laporan telur cacing

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia. Penyakit infeksi yang
disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang
beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih
perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di daerah tropis
khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan temperatur serta kelembaban yang
cocok untuk berkembangnya cacing dengan baik (Kadarsan,2005).
Hasil survey di beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-90% pada anak usia
sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi yang masih banyak terjadi pada penduduk di
Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helminth, yaitu golongan
nematode usus yang dalam penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah.
Cacing yang tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale (Siregar, 2006)
Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang
masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis
parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja

(Kadarsan,2005).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva
yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi
cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi
parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek
yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan
cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan
parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan
laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik
kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry, 2000).

B.

Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

1.

Mengetahui pemeriksaan feses dengan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) serta
metode modifikasi Harada Mori.


2.

Mengetahui adanya telur dan larva cacing parasit dalam sempel feses.

3.

Mendiagnosa infeksi cacing parasit dalam tubuh orang yang diperiksa fesesnya.

BAB II
METODE
A.

Metode Pemeriksaan
Pada praktikum parasitologi ini, kelompok saya menggunakan sampel tinja dari siswa SDN
3 Grendeng, Purwokerto Utara. Mulanya, kelompok saya mendatangi siswa di sekolah untuk
mencari pasien (siswa yang akan diperiksa fesesnya),kemudian kelompok saya mendatangi
orangtua/ wali siswa untuk meminta izin. Kelompok saya memberikan wadah untuk menampung
feses pasien dengan harapan feses yang di masukan ke wadah dalam kondidi masih segar.
Pengambilan wadah dilakukan pagi hari sebelum praktikum. Pada saat praktikum kelompok saya

memeriksa telur cacing dengan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) dan memeriksa
larva cacing dengan metode modifikasi Harada Mori. Untuk mengidentifikasi telur dan larva
cacing yang ditemukan digunakan pedoman praktikum parasitologi, kemudian dibaca hasilnya
dan dicatat di laporan sementara untuk dianalisis.
Metode pemeriksaan yang kelompok saya lakukan pada praktikum, yaitu:

1.

Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang
didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati.
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya
didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan
dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan
ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang
berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.

2.

Metode Harada Mori

Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma
Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus yang
didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang
menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini
akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.

B.

Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan metode apung dengan disentrifugasi,
antara lain:

1.

Mikroskop

2.

Objek glass


3.

Cover glass

4.

Beker glass

5.

Lidi

6.

Penyaring teh

7.

Jarum ose


8.

Tabung sentrifugasi

9.

Sentrifugator

10.

10 gram tinja

11.

200 ml larutan NaCl jenuh (33%)
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan metode apung tanpa disentrifugasi,

1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

antara lain:
Mikroskop
Objek glass
Cover glass
Beker glass
Tabung Reaksi
Rak tabung reaksi
Lidi
Penyaring teh
Jarum Ose
10 gram tinja

200 ml larutan Nacl jenuh (33%)
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan metode modifikasi Harada Mori,

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

antara lain:
Tabung reaksi
Kantung plastik ukuran 30x200 mm
Kertas saring ukuran 3x15 cm
Lidi
Pipet tetes
Aquadest
Tempat menggantung plastik


8.

Spidol

C.

Cara Kerja

1.

Metode apung dengan sentrifugasi

a.

200 ml NaCl jenuh (33%) di masukan ke dalam beker glass.

b.

10 gram feses sampel diambil menggunakan lidi dan di masukan ke dalam larutan NaCl jenuh
(33%) kemudian di aduk sehingga larut.


c.

Bila terdapat serat-serat selulosa disaring menggunakan penyaring teh.

d.

Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung sentrifugasi.

e.

Di masukkan kedalam sentrifugator selama 5 menit.

f.

Permukaan sampel pada tabung sentrifugasi diambil dengan menggunakan jarum ose dan di
oleskan pada objek glass, kemudian di tutup dengan menggunakan cover glass.

g.


Diamati di bawah mikroskop.

2.

Metode apung tanpa sentrifugasi

a.

200 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan ke dalam beker glass.

b.

10 gram feses sampel diambil menggunakan lidi dan di masukan ke dalam larutan NaCl jenuh
(33%) kemudian di aduk sehingga larut.

c.

Bila terdapat serat-serat selulosa disaring menggunakan penyaring teh.

d.

Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai cembung pada permukaan tabung
reaksi.

e.
f.

Diamkan selama 5-10 menit kemudian ditutup dengan cover glass dan segera diangkat.
Cover glass diletakkan di atas objek glass dengan cairan berada diantara objek glass dan cover
glass.

g.

Diamati di bawah mikroskop.

3.
a.
b.

Metode modifikasi Harada Mori
Tabung reaksi diisi akuades steril ±5 ml.
Dengan menggunakan lidi, feses dioleskan pada kertas saring sampai mengisi sepertiga bagian

c.

tengahnya.
Kertas saring dilipat membujur kemudian kertas saring di masukkan ke dalam tabung reaksi
dengan ujung kertas menyentuh permukaan akuades dan tinja tidak sampai tercelup akuades.

d.
e.

Kertas saring di masukkan ke dalam plastik yang sudah berisi akuades ±1 ml.
Nama penderita, tanggal penamaan, dan kelompok pengamat ditulis kemudian ditempel di

f.
g.

plastik.
Plastik digantung dan disimpan selama 7 hari.
Setelah 7 hari digantung, plastik dimiringkan dan digunting ujungnya kemudian air dalam

h.

plastik di tuang ke beaker glass.
Air dalam beaker glass diambil menggunakan pipet tetes kemudian 1-3 tetes air diteteskan ke
atas objek glass.

i.

Cover glass diletakkan di atas objek glass.

j.

Diamati di bawah mikroskop.

BAB III
HASIL
A.

Hasil 1
Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil sampel feses dari anak kelas 3 SD
Negeri 3 Grendeng, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertera di bawah ini:
nama

: Rizqi Pertama

umur

: 10 tahun

alamat

: Jalan Bugenfil, Kel. Grendeng, Kec. Purwokerto Utara
Metode

Apung dengan sentrifugasi

Apung tanpa sentrifugasi

Hasil Pengamatan
Nama Cacing

Telur (+/-)

Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Cacing tambang
Strongyloides stercoralis

-

Ascaris lumbricoides

-

Trichuris trichiura

-

Cacing tambang

-

Strongyloides stercoralis
Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode apung seperti
pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil negatif.

B.

Hasil 2
Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil sampel feses dari anak kelas 3 SD
Negeri 3 Grendeng, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertera di bawah ini:
nama

: M. Irfan S.

umur

: 10 tahun

alamat

: Jalan Bugenfil, Kel. Grendeng, Kec. Purwokerto Utara
Metode

Hasil Pengamatan
Nama Cacing

Telur (+/-)

Trichuris trichiura
Cacing tambang
+
Harada Mori
Strongyloides stercoralis
Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode Harada Mori
seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif
dengan ditemukanya larva pada pengamatan yang kami lakukan di bawah mikroskop, yang
diduga sebagai larva cacing tambang.

BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam praktikum ini, kelompok saya menggunakan metode apung (dengan dan tanpa
disentrifugasi) dan metode modifikasi Harada Mori.
Kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang digunakan dalam praktikum,
1.
a.
1)
2)

yaitu:
Metode Apung Dengan Sentrifugasi
Kelebihan
Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.
Kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya proses sentrifugasi sehingga

b.
1)
2)

feses dapat terlihat jelas.
Kekurangan
Membutuhkan waktu yang lama.
Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.

2.
a.
1)
2)
b.
1)
2)
3)
3.
a.

Metode Apung Tanpa Sentrifugasi
Kelebihan
Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.
Telur dapat terlihat jelas.
Kekurangan
Menggunakan banyak feses.
Membutuhkan waktu yang lama.
Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
Metode Modifikasi Harada Mori
Kelebihan: Lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif

b.
1)
2)
3)

mengingat bentuk larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.
Kekurangan
Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang.
Waktu yang dibutuhkan lama
Memerlukan peralatan yang banyak.
Dilihat dari tabel hasil 1 di atas, pemeriksaan feses Rizqi menggunakan metode apung
(dengan dan tanpa disentrifugasi) tidak ditemukan telur parasit dalam praktikum ini. Berarti,
Rizqi tidak terinfeksi parasit. Padahal jika diamati dari keadaan tempat tinggal dan lingkungan
sekitar, dapat dikatakan kurang sehat. Apalagi terdapat kadang kambing di samping tempat
tinggalnya, yang biasanya kambing merupakan salah satu hospes perantara pada penularan
parasit.
Hasil negatif pada metode apung yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:

1.

Sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing parasit usus).

2.

Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.

3.

Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit.

4.

Praktikan belum terlalu mampu untuk menggunakan mikroskop.

5.

Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur pada feses.

6.

Kesalahan saat awal pengambilan feses, apakah diambil pada tempat pembuangan/kloset atau
tidak langsung dari perianal, dan kemungkinan tercampur dengan urin.
Pada pengamatan feses ini, yang mungkin ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides,
telur Trichiuris trichiura, telur cacing tambang, dan larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.
Ascaris lumbricoides mempunyai 2 jenis telur, yaitu: telur yang sudah dibuahi (telur fertil)
dan telur yang belum dibuahi (telur infertil). Telur yang sudah dibuahi memiliki ciri-ciri: oval,

berdinding tebal, berwarna kekuning-kuningan diliputi lapisan albuminoid yang tidak rata, isinya
embrio yang belum masak. Sedangkan telur yang belum dibuahi memiliki cirri-ciri: lonjong,
lebih panjang, dinding biasanya lebih tipis berisi granula(Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang
telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan
tidak terinfeksi parasit Ascaris lumbricoides.
Telur Trichuris trichiura berukuran 50x25 µ, berbentuk mirip tempayan kayu atau biji
melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2 kutub jernih yang menonjol (Soedarto,2011). Ciri-ciri
telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi
dinyatakan tidak terinfeksi parasit Trichuris trichiura.
Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk
lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 µ. Telur tidak berwarna dan berdinding tipis yang tembus
sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada
pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit cacing tambang.
Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x 30 µ, berbentuk lonjong mirip cacing
tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus,
kemudian menetas menjadi larva rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva
rhabditiform mempunyai ukuran 200 – 250µ, memiliki esophagus dan bulbus esophagus yang
mengisi ¼ bagian anterior (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas tidak
terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit
Strongyloides stercoralis
Dilihat dari tabel hasil 2 di atas, pemeriksaan feses Irfan menggunakan metode Harada
Mori ditemukan larva parasit dalam praktikum ini. Berarti, Irfan diduga terinfeksi parasit cacing
tambang.
Menurut Shahid, dkk (2010), Harada Mori merupakan metode yang paling efektif untuk
mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode Harada Mori memiliki ketelitian lebih
dibandingkan dengan metode pemeriksaan tinja yang lain dalam mendeteksi cacing tambang.
Jika dilakukan dengan benar, metode ini sensitif, sederhana, ekonomis dan mudah dilakukan.
Manusia merupakan hospes satu-satunya bagi cacing tambang. Telur cacing tambang
spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sulit dibedakan satu dengan yang lain,
perbedaan hanya sedikit dalam hal ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 µ,

sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 µ. Telur ini keluar bersama feses
penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami
pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform (Shahid dkk, 2010).
Larva filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk manusia. Larva ini berukuran
500 – 700 µ, tidak mempunyai rongga mulut dan bulbus esophagus (Soedarto, 2011). Ciri-ciri
larva yang telah disebutkan di atas terdapat pada pengamatan feses Irfan dengan metode harada
mori sehingga Irfan diduga terinfeksi parasit cacing tambang.
Hasil positif pada metode Harada Mori yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:
1.

Faktor pendidikan: tingkat pendidikan pasien yang masih rendah, sehingga pengertian terhadap
kebersian dan kesehatan pribadi serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang
besar di sembarang tempat (di tanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di
luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan.

2.

Faktor sosio-ekonomi: keluarga pasien berpenghasilan rendah, sehingga menyebabkan
ketidakmampuan untuk menyediakan sanitasi perorangan maupun lingkungan.
(Hairani dan Annida, 2012)
Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada
saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal
(ground itch). Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing
dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut,
mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat
menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala
klinik timbul setelah tampak adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga
2 gr %, sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan
pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat
menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari
pada infeksi oleh Necator americanus (Shahid dkk, 2010).
Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas, maka upaya
pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana dalam memutus siklus
penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing secara berkala setiap 6 bulan dapat pula
dikerjakan. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta sumber bahan pangan adalah

merupakan sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing.
Memasyarakatkan cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana
usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan kebiasaankebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti:
1.

Membudayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga untuk mencuci tangan
sebelum makan.

2.

Memakai alas kaki jika menginjak tanah.

3.

Menggunting dan membersihkan kuku secara teratur.

4.

Tidak buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh.

5.

Bercocok tanam atau berkebun dengan baik.

6.

Peduli dengan lingkungan.

7.

Mencucilah sayur dengan baik sebelum diolah.

8.

Berhati-hati saat makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang
sanitasinya buruk.

9.
10.

Membuang kotoran hewan peliharaan kesayangan pada tempat pembuangan khusus.
Melakukan pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi yang
risiko tinggi terkena infestasi cacing, seperti petani, anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja
kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan tanah.

11. Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan pengobatan dengan cara
penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan obat-obatan merupakan pilihan yang
dianjurkan. Obat anti cacing golongan pirantel pamoat (combantrin dan lain-lain) merupakan anti
cacing yang efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit cacing.
Intervensi berupa pemberian obat cacing (obat pirantel pamoat 10 mg/ kg BB dan albendazole 10
mg/kg BB) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak untuk mengurangi angka kejadian
infeksi ini pada suatu daerah. Paduan yang serasi antara upaya prevensi dan terapi akan
memberikan tingkat keberhasilan yang memuaskan, sehingga infeksi cacing secara perlahan
dapat diatasi secara maksimal, tuntas dan paripurna.
(Athiroh, 2005)

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat saya simpulkan sebagai berikut:
1.

Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) adalah
negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang telah di periksa sehingga

2.

diduga pasien tidak terinfeksi cacing.
Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode Harada mori adalah positif, yang artinya bahwa
ditemukan larva dalam tinja yang telah di periksa sehingga pasien diduga terinfeksi cacing

3.

tambang.
Bentuk telur, larva, atau cacing parasit berbeda-beda, masing-masing memiliki morfologi yang
khas yang membedakan cacing yang satu dengan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Athiroh, N. 2005. Petunjuk Praktikum Parasitologi. Malang: Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Islam Malang.
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI :
Jakarta.
Hairani, Budi dan Annida. 2012. “Insidensi Parasit Pencernaan pada Anak Sekolah Dasar di Perkotaan
dan Pedesaan di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Jurnal Epidemiologi dan
Penyakit Bersumber Binatang, Volume 4(2): 102-108.
Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Palgunadi, Bagus Uda. 2010. “Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Kejadian Kecacingan Yang
Disebabkan Oleh Soil-Transmitted Helminth Di Indonesia”, Jurnal, Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Shahid, dkk. 2010. ”Identicifation of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture”,
Bangladesh J Med Microbiol, Volume 04(02): 03-04.

Siregar, Charles D. 2006. “Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada
Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar”. Sari Pediatri, Volume 8(2): 112-117
Soedarto, 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Praktikum
Mengetahui telur dan larva dari sebagian cacing yang diamati.
1.2 Manfaat Praktikum
1. Mahasiswa dapat mengamati telur dan larva dari sebagian cacing yang diamati.
2. Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis telur dan cacing berdasarkan hasil pengamatan.
3. Mahasiswa dapat mengamati bentuk telur dan larva cacing berdasarkan hasil
pengamatan.
4. Mahasiswa dapat mengetahui agen penyakit dari telur dan larva cacing.
5. Mahasiswa dapat mengetahui ukuran telur dan larva cacing.
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Clonorchis sinensis
Gambar 2.1 Clonorchis sinensis.
Klasifikasi Ilmiah
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Trematoda
Order
: Opisthorchiida

Keluarga
Genus
Spesies

: Opisthorchiidae
: Clonorchis
: Clonorchis sinensis

(Gandasuda dan Srisasi, 2006).
1. a.

Morfologi

Telur
Gambar 2.2 Telur Clonorchis sinensis.
Telur berbentuk oval seperti kendi operkulum besar, bagian posteriornya menebal dan biasanya
ada tonjolan kecil.Telur berisi mirasidium, ukuran telur 25-35 X 12-19 mikron,dan warna telur
kuning (Wang et al, 2011).
Larva

Gambar 2.3 Cacing Clonorchis sinensis dewasa.
Dalam siklus hidupnya setelah keluar dari telur cacing Clonorchis sinensis berkembang berturutturut menjadi beberapa bentuk larva mirasidium berenang di air, sporokista, redia, serkaria dalam
tubuh tubuh bekicot, metaserkaria dalam tubuh ikan dan hospes definitif (Wang et al, 2011).
Mirasidium
Berbentuk oval dan memiliki silia (Wang et al, 2011).
Sprokokista
Berbentuk kantong dan mengandung sel-sel germinal. Sel-sel germinal membentuk sporokista
generasi kedua atau redia (Wang et al, 2011).
Redia
Berbentuk kantong, memiliki faring yang nyata dan usus rudimenter. Mengandung sel germinal
yang akan berkembang menjadi redia generasi kedua atau serkaria (Wang et al, 2011).
Serkaria
Berwarna coklat, berekor, memiliki dorsal dan ventral sirip untuk bergerak, bintik mata yang
berfungsi sebagai alat sensori, dan kutikula dengan duri-duri kecil (Wang et al, 2011).
Metaserkaria

Metaserkaria merupakan stadium larva berbentuk kista berkembang. Kista memiliki dinding
yang sangat tebal organ larva seperti bintik mata, ekor dan stiletnya telah hilang (Wang et al,
2011).
Cacing dewasa
Cacing pipih berbentuk daun. Bagian posteriornya membulat dan pada integumenya tidak
ditemukan duri. Ukuran cacing dewasa 10-25 X 3-5mm. Batil isap kepala lebih besar dari pada
batil isap perut. Testis berlobus dalam tersusun membentuk tandem dan terletak dibagian
posterior tubuh. Ovarioum terletak dibagian anterior testis pada bagian tengah tubuh. Filtelaria
membentuk folikel-folikel lembut dan terletak di lateral tubuh (Wang et al, 2011).
1. Siklus Hidup
Telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium bila termakan hospes perantara I keong air.
Dalam keong air akan berturut-turut berkembang menjadi sporokista redia I, redia II, dan
serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II (famili Cyprinidae).
Serkaria menembus hospes perantara dua dan melepaskan ekornya. Dalam tubuh hospes
perantara II serkaria membuntuk kista yang disebut metaserkaria(bentuk infektif). Dalam
duodenum metaserkaria pecah kemudian mengeluarkan larva dan kemudian masuk kedalam
saluran empedu.Setelah satu bulan didalm saluran empedu,larva berkembang menjadi dewasa
(Makimian, 1996).
1. Hospes

Hospes
Perantara
Pertama
Siput air tawar (Parafossarulus manchouricus) berfungsi sebagai hospes perantara pertama
untuk Clonorchis sinensis di Cina, Jepang, Korea dan Rusia. Begitu berada di dalam tubuh siput,
mirasidium yang menetas dari telur dan tumbuh secara parasit dalam siput. Mirasidium ini
berkembang menjadi sebuah sporosit, yang pada gilirannya memondokkan reproduksi aseksual
dari redia, tahap berikutnya. Sistem reproduksi aseksual memungkinkan untuk persilangan
eksponensial individu serkaria dari satu mirasidium. Ini membantu Clonorchis sinensis dalam
reproduksi, karena memungkinkan mirasidium untuk memanfaatkan satu kesempatan pasif untuk
dimakan oleh siput sebelum telur mati. Setelah redia dewasa, yang tumbuh di dalam tubuh
bekicot sampai saat ini, mereka secara aktif menanggung keluar dari tubuh siput ke lingkungan
air tawar (Safar, 2009).

Hospes
perantara

Kedua
Bosan dengan cara mereka masuk ke dalam tubuh ikan, mereka kembali menjadi parasit hospes
baru mereka. Setelah masuk dari otot ikan, serkaria yang membuat kista metaserkaria pelindung
yang dapat digunakan untuk mengenkapsulasi tubuh mereka. Kista pelindung ini terbukti
bermanfaat ketika otot ikan dikonsumsi oleh manusia (Safar, 2009).

Hospes
Definitif
Kista tahan asam memungkinkan metaserkaria untuk menghindari dicerna oleh asam lambung
manusia, dan memungkinkan metaserkaria untuk mencapai usus kecil terluka. Mencapai usus
kecil, metaserkaria yang menavigasi ke hati manusia, yang menjadi habitat akhir. Pakan
Clonorchis pada empedu manusia diciptakan oleh hati. Dalam hati manusia, Clonorchis
mencapai tahap yang matang dari reproduksi seksual . Orang-orang dewasa hermafroditik
menghasilkan telur setiap 1-30 detik, sehingga perbanyakan cepat penduduk di hati (Safar,
2009).
1. Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di
Indonesia bukan infeksi autotokton (Makimian, 1996).
1. Patologi dan Gejala Klinis
Perubahan patologi terutama terjadi pada sel epitel saluran empedu. Pengaruhnya
terutama bergantung pada jumlah cacing dan lamanya menginfeksi, untungnya jumlah cacing
yang menginfeksi biasanya sedikit. Pada daerah endemik jumlah cacing yang pernah ditemukan
sekitar 20-200 ekor cacing. Infeksi kronis pada saluran empedu menyebabkan terjadinya
penebalan epitel empedu sehingga dapat menyumbat saluran empedu. Pembentukan kantongkantong pada saluran empedu dalam hati dan jaringan parnenkim hati dapat merusak sel
sekitarnya. Adanya infiltrasi telur cacing yang kemudian dikelilingi jaringan ikat menyebabkan
penurunan fungsi hati (Safar, 2009).
Gejala asites sering ditemukan pada kasus yang berat, tetapi apakah ada hubungannya antara
infeksi C. sinensis dengan asites ini masih belum dapat dipastikan. Gejala joundice (penyakit
kuning) dapat terjadi, tetapi persentasinya masih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh
obstruksi saluran empedu oleh telur cacing. Kejadian kanker hati sering dilaporkan di Jepang, hal
ini perlu penelitioan lebih jauh apakah ada hubungannya dengan penyakit Clonorchiasis (Safar,
2009).
Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran dan
perubahan jaringan hati yang berupa radang sel hati. Gejala dibagi menjadi tiga stadium: (Safar,
2009).

1. Stadium ringan tidak ada gejala.
2. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan,
diare, edema, dan pembesaran hati.
3. Stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal terdiri
dari pembesaran hati, edema, dan kadang-kadang menimbulkan
keganasan dalam hati, dapat menyebabkan kematian.

f.
Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada isolasi feses telur Clonorchis sinensis bersama dengan adanya tandatanda pankreatitis atau primary. Beberapa kucing mungkin menunjukkan penyakit kuning dalam
kasus-kasus lanjutan dengan parasit beban berat. Sejumlah cacing hati lain yang mempengaruhi
kucing, seperti Viverrini opisthorchis, dan Felineus opisthorchis, dapat dibedakan dengan
pemeriksaan miscoscopic atau yang lebih baru tes PCR. Konfirmasi biasanya dibuat pada
laparotomi eksplorasi dan visualisasi cacing dalam pohon bilier atau kandung empedu dari
kucing yang terkena dampak (Safar, 2009).
2.2 Fasciola hepatica
Gambar 2.4 Fasciola hepatica.
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Platyhelminthes

Klas

: Trematoda

Ordo

: Echinostomida

Genus

: Fasciola

Spesies

: Fasciola Hepatica

(Gandasuda dan Srisasi, 2006).
1. Morfologi
Telur

Gambar 2.5 Telur Fasciola hepatica.
Telur cacing berbentuk bulat lonjong dengan dinding tipis yang mengandung massa moruler
yang dibentuk dari sel yang mengelilingi zigot. Telur cacing mempunyai operculum pada salah
satu ujung telur, warna kekuningan dan mempunyai ukuran 130-150 x 80µm (Suriptiastuti,
2006).
Cacing dewasa
Gambar 2.6 Cacing Fasciola hepatica dewasa.
Fasciola hepatica atau disebut juga Cacing hati merupakan anggota dari Trematoda
(Platyhelminthes). Cacing hati mempunyai ukuran panjang 2,5 – 3 cm dan lebar 1 – 1,5 cm.
Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan ada sebuah
alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang mulut, juga terdapat alat
kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan
membantu saat bergerak (Brooks, 1996).
2. Daur hidup
Cacing ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. Cacing ini bersifat
hemaprodit, berkembang biak dengan cara pembuahan sendiri atau silang, jumlah telur yang
dihasilkan sekitar 500.000 butir. Hati seekor domba dapat mengandung 200 ekor cacing atau
lebih. Karena jumlah telurnya sangat banyak, maka akan keluar dari tubuh ternak melalui saluran
empedu atau usus bercampur kotoran. Jika ternak tersebut mengeluarkan kotoran, maka telurnya
juga akan keluar, jika berada di tempat yang basah, maka akan menjadi larva bersilia yang
disebut mirasidium. Larva tersebut akan berenang, apabila bertemu dengan siput Lymnea
auricularis akan menempel pada mantel siput. Di dalam tubuh siput, silia sudah tidak berguna
lagi dan berubah menjadi sporokista. Sporokista dapat menghasilkan larva lain secara
partenogenesis yang disebut redia yang juga mengalami partenogenesis membentuk serkaria.
Setelah terbentuk serkaria, maka akan meninggalkan tubuh siput dan akan berenang sehingga
dapat menempel pada rumput sekitar kolam atau sawah. Apabila keadaan lingkungan tidak baik,
misalnya kering maka kulitnya akan menebal dan akan berubah menjadi metaserkaria. Pada saat
ternak makan rumput yang mengandung metaserkaria, maka sista akan menetas di usus ternak
dan akan menerobos ke dalam hati ternak dan berkembang menjadi cacing muda, demikian
seterusnya (Brooks, 1996).
3. Hospes
Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi, dan kadang-kadang parasit ini ditemukan pada
manusia (Brooks, 1996).
4. Distribusi Geografik
Parasit ini bersifat kosmopolitan, terutama banyak ditemukan di negara yang banyak memelihara
domba, misalnya di Amerika Selatan, Timur Tengah, Eropa, China, Hawai (Brooks, 1996).

1. Patologi dan Gejala Klinis
Migrasi cacing Fasciola hepatica ke saluran empedu menimbulkan kerusakan pada parenkim
hati. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan
Sirosis Periportal (Noble,1989).
2.3 Hymenolepis nana
Gambar 2.7 Hymenolepis nana.
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Platyhelminthes

Class

: Cestoda

Ordo

: Cyclophyllidea

Family

: Hymenolepididae

Genus

: Hymenolepis

Species

: Hymenolepis nana

(Gandasuda dan Srisasi, 2006).
1. Morfologi
Telur
Gambar 2.8 Telur Hymenolepis nana.
Telur berbentuk bulat atau oval dengan diameter 30-45 mikron. Dinding telur terdiri dari 2 lapis
yaitu membran luar dan dalam (Makimian, 1996).
Cacing Dewasa
Gambar 2.9 Hymenolepis nana.
Hymenolepis nana berbentuk seperti benang dengan ukuran 15 – 40 mm x 0,5 – 1 mm dan
jumlah proglotid mencapai yang 200. Hymenolepis nana memiliki skoleks dan rostellum pendek
yang retraktil. Bagian lehernya panjang dan ramping. Hymenolepis nana memiliki 3 testis yang
berada pada bagian posterior dari setiap proglotid. Segmen gravid Hymenolepis nana
mengandung 80 – 180 butir telur (Makimian, 1996).

b. Daur Hidup
Telur-telur dikeluarkan bersama tinja dengan cara disintegrasi pelan-pelan dari segmen gravid.
Hymenolepis nana merupakan satu-satunya cacing pita manusia yang tidak membutuhkan
hospes perantara. Segmen gravid biasanya pecah di kolon sehingga telur dapat dengan mudah
ditemukan di feses. Telur Hymenolepis nana segera menjadi infektif ketika dikeluarkan bersama
tinja dan tidak dapat bertahan lebih dari 10 hari pada lingkungan luar. Ketika telur infektif
tersebut ditelan oleh orang lain, onkosfer yang terkandung di dalam telur dilepaskan di usus kecil
kemudian mempenetrasi vilus dan berkembang menjadi larva sistiserkosis. Setelah villus ruptur,
sistiserkosis kembali ke lumen usus, lalu mengeluarkan skoleks mereka, kemudian menempel ke
mukosa usus dan berkembang menjadi dewasa lalu tinggal di ileus (Maegraith B, 1995).
Autoinfeksi dapat terjadi pada infeksi Hymenolepis nana, dimana telur mampu mengeluarkan
embrio heksakan mereka yang kemudian menembus villus dan meneruskan siklus infektif
tanpa melalui lingkungan luar. Hal ini menyebabkan cacing dapat memperbanyak diri dalam
tubuh hospes. Masa hidup cacing dewasa adalah 4-6 minggu, tetapi autoinfeksi internal
memungkinkan infeksi bertahan selama bertahun-tahun. Cacing di dalam usus terdapat dalam
jumlah 1.000 sampai 8.000 ekor. Jangka waktu hidupnya hanya 2 minggu (Maegraith B, 1995).
c. Hospes
Hospes parasit ini adalah manusia dan tikus (Maegraith B, 1995).
d. Distribusi Geografik
Hymenolepis nana tersebar secara kosmopolitan diseluruh dunia terutama di daerah sub tropis
maupun tropis serta lebih banyak terjadi didaerah panas daripada di daerah dingin (Maegraith B,
1995).
Daerah penyebaran Hymenolepis nana antara lain adalah Mesir, Sudan, Thailand, India, Jepang,
Amerika Selatan yaitu Brazilia dan Argentina, Eropa Selatan yaitu Portugal, Spanyol dan Sicilia
(Manson-Bahr PEC dan Bell DR, 1997).
Kejadian Hymenolepiasis nana sering terjadi pada para imigran yang berasal dari daerah kering
dan biasanya infeksi pada penderitanya bersifat asymtomatis (Strickland GT, 1994).
Hymenolepis nana adalah cacing pita kerdil yang merupakan parasit paling sering dijumpai pada
manusia khususnya di Asia. Karena siklus hidupnya secara langsung, maka memungkinkan
penularannya dari manusia ke manusia dengan cepat dapat terjadi. Parasit ini merupakan cacing
pita terkecil serta satu-satunya cacing pita yang tidak memerlukan induk semang antara atau
intermediate host (Duerden BI et al.,1997).
Anak-anak lebih sering terinfeksi Hymenolepis nana daripada orang dewasa terutama pada
anak-anak usia 8 tahun. Pada tahun 1942 diperkirakan lebih dari 20 juta orang terinfeksi oleh
cacing pita ini, survey menunjukkan bahwa angka kejadiannya berkisar antara 0,2 – 3,7 %,
walaupun pada daerah tertentu angka kejadiannya mencapai 10 % pada anak-anak yang

menderita akibat infeksi oleh cacing pita ini. Namun menurut Markell, gambaran prevalensinya
saat ini belum diketahui secara pasti (Markell EK et al,1992).
Prevalensi infeksi cacing pita ini tinggi pada daerah dengan kondisi hygiene pribadi dan
lingkungan yang kurang baik. Infeksi lebih sering terjadi di dalam lingkungan keluarga ataupun
di dalam suatu institusi dari pada di dalam populasi yang besar (Strickland GT, 1994).
Infeksi oleh cacing ini sering terjadi pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi dan status
imunodefisiensi. Infeksi mungkin mulai terjadi pada awal tahun kehidupannya tetapi gejala
klinisnya baru timbul setelah 5 tahun kemudian (Duerden BI et al., 1997).
Infeksi terjadi secara langsung melalui tangan ke mulut, atau infeksi dapat terjadi karena
menelan telur cacing yang mengkontaminasi makanan atau minuman. Kebiasaan yang kurang
sehat dari anak-anak menyebabkan prevalensi infeksinya cukup tinggi pada anak-anak (Chin J,
2006).
Manusia merupakan sumber infeksi yang paling penting bagi manusia lainnya, walaupun tikus
dan mencit juga dapat menjadi sumber infeksi dari cacing pita ini. Penularan melalui ingesti
feses rodent yang mengandung telur cacing pita ini lebih sering terjadi dari pada melalui ingesti
kumbang yang terinfeksi. Autoinfeksi dapat terjadi akibat infestasi dari ratusan cacing pita ini
pada host tunggal (Joklik WK, 1996).
Manusia merupakan reservoar alamiah dan penularan biasanya terjadi secara langsung dari
manusia ke manusia lainnya dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun
penularan melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai
karena telur cacing pita ini mempunyai daya tahan yang rendah diluar hostnya. Larva dari flea
dan kumbang dapat terinfeksi setelah ingesti telur cacing pita ini dan berkembang menjadi
cisticercoid di dalam hemocoelenya (Strickland GT, 1984).
1. Patologi dan Gejala Klinis
Perubahan patologis akibat Hymenolepis nana tergantung pada intensitas infeksi, status
imunologis hospes dan adanya penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari
cacing ini biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi
desquamasi sel epitel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa, sehingga dapat
menimbulkan enteritis pada infeksi yang berat (Strickland GT, 1984).
Infeksi yang ringan biasanya tidak menimbulkan gejala klinis atau asymptomatis atau hanya
timbul gangguan pada perut yang terlihat kurang nyata. Pada infeksi yang berat akibat infestasi
lebih dari 1000 cacing, terutama pada anak-anak yang biasanya merupakan autoinfeksi interna
dapat menimbulkan gejala berupa kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri
epigastrium, nyeri perut dengan atau tanpa diare yang disertai darah, mual, muntah, pusing,
toxaemia, pruritus anal, uticaria serta gangguan syaraf misalnya irritabilitas, konvulsi dan
kegelisahan (Ghaffar A dan Brower G, 2010).

Hymenolepiasis nana yang berat pada anak – anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan berat
badan, hilangnya nafsu makan, insomnia, nyeri perut disertai diare, muntah , pusing , gangguan
saraf serta reaksi alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder dan eosinofilia antara 4-16%
kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak juga sering terjadi autoinfeksi interna
sehingga dimungkinkan terjadi infeksi berat yaitu diare bercampur darah, sakit perut dan
gangguan sistemik yang berat (Soedarto,2008).
6. Patogenesis
Cara penularan Hymenolepiasis nana dapat melalui fecal-oral. Sedikit atau nyaris tidak ada
kejadian patologis dari perkembangan sistiserkosis di vili, namun bila jumlah cacing telah
mencapai lebih dari 2000 dapat menyebabkan enteritis yang diduga akibat toksemia sistemik
yang merupakan produk sisa Hymenolepiasis nana. Produk sisa ini dapat menyebabkan respon
alergi. Eosinofilia hingga 15% dapat ditemukan pada 7% penderita yang terinfeksi. Selain itu,
pada infeksi berat dapat terjadi erosif karena oleh skoleks yang dimiliki Hymenolepiasis nana
(Soedarto,2008).
g. Diagnosis
Hymenolepiasis nana sering bersifat asimtomatik, namun pada infeksi yang berat dapat terjadi
gangguan pencernaan seperti nyeri abdomen, diare, muntah, pusing, dan anoreksia. Diagnosis
dilakukan dengan menemukan telur Hymenolepiasis nana pada sediaan tinja (Soedarto,2008).
2.4 Oxyuris vermicularis

Gambar 2.10 Cacing Oxyuris vermicularis.

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Upakelas: Spiruria
Ordo
: Oxyurida
Famili : Oxyuridae
Genus : Enterobius
Species
Oxyuris vermicularis
(Gandasuda dan Srisasi, 2006).

1. Morfologi
Telur
Gambar 2.11 Telur Oxyuris vermicularis.
Telur Oxyuris vermicularis atau Enterobius vermicularis berbentuk oval, tetapi
asimetris(membulat pada satu sisi dan mendatar pada sisi yang lain), dinding telur terdiri atas
hialin, tidak berwarna dan transparan serta rata-rata panjangnya 47,83 x 29,64 mm (Brown,
1979).
Telur cacing ini berukuran 50μm – 60μm x 30μm, berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu
sisinya (asimetris). Dinding telur bening dan agak tebal, didalamnya berisi massa bergranula
berbentuk oval yang teratur, kecil, atau berisi embrio cacing, suatu larva kecil yang melingkar
(Gandahusada et al., 2001).
Cacing Dewasa
Gambar 2.12 Oxyuris vermicularis Betina.
Gambar 2.13 Oxyuris vermicularis Jantan.
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5 mm, dengan pelebaran kutikulum seperti sayap pada
ujung anterior yang disebut alae. Bulbus oesofagus jelas sekali, dan ekor runcing. Pada cacing
betina gravid, uterus melebar dan penuh telur (Gandahusada et al., 2001).
Cancing jantan lebih kecil sekitar 2-5 mm dan juga bersayap, tapi ekornya berbentuk seperti
tanda tanya, spikulum jarang ditemukan. (Purnomo et al.,2003)
1. Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya host bagi Oxyuris vermicularis. Manusia terinfeksi bila
menelan telur infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi dewasa dalam
caecum, termasuk appendix (Mandell et al., 1990).
Cacing betina memerlukan waktu sekitar 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai memproduksi
telur (Garcia dan Bruckner, 1998). Cacing betina yang gravid mengandung sekitar 11.000-15.000
butir telur, berimigrasi ke perianal pada malam hari untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus
dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur
menjadi matang dalam waktu kira-kira enam jam setelah dikeluarkan pada suhu badan. Dalam
keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari (Gandahusada et al., 2001). Kadang-kadang
cacing betina berimigrasi ke vagina dan menyebabkan vaginitis (Mandell et al., 1990).
Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di caecum. Cacing jantan mati setelah
kopulasi, dan cacing betina mati setelah bertelur. Daur hidup cacing mulai dari tertelannya telur

infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal dan memerlukan
waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan (Gandahusada et al., 2001).
1. Hospes
Manusia adalah satu-satunya hospes dan penyakitnya disebut enterobiasis atau oksiuriasis
(Gandahusada et al., 2001).
4. Distribusi geografik
Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada daerah panas. Hal
ini mungkin disebabkan karena pada umumnya orang didaerah dingin jarang mandi dan
mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini juga ditunjang oleh eratnya hubungan antara
manusia satu dengan yang lainnya serta lingkungan yang sesuai (Gandahusada et al., 2001).
1. Patologi dan Gejala Klinis
Oxyuris vermicularis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis
yang menonjol disebabkan iritasi disekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid
yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Oleh karena
cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk
daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada
waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang
cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung,
esophagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Cacing betina gravid
mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tubafallopii sehingga menyebabkan radang di
saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis.
Beberapa gejala karena infeksi cacing Oxyuris vermicularis dikemukakan oleh beberapa
penyelidik yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat
marah, gigi menggeretak, insomnia dan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk
membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Gandahusada et al., 2001).
6. Diagnosis
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukan rasa gatal di sekitar anus pada waktu
malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat
diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan disekitar anus pada waktu pagi
hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat(Gandahusada et al., 2001).
Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya
dilekatkan scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus, telur
cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan
dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga
hari berturut-turut (Gandahusada et al., 2001).

2.5 Cacing Tambang
Gambar 2.14 Cacing Tambang.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Nematoda
Kelas:
Secernentea
Ordo:
Strongiloidae
Famili: Ancylostomatidae
Genus: Necator/Ancylostoma
Spesies
N. americanus
A. duodenale
(Gandasuda dan Srisasi, 2006).
a.

Morfologi

Telur
Gambar 2.15 Telur Cacing Tambang.
Telur cacing tambang berukuran kurang lebih 55 x 35 mikron, bentuknya bulat oval dengan
selapis dinding yang transparan dari bahan hialin. Sel telur yang belum berkembang tampak
seperti kelopak bunga. Dalam perkembangan lebih lanjut dapat berisi larva yang siap untuk
ditetaskan ( Gandahusada, 1988).
Cacing dewasa
Gambar 2.16 Cacing Tambang
Betina (sebelah kiri), dan Cacing Tambang Jantan (sebelah kanan).
Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Bentuk
badan Necator Americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale
menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. Necator Americanus
mempunyai benda kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi. Cacing
jantan mempunyai kopulatriks (Gandahusada, 1988).
b.

Siklus Hidup

Telur keluar bersama tinja, dalam waktu 1 – 2 hari telur akan berubah menjadi larva rabditiform
(menetas ditanah yang basah dengan temperatur yang optimal untuk tumbuhnya telur adalah 23 –
300 C). Larva rabditiform makan zat organisme dalam tanah dalam waktu 5 – 8 hari membesar
sampai dua kali lipat menjadi larva filariform, dapat tahan diluar sampai dua minggu, bila dalam
waktu tersebut tidak segera menemukan host, maka larva akan mati. larva filariform masuk

kedalam tubuh host melalui pembuluh darah balik atau pembulu darah limfe, maka larva akan
sampai ke jantung kanan. Dari jantung kanan menuju ke paru – paru, kemudian alveoli ke
broncus, ke trakea dan apabila manusisa tersedak maka telur akan masuk ke oesophagus lalu ke
usus halus, siklus ini berlangsung kurang lebih dalam waktu dua minggu (Gandahusada, 1988).
1. Hospes
Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya
melekat pada mucosa usus (F.Ganong dan William, 2003).
1. Distribusi Geografik
Necator americanus adalah cacing tambang spesifik manusia yang paling umum di seluruh
dunia. Necator americanus ditemukan di Afrika, Asia dan Amerika (F.Ganong dan William,
2003).
1. Patologi dan Gejala Klinik
Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar
kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun dan anemia (anemia hipokrom
micrositer). Disamping itu juga terdapat eosinofilia (F.Ganong dan William, 2003).
f.

Diagnosa

Diagnosa pasti untuk infeksi cacing tambang dengan cara menemukan telur, larva atau cacing
dewasa pada feses yang dapat diperiksa secara langsung maupun konsentrasi (F.Ganong dan
William, 2003).
2.6 Necator americanus
Gambar 2.17 Cacing Necator americanus.
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom: Animalia
Phylum : Nematoda
Class
: Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Necator
Species : Necator americanus
(Gandasuda dan Srisasi, 2006).
1. Morfologi
Telur

Gambar 2.18 Telur Necator americanus.
Telur cacing tambang berbentuk oval, kedua kutubnya mendatar, dinding sel tipis dan bening,
tersusun atas 4-8 sel, dengan ukuran yang berbeda tergantung dari jenisnya Necator americanus
memiliki ukuran telur sepanjang 64 –76 mm x 36–40 mm. Jumlah telur yang dihasilkan Necator
americanus adalah 10.000–20.000 setiap harinya dan telur cacing tambang dapat menetas dalam
rentang waktu 24-36 jam. Pada kondisi yang optimal daya tahan larva berada pada kelembapan
sedang dengan suhu berkisar 23-300 C Gani (1998).
Cacing Dewasa
Gambar 2.19 Necator americanus dewasa.
Necator americanus memiliki bentuk tubuh slindris yang menyerupai huruf S, dimana ukuran
cacing betina lebih besar dari pada yang jantan, panjang cacing betina ± 1 cm, setiap cacing
betina dapat bertelur 9000 ekor per hari. Sementara cacing jantan panjangnya ± 0,8 cm. Pada
bagian mulut cacing tambang memiliki kapsula (rongga) bucca lis, akan tetapi kedua jenis ini
terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, dimana mulut Necator americanus terdapat
lempeng pemotong (benda kitin) di bagian anterior dari kapsul buccal (Noble, 1989).
Pertumbuhan larva parasit ini kebanyakan berlangsung di dalam tanah, yang banyak
mengandung zat – zat organik. Selain itu, areal yang memiliki sirkulasi air yang tidak bagus,
merupakan tempat yang paling disenangi oleh cacing tambang. Selain suhu, cacing tambang
memerlukan nutrisi (makanan), yang berguna untuk berfungsinya esophagus secara normal dan
juga diperlukan untuk pengumpulan glukosa yang diubah menjadi glikogen cacing (Noble,
1989).
Pada rongga badan cacing tambang ditemukan pseudoselom yang berisi hemolympha, yang
diduga merupakan tempat penampungan hasil ekskresi. Hasil ekskresi tersebut meliputi nitrogen
sebagai asam amonia, asam urat, ureum, yang akan dikeluarkan oleh tubuh melalui porus
excretorius (Radiopoetro, 1991).
Sedangkan, reproduksi cacing tambang terjadi di dalam usus manusia yang bersifat
gonochoristis, dimana testis menghasilkan sperma sedangkan ovarium menghasilkan ovum.
Sperma umumnya bersifat amoeboid dengan saluran kelami n jantan bermuara di usus sedangkan
saluran kelamin betina mempunyai lubang muara keluar sendiri dan fertilisasi berlangsung
secara internal (Radiopoetro, 1991).