sebuah otokritik bagi warga di kalangan NU. Karena barangkali m em ang ada di antara pelaku ziarah yang m asih m enyim pang dari esensi m enziarahi kubur, dan adanya kekeliruan dalam m em aknainya”.
Selanjutnya Syam sul m enam bahkan:
”Bahwa tindakan perusakan m akam m erupakan sebuah perm ainan sim bol. Makam dalam hal ini adalah m erupakan tem pat yang dipandang m em iliki nilai bagi para pelaku ziarah (um um nya warga NU). Sem entara, bagi pelaku perusakan m akam , bahwa tindakan tersebut adalah dalam rangka syiar. Meski dem ikian, m elakukan perusakan m akam bukanlah cara-cara dakwah yang efektif, tetapi justru cenderung kontraproduktif karena m elalui cara dan proses yang keliru. J elas ini m erupakan cerm in dari sebuah kegagalan dakwah yang m ereka lakukan”.
Artinya, m eski tindakan perusakan m akam dilakukan dalam rangka am ar m a’ruf
nahi m unkar, tetapi tindakan tersebut dapat
ditafsirkan dan dim aknai sebagai sebuah kegagalan dakwah. Karena sesungguhnya antara
am ar m a’ruf (m engajak kebaikan) dan nahi m unkar (m em berantas kem aksiatan) dalam
term inologi dakwah m erupakan satu m ata rantai yang tidak dapat dipisahkan satu sam a lain. Kalau toh nahi m unkar dapat berlangsung tanpa dikawal dengan am ar m a’ruf, m aka perubahan yang terjadi pada diri seseorang, ham pir dapat dipastikan bukan karena dilandasi atas kesadaran untuk patuh dan tunduk kepada Allah, m elainkan kepada orang karena m erasa takut, atau karena kepentingan tertentu. Bahkan bisa jadi dapat m enim bulkan suatu kebencian dan keterulangan. Berbeda apabila cara-cara dakwah lebih dahulu m engedepankan penanam an nilai-nilai sebagai upaya m engajak ke arah kebaikan (am ar
m a’ruf), m aka akan lebih m am pu m enum buhkan
kesadaran (consciousness), dan atas kesadarannya itu orang tidak akan m elakukan atau tidak akan lagi m elakukan kem aksiatan dan berbagai bentuk penyim pangan agam a. Itu sebabnya, tidak terlam pau keliru jika dikatakan bahwa tindakan
perusakan m akam dem ikian cenderung lebih m erupakan tindakan penyam paian pesan dakwah yang sem ata-m ata hanya m engedepankan nahi m unkar.
3 . I s t i g h o t s a h : R el ek s i R es p o n s A t a s
Pe ru s akan Makam d an Makn an ya
Di Indonesia, ’istighotsah’ diartikan sebagai dzikir atau w iridan yang dilakukan secara bersam a-sam a dan biasanya di tem pat-tem pat terbuka untuk m endapatkan petunjuk dan pertolongan dari Allah Swt. Sem entara doa-doa yang diucapkan pada saat ’istighotsah’ adalah doa-doa atau bacaan yang khas diam alkan dalam jam a’ah thoriqoh, m eski kadang ada beberapa penam bahan doa. Kegiatan ‘istighotsah’ m erupakan salah satu usaha ’bathiniyah’ dengan cara berdzikir, m engingat dan m enyebut nam a Allah serta berdoa bersam a-sam a, m em ohon petunjuk dan pertolongan Allah, agar diberi ketenangan, kelapangan, kem udahan, kelancaran dan kesuksesan, setelah usaha secara ’lahiriyah’ dilakukan. Selain itu kegiatan ‘istighotsah’ m erupakan kegiatan untuk m em bersihkan hati dari noda dan dosa yang kita lakukan.
Beberapa literatur m enyebutkan bahwa m akna ‘istighotsah’ adalah ‘m em inta bantuan’ (pertolongan) untuk dihilangkannya kesulitan yang sedang dihadapi dengan cara berdoa kepada Allah Swt. Nam un doa yang dim aksudkan sifatnya lebih um um karena doa m encakup isti’adzah (m em inta perlindungan sebelum datang bencana) dan istighotsah (m em inta dihilangkan bencana).
‘Istighotsah’ yang dilakukan oleh warga di kalangan NU Yogyakarta, sesungguhnya m erupakan ekspresi ketidakm am puan warga dalam m elawan kezalim an atas tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo. Bukan tidak m am pu m engungkap identitas pelaku, m otif, dan latarbelakang dari tindakan perusakan m akam , tetapi tidak m am pu dan sulit m enjelaskan bahwa ziarah kubur m erupakan bagian dari identitas kebudayaan J awa yang khas. Adanya ketidakm am puan m elawan kezalim an dengan cara lahiriyah dem ikian, m aka m asyarakat di kalangan NU Yogyakarta m elakukan pengaduan
(4)
kepada Sang Pencipta (bathiniy ah) atas tindakan perusakan m akam yang ditafsirkan sebagai sebuah kezalim an yang telah m enodai nilai-nilai luhur agam a, dan dianggap sebagai sebuah bencana. Inilah esensi atau alasan m engapa warga NU Yogyakarta m elakukan ritual ‘istighotsah’ dalam m erespons tindak perusakan Makam Ndoro Purbo. Dengan dem ikian, ‘istighotsah’ m erupakan sebuah sim bol berm akna, yakni sebagai bentuk resistensi secara bathiniy ah atas kesulitan m enghadapi kem aksiatan dhohiriy ah (kasat m ata), dalam hal ini tindakan perusakan Makam Ndoro Purbo baik itu dilakukan oleh kelom pok keagam aan Islam yang berbeda paham , atau pun pihak ketiga yang ingin m em ecah belah ukhuw ah islam iy ah.
Dipihak lain, ziarah kubur, tirakat, ngalap
berkah m em ang bukan ajaran atau perintah agam a,
tetapi m erupakan tradisi budaya m asyarakat J awa yang sudah ada berabad-abad sejak era Buddha J awa, Hindu J awa, Majapahit, Mataram hingga kem erdekaan RI. Ketika agam a ‘sam awi’ m asuk ke tanah air terjadilah sinkretism e yang kem udian m em unculkan rasa agam a berselera ‘lokal’. Sebab itu, ‘istighotsah’ dalam rangka keprihatinan atas perusakan m akam m engingatkan kepada kita pada kait kelindan kebudayaan dengan kahanan yang bersejarah. Dalam hal ini kebudayaan tanggap terhadap tantangan perubahan dari luar, sehingga ‘istighotsah’ adalah m erupakan bentuk tindakan counterbalance, yakni m erupakan perlawanan seperlunya atas perusakan m akam sam bil m em antas-m antaskan atau m engaprosiasi apa yang asing sebagai bagian dari dirinya. Karena m uatan perspektif yang berbeda-beda, m aka pengertian m engenai kebudayaan itu m em iliki banyak sekali dei nisi. D engan demikian setiap pilihan konsep kebudayaan yang kita terapkan akan m em iliki im plikasi yang khas. Melalui kasus ‘perusakan m akam ’ dan ‘istighotsah’ dapat kita lihat betapa kebudayaan m enjadi ‘benang m erah’ yang m entautkan berbagai citra m enjadi lantunan identitas J awa
P
EN U TU PDalam konstruksi sosial m asyarakat Yogyakarta, Ndoro Purbo dicitrakan sebagai sosok ‘waliyyullah’ dan dikenal sebagai ‘orang sakti’, adalah sosok yang dipandang m em iliki kedalam an ilm u agam a yang tinggi dan sebagai sosok yang m em iliki keprihatinan, kepedulian dan kepekaan terhadap persoalan sosial yang ruhnya dianggap m asih hidup. Bagi warga di kalangan NU, perusakan Makam Ndoro Purbo dipandang sebagai tindakan destruktif, tidak m encerm inkan etika m oral, non-agam is, dan ahistoris yang dianggap sebagai sebuah kezalim an sekaligus bencana, yang ditafsirkan sebagai penodaan terhadap nilai-nilai luhur agam a Islam dan m erupakan sebuah perm ainan sim bol, sekaligus m erupakan cerm in kegagalan dakwah. Tidak m am pu m elawan kezalim an, dan sebagai respons atas tindakan perusakan tersebut m aka warga di kalangan NU Yogyakarta m elakukan ritual ‘istighotsah’, yang m erupakan ekspresi tindakan ‘pengaduan’ kepada Sang Pencipta (bathiniy ah). Dengan dem ikian, ‘istighotsah’ m erupakan sim bol tindakan yang oleh warga di kalangan NU dim aknai sebagai bentuk perlawanan secara bathiniyah atas kesulitan dalam m enghadapi kem aksiatan dhohiriy ah.
Di bagian lain, ‘istighotsah’ yang dilakukan warga di kalangan NU adalah m erupakan bentuk tindakan pengelolaan konl ik dalam m enjaga tetap tegaknya harm onisasi hubungan antarwarga, antarkelom pok keagam aan (Islam ) di wilayah Yogyakarta. Untuk itu, tidak berlebihan jika tindakan ’istighotsah’ sebagai representasi
counterbalance m erupakan bagian penting yang
dapat dijadikan kerangka acuan pem buatan model pengelolaan konl ik di tengah berbaurnya keragam an kelom pok sosial-keagam aan Islam dalam m em bangun harm onisasi di antara kelom pok-kelom pok Islam . Dengan dem ikian, ‘istighotsah’ merupakan resolusi konl ik yang m enggunakan perspektif internal, yakni, sebuah cara untuk m enyelesaikan persoalan sendiri dengan caranya sendiri, tidak m em erlukan intervensi pihak lain yang kerap hanya
(5)
m enyelesaikan m asalah terbatas pada kulit luar dan bukan pada akar perm asalahan.
D
AFTARP
U STAKAAbdullah, Irwan. 1999. “Dari Bounded System ke Borderless Society: Krisis Metode Antropologi dalam Mem aham i Masyarakat Masa Kini”,
Antropologi Indonesia, Vol. 60 , hal. 11-18.
Akil, Mahm ud. 1994. “Fenom ena Etnisitas di Kalim antan Barat”, dalam Paulus Florus, et. al., Kebuday aan Day ak: Aktualisasi dan
Transform asi. J akarta: Grasindo.
Appadurai, Arjun. 1994. “Global Ethnoscape: Notes and Queries for Transnational Anthropology”, dalam R. G. Fox (ed.),
Recapturing Anthropology , Santa Fee, NM:
School of Am erica Research Press.
Berger, Peter dan Thom as Luckm ann. 1979. The
Social Construction of Reality . New York:
Penguin Books.
Berger, Peter dan Thom as Luckm ann. 1990 . Tafsir
Sosial atas Keny ataan. J akarta: LP3ES.
Berger, Peter, L., et. al. 1992. Pikiran
Kem bara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia.Yogyakarta: Kanisius.
Berger, Peter, L. 1994. Langit Suci: Agam a
sebagai Realitas Sosial. J akarta: LP3ES.
Berger, Peter, L. 1990 . The Sacred Canopy :
Elem ents of Social Theory of Religion. New
York: Double Day.
Bungin, Burhan (ed). 20 0 3. Analisis Data Penelitian K ualitatif: Pemahaman F ilosoi s
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. J akarta: Raja Grasindo Persada.
Cheater, Angela. 1999. The Anthropology of
Pow er. London: Routledge.
Dillistone, F.W. 20 0 6. The Pow er of Sy m bols, diterj. oleh Widyam artaya, Yogyakarta: Kanisius.
Eller, J . 1999. F r om Cultur e to E thnicity to Conl ict. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Fetterm an, David, M. 1989. Ethnography Step by
Step. California: SAGE Publications.
Geertz, Cliford. 1992. Tafsir
Kebuday aan.Yogyakarta: Kanisius.
Green, J .W. 1995. Cultural Aw areness in the
Hum an Service. Boston: Allyn and Bacon.
Kappus, Elke-Nicole. 1997. “Changing History : Ethnic Identity Managem ent in Treste”, dalam Cora Govers dan Hans Verm eulen (ed.). The
Politics of Ethnic Consciousness. London:
Mac Millan.
Kelly, Gary, F. 1988. Sexuality Today the Hum an
Perspective. USA: The Dushkin Publishing
Group Inc.
Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup
Sehari-hari Orang Jaw a: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. J akarta: PT Gram edia.
Sanjek, R., (ed). 1990 . Fieldnotes: The Makings
of Anthropology . Ithaca and London: Cornell
University Press.
Soros, George. 20 0 0 . Open Society: Reform ing Global Capitalism .
Sunardi, ST. 20 0 2. Sem iotika Negativa.Yogyakarta: Kanal.
Bah an Bacaan Lain :
SKH Kedaulatan Rakyat, 17 Septem ber 20 13. SKH Kedaulatan Rakyat, 18 Septem ber 20 13.
(6)