Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Hiv Aids Pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Di Kota Medan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis Dan Perilaku (Stbp) 2011

11

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Human

Immunodeficiency

Virus

(HIV)

merupakan

retrovirus

yang

menginfeksi sel-sel sistem imun (kekebalan) tubuh , kemudian merusak sistem imun

yang terinfeksi dengan meghancurkan sel darah spesifik yang disebut sel CD4
limfosit T yang sangat krusial dalam proses pertahan tubuh terhadap penyakit
(WHO, 2012). Dalam beberapa minggu setelah terinfeksi HIV, pada sebagian orang
akan akan muncul gejala seperti flu (flu-like symptoms) yang akan menghilang satu
atau dua minggu, tetapi pada sebagian orang lagi tidak timbul gejala sama sekali.
Orang yang hidup dengan HIV dapat tampak sehat selama beberapa tahun. Namun,
meskipun mereka merasa sehat, virus ini tetap menggerogoti sel-sel limfosit T dalam
tubuh. AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV, ketika imunitas seseorang
yang terinfeksi HIV sangat rusak, sangat sulit bertahan melawan berbagai infeksi
dan beberapa jenis kanker, stadium ini disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) (Marr, 1998).
Kasus AIDS dilaporkan pertama kali pada awal tahun 1980-an. Pada tanggal
5 Juni 1981, the Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) melaporkan
adanya lima (5) kasus Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) pada pria-pria
homoseksual. Sebelum adanya perkembangan pengobatan, orang dengan HIV dapat
menjadi AIDS hanya dalam beberapa tahun, namun saat ini orang dengan HIV dapat

11

12


lebih lama hidup produktif sebelum menjadi AIDS. Hal ini disebabkan adanya
kombinasi obat yang sangat aktif yang pertama kali diperkenalkan pada awal 1990-an
(www.cdc.gov/hiv/topics/basic/index.htm).
Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV tipe 1 merupakan jenis
yang paling banyak, lebih dari 40 juta infeksi HIV disebabkan tipe ini. Tipe lainnya
yaitu HIV tipe 2 merupakan tipe yang dominan di Afrika Barat. Beberapa kasus tipe
HIV-2 dilaporkan di Amerika Serikat namun setelah ditelusuri ternyata mereka yang
terinfeksi pernah berkunjung ke Afrika Barat atau pernah melakukan kontak seksual
dengan orang

dari Afrika Barat.(Marr, Lisa, 1998; American Public Health

Association, 2004)
Semenjak ditemukan sampai saat ini prevalensi HIV terus meningkat. Sampai
tahun 2012 diperkirakan terdapat 35,3 juta orang yang terinfeksi HIV di seluruh
dunia dan 2,3 juta diantaranya merupakan infeksi baru (UNAIDS, 2013).
2.1.1

Perjalanan Penyakit

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala

penyakit yang menyerang tubuh setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV.
Perjalan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam beberapa tahapan yaitu :
-

Sindrom retroviral akut
Tahap ini terjadi 2-3 minggu setelah terinfeksi HIV, terjadi penurunan CD4 dan
peningkatan jumlah virus. Pada tahap ini terjadi gejala seperti flu yang dikenal
dengan flu-like syndrome dan segera menghilang yang kemudian diikuti dengan

13

terjadinya serokonversi. Setelah serokonversi, antibodi HIV dapat dideteksi di
dalam darah penderita.
-

Infeksi kronis (asimtomatik)
Pada tahap ini penderita tidak mengalami gejala apa-apa terkait infeksi HIV,
sehingga penderita tidak menyadari sudah terinfeksi HIV. Penderita dapat

melakukan semua aktifitas sehari-hari, tetap produktif selayaknya orang sehat
lainnya. Tahan ini dapat berlangsung selama lebih kurang 8 tahun.

-

Infeksi kronis (simtomatik)
Setelah virus ini cukup parah menggerogoti sistem kekebalan penderita, mulai
timbul berbagai infeksi sebagai manifestasi ketidakmampuan tubuh melawan
berbagai infeksi. Gejala-gajala ini dapat terjadi mulai dari ringan, sedang sampai
berat (AIDS)

2.1.2 Penularan HIV
Banyak variabel yang menentukan terjadinya infeksi HIV dari seseorang
kepada orang lain. Variabel ini meliputi donor (orang yang menularkan) dan resipien
(orang yang ditularkan) serta portal of entry dari virus HIV. Variabel yang paling
penting adalah rute transmisi, kepadatan virus (viral load), tipe HIV, dan resistensi
genetik dari resipien (Stine, 2011).
Secara garis besar terdapat beberapa cara penularan HIV dari orang ke orang
yaitu melalui hubungan seksual yang tidak aman atau tidak terlindungi; kontak
dengan cairan tubuh seperti darah, semen, cairan serebrosfinal; penggunaan jarum

suntik

yang

terkontaminasi;

transfusi

darah

dan

komponen-komponennya;

14

transplantasi jaringan atau organ yang terinfeksi dan penularan vertikal dari ibu yang
terinfeksi kepada bayinya (American Public Health Association, 2004).
Penularan HIV melalui kontak seksual terjadi baik secara oral, anal maupun
vaginal. Tingkat Resiko penularan tergantung tergantung dari jenis kontak seksual

dan seberapa infeksius patner seksual (stadium infeksi pasangan seksual). Berbagai
penelitian telah membuktikan bahwa kontak seksual anal lebih berisiko dibanding
dengan vaginal, sedangkan risiko hubungan seksual secara oral lebih rendah dari
keduanya (Marr, 1998; Stine, 2011).
Tahapan yang paling infeksius dalam masa perjalanan penyakit terjadi pada
tahap awal dan akhir dari infeksi. Pada tahap awal infeksi terjadi replikasi virus yang
sangat cepat meskipun belum disertai gejala penyakit (asimtomatik) dan belum terjadi
serokonversi yaitu belum dapat dideteksi adanya anti HIV di dalam darah penderita.
Pada tahap akhir dari perjalanan penyakit ini atau stadium AIDS, virus HIV dalam
jumlah besar bersirkulasi di dalam tubuh penderita yang sudah lemah dan tidak
mampu melawan virus dan infeksi lainnya. Penderita HIV yang baru terinfeksi atau
sudah pada tahap akhir infeksi sangat berisiko untuk secara efektif menginfeksi
partner seksualnya karena pada tahap ini viral load-nya sangat tinggi (Marr, 1998).
Berdasarkan data dari badan dunia yang menangani bidang kesehatan (WHO),
transmisi HIV di seluruh dunia 80% melalui kontak seksual, 9% penularan vertikal
dari ibu kepada bayi, 8% melalui jarum suntik oleh pemakai napza suntik (penasun),
dan 3% melalui tansfusi darah dan produk-produknya (WHO, 2008) , sedangkan di
Indonesia sampai dengan Juni 2014, dari semua kasus AIDS yang dilaporkan, 61,5 %

15


kasus ditularkan melalui jalur heteroseksual dan penasun sebesar 15,2 % (Kemenkes,
2013).
2.1.3 Pemeriksaan Laboratorium HIV
Pemeriksaan laboratorium untuk untuk HIV dapat dilakukan dengan berbagai
metoda, diantaranya biakan terhadap virus, deteksi antigen (p24), deteksi materi
genetik (PCR) dan deteksi terhadap antibodi HIV. Namun untuk diagnosis umumnya
dilakukan dengan pemeriksaan antibodi HIV (Depkes, 2008).
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan mengalami serokonversi yaitu
terdeteksinya antibodi HIV di dalam darah penderita sekitar 1-3 bulan setelah
terinfeksi, namun hal ini bisa berbeda-beda pada tiap orang. Di Amerika Serikat, ratarata serokonversi adalah 25 hari (2-8 minggu).

Pemeriksaan serologis untuk

pemeriksaan antibodi HIV telah tersedia sejak tahun 1985. Metoda yang paling
banyak digunakan untuk tujuan skrining adalah EIA atau ELISA dengan sensitifitas
dan spesifisitas yang tinggi. Pemeriksaan yang lebih dini sebelum serokonversi dapat
dilakukan dengan pemeriksaan materi genetik p24 dan PCR.
Masa diantara terjadinya infeksi sampai timbulnya serokonversi disebut masa
jendela (window period). Untuk bayi yang baru lahir, tidak dilakukan pemeriksaan

anti bodi HIV, karena secara pasif anti bodi HIV ibu ditransfer kepada bayi, sehingga
peeriksaan anti bodi HIV pada bayi yang baru lahir akan menghasilkan positif palsu.
Untuk itu pada bayi pemeriksaan dilakukan dengan PCR atau dengan anti HIV
setelah bayi berumur 15 bulan ( American Public Health Association, 2004).

16

Pemeriksaan

HIV

di

Indonesia

sesuai

dengan

pedoman


Nasional

menggunakan tes anti bodi hiv yaitu reagen tes cepat. Prosedur pemeriksaan
laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini,
yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes
atau informasi singkat. Untuk pemeriksaan pertama harus digunakan tes dengan
sensitivitas yang tinggi (> 99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya
menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (> 99 %) (Kemenkes RI, 2011).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut dengan masa jendela. Bila tes HIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil tes negatif, maka perlu dilakukan
tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
2.1.4

Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi HIV
Penanggulangan HIV dilakukan tidak hanya mencegah penularan dari orang

yang terinfeksi kepada oralang lain, namun juga bertujuan untuk mengurangi risiko
terjadinya penularan. Pencegahan penularan dari orang yang teinfeksi kepada orang

lain dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
- Menjauhi hubungan seks bebas atau di luar nikah. Berbagai studi mengatakan
bahwa resiko terkena infeksi HIV berhubungan dengan hubungan seks pertama
kali.
- Tetap setia pada satu pasangan (monogami), atau mengurangi jumlah pasangan.
Semakin sedikit pasangan seksual, semakin kecil kemungkinan untuk kontak
dengan orang yang terinfeksi HIV.

17

- Penggunaan kondom dengan benar dan konsisten.
- Menjauhi penggunaan napza dengan jarum suntik
- Melakukan pemeriksaan terhadap HIV serta mengobati penyakit infeksi menular
(IMS) lain.
2.1.5

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Komisi khusus dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yaitu KPAN

membuat strategi dalam pengendalian HIV/AIDS


pada

tahun

2010

yang

diterbitkan dalam bentuk “Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV
dan AIDS 2010-2014”. KPAN menyebutkan program strategi penaggulangan
HIV/AIDS terdiri atas 4 area :
- Pencegahan. Kegiatan pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual,
pencegahan melalui alat suntik, pencegahan penularan di lembaga pemasyarakatan
dan rumah tahanan, pencegahan penularan dari ibu kepada bayi, pencegahan
penularan pada pekerja seks (WPS) dan pelanggannya serta pada orang muda
berisiko (15-24 tahun)
- Perawatan, dukungan dan pengobatan. Kegiatan meliputi pengobatan dengan anti
retroviral ARV), pengobatan infeksi oportunistik, penguatan dan perluasan
layanan serta dukungan psikologis dan sosial.
- Peningkatan lingkungan yang kondusif, serta
- Program mitigasi dampak.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melakukan berbagai upaya
penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan sejalan dengan kesepakan internasional

18

dalam Millenium Development Goals (MDGs). Dalam rangka percepatan pencapaian
MDGs, dikeluarkan Instruksi Presiden (inpres) no. 1 tahun 2010 yang disusul dengan
keluarnya Inpres no.3 tahun 2010 tentang program pembangunan yang berkeadilan,
yang menjadi indikator pengendalian HIV/AIDS sampai tahun 2015. (Kemenkes,
2010) Indikator-indikator tersebut yaitu :
-

Prevalens HIV < 0,5%

-

Penggunaan kondom kelompok berisiko tinggi pada hubungan seks terakhir
65% pada perempuan dan 50% pada laki-laki

-

Minimum 95% penduduk 15 tahun keatas yang mempunyai pengetahuan tentang
HIV/AIDS.

-

Minimum 90% orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mendapatkan pengobatan
ARV.

-

100% kabupaten/kota yang melaksanakan pencegahan dan penularan HIV

2.2 Pengguna Napza Suntik (Penasun)
Penasun adalah pengguna napza suntik yang dikarenakan ketergantungan atau
adiksinya akan napza sangat sulit untuk bisa berhenti. Adiksi atau ketergantungan
dapat dikatakan chronic relapsing disease atau suatu penyakit yang selalu dapat
relaps atau berulang. Sehingga seorang penasun tidak pernah dapat dikatakan sebagai
“mantan penasun” tetapi pulih, karena sewaktu-waktu dapat kembali menggunakan
napza. Adiksi ini juga dikatakan brain disease, yang menyebabkan terjadinya
perubahan atau kerusakan otak sehingga sangat sulit untuk sembuh. Untuk bisa

19

berhenti yang diperlukan waktu cukup lama dalam terapinya. Yang menyedihkan
adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai penasun atau bahkan ketergantungan ini,
sehingga cap yang melekat pada penasun adalah anti sosial, kriminalitas sehingga
meresahkan masyarakat, pemalas, dan sebagainya (KPA Kab. Pasuruan, 2011).
Penasun adalah pengguna napza dengan cara suntikan, menjadi beresiko untuk
berperilaku menggunakan jarum suntik secara bergantian dan tidak steril serta juga
relatif aktif secara seksual terutama bagi mereka yang melakukannya dengan lebih
dari satu pasangan. Hal ini meningkatkan terjadinya risiko penularan HIV (KPA,
2008).

2.3 Faktor-faktor Resiko Infeksi HIV pada Pengguna Napza Suntik (Penasun)
Studi-studi tentang faktor resiko infeksi HIV telah dilakukan di berbagai
negara sejak infeksi ini menjadi pandemi di seluruh dunia. Studi ini dilakukan dengan
berbagai disain, yaitu disain kohort, trial maupun potong lintang. Namun studi yang
paling banyak dilakukan adalah disain potong lintang, hal ini terkait dengan
karakteristik infeksi HIV dengan masa laten yang panjang, prevalensi yang masih
dibawah 10% di banyak negara dan adanya stigma.
Salah satu konsep tentang faktor-faktor risiko terjadinya infeksi HIV dan
banyak diadaptasi adalah konsep yang dibuat oleh J. Ties Boerma & Sharon S. Weir
yaitu “The Proximate-Determinants Framework”. Konsep ini membagi determinan
terjadinya infeksi HIV menjadi underlying determinan, proximate determinan dan
biological determinan. Underlying determinants, termasuk di dalamnya faktor sosial

20

ekonomi (mis. income, pendidikan, pekerjaan), sosial budaya (mis. agama, suku),
demografik (mis. jenis kelamin, umur, status perkawinan, mobilitas, tempat tinggal)
dan intervensi program. Intervensi program termasuk di dalamnya konseling dan
testing, pengendalian IMS, promosi kondom, pendidikan perubahan perilaku,
pengamanan darah donor dan pengurangan dampak buruk napza suntik. Determinan
proksi sendiri diantaranya jumlah pasangan seks, frekuensi coital, percampuran seks
(sexual mixing), abstinensia, transfusi darah, pemakaian narkoba suntik, pemakaian
kondom, sirkumsisi, jenis hubungan seksual, viral load, pengobatan ARV dan
kerentanan biologis.
2.3.1

Demografi

a. Umur
Sebagaimana disebutkan pada framework oleh Boerma & Weir, umur
merupakan salah satu underlying determinan terhadap infeksi HIV. Delapan puluh
lima persen (85%) orang yang didiagnosis IMS berusia antara 14-30 tahun. Hal ini
mungkin disebabkan pada usia ini dimulainya keingin-tahuan tentang seks pada usia
remaja dan dewasa muda. Pada saat yang sama pengetahuan mereka tentang penyakit
dan pencegahan IMS sangat minim. Pada kasus ini umur bisa merupakan faktor
risiko yang mendasar (underlying determinants) (Marr: 1998).
Banyak penelitian tentang hubungan umur dengan infeksi HIV dengan hasil
yang berbeda-beda. Pada tahun 1991-1994 dilakukan studi comunity randomized trial
di Mwanza, Tanzania untuk mengukur pelayanan pengobatan IMS. Data dari studi
ini dengan disain penelitian nested case-control untuk mengukur faktor risiko HIV

21

menunjukkan pria pada kelompok umur 20-34 tahun dan 35-54 tahun lebih berisiko
daripada kelompok umur 15-19 tahun (Todd, James et al, 2006). Sedangkan studi
kohort prospektif yang dilakukan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa “umur”tidak
memiliki hubungan yang bermakna terhadap risiko infeksi HIV (Rakwar, Joel et al,
1999). Hasil Survey IBBS (Integrated Behaviour and Biological Survey) pada
penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi HIV
lebih tinggi diantara usia 20 tahun ke atas dibandingkan untuk penasun muda (FHI,
2009.) Konsisten dengan studi yang dilakukan oleh James todd et al, Audrey Pettifor
et al dan Sangeeta et al, hasil studi IBBS di India tahun 2007 menunjukkan bahwa
umur berhubungan dengan kejadian infeksi HIV (Pandey, Arvind et al, 2010).
b. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu karakteristik individu yang menjadi variabel
yang paling sering dihubungkan dengan kejadian suatu penyakit, termasuk IMS dan
HIV. Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009
menunjukkan bahwa penasun yang tidak bisa baca-tulis beresiko 20 kali terinfeksi
HIV dibandingkan penasun yang bisa baca-tulis (FHI, 2009).
c. Status Perkawinan
Studi-studi tentang hubungan berbagai faktor risiko terhadap kejadian infeksi
HIV telah bayak dilakukan. Hasil Survey IBBS (Integrated Behaviour and Biological
Survey) pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009 menunjukkan bahwa
prevalensi HIV pada penasun yang sudah menikah lebih tinggi (6,6 %) dibandingkan
penasun yang belum menikah (1,7 %).(FHI 360, 2009).

22

2.3.2 Perilaku
Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Menurut teori Skinner “SOR” (Stimulus Organisme Respons), membedakan adanya
dua respons yaitu :
1) Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu.
2) Operant response atau instrumental response, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Perilaku tertutup (covert behavior)
Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi
pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya :
seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks.
2) Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain
(Notoatmodjo, 2012).

23

2.3.2.1 Perilaku Penggunaan Napza Suntik
a. Penggunaan Jarum Suntik bekas
Hasil penelitian di Semarang pada tahun 2008 menunjukkan dari 75 orang
penasun yang menjadi responden , 34,7 % menggunakan jarum suntik bergantian
dalam 6 bulan terakhir ( Winarno, Suryoputro, Shaluhiyah , 2008).
Tingkat

cukup

tinggi

prilaku

berbagi

jarum

suntik

adalah

di Bangladesh dan India. Sementara di Kathmandu dan Nepal terjadi penurunan tajam
dalam hal perilaku berbagi jarum suntik yaitu dari 56 % pada tahun 2002 menjadi 7
% pada tahun 2009 (WHO SEARO, 2010).
Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penasun yang berbagi jarum
suntik dalam seminggu terakhir dengan infeksi HIV (FHI 360, 2009).
b. Lama Penggunaan Napza Suntik
Hasil Survey IBBS pada penasun di Pokhara Valley pada tahun 2009
menunjukkan bahwa prevalensi HIV pada penasun yang sudah menggunakan napza
sunti lebih dari 5 tahun lebih tinggi (5 %) dibandingkan penasun yang menggunakan
napza suntik kurang dari 5 tahun (3,1 %) (FHI, 2009).
2.3.2.2 Prilaku Seks
Beberapa perilaku yang menjadi proximate determinants yang mempengaruhi
terjadinya infeksi HIV adalah jumlah pasangan seksual, sexual mixing, frekuensi
koitus, menunda usia dini berhubungan seks, pemakaian kondom dan cara
berhubungan seks (Boerma and Weir, 2005).

24

a. Pemakaian kondom
Salah satu faktor risiko terhadap infeksi HIV yang paling banyak diteliti
adalah tingkat pemakaian kondom.

Kondom sendiri pada awalnya berfungsi sebagai

alat kontrasepsi pria yang bekerja menghalangi masulnya sperma ke dalam saluran
reproduksi wanita.

Data menunjukkan bahwa hampir 90% kasus HIV di seluruh

dunia ditularkan melalui transmisi seksual

. Hal ini bukan berarti hubungan seks

mutlak harus dihindari karena secara alamiah

hal ini merupakan bagian dari

kebutuhan biologis. Namun ada beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan
yaitu menunda hubungan seks sampai pada usia tertentu (abstinence) atau sampai
pada suatu saat menemukan orang yang tepat yang diketahui status kesehatan
seksualnya serta berkomitmen untuk monogami serta setia hanya pada satu pasangan
(be faithful).
Namun bila bila penundaan hubungan seks dan kesetiaan pada satu pasangan
tidak dapat dilakukan atau tidak dapat dijamin, maka pencegahan penularan IMS atau
HIV dapat dilakukan dengan penggunaan kondom dengan baik dan benar pada saat
berhubungan seks.
Berdasarkan hasil tes laboratorium (in-vitro) menunjukkan bahwa kondom
yang terbuat dari lateks memiliki efektivitas yang tinggi mencegah penularan
patogen-patogen melalui transmisi seksual termasuk HIV, meskipun kurang efektif
terhadap infeksi seksual yang dapat ditularkan melaui kontak kulit, karena kondom
tidak menutupi seluruh bagian kulit yang terinfeksi.

25

Pada saat ini, kondom dapat terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks
(karet), plastik (vinil), atau bahan alami (hewani) yang dipasang pada penis saat
berhubungan seksual. Berbagai bahan telah ditambahkan pada kondom baik untuk
meningkatkan efektivitasnya (misalnya dengan menambahkan spermicidal) maupun
sebagai aksesoris aktifitas seksual.
Kondom tidak hanya diperuntukkan untuk pria namun juga wanita. Kondom
pria merupakan selubung karet tipis yang dipasang pada penis sebagai tempat
penampungan air mani yang dikeluarkan pria pada saat senggama sehingga tidak
tercurah pada vagina. Cara kerja kondom yaitu mencegah pertemuan sperma dan
ovum. Jenis kondom lainnya adalah kondom wanita. Kondom wanita menawarkan
suatu alternatif pencegahan penularan IMS maupun pencegahan ke hamilan bila
kondom pria tidak memungkinkan.
Di Amerika, kondom wanita pertama kali diakui oleh FDA pada tahun 1993.
Pada studi terhadap 150 wanita yang menggunakan kondom wanita selama 6 bulan,
ditemukan pada 26 responden terjadi kehamilan, namun dikatakan bahwa hal ini
terjadi karena responden tidak memakai kondom tersebut pada setiap hubungan (tidak
konsisten) dengan cara yang benar. Efektifitas kondom pria sendiri sekitar 98% dan
wanita 95% (AIDS Update, 2011).
Penelitian tentang kondom sebagian besar merupakan penelitian tentang
hubungan tingkat pemakaian kondom terhadap transmisi HIV. Hasil Survey IBBS
2010 di Nigeria penggunaan kondom dengan pasangan seksual tetap cenderung lebih

26

rendah dibandingkan dengan pasangan seks lainnya (Federal Ministry of Health,
2010).
b. Usia pertama kali melakukan hubungan seks
Hasil studi memperlihatkan bahwa proporsi penasun yang perilaku seksnya
berisiko lebih besar dibanding penasun yang perilaku seksnya tidak berisiko. Proporsi
penasun yang perilaku seksnya berisiko (76,5%), lebih besar dibanding yang tidak
berisiko (23,5%). Hasil analisis logistik menunjukkan bahwa perilaku seks berisiko
pada penasun berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu usia hubungan seks
pertama kali, status pekerjaan, dan status pernikahan. Dari beberapa faktor yang
berhubungan dengan perilaku seks berisiko tersebut, status pernikahan menunjukkan
hubungan yang paling erat dan signifikan secara statistik. Penasun yang berstatus
menikah mempunyai perilaku seks berisiko lebih besar tehadap kerentanan penularan
HIV kepada istri atau pasangan tetapnya (Setiawan, 2002).
Usia saat pertama kali berhubungan seks merupakan faktor risiko terhadap
infeksi HIV, hal ini dihubungkan dengan kesiapan/kematangan organ reproduksi,
lamanya masa aktif secara seksual, jumlah pasangan, hubungan seks tanpa pelindung,
partner seks yang lebih tua dan adanya kekerasan seksual pada usia muda (CDC,
2012; WHO, 2006).
Beberapa studi yang meneliti hubungan usia pertama kali berhubungan seks
dengan infeksi HIV telah dilakukan di banyak negara dengan hasil yang bervariasi.
Usia pertama kali berhubungan seks juga dihubungkan dengan usia dini berhubungan
seks (early coital debut). Berdasarkan defenisi WHO yang dimaksud dengan usia dini

27

hubungan seks pertama kali pada usia
≤ 14 tahun baik vaginal atau anal (WHO,
2006). Usia pertama kali berhubungan seks merupakan proksi terhadap paparan
terhadap infeksi HIV (Wand, Handan, 2013).
Berdasarkan laporan CDC pada survei National Youth Risk Behavior Survey
(YRBS) tahun 2009, 46% remaja telah melakukan hubungan seks dini. Sebanyak
5,9% melakukan hubungan seks pertama sebelum usia 13 tahun, 34,2% remaja
mengaku telah melakukan hubungan seks selama 3 bulan sebelum survei, dan 38,9%
tidak menggunakan kondom saat berhubungan (CDC, 2011).
2.3.3

Pengetahuan
Pengetahuan

merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Tingkat pengetahuan menurut Benjamin Blom dibagi berdasarkan beberapa
tingkatan yaitu “tahu (know)” merupakan memori yang ada setelah mengamati
sesuatu, “memahami (comprehension)” artinya seseorang tidak hanya tahu, tapi
mampu

menginterpretasikan

secara

benar

obyek

yang

diketahui,

äplikasi(application)’yaitu seseorang mampu memahami objek dan menggunakan
sesuai prinsip pada situasi berbeda-beda, änalysis”yaitu seseorang mampu
menjabarkan dan mencari hubungan antara komponen-komponen dalam suatu obyek
atau masalah, “syntesis”yaitu kemampuan seseorang meletakkan secara hubungan
antar komponen dalam suatu situasi yang logis, serta “evaluation”yaitu kemampuan

28

seseorang untuk melakukan justifikasi dan penilaian terhadap obyek atau masalah
tertentu (Notoatmodjo, 2012).
Bila ditelaah uraian tentang pengetahuan maka penilaian pengetahuan
seseorang terhadap HIV/AIDS berhubungan dengan informasi yang didapatkan
seseorangtentang HIV/AIDS baik secara formal maupun informal. Salah satu sumber
informasi mengenai HIV/AIDS yang komprehensif diperoleh ketika melakukan
pemeriksaan HIV melalui VCT (Voluntary Counselling & Testing).
2.3.4 Riwayat Penyakit IMS
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 340 juta kasus
IMS baru seperti sifilis, gonore, klamidia dan trikomoniasis terjadi setiap tahun di
seluruh dunia pada pria dan wanita berusia 15-49 tahun. Situasi ini berkontribusi
tidak hanya pada peningkatan jumlah penderita HIV, namun juga infeksi virus herpes,
human papilommavirus (HPV) dan hepatitis B.
Infeksi menular seksual atau Sexually Transmitted infections (STIs)
merupakan infeksi yang terutama ditularkan melalui kontak seksual antara orang keorang oleh lebih dari 30 jenis bakteri, virus dan parasit (WHO, 2012).
Terdapat kaitan yang erat antara penularan IMS dengan penularan HIV.
Secara umum, IMS dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui hubungan
seksual sebanyak 3 sampai 5 kali lipat. Secara khusus, IMS yang ulseratif bahkan
dapat meningkatkan risiko penularan HIV hingga 300 kali lipat pada paparan yang
tidak terlindungi (Dirjend PP & PL, 2009).

29

2.4 Program Pengurangan Dampak Buruk Bagi Penasun
Pelaksanaan pengurangan dampak buruk Napza sendiri di Indonesia sudah
dimulai sejak tahun 1999. Yayasan Hati-hati, Bali telah mulai melakukan kegiatan
penjangkauan dan pendampingan pada kelompok Penasun untuk mencegah penularan
HIV. Dalam melaksanakan kegiatannya, Yayasan Hati-hati mempekerjakan petugas
lapangan dari mantan Penasun. Lokakarya Nasional pertama pada tahun 1999 yang
membahas mengenai kaitan antara penggunaan Napza dengan cara suntik dan
HIV/AIDS di Puncak, Bogor dapat dikatakan sebagai respon awal terhadap isu
HIV/AIDS dan Penasun.
Istilah pengurangan dampak buruk Napza berasal dari terjemahan Harm
Reduction dan bila diartikan secara kata perkata yaitu, harm = kerugian, kejahatan,
kerusakan, kesalahan sedangkan reduction = penurunan, pengurangan. Sehingga
Harm Reduction berarti pengurangan / penurunan kerugian / kerusakan.
World Health Organization (WHO), sebagai badan United Nation (UN) yang
mengurusi bidang kesehatan mendeskripsikan Pengurangan Dampak Buruk Napza
sebagai berikut: “Konsep, yang digunakan dalam wilayah kesehatan masyarakat,
yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi konsekuensi negatif kesehatan yang
berkaitan dengan perilaku. Yang dimaksud dengan perilaku yaitu perilaku
penggunaan Napza dengan jarum suntik dan perlengkapannya (jarum suntik dan
peralatan untuk mempersiapkan Napza sebelum disuntikan). Komponen pengurangan
dampak buruk Napza merupakan intervensi yang holistik / komprehensif yang
bertujuan untuk mencegah penularan HIV dan infeksi lainnya yang terjadi melalui

30

penggunaan perlengkapan menyuntik untuk menyuntikan Napza yang tidak steril dan
digunakan secara bersama-sama” (Depkes RI, 2006).
WHO, UNAIDS dan UNODC pada tahun 2009 secara bersama‐sama
merekomendasikan suatu paket intervensi komprehensif bagi penasun untuk
mengurangi perilaku berisiko dan memperkecil dampaknya. Selain itu dengan
dilaksanakannya paket intervensi komprehensif tersebut diharapkan bisa lebih
merealisasikan akses universal terhadap berbagai layanan kesehatan yang penting
bagi penasun untuk mencegah penularan HIV dan merawat serta mengobati berbagai
penyakit yang diakibatkan oleh AIDS. Paket penanggulangan HIV pada penasun
yang komprehensif terdiri atas:
- Layanan jarum dan alat suntik steril (LJASS),
- Terapi substitusi opiat
- Konseling dan Tes HIV,
- Pencegahan infeksi menular seksual,
- Promosi kondom untuk penasun dan pasangan seksualnya,
- Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang diarahkan secara khusus kepada penasun
dan pasangan seksualnya
- Terapi antiretroviral,
- Vaksinasi, diagnosis dan terapi untuk hepatitis, dan
- Pencegahan, diagnosis dan terapi untuk TB (FHI, 2011).

31

2.5 Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011
2.5.1 Rancangan Studi STBP 2011
Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku yang dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan RI merupakan survei yang dilakukan dengan disain studi potong lintang
(cross sectional). Survei ini dilakukan pada bulan Januari – Maret 2011 di 11 provinsi
di Indonesia, meliputi 33 kabupaten/kota di Indonesia dengan beberapa kelompok
risiko tinggi yaitu wanita penjaja seks langsung (WPSL), wanita penjaja seks tidak
langsung (WPSTL), Pengguna Napza Suntik (Penasun), waria, Lelaki Seks Lelaki
(LSL), narapidana, remaja dan pria berisiko tinggi(risti). Untuk Provinsi Sumatera
Utara survei dilaksanakan di Kota Medan dan kab. Deli Serdang, dan untuk
kelompok penasun survei dilakukan di Kota Medan (Kemenkes RI, 2011) .
2.5.2 Cara Pengambilan Sampel (Sampling)
Pada STBP 2011, pengambilan sampel untuk kelompok penasun dilakukan
dengan Respondent Driven Sampling (RDS). Teknik ini merupakan sebuah teknik
sampling secara jemput bola (snowball) menurut kuota perekrutan dan insentif
rangkap untuk memotivasi perekrut dan yang direkrut. Hal tersebut dilakukan karena
populasi penasun merupakan populasi tersembunyi yang sulit dijangkau, sehingga
metode seperti cluster sampling tidak dapat digunakan, karena tidak tersedia
kerangka sampel bagi populasi tersebut. Keunggulan dari metode RDS adalah sampel
yang didapat merupakan sampel yang berpeluang (probability sample) sehingga
dapat dilakukan analisis secara statistik termasuk penghitungan standard error.

32

RDS berawal dari sejumlah kecil peserta yang dipilih secara purposif yang
biasanya disebut

seed, yang seharusnya dipilih seheterogen mungkin untuk

memastikan bahwa sembarang anggota kelompok memiliki kemungkinan besar untuk
direkrut. Seed yang direkrut adalah penasun yang dapat memotivasi orang lain untuk
ikut dalam program dan mereka harus mendukung tujuan dari program ini.
Disamping itu seed ini diusahakan berasal dari orang dengan karakteristik yang
beragam, karakteristik tersebut misalnya umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal,
status sosial dan ekonomi, dan sebagainya.
Pada awalnya dipilih sebanyak 8 seed namun bila dalam tenggat waktu survei
sampel size belum terpenuhi bisa ditambahkan beberapa seed lagi. Seed akan dipilih
oleh staf LSM yang menyediakan pelayanan kepada kelompok sasaran. Seed tersebut
seharusnya dikenal baik dan diterima luas oleh kalangan mereka. Umumnya
diusulkan kepada para anggota pekerja dari target populasi untuk bertindak sebagai
seed.
Dalam survei ini, 8 seed yang akan diberi kupon pertama kali akan dipilih di
masing‐masing lokasi. Setiap seed akan diminta untuk merekrut 3 Penasun, sehingga
para seed ini akan diberikan 3 kupon untuk diberikan kepada teman‐teman
sekomunitasnya sesama Penasun yang berkenan untuk direkrut. Seed diusahakan
berasal dari berbagai kelompok umur dan tinggal di wilayah yang berbeda di kota
yang disurvei serta dari latar belakang sosial ekonomi yang beragam (Kemenkes RI,
2011)

33

2.5.3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada saat STBP 2011 dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan melakukan wawancara dengan responden terpilih dan pemeriksaan
laboratorium terhadap contoh darah responden. Pengambilan contoh darah dilakukan
oleh tenaga terlatih dan kemudian dibawa ke laboratorium atau klinik yang ditunjuk
di daerah terpilih selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium (Pedoman
Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011).
Pemeriksaan HIV dilakukan dengan tes serologis yaitu pemeriksaan anti HIV
dengan alur pemeriksaan anti HIV strategi 2 untuk surveilans. Pemeriksaan ini
menggunakan dua (2) jenis reagen yang berbeda yaitu reagen I (SD HIV 1/2) dan
reagen II (Fokus HIV) (Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011).
Wawancara dilakukan oleh enumerator (pewawancara) yang telah dilatih
untuk mengumpulkan data dari wawancara, sedangkan data laboratorium diperoleh
dari laporan hasil pemeriksaan contoh darah responden dari laboratorium yang
ditunjuk (Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas STBP 2011).

2.6 Landasan Teori
Determinan penyakit HIV pada kelompok Pengguna Narkoba Suntik
(Penasun) dengan modifikasi teori yang dianggap paling sesuai yaitu diadaptasi dari
konsep yang dibuat oleh J. Ties Boerma & Sharon S. Weir yaitu “The ProximateDeterminants Framework” (Boerma, Weir, 2005).

34

Underlying
determinants

Lingkungan
Sosial
ekonomi
Sosial
Budaya
Demografi
Intervensi
Program
Konseling &
testing
Pengendalian
IMS
Promosi
Kondom
Pendidikan
perubahan
prilaku
Pengamanan
darah donor
Pengurangan
dampak
buruk
Napza suntik

Proximate
determinants

Jumlah pasangan seks
Frekuensi coital
Percampuran seks
Abstinensia
Transfusi darah
Pemakaian narkoba
suntik
Suntikan medis

Biological
determinants

Health
Outcome

Demographic
Outcome

Pemaparan
terhadap
orang yang
rentan
terinfeksi

Pemakaian kondom
Riwayat IMS
Sirkumsisi
Jenis hub.seksual
Viral load
Kerentanan biologi
Praktek latihan
pengamanan darah
Pengamanan Jarum
suntik

Efisiensi
penularan
per kontak

Pengobatan ARV
Pengobatan Infeksi
penyerta

Durasi
terkena
infeksi

Infeksi
HIV

Penya
kit

Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Infeksi HIV

kemati
an

35

2.7 Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang dan kerangka teori, disusun beberapa faktor resiko
yang akan diteliti sebagai variabel penelitian seperti digambarkan pada bagan berikut:
Variabel Independen

Variabel Dependen

Demografi :
‐ Umur
‐ Tingkat Pendidikan
‐ Status Perkawinan
‐ Sumber Pendapatan
Napza Suntik :
‐ Lama menggunakan Napza
suntik
‐ Penggunaan jarum suntik
bergantian
Prilaku Seks
‐ Usia pertama kali
melakukan hubungan seks
‐ Riwayat melakukan
hubungan seks dengan WPS
‐ Jumlah Pasangan Seks
- Konsistensi pemakaian
kondom dengan WPS
Pengetahuan
Riwayat Gejala IMS

Infeksi HIV

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Sumber : Diadaptasi dari “The Proximate-Determinants Framework” oleh J. Ties
Boerma & Sharon S. Weir (Boerma, Weir, 2005).

Dokumen yang terkait

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN TERAPI RUMATAN METADON PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK

3 16 135

PENGALAMAN SPIRITUAL PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK (PENASUN) DENGAN HIV/AIDS DI YAYASAN LANTERA MINANGKABAU SUPPORT : STUDI FENOMENOLOGI.

0 0 13

(ABSTRAK) ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN TERAPI RUMATAN METADON PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK (PENASUN) (Studi di Puskesmas Manahan Kota Surakarta Tahun 2011).

0 0 3

PENGAN SPIRITUAL PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK (PENASUN) DENGAN HIV/AIDS DI YAYASAN LANTERA MINANGKABAU SUPPORT : STUDI FENOMENOLOGI - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Hiv Aids Pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Di Kota Medan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis Dan Perilaku (Stbp) 2011

0 0 17

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Hiv Aids Pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Di Kota Medan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis Dan Perilaku (Stbp) 2011

0 0 2

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Hiv Aids Pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Di Kota Medan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis Dan Perilaku (Stbp) 2011

0 0 10

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Hiv Aids Pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Di Kota Medan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis Dan Perilaku (Stbp) 2011

0 0 4

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi Hiv Aids Pada Pengguna Napza Suntik (Penasun) Di Kota Medan Analisis Data Surveilans Terpadu Biologis Dan Perilaku (Stbp) 2011 Appendix

0 0 46

Perilaku Pengguna Napza Suntik Penasun T

0 0 9