Penerapan Sumur Resapan Pada Perencanaan Drainase Wilayah Di Kecamatan Tarutung (Studi Kasus: Kawasan Permukiman Kelurahan Hutatoruan VII)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Sistem Drainase
Drainase berasal dari bahasa inggris yaitu drainage yang artinya

mengalirkan, menguras, membuang atau mengalihkan air. Dalam bidang Teknik
Sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis
untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan
maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi
kawasan/lahan tidak terganggu (Suripin, 2004).
Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian
bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air
dari suatu kawasan/lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Bangunan sistem drainase secara berurutan mulai dari hulu terdiri dari saluran
penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran
pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima
(receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti
gorong-gorong, jembatan-jembatan, talang dan saluran miring/got miring

(Suripin, 2004).
Sesuai dengan cara kerjanya, jenis saluran drainase buatan dapat
dibedakan menjadi:
a. Saluran Interceptor (Saluran Penerima)
Berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu
daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya dibangun dan
diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet dari saluran
ini biasanya terdapat di saluran collector atau conveyor atau langsung di natural
drainage/sungai alam.

Universitas Sumatera Utara

b. Saluran Collector (Saluran Pengumpul)
Berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase
yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran conveyor (pembawa).

c. Saluran Conveyor (Saluran Pembawa)
Berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi
pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui.
Menurut keberadaannya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan

menjadi 2, yaitu:
a. Natural Drainage (Drainase Alamiah)
Terbentuk melalui proses alamiah yang terbentuk sejak bertahun-tahun
mengikuti hukum alam yang berlaku. Dalam kenyataannya sistem ini berupa
sungai beserta anak-anak sungainya yang membentuk suatu jaringan alur aliran.
b. Artifical Drainage (Drainase Buatan)
Dibuat oleh manusia, dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan atau
melengkapi kekurangan-kekurangan sistem drainase alamiah dalam fungsinya
membuang kelebihan air yang mengganggu. Jika ditinjau dari sistem jaringan
drainase, kedua sistem tersebut harus merupakan kesatuan tinjauan yang berfungsi
secara bersama.
Menurut fungsinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi:
a. Single purpose, yaitu saluran hanya berfungsi mengalirkan satu jenis air
buangan saja.
b. Multi purpose, yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis air
buangan, baik secara tercampur maupun secara bergantian.

Menurut konstruksinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi:
a. Drainase saluran terbuka
Saluran drainase primer biasanya berupa saluran terbuka, baik berupa

saluran dari tanah, pasangan batu kali atau beton.
b. Drainase saluran tertutup
Pada kawasan perkotaan yang padat, saluran drainase biasanya berupa
saluran tertutup. Saluran dapat berupa buis beton yang dilengkapi dengan bak

Universitas Sumatera Utara

pengontrol, atau saluran pasangan batu kali/beton yang diberi plat tutup dari beton
bertulang. Karena tertutup, maka perubahan penampang saluran akibat
sedimentasi, sampah, dan lain-lain tidak dapat terlihat dengan mudah (Suripin,
2004).
Menurut konsepnya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu:
a. Drainase konvensional
Drainase konvensional adalah upaya membuang atau mengalirkan air
kelebihan secepatnya ke sungai terdekat. Dalam konsep drainase konvensional,
seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepatnya dibuang ke sungai
dan seterusnya mengalir ke laut. Jika hal ini dilakukan pada semua kawasan, akan
memunculkan berbagai masalah, baik di daerah hulu, tengah, maupun hilir.
Dampak dari pemakaian konsep drainase konvensional tersebut dapat kita

lihat sekarang ini, yaitu kekeringan yang terjadi di mana-mana, juga banjir,
longsor, dan pelumpuran. Kesalahan konsep drainase konvensional yang paling
pokok adalah filosofi membuang air genangan secepatnya ke sungai. Demikian
juga mengalirkan air secepatnya berarti menurunkan kesempatan bagi air untuk
meresap ke dalam tanah. Dengan demikian, cadangan air tanah akan berkurang,
kekeringan di musim kemarau akan terjadi. Sehingga banjir dan kekeringan
merupakan dua fenomena yang saling memperparah dan terjadi susul-menyusul.

b. Drainase Ramah Lingkungan
Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola air
kelebihan dengan cara sebanyak-banyaknya meresapkan air ke dalam tanah secara
alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai
sebelumnya. Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim
hujan harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke
sungai. Namun diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan
kandungan air tanah untuk cadangan pada musim kemarau. Beberapa metode
drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai diantaranya adalah metode kolam
konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder, dan metode
pengembangan areal perlindungan air tanah (ground water protection area).


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 River Side Polder, Kolam Konservasi, dan Drainase Resapan
Metode kolam konversi
Metode kolam konservasi dilakukan dengan membuat kolam-kolam air, baik
di perkotaan, permukiman, pertanian, atau perkebunan. Kolam konservasi ini
dibuat untuk menampung air hujan terlebih dahulu, diresapkan dan sisanya
dapat dialirkan ke sungai secara perlahan-lahan. Kolam konservasi dapat
dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah dengan topografi rendah, daerahdaerah bekas galian pasir atau galian material lainnya, atau secara ekstra
dibuat dengan menggali suatu areal atau bagian tertentu. Di samping itu,
kolam konservasi dapat dikembangkan menjadi bak-bak permanen air hujan,
khususnya di daerah-daerah dengan intensitas hujan yang rendah.
Metode sumur resapan
Metode sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara membuat
sumur- sumur untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap perumahan
atau kawasan tertentu (Dr Sunjoto, UGM). Sumur resapan ini juga dapat
dikembangkan pada areal olahraga dan wisata. Konstruksi dan kedalaman
sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Perlu

Universitas Sumatera Utara


dicatat bahwa sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air hujan, sehingga
masyarakat

harus

mendapatkan

pemahaman

mendetail

untuk

tidak

memasukkan air limbah rumah tangganya ke sumur resapan tersebut.
Metode river side polder
Metode river side polder adalah metode menahan aliran air dengan
mengelola/menahan air kelebihan (hujan) di sepanjang bantaran sungai.

Pembuatan polder pinggir sungai ini dilakukan dengan memperlebar bantaran
sungai di berbagai tempat secara selektif di sepanjang sungai. Lokasi polder
perlu dicari, sejauh mungkin polder yang dikembangkan mendekati kondisi
alamiah, dalam arti bukan polder dengan pintu-pintu hidraulik teknis dan
tanggul-tanggul lingkar hidraulis yang mahal. Pada saat muka air naik
(banjir), sebagian air akan mengalir ke polder dan akan keluar jika banjir
reda, sehingga banjir di bagian hilir dapat dikurangi dan konservasi air
terjaga. Upaya ini sedang dilakukan di Jepang dan Jerman secara besarbesaran, sebagai upaya menahan air untuk konservasi sungai musim kemarau
dan menghindari banjir serta meningkatkan daya dukung ekologi wilayah
keairan. Demikian juga dapat meningkatkan pasokan air sungai musim
kemarau untuk mendukung transportasi sungai atau pertanian.

Metode areal perlindungan air tanah
Metode areal perlindungan air tanah dilakukan dengan cara menetapkan
kawasan lindung untuk air tanah, di kawasan tersebut tidak boleh dibangun
bangunan apa pun. Areal tersebut dikhususkan untuk meresapkan air hujan ke
dalam tanah. Di berbagai kawasan perlu segera mungkin dicari tempat-tempat
yang cocok secara geologi dan ekologi sebagai areal untuk recharge dan
perlindungan air tanah sekaligus sebagai bagian penting dari komponen
drainase kawasan. Konsep drainase ramah lingkungan atau eko-drainase ini

perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Kesalahan pemahaman
masyarakat, dinas terkait, dan perguruan tinggi tentang filosofi konsep
drainase, yaitu membuang air secepat-cepatnya ke sungai, perlu segera
direvisi dan diluruskan secara serius. Perlu pembenahan dan revisi bangunan

Universitas Sumatera Utara

drainase permukiman, tempat olahraga dan rekreasi, pertanian dan
perkebunan dengan konsep drainase ramah lingkungan.

2.2

Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari

atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer dengan matahari sebagai wali utama
dalam proses tersebut. Komponen utama dalam siklus hidrologi adalah
kondensasi, presipitasi, infiltrasi, limpasan permukaan (run off), evaporasi, dan
transpirasi.


Gambar 2.2 Siklus Hidrologi

Untuk menjaga siklus hidrologi agar komponennya dapat bekerja
sebagaimana mestinya, maka perlu dipertahankan keseimbangan melalui proses
pengisian air hujan dengan meresapkannya ke dalam pori/rongga tanah, batuan
atau yang disebut dengan upaya konservasi air.
Prinsip dasar konservasi air adalah mencegah atau meminimalkan air yang
hilang sebagai aliran permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke
dalam tubuh bumi. Atas dasar prinsip ini maka curah hujan yang berlebihan pada
musim hujan tidak dibiarkan mengalir ke laut, melainkan ditampung dalam suatu
wadah yang memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah (groundwater
recharge) melalui pemanfaatan air hujan dengan cara membuat sumur resapan
maupun sumur biopori. Pada siklus hidrologi, posisi sumur resapan (Gambar 2.3)

Universitas Sumatera Utara

membantu proses infiltrasi/perkolasi guna mengurangi limpasan air hujan yang
berlebih pada permukaan tanah sehingga air hujan dapat bergerak secara vertikal
di bawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki sistem air tanah.


Gambar 2.3 Posisi Sumur Resapan dalam Siklus Hidrologi

2.3

Konsep Umum infiltrasi

2.3.1

Defenisi
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan)

masuk kedalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang
berasal dari infiltrasi ke tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah
rembesan (speege). Laju maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan
kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi
kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila
intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama
dengan laju curah hujan.
Laju infiltrasi umumnya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan
satuan intensitas curah hujan, yaitu millimeter per jam (mm/jam). Air infiltrasi

yang tidak kembali lagi ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi akan menjadi
air tanah untuk seterusnya mengalir ke sungai disekitar.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu proses yang berkaitan dengan distribusi air hujan yang jatuh ke
permukaan bumi adalah infiltrasi. Infiltrasi adalah proses masuk atau meresapnya
air dari atas permukaan tanah ke dalam bumi. Jika air hujan meresap ke dalam
tanah maka kadar lengas tanah meningkat hingga mencapai kapasitas lapang. Pada
kondisi kapasitas lapang air yang masuk menjadi perkolasi dan mengisi daerah
yang lebih rendah energi potensialnya sehingga mendorong terjadinya aliran
antara (interflow) dan aliran bawah permukaan lainnya (base flow). Air yang
berada pada lapisan air tanah jenuh dapat pula bergerak ke segala arah (ke
samping dan ke atas) dengan gaya kapiler atau dengan bantuan penyerapan oleh
tanaman melalui tudung akar.
Proses infiltrasi sangat ditentukan oleh waktu. Jumlah air yang masuk
kedalam tanah dalam suatu periode waktu disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi
pada suatu tempat akan semakin kecil seiring kejenuhan tanah oleh air. Pada saat
tertentu laju infiltrasi menjadi tetap. Nilai laju inilah yang kemudian disebut laju
perkolasi.
Ketika air hujan jatuh diatas permukaan tanah, tergantung pada kondisi
biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir
masuk kedalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air
hujan kedalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler
tanah. Di bawah pengaruh gaya gravitasi air hujan mengalir vertikal kedalam
tanah, sedangkan pada gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus
keatas, kebawah, dan kearah horizontal (lateral). Gaya kapiler bekerja nyata pada
tanah dengan pori-pori yang relative kecil.
Mekanisme

infiltrasi

melibatkan

3

proses

yang

tidak

saling

mempengaruhi:
a. proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah.
b. tertampungnya air hujan tersebut didalam tanah.
c. proses mengalirnya air tersebut ketempat lain (bawah, samping, dan atas).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi
Perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah baik secara vertikal

maupun secara horizontal disebut infiltrasi. Banyaknya air yang terinfiltrasi dalam
satuan waktu disebut laju infiltrasi. Besarnya laju infiltrasi f dinyatakan dalam
mm/jam atau mm/hari. Laju infiltrasi akan sama dengan intensitas hujan, bila laju
infiltrasi tersebut lebih kecil dari daya infiltrasinya. Jadi f ≤ fp dan f ≤ I (Soemarto,
1999).
Infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi
setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai
dengan kecepatan absorbsi setiap tanah. Pada tanah yang sama kapasitas
infiltrasinya berbeda-beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur
tanah, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Di samping intensitas curah hujan,
infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang
terdapat dalam tanah (Maryono, 2004).

Beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi laju infiltrasi
adalah sebagai berikut:
1. Tinggi genangan air di atas permukaan tanah dan tebal lapisan tanah yang
jenuh.
2. Kadar air atau lengas tanah
3. Pemadatan tanah oleh curah hujan
4. Penyumbatan pori tanah mikro oleh partikel tanah halus seperti bahan endapan
dari partikel liat
5. Pemadatan tanah oleh manusia dan hewan akibat traffic line oleh alat olah
6. Struktur tanah
7. Kondisi perakaran tumbuhan baik akar aktif maupun akar mati (bahan organik)
8. Proporsi udara yang terdapat dalam tanah
9. Topografi atau kemiringan lahan
10. Intensitas hujan
11. Kekasaran permukaan tanah
12. Kualitas air yang akan terinfiltrasi
13. Suhu udara tanah dan udara sekitar

Universitas Sumatera Utara

Apabila semua faktor-faktor di atas dikelompokkan, maka dapat
dikategorikan menjadi dua faktor utama yaitu:
1. Faktor yang mempengaruhi air untuk tinggal di suatu tempat sehingga air
mendapat kesempatan untuk terinfiltrasi (oppurtunity time).
2. Faktor yang mempengaruhi proses masuknya air ke dalam tanah.
Selain dari beberapa factor yang menentukan infiltrasi diatas terdapat pula
sifat-sifat khusus dari tanah yang menentukan dan membatasi kapasitas infiltrasi
(Arsyad, 1989) sebagai berikut:
a.

Ukuran pori
Laju masuknya hujan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh ukuran pori
dan susunan pori-pori besar. Pori yang demikian itu dinamakan pori aerasi,
oleh karena pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar yang
memungkinkan air keluar dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik.

b.

Kemantapan pori
Kapasitas infiltrasi hanya dapat terpelihara jika porositas semula tetap tidak
terganggu selama waktu tidak terjadi hujan.

c.

Kandungan air
Laju infiltrasi terbesar terjadi pada kandungan air yang rendah dan sedang.

d.

Profil tanah
Sifat bagian lapisan suatu profil tanah juga menentukan kecepatan masuknya
air ke dalam tanah. Ketika air hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka
proses infiltrasi tergantung pada kondisi biofisik permukaan tanah, sebagian
atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui
pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah
disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Oleh karena
itu, infiltrasi juga biasanya disebut sebagai aliran air yang masuk ke dalam
tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Laju air infiltrasi yang
dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori
tanah. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas lebih kecil
dibandingkan dengan tanah dalam keadaan kering (Asdak, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal kedalam tanah
melalui profil tanah. Dengan demikian, mekanisme infiltrasi melibatkan tiga
proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 2002):
a. Proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah.
b. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.
c. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas).
Pengukuran laju infiltrasi dapat dilakukan pada permukaan tanah, pada
kedalam tertentu, pada lahan kosong atau pada lahan bervegetasi. Walaupun
satuan infiltrasi serupa dengan konduktivitas hidraulik, terdapat perbedaan antara
keduanya. Hal itu tidak bisa secara langsung dikaitkan kecuali jika kondisi batas
hidraulik diketahui, seperti kemiringan hidraulik dan aliran air lateral atau jika
dapat diperkirakan. Laju infiltrasi memiliki kegunaan seperti studi pembuangan
limbah cair, evaluasi potensi lahan tanki septik, efisiensi pencucian dan drainase,
kebutuhan irigasi, penyebaran air dan imbuhan air tanah, dan kebocoran saluran
atau bendungan dan kegunaan lainnya (Kirkby, M.J., 1971).
Jumlah dan ukuran pori yang menentukan adalah jumlah pori-pori yang
berukuran besar. Makin banyak pori-pori besar maka kapasitas infiltrasi makin
besar pula. Atas dasar ukuran pori tersebut, liat kaya akan pori halus dan miskin
akan pori besar. Sebaliknya fraksi pasir banyak mengandung pori besar dan
sedikit pori halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi pada tanah-tanah pasir
jauh lebih besar daripada tanah liat.
Tanah-tanah yang bertekstur kasar menciptakan struktur tanah yang
ringan. Sebaliknya tanah-tanah yang terbentuk atau tersusun dari tekstur tanah
yang halus menyebabkan terbentuknya tanah-tanah yang bertekstur berat. Tanah
dengan struktur tanah yang berat mempunyai jumlah pori halus yang banyak dan
miskin akan pori besar. Sebaliknya tanah yang ringan mengandung banyak pori
besar dan sedikit pori halus. Dengan demikian kapasitas infiltrasi dari kedua jenis
tanah tanah tersebut akan berbeda pula, yaitu tanah yang berstruktur ringan
kapasitas infiltrasinya akan lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang
berstruktur berat (Saifuddin, 1986).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Boedi Susanto (2008), laju infiltrasi berbeda menurut jenis
tanahnya seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Tekstur Tanah dengan Kecepatan Infiltrasi

Sumber: Soesanto, 2008
Sifat transmisi lapisan tanah tergantung pada lapisan-lapisan dalam tanah.
Lapisan tanah dibedakan 4 horizon (Soesanto, 2008) :
1. Horizon A, yang teratas, sebagian bahan organik tanaman.
2. Horizon B, merupakan akumulasi dari bahan koloidal A, ketebalan
permeabilitas sangat menentukan laju infiltrasi.
3. Horizon C, kadang-kadang disebut sub soil, terbentuk dari pelapukan bahan
induk.
4. Horizon D, merupakan bahan induk (bed rock).

2.3.3

Perhitungan Infiltrasi dan Laju Infiltrasi
Penentuan besarnya infiltrasi dapat dilakukna dengan melalui tiga cara

yaitu:
1. Menentukan perbedaan volume air hujan buatan dengan volume air larian pada
percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan (metode simulasi
laboratorium).
2. Menggunakan alat ring infiltrometer (metode pengukuran lapangan).
3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan (metode separasi
hidrograf).
Singh (1989) menyajikan beberapa model infiltrasi yang telah diusulkan
dan digunakan pada kebanyakan analisa hidrologi dan hidraulik yang berkaitan

Universitas Sumatera Utara

dengan sistem keairan. Model - model tersebut dapat dikelompokkan ke dalam
dua kelas yakni: (1) model empiris, dan (2) model konseptual.
Model empiris menyatakan kapasitas infiltrasi sebagai fungsi waktu.
Dimana kadar lengas tanah memiliki sifat dinamis terhadap waktu, sehingga laju
infiltrasi ditentukan oleh kondisi lengas tanah mula-mula saat proses infiltrasi
mulai terjadi. Adapun model- model empiris infiltrasi diantaranya adalah Model
Kostiakov, Model Horton, Model Holtan dan Model Overton.
Dalam penelitian ini digunakan Model Horton, berikut adalah uraian dari
model tersebut:
Model Horton adalah salah satu model infiltrasi yang terkenal dalam hidrologi.
Horton

mengakui

bahwa kapasitas

infiltrasi

berkurang seiring dengan

bertambahnya waktu hingga mendekati nilai yang konstan. Ia menyatakan
pandangannya bahwa penurunan kapasitas infiltrasi lebih dikontrol oleh faktor
yang beroperasi di permukaan tanah dibanding dengan proses aliran di dalam
tanah. Faktor yang berperan untuk pengurangan laju infiltrasi seperti penutupan
retakan tanah oleh koloid tanah dan pembentukan kerak tanah, penghancuran
struktur permukaan lahan dan pengangkutan partikel halus dipermukaan tanah
oleh tetesan air hujan. Model Horton dapat dinyatakan secara matematis
mengikuti persamaan sebagai berikut:

f

fc

fo

fc)e kt ; i ≥ fc dan k = konstan

(2.1)

Keterangan:
f
fc
fo
k

= laju infiltrasi nyata (cm/h)
= laju infiltrasi tetap (cm/h)
= laju infiltrasi awal (cm/h)
= konstanta geofisik
Model ini sangat simpel dan lebih cocok untuk data percobaan. Kelemahan

utama dari model ini terletak pada penentuan parameternya f0, fc, dan k dan
ditentukan dengan data-fitting. Meskipun demikian dengan kemajuan sistem
komputer proses ini dapat dilakukan dengan program spreadsheet sederhana.
Rumus Horton diatas ditransposisikan sebagai berikut:

f t

fc

fo fc) e

kt

(2.2)

Kemudian persamaan (2.2) tersebut di log kan menjadi:

Log f t

fc

log fo fc

kt log e

Universitas Sumatera Utara

atau

Log f t
t

fc

log fo fc

1
log f t
k log e

fc

1
log f t
k log e

fc

kt log e
log fo fc

atau
t

1
log fo fc
k log e

(2.3)

Persamaan (2.3) diatas sama dengan persamaan Y = mx + C
dimana:
Y=t
m

(2.4)
1
k log e

x Log f t
C

1
Log f t
k log e

(2.5)

f c

(2.6)

f c

(2.7)

Dengan demikian persamaan ini dapat diwakilkan dalam sebuah garis lurus yang
mempunyai nilai m

1
. Bentuk dari persamaan garis lurus tersebut
k log e

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.4 Grafik Hubungan t dan Log (fo-fc)

Universitas Sumatera Utara

2.3.4

Pengukuran Infiltrasi
Infiltrasi dapat diukur dengan cara berikut :

a.

Dengan infiltrometer
Infiltrometer dalam bentuk yang paling sederhana terdiri atas tabung baja

yang ditekankan kedalam tanah. Permukaan tanah di dalam tabung diisi air.
Tinggi air dalam tabung akan menurun, karena proses infiltrasi. Kemudian
banyaknya air yang ditambahkan untuk mempertahankan tinggi air dalam tabung
tersebut harus diukur. Makin kecil diameter tabung makin besar gangguan akibat
aliran ke samping di bawah tabung. Dengan cara ini infiltrasinya dapat dihitung
dari banyaknya air yang ditambahkan kedalam tabung sebelah dalam per satuan
waktu.

Gambar 2.5 Infiltrometer

Universitas Sumatera Utara

b. Dengan testplot
Pengukuran infiltrasi dengan infiltrometer hanya dapat dilakukan terhadap
luasan yang kecil saja, sehingga sukar untuk mengambil kesimpulan terhadap
besarnya infiltrasi bagi daerah yang lebih luas.
Untuk mengatasi hal ini dipilih tanah datar yang dikelilingi tanggul dan
digenangi air. Daya infiltrasinya didapat dari banyaknya air yang ditambahkan
agar permukaannya konstan. Jadi testplot sebenarnya adalah infiltrometer yang
berskala besar.
c.

Lysimeter
Lysimeter merupakan alat pengukur berupa tangki beton yang ditanam dalam

tanah diisi tanah dan tanaman yang sama dengan sekelilingnya, dilengkapi dengan
fasilitas drainase dan pemberian air.
2.4

Koefisien Permeabilitas
Permeabilitas adalah tanah yang dapat menunjukkan kemampuan tanah

meloloskan air. Tanah dengan permeabilitas tinggi dapat menaikkan laju infiltrasi
sehingga menurunkan laju air larian. Pada ilmu tanah, permeabilitas didefenisikan
secara kualitatif sebagai pengurangan gas-gas, cairan-cairan atau penetrasi akar
tanaman atau lewat.
Koefisisen permeabilitas tanah tergantung pada beberapa factor, yaitu
kekentalan cairan, distribusi ukuran pori-pori, distribusi ukuran butir, angka pori,
kekasaran permukaan butiran tanah dan derajat kejenuhan tanah. Pada tanah
lempung, struktur tanah memgang peranan penting dalam menentukan koefisien
permeabilitas. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi sifat rembesan tanah
lempung adalah konsentrasi ion dan ketebalan lapisan air yang menempel pada
butiran lempung.
Harga koefisien permeabilitas (K) untuk tiap-tiap tanah berbeda-beda.
Beberapa koefisien permeabilitas diberikan segai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Harga Koefisien Permeabilitas pada Umumnya
k
Jenis Tanah
(cm/detik)
(ft/detik)
Kerikil bersih

1.00 - 100

2.00 - 200

Pasir kasar

1.00 – 0.01

2.00 – 0.02

Pasir halus

0.01 – 0.001

0.02 – 0.002

Lanau

0.001 – 0.00001

0.002 – 0.00002

Lempung

Kurang dari 0.000001

Kurang dari 0.000002

Sumber: Buku Mekanika Tanah Jilid I (Das, 1985)
Penentuan harga koefisien permeabilitas (k) suatu tanah didapat dari
pengujian laboratorium ataupun pengujian di lapangan. Untuk menentukan
koefisien permeabilitas di laboratorium dapat dilakukan dengan:
a)

Pengujian tinggi energi tetap (constant head permeability test)

b) Pengujian tinggi energi jatuh (falling head permeability test)
c)

Penelitian secara tidak langsung dari pengujian konsolidasi

d) Pengujian kapiler horizontal
Sedangkan untuk menentukan koefisien permeabilitas tanah di lapangan
dapat dilakukan dengan:
a)

Uji pemompaan (pumping test)

b) Uji perlokasi (auger hoole test)
Uji koefisien permeabilitas tanah di laboratorium, yaitu:
a) Constant Head Permeability Test
Percobaan ini dilakukan dengan pemberian tegangan tetap. Sampel tanah
yang dipakai adalah tanah yang memiliki daya rembes besar, misalnya pasir.
Untuk menentukan nilai k, kita langsung mengukur banyaknya air yang
masuk dan keluar dari tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6 Alat Constant Head Permeabilty Test
Setelah data-data hasil percobaan dicatat, kemudian koefisien rembesan
dihitung dengan turunan rumus:
Qmasuk Qkeluar

Qmasuk A V k A ki t
Qkeluar

kh A
L

T

Maka,
K

Q L
As h t

(2.8)

Dimana Q = Volume air yang dikumpulkan (cm3), As = Luas penampang
sampel tanah (cm2), t = Waktu (detik), dan h = i.(L)
b) Falling Head Permeability Test
Untuk percobaan ini, tegangan yang diberikan terhadap contoh tanah tidak
tetap. Sampel tanah yang dipakai adalah tanah yang daya rembesnya kecil,
misalnya lempung. Pada cara ini, air yang masuk ke sampel tanah melalui
pipa berdiamater kecil. Untuk menentukan nilai (k) dilakukan dengan
mengukur penurunan ketinggian air pada pipa tersebut sehinga tegangan air
tidak tetap.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7 Skema Proses Alat Falling Head Permeability
Jumlah air yang mengalir melalui contoh tanah pada waktu (t), yaitu:

Q

k h
Ls As

Debit masuk (Qi) = Debit keluar (Qo)

k h
A
L
dt
t

dt
0

maka,

dh
tinggi air berkurang
dt
a Ls
dh
As k
h
a

a Ls
As k

h2

1
dh
h
h1

t

a Ls
ln h1 h2
As k

t

a Ls
As k

t

2,303

k

a
As
a
2,303
As

h1
h2
log e

log

Ls
h1
log
k
h2
Ls
h1
log
t
h2

(2.9)

Universitas Sumatera Utara

Dimana:
K
a
L
A
t
h1
h2

2.5

= Koefisien permeabilitas tanah (cm/detik)
= Luas penampang pipa (cm2)
= Panjang sampel tanah (cm)
= Luas penampang sampel tanah (cm2)
= Interval penurunan h1 ke h2
= Ketinggian mula-mula air pada interval waktu tertentu (cm)
= Ketinggian akhir air pada interval waktu tertentu (cm)

Analisis Hidrologi
Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk air, kejadian dan

distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya, serta reaksinya terhadap kebutuhan
manusia. Pengumpulan data dan informasi, terutama data untuk perhitungan
hidrologi sangat diperlukan dalam analisa penentuan debit banjir rancangan yang
selanjutnya dipergunakan sebagai dasar rancangan suatu bangunan air. Semakin
banyak data yang terkumpul berarti semakin menghemat biaya dan waktu,
sehingga kegiatan analisis dapat berjalan lebih cepat, selain itu akan didapatkan
hasil perhitungan yang lebih akurat. Secara keseluruhan pengumpulan data
hidrologi ini dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan pengumpulan data dasar
dan pengujian (kalibrasi) data-data yang terkumpul.
2.5.1

Perhitungan Parameter Statistik
Parameter statistik yang digunakan untuk menentukan jenis distribusi data

adalah sebagai berikut:
1.

Harga/Nilai Rata-rata
Rumus:
n

Xi
X

1

n

(2.10)

Dimana:
Xi
n

= Curah hujan rata-rata (mm)
= Curah hujan ke-i (mm)
= Jumlah data

Universitas Sumatera Utara

2.

Standar Deviasi (Sd)
Rumus:

(Xi X)

Sd

2

(2.11)

n 1

Dimana:
Sd
Xi
n
3.

=
=
=
=

Standar deviasi
Curah hujan rat-rata (mm)
Curah hujan ke-i (mm)
Jumlah data

Koefisien Skewness (Cs)
Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat
ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi.
Rumus:
n

n
Cs

Xi X

3

i 1

n 1 n 2 Sd 3

(2.12)
Dimana:
Cs
Sd
Xi
n
4.

=
=
=
=
=

Koefisien Skewness
Standar deviasi
Curah hujan rat-rata (mm)
Curah hujan ke-i (mm)
Jumlah data

Koefisien Kurtosis (Ck)
Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari bentuk
kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.
Rumus:
n

n2
Ck

Xi X

4

i 1

n 1 n 2 n - 3 Sd 4

(2.13)

Universitas Sumatera Utara

Dimana:
Ck
Sd

=
=
=
=
=

Xi
n
5.

Koefisien Kurtosis
Standar deviasi
Curah hujan rat-rata (mm)
Curah hujan ke-i (mm)
Jumlah data

Koefisien Variasi (Cv)
Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara standar deviasi dengan
nilai rat-rata hitung suatu distribusi.
Rumus:

Cv

Sd
X

(2.14)

Dimana:
Cv
Sd

2.5.2

= Koefisien variasi
= Standar deviasi
= Curah hujan rat-rata (mm)

Penentuan Jenis Distribusi Data
Untuk menentukan jenis distribusi data, digunakan beberapa pendekatan

yang bertujuan agar jenis distribusi data yang dipilih sesuai dengan keadaan data
yang ada. Adapun beberapa pendekatan yang dilakukan, yaitu:
1.

Berdasarkan hasil perhitungan parameter statistik
Hasil perhitungan parameter statistik ditunjukkan oleh Tabel 2.3 sebagai

berikut:
Tabel 2.3 Hasil Perhitungan Parameter Statistik
No.

Jenis Distribusi

1

Normal

2

Log Normal

3

Gumbel Tipe I

4

Log Pearson Tipe III

Syarat
Cs ≈ 0 dan Ck ≈ 3
Cs ≈ 3Cv + Cv3 dan
Ck ≈ Cv8 + 6CV6 + 15CV4 + 16Cv2 + 3
Cs = 1,1396 dan Ck = 5,4002
Selain dari nilai di atas

Sumber: Buku Hidrologi Terapan (Triatmodjo, 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.

Berdasarkan plotting terhadap kertas probabilitas
Jenis distribusi data dapat diamati dari garis yang terbentuk oleh titik-titik
hasil plotting data pada kertas probabilitas. Apabila plotting titik-titik pada
kertas probabilitas tersebut mendekati garis lurus, berarti pemilihan
distribusinya semakin mendekati benar.

3.

Berdasarkan hasil uji keselarasan
Uji keselarasan dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi
peluang yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data
yang dianalisis. Ada 2 jenis keselarasan, yaitu uji keselarasan Chi Square dan
Smirnov Kolmogorov. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah nilai hasil
perhitungan yang diharapkan.
 Uji Keselarasan Chi Square
Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan
yang diharapkan pada pembagian kelas dan ditentukan terhadap jumlah
data pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut atau dengan
membandingkan nilai Chi Square (X2) dengan nilai Chi Square Kritis
(X2-Cr).
Rumus:

X2

n
i 1

Efi Ofi
Efi

2

(2.15)

Dimana: X2 = Harga Chi Square, Efi = Banyaknya frekuensi yang
diharapkan pada data ke-i, Ofi = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang
sama pada data ke-i, dan n = Jumlah data.
Prosedur perhitungan Chi Square adalah sebagai berikut:
a. Urutkan data pengamatan dari besar ke kecil
b. Hitunglah jumlah kelas yang ada (K) = 1 + 3,322 log n. Dalam
pembagian kelas disarankan agar setiap kelas terdapat minimal 3 buah
pengamatan.
c. Hitung nilai

Universitas Sumatera Utara

d. Hitung banyaknya Of = untuk masing-masing kelas.
e. Hitung nilai X2 untuk setiap kelas kemudian hitung nilai total X2, dari
tabel untuk derajat nyata tertentu yang sering diambil sebesar 5%
dengan parameter derajat kebebasan akan didapatkan X2Cr.
Rumus derajat kebebasan adalah:
(2.16)
Dimana DK = Derajat kebebasan, K = banyaknya kelas, dan R =
Banyaknya keterikatan (biasanya diambil R=2 untuk distribusi normal
dan binomial dan R=1 untuk distribusi Poisson dan Gumbel).
Jika nilai Chi Square (X2) < nilai Chi Square kritis (X2Cr), maka data
dapat menggunakan persamaan distribusi data sesuai dengan yang
diasumsikan pada uji Chi Square.
 Uji Keselarasan Smirnov Kolmogorov
Pengujian kecocokan sebaran dengan metode ini dilakukan dengan
membandingkan probabilitas untuk tiap variabel dari distribusi empiris
dan teoritis sehingga didapat perbedaan (Δ) tertentu. Perbedaan
maksimum yang dihitung (Δmaks) dibandingkan dengan perbedaan kritis
(ΔCr) untuk suatu derajat nyata dan banyaknya varian tertentu, maka
sebaran sesuai jika (Δmaks) < (ΔCr).
Rumus:
Δmaks = [P(X) – P(Xi)] < ΔCr(a;n)

(2.17)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4 Nilai Δ Kritis untuk Uji Keselarasan Smirnov Kolmogorof

Sumber: Soewarno, 1995
2.5.3

Curah Hujan Rencana
Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk memperkirakan

besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana
tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit
banjir rencana. Untuk memperkirakan curah hujan rencana dilakukan dengan
analisis frekuensi data hujan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam
menghitung analisis frekuensi data hujan, yaitu:
1.

Distribusi Normal (Cara Analitis)
Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi

Normal, dengan persamaan sebagai berikut :
XT = X + k.Sd

(2.18)

dengan :
XT

=

Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana
untuk Periode ulang T tahun.
n

Xi

X

=

Harga rata – rata dari data =

Sd

=

Standar Deviasi

1

n

(2.19)

Universitas Sumatera Utara

( Xi

=
k

=

X)

2

(2.20)

n 1
Variabel reduksi Gauss
Tabel 2.5 Nilai Variabel Reduksi Gauss (K)

Sumber: Buku Hidrologi Terapan (Harto, 1981)

2.

Distribusi Log Normal
Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log

Normal, dengan persamaan sebagai berikut :
Log X = LogX + k.SLog X

(2.21)

dengan :
Log X

=

LogX

=

SLogX

=
=

K

=

Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan
rancangan untuk periode ulang T tahun.
LogX
Harga rata – rata dari data =
(2.22)
n
Standar Deviasi

( LogX

LogX )

2

n 1
Variabel reduksi Gauss

(2.23)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.6 Faktor Frekuensi K untuk Distribusi Log Normal

Sumber: Soewarno, 1995
3.

Distribusi E. J. Gumbel Tipe I
Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode E.J. Gumbel,

dengan persamaan sebagai berikut :
XT = X + K.Sd

(2.24)

dengan :

XT

=

X

=

Sd

=

=
K

=

Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana
untuk Periode ulang T tahun.
Xi
Harga rata – rata dari data =
(2.25)
n
Standar Deviasi

( Xi

X)

2

(2.26)
n 1
Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang
(return period) dan tipe frekuensi.

Universitas Sumatera Utara

Untuk menghitung faktor frekuensi E.J. Gumbel mengambil harga :
K=

YT Yn
Sn

(2.27)

dengan :
YT
Yn
Sn

=
=
=

Reduced variate sebagai fungsi dari periode ulang T
Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (N)
Reduced standard deviation sebagai fungsi dari banyak data (N)

Tabel 2.7 Harga Reduced Variate pada Periode Ulang Hujan T Tahun

Sumber: Soemarto, 1999
Tabel 2.8 Reduced Mean (Yn)

Sumber: Soemarto, 1999

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.9 Standar Deviasi dari Reduksi Variasi (Sn)

Sumber: Soemarto, 1999
4.

Log Pearson Tipe III
Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode Log Pearson

Type III, dengan persamaan sebagai berikut :

Log X = LogX + Ktr. Slog X

(2.28)

dengan :
Log X

=

LogX

=
=

Slog X

=
=

Ktr

=

Cs

=

Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan
rancangan untuk periode ulang T-tahun.
Harga rata – rata dari data
LogX
(2.29)
n
Standar Deviasi

( LogX

LogX ) 2

n 1
Koefisien frekuensi, didapat berdasarkan hubungan
nilai Cs dengan periode ulang T tahun
koefisien kemencengan
3

n

n
=

(2.30)

LogX

LogX

1

n 1 n 2 SLogX 3

(2.31)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.10 Faktor Frekuensi K Distribusi Log Pearson Tipe III

Sumber: Soewarno, 1995

2.5.4

Analisis Intensitas Curah Hujan
Intensitas curah hujan adalah tinggi atau kedalaman hujan per satuan

waktu. Sifat umum hujan adalah semakin singkat hujan berlangsung, intensitasnya
cenderung semakin tinggi dan semakin tinggi serta semakin besar periode
ulangnya, maka semakin tinggi pula intensitasnya.
Intensitas curah hujan (I) menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka
pendek yang memberikan gambaran derasnya hujan per jam. Untuk mengubah
curah hujan menjadi intensitas curah hujan dapat digunakan 2 metode sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Metode Van Breen
Metode ini beranggapan bahwa besarnya atau lama durasi hujan harian adalah
berpusat selama 4 jam dengan hujan efektif sebesar 90% dari hujan selama 24
jam (Anonim dalam Melinda, 2007).
Rumus:

I

90% R 24
4

(2.32)

Dimana I = Intensitas hujan (mm/jam) dan R24 = Curah hujan harian
maksimum (mm/24 jam).
Berdasarkan rumus tersebut, maka dapat dibuat suatu kurva durasi
intensitas hujan. Dimana Van Breen mengambil bentuk kurva kota Jakarta
sebagai basis. Kurva basis tersebut memberikan kecenderungan bentuk kurva
untuk daerah-daerah lain di Indonesia pada umumnya. Berdasarkan kurva pola
Van Breen kota Jakarta, besarnya intensitas hujan dapat didekati dengan
persamaan:

54 RT 0.007 RT 2
t 0.31 RT

IT

(2.33)

Dimana: IT = Intensitas hujan (mm) pada PUH T, t = Durasi waktu hujan
(menit), dan RT = Curah hujan harian maksimum PUH T (mm/24 jam).
2. Metode Hasper Der Weduwen
Penurunan rumus diperoleh berdasarkan kecenderungan curah hujan harian
yang dikelompokkan atas dasar anggapan bahwa hujan mempunyai distribusi
yang simetris dengan durasi hujan (t) lebih kecil dari 1 jam dan durasi hujan
sampai 24 jam (Melinda, 2007).
Persamaan yang digunakan adalah:
Rt

Xt

R

1218 t 54
Xt 1 t 1272 t

(2.34)

11300 Rt
t 3.12 100

(2.35)

Setelah didapat nilai dari persamaan diatas, kemudian hitung intensitas curah
hujan dengan persamaan berikut:

Universitas Sumatera Utara

I

2.5.5

R
t

(2.36)

Analisis Penentuan Metode Perhitungan Intensitas Curah Hujan
Setelah kedua metode tersebut dilakukan, maka selanjutnya dilakukan

perhitungan penentuan/pendekatan intensitas hujan. Cara ini dimaksudkan untuk
menentukan persamaan intensitas yang paling mendekati untuk daerah
perencanaan. Metode yang digunakan adalah metode perhitungan dengan cara
kuadrat terkecil. Menurut Sosrodarsono (2003), ada 3 metode yang dapat
digunakan, yaitu:
1. Metode Sherman (1953), menjelaskan bahwa intensitas curah hujan (I)
sebagai berikut:

I
n

n

log i
Log a

i 1

log t
n

log t

2

b

log t

n

log t

n

i 1
n

log t
i 1

i 1

i 1

n

n

log t

2

n

i 1

i 1

n

log t log i
i 1

n

log i

(2.37)

n

2

i 1

n

a
tb

log t log i
i 1

2

2

n

log t
i 1

Dimana I = Intensiats curah hujan (mm/jam), t = Lamanya curah hujan (menit),
a,b = Konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah
aliran, dan n = Banyaknya pasangan data i dan t.
2. Metode Ishiguro (1905), menetukan intensitas curah hujan (I) sebagai berikut:

I

a
t

b

(2.38)

Universitas Sumatera Utara

n

n

i
a

n

j 1

i2. t

j 1

i
j 1

n

n

i

i

j 1

2

i2
j 1

b

j 1

n

n

i

j 1

n

n

n

i2

t

t

i2. t

n

j 1

j 1

n

2

n

n

i

2

i

j 1

j 1

3. Metode Talbot (1881), rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan
dimana tetapan-tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga yang diukur.
Untuk menentukan intensitas curah hujan (I) dapat digunakan rumus:

I
n

n

n

a

j 1

j 1

i 2 .t
j 1

n

n

i
j 1

n

n

i
b

j 1

2

i2
j 1

i t

i 2 .t

n

j 1

j 1

n

n

i
j 1

n

n

(2.39)

t b

n

i2

i t

a

2

n

i

2

j 1

i
j 1

Dimana I = Intensitas curah hujan (mm/jam), t = Lamanya curah hujan (menit),
a dan b = Konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di
daerah aliran, dan n = Banyaknya pasangan data i dan t.
Untuk pemilihan rumus intensitas curah hujan dari ketiga rumus di atas,
maka harus dicari selisih terkecil antara I asal dan I teoritis berdasarkan rumus di
atas. Persamaan intensitas dengan selisih terkecil itulah yang dipakai untuk
perhitungan debit.

Universitas Sumatera Utara

Kemudian dilakukan penggambaran kurva IDF yang dimaksud untuk
menggambarkan persamaan-persamaan intensitas curah hujan yang dapat
digunakan untuk perhitungan limpasan (run off) dengan rumus rasional dan
besarnya kemungkinan terjadinya intensitas hujan yang berlaku untuk lamanya
curah hujan sembarang.
2.6

Sumur Resapan

2.6.1

Pengertian
Di dalam studi ini dipilih sumur resapan, yang dapat diartikan sebagai

sumur gali yang berbentuk segi empat atau lingkaran, dengan ke dalaman tertentu.
Pada saat hujan, sumur resapan ini akan menampung air hujan yang jatuh di atap
bangunan rumah, di halaman maupun yang jatuh di jalan, dan meresapkannya
kembali ke dalam tanah.

Gambar 2.8 Konstruksi Sumur Resapan
2.6.2

Fungsi Sumur Resapan
Fungsi utama dari sumur resapan bagi kehidupan manusia antara lain

adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Pengendali Banjir
Bajir yang melanda beberapa kawasan perumahan/permukiman telah
berlangsung cukup lama, bahkan telah dianggap sebagai rutinitas yang terjadi
setiap tahun. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut dengan
membangun sumur resapan air pada setiap rumah dalam suatu kawasan
perumahan. Sumur resapan mampu memperkecil aliran permukaan sehingga
dapat menghindari terjadinya genangan aliran permukaan secara berlebihan
yang menyebabkan banjir. Banyaknya aliran permukaan yang dapat dikurangi
melalui sumur resapan tergantung pada volume dan jumlah sumur resapannya.
2. Konservasi Tanah
Fungsi lain dari sumur resapan adalah memperbaiki kondisi air tanah atau
mendangkalkan permukaan air sumur. Di sini diharapkan air hujan lebih
banyak yang diresapkan ke dalam tanah menjadi air cadangan dalam tanah. Air
yang tersimpan dalam tanah tersebut akan dapat dimanfaatkan melalui sumursumur atau mata air.
3. Menekan Laju Erosi
Dengan adanya penurunan aliran permukaan, maka laju erosi pun akan
menurun. Bila aliran permukaan menurun, tanah-tanah yang tergerus dan
terhanyut pun akan berkurang. Dampaknya, aliran permukaan air hujan
menjadi kecil dan erosi pun akan kecil. Dengan demikian, adanya sumur
resapan yang mampu menekan besarnya aliran permukaan akan dapat menekan
laju erosi.
2.6.3

Prinsip dan Teori Kerja Sumur Resapan
Prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan dan menampung air

hujan ke dalam lubang atau sumur air agar dapat memiliki waktu tinggal di
permukaan tanah lebih lama sehingga sedikit demi sedikit air dapat meresap ke
dalam tanah.

Universitas Sumatera Utara

Sebagaimana media yang secara langsung berhubungan dengan lapisan
tanah, dalam pengoperasiannya sumur resapan mengandalkan kemampuan tanah
dalam meresapkan air. Oleh karena itu perencanaan dimensi sumur resapan
berangkat dari sifat fisik tanah khususnya harus bertitik tolak pada keadaan daya
rembes tanahnya.
Semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah, maka akan banyak air
tanah yang tersimpan di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan
kembali melalui sumur-sumur atau mata air yang dapat dieksplorasikan setiap
saat.Jumlah aliran permukaan akan menurun karena adanya sumur resapan.
Pengaruh positifnya, bahaya banjir dapat dihindari karena terkumpulnya air
permukaan yang berlebihan di suatu tempat dapat dihindarkan. Menurunnya aliran
permukaan ini juga akan menurunkan tingkat erosi tanah.
Teori sumur resapan yang diajukan oleh Sunjoto (1989) dipandang oleh
beberapa ahli sebagai teori yang cukup sempurna. Debit resap oleh Sunjoto (1995)
dinyatakan dengan persamaan:
Qo

(2.40)

f kH

Dimana Qo = Debit resap (m3/detik), f = Faktor geometrik (m), k = Koefisien
permeabilitas tanah (m/detik), H = Kedalaman air di dalam sumur resapan (m).
Jika dikembalikan pada prinsip hidrolika air tanah, bahwa debit adalah:
Qo

kiA

(2.41)

Dimana Qo = Debit (m3/det), k = Koefisien permeabilitas tanah (m/det), i =
Gradien hidrolik Δ H / L dan A = Luas bidang resap (m2).
Pada persamaan (2.40) dapat ditinjau bahwa unsur fH adalah pengganti
unsur iA dalam persamaan (2.41). Dalam kasus peresapan di dalam sistem sumur,
maka tidak mudah menentukan gradien hidrolis i dan lus bidang resap A. Sebab
dimensi sumur resapan itu masih ditafsir. Unsur kedalaman H menjadi unsur
penentu sebab baik gradien hidrolis maupun luas bidang resap, keduanya
sekaligus akan terjadi manakala H telah ditetapkan. Di lain pihak pada sistem
sumur resapan, luas bidang resap A terbentuk oleh jari-jari R dan kedalaman H.
Jadi faktor geometrik f pada prakteknya adalah fungsi R dan H. Dengan demikian
Qo = k i A = k f H. Pada prakteknya faktor geometris (shape factor) f memerlikan
formulasi untuk kasus sumur resapan yang sama.

Universitas Sumatera Utara

Jika t1 adalah rentang waktu yang dibutuhkan untuk mengisi sampai
dengan penuh, maka waktu yang dibutuhkan untuk meresapkan adalah t2. Dengan
begitu maka akan terpenuhi syarat terjadinya persamaan keseimbangan di dalam
sumur resapan, yaitu:
Qi t

(2.42)

f k H t

Tetapi oleh karena tampungan dalam sumur harus penuh beru kemudian
terjadi peresapan, maka event t1 terjadi terlebih dahulu baru event t2, meskipun
besarnya t1 = t2.
Qi t1

(2.43)

f k H t2

Pada rentang waktu t2, yang mana roses resap Qo sedang berlangsung,
bersamaan dengan itu debit input Qi tetap mengisi tampungan untuk diresapkan
pada rentang waktu seterusunya secara berurutan. Demikian seterusnya Qi dan Qo
saling bekerja secara kontinyu selama rentang waktu t. Pada akhir durasi t, debit
masuk Qi telah berhenti mengisi tampungan dan debit resap Qo menghabiskan
sisa volume sumur resapan.
2.6.4

Komponen-komponen Proses Peresapan
Komponen-komponen dalam proses resapan adalah:

a.

Debit Masukan (Qi = Q)
Debit masukan adalah volume air yang mengalir masuk ke dalam sumur
resapan per satuan waktu. Apabila sumur resapan dimaksudkan sebagai
sarana drainase limpasan permukaan akibat hujan, maka debit masukan Qi
adalah debit limpasan permukaan dari suatu luasan tertentu. Jika sumur
resapan itu adalah sarana drainase bangunan tempat tinggal, maka debit
masukan Qi adalah berupa air yang terkumpul dari permukaan penutup atap.
Penentuan debit masukan Qi secara empirs yang bersifat praktis untuk luasan
yang relatif kecil sebagaimana rumah tinggal adalah menggunakan metode
rasional, dimana debit masuk ke sumur resapan (Qi) = debit banjir metode
rasional (Q). Rumus metode rasional untuk menghitung debit banjir pada
suatu kawasan tertentu akibat limpasan air hujan (Bedient dan Huber, 1988)
adalah:

Universitas Sumatera Utara

Q

(2.44)

Kc C I A

Dimana: Q = Debit banjir (cfs atau m3/detik), C = Koefisien pengaliran
permukaan, yang besarnya < 1, I = Intensitas hujan (in./hr atau mm/jam), A =
Luas bidang tangkapan hujan (ac atau ha) dan Kc = Faktor konversi (Kc =
0,00278, yaitu faktor konversi ha-mm/jam ke m3/detik).
Luasan bidang tangkapan hujan untuk bangunan tempat tinggal adalah berupa
luas atap yang diukur secara horizontal. Untuk koefisien pengaliran (C),
apabila tidak diukur langsung pada medan pengaliran yang dimaksud, maka
dapat digunakan perkiraan nilai koefisien (C) secara empiris berdasarkan
hasil penelitian yang dilampirkan pada Tabel 2.11 berikut.
Tabel 2.11 Nilai Koefisien Aliran Permukaan (C) untuk Berbagai Permukaan

Sumber: Maduto, Drainase Perkotaan Volume I, 1997
b. Durasi Debit Masukan (t)
Pemberian debit masukan ke dalam lubang sumur resapan memiliki durasi
tertentu selam t. Apabila sumur resapan sebagai saran drainase hujan pada

Universitas Sumatera Utara

tempat tinggal, biasanya mengambil t berupa waktu hujan yang dominan.
Dalam hal ini, Sunjoto (1995) memberikan batasan bahwa maksud dari durasi
dominan hujan adalah lamanya hujan yang paling sering terjadi. Paling akurat
datanya adalah yang didapatkan berdasarkan data Automatic Rainfall
Recorder (ARR). Keberadaan durasi (t) dalam perencanaan sumur resapan
akan mempengaruhi besar kecilnya dimensi sumur resapan, terutama dalam
hal berapa lama volume tampungan yang dibutuhkan serta kapan kondisi
water balance terjadi.
c.

Koefisien Permeabilitas Tanah
Proses pengisian air pada sumur resapan untuk mengalami peresapan
merupakan imbuhan buatan (artificial recharge). Oleh karena itu dalam
proses tersebut semata-mata karena pengaruh gravitasi bumi, maka sifat tanah
sebagai mendia peresap akan memiliki arti yang sangat penting. Dalam
kaitannya dengan masalah ini, maka sifat fisik tanah akan menjadi parameter
utama. Sifat fisik tanah untuk mengalirkan air dalam bentuk rembesan itu
ditunjukkan dengan koefisien permeabilitas.

d. Faktor Geometrik
Tiga unsur yakni bidang resap, volume tampungan, dan ketinggian air,
direncanakan secara bersamaan menjadi faktor geometrik sumur resapan. Jadi
faktor geometrik adalah koefisien dalam perencanaan dimensi sumur resapan
yang memperhitungkan kebutuhan akan bidang resap, gradien hidrolis, dan
volume tampungan air, berdasarkan bentuk, ukuran dan konstruksi sumur
resapan yang direncanakan.
2.6.5

Perencanan Dimensi Sumur Resapan
Dimensi sumur resapan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya

adalah sebagai berikut:
a) Tinggi muka air tanah
Dasar bangunan sumur resapan akan efektif apabil