Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) dan Non DSS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2013-2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam dengue adalah penyakit febris-virus akut, seringkali ditandai

dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leukopenia
sebagai gejalanya. DBD ditandai oleh empat manifestasi klinis utama: demam
tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan, pada kasus berat,
tanda-tanda kegagalan sirkulasi (WHO, 1997).
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus
dan memiliki 4 serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Infeksi terhadap salah satu serotipe tidak dapat memberikan imunitas silang
terhadap keempatnya, sehingga memungkinkan bagi penduduk yang berada di
daerah endemis terinfeksi oleh masing-masing keempat serotipe tersebut (Radji,
2015).
2.2

Definisi Dengue Shock Syndrome (DSS)
DSS merupakan kumpulan gejala DBD disertai terjadinya perembesan


cairan di luar pembuluh darah, pendarahan parah, dan syok yang mengakibatkan
tekanan darah sangat rendah, dan biasanya terjadi setelah 2-7 hari sesudah demam
terjadi (Soedarto, 2012).
2.2.1

Patogenesis Terjadinya DSS
Pada teori ADE (Antibody Dependent Enhancement), terjadi proses yang

meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklir. Dengan
terjadinya infeksi virus dengue, terbentuk mediator vasoaktif yang menyebabkan

8

Universitas Sumatera Utara

9

terjadinya permeabilitas pembuluh darah. Akibatnya terjadi hipovolemia dan syok
(Soedarto, 2012).

Sebagian besar ahli masih menganut The Secondary Heterologous
Infection Hypothesis atau The Sequential Infection Hypothesis , yaitu bahwa DBD

yang dialami seseorang setelah terinfeksi dengan virus dengue pertama kali
kemudian mendapat infeksi ulangan dengan tipe virus yang berlainan dalam
waktu 6 bulan-5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan The
Secondary Heterologous Infection Hypothesis dapat dilihat dari rumusan yang

dikemukakan oleh Suvatte (1997), yaitu akibat infeksi kedua oleh tipe virus yang
lain pada seorang penderita dengan kadar antibody antidengue yang rendah,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan poliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan
titer tinggi antibody IgG antidengue. Di samping itu, replikasi virus dengue terjadi
juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigenantibodi (virus antibodi kompleks) yang selanjutnya:
1. Akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding itu. Renjatan
yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia
jaringan, asidosis metabolik, dan berakhir dengan kematian.

2. Dengan terdapatnya kompleks virus-antibodi dalam sirkulai darah
mengakibatkan trombosit kehilangan fungsi agregasi dan mengalami

Universitas Sumatera Utara

10

metamorfosis, sehingga dimusnahkan oleh sistem RE dengan akibat terjadi
trombositopenia hebat dan perdarahan. Disamping itu, trombosit yang
mengalami metamorfosis akan melepaskan faktor trombosit 3 yang
mengaktivasi sistem koagulasi.
3. Akibat faktor Hageman (faktor XII) yang selanjutnya juga mengaktivasi
sistem koagulasi dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskuler yang
meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan berubah menjadi
plasmin yang berperan pada pembentukan anafilaktosin dan penghancuran
fibrin menjadi fibrin degradation product (FDP).
Disamping aktivasi, faktor XII akan menggiatkan juga sistem kinin yang
berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.
Menurunnya faktor koagulasi dan kerusakan hati akan menambah beratnya
perdarahan (Rampengan, 2007)

2.3

Etiologi
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat

serotipe virus dengue (disebut DEN-1, DEN-2, dst.) dapat dibedakan dengan
metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan
imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi
hanya menjadi perlindungan sementara dan parsial terhadap serotipe yang lain.
(Soedarto, 2007)
Virus-virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan
flavivirus lain, mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh
nukleokapsid ikosahedral dan terbungkus oleh selaput lipid. Virionnya

Universitas Sumatera Utara

11

mempunyai diameter kira-kira 50 nm. Genom flavivirus mempunyai panjang kirakira 11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal untuk mengisolasi
keempat serotipe, mengode nukleokapsid atau protein inti (C), protein yang

berkaitan dengan membran (M), dan protein pembungkus (E) dan tujuh protein
nonstruktural (NS). Domain-domain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi,
dan interaksi dengan reseptor virus berhubungan dengan protein pembungkus.
Urutan dari pengkodean protein adalah 5’-C-prM(M)-E-NS1-NS2A-NS2B-NS3NS4A-NS4B-NS5-3’ (WHO, 1997).
2.4

Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue merupakan penyakit yang sistemik dan dinamis yang

memiliki spektrum klinis yang luas yang mencakup dua manifestasi klinis yang
ringan dan berat. Setelah masa inkubasi, penyakit secara tiba-tiba mulai dan
diikuti oleh tiga tahap – demam, kritis, dan pemulihan (WHO, 2009)

Gambar 2.1 Perjalanan penyakit DBD (WHO,2009)

Universitas Sumatera Utara

12

2.4.1


Fase Demam
Penderita biasanya mengalami demam tinggi (39-410C) secara tiba-tiba.

Fase demam akut ini biasanya berlangsung 3-7 hari dan seringkali diikuti
kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri seluruh badan, nyeri otot, nyeri sendi,
dan sakit kepala. Sebagian penderita mungkin memiliki radang tenggorokan,
infeksi faring, dan konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah adalah hal biasa.
Pada manifestasi perdarahan ringan seperti petekia, dan perdarahan mukosa
membran (misalnya hidung dan gusi) sudah dapat dilihat.
2.4.2

Fase Kritis
Pada sekitar waktu penurunan suhu badan sampai suhu yang normal,

ketika suhu turun ke 37,5-380 C atau dibawahnya dan tetap di bawah level ini,
biasanya pada hari 3-6 dari sakit, peningkatan permeabilitas kapiler secara pararel
dengan meningkatnya tingkat hematokrit mungkin terjadi. Hal ini menandakan
awal dari fase kritis. Kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya
berlangsung selama 24-48 jam.

Syok terjadi ketika volume plasma berkurang akibat terjadinya kebocoran.
Hal ini seringkali dijadikan sebagai tanda bahaya. Suhu tubuh bisa dibawah
normal ketika syok terjadi. Syok yang berkepanjangan, mengakibatkan penurunan
fungsi organ, asidosis metabolik, dan penyebaran koagulasi intravaskuler. Hal ini
mengarah ke perdarahan parah dan menyebabkan hematokrit menurun menjadi
syok yang parah.
2.4.3

Fase Pemulihan
Jika penderita bertahan pada fase kritis 24-48jam, penyerapan dari cairan

Universitas Sumatera Utara

13

ekstravaskuler berangsur-angsur selama 48-72 jam. Umumnya penderita mulai
sembuh, nafsu makan kembali, masalah pencernaan berkurang, tekanan darah
stabil (Gubler et. al, 2014)
2.5


Klasifikasi Derajat Keparahan DBD

2.5.1

WHO (1997) mengklasifikasikan DBD menurut derajat keparahan yaitu:
Derajat I: Demam dengan gejala tidak jelas; manifestasi perdarahan hanya
dalam bentuk tourniquet positif dan atau mudah memar.

2.5.2

Derajat II: Manifestasi derajat I ditambah perdarahan spontan, biasanya
berupa perdarahan kulit atau perdarahan pada jaringan lainnya.

2.5.3

Derajat III: Kegagalan sirkulasi berupa nadi tekanan sempit dan lemah,
atau hipotensi, dengan gejala kulit dingin dan lembab dan penderita
gelisah.

2.5.4


Derajat IV: Terjadi gejala awal syok berupa tekanan darah rendah dan nadi
tidak dapat diukur.

2.6

Diagnosis
Diagnosis

DBD/DSS

ditegakkan

berdasarkan

kriteria

klinis

dan


laboratorium (WHO, 2011)
2.6.1

Kriteria Klinis
1.

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.

2.

Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie,
purpura,

ekimosis,

epistaksis,

perdarahan


gusi,

hematemesis,

dan/melena.

Universitas Sumatera Utara

14

3.

Pembesaran hati.

4.

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
(≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan
penderita tampak gelisah.

2.6.2

Kriteria Laboratorium
1. Trombositopenia (≤100.000//µL)
Trombositopenia adalah keadaan dimana trombosit dalam sirkulasi
jumlahnya dibawah normal (150.000-350.000//µL). Trombosit sangat
penting dalam proses pembekuan darah agar tidak terjadi perdarahan
yang berlebihan (Guyton dan Hall, 2007).
2. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥ 20%.
Hematokrit adalah nilai yang menunjukan persentase zat padat dalam
darah terhadap cairan darah. Dengan demikian, bila terjadi perembesan
cairan darah keluar dan pembuluh darah, sementara bagian padatnya
tetap dalam pembuluh darah, akan membuat persentase zat padat darah
terhadap cairannya naik sehingga kadar hematokritnya juga meningkat.
Peningkatan hematokrit disebut juga hemokonsentrasi (Hardjoeno H,
2007).

2.7.1

Epidemiologi

2.7.2

Distribusi menurut orang
Distribusi penderita DBD dengan DSS menurut orang banyak terjadi pada

jenis kelamin perempuan dan usia