Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) Yang Mengalami Dengue Shock Syndrome (DSS) Rawat Inap Di RSU DR. Pirngadi Medan Tahun 2008

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) YANG MENGALAMI DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS) RAWAT

INAP DI RSU DR.PIRNGADI MEDAN TAHUN 2008

SKRIPSI

Oleh :

ESSY MANDRIANI

NIM. 051000084

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

ABSTRAK

DSS adalah manifestasi yang serius dari DBD yang muncul pertama kali di

Bangkok, Thailand pada tahun 1950. Pada penderita DSS ditemukan tanda

kegagalan peredaran darah, kulit terasa lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut dan nadi menjadi cepat dan lembut.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain case series bertujuan mengetahui karakteristik penderita DBD yang mengalami DSS di RSU Dr.Pirngadi Medan tahun 2008.

Kecendrungan kunjungan penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan data perbulan tahun 2008 menunjukkan penurunan dengan persamaan garis

. Proporsi penderita tertinggi pada kelompok umur 10-14 tahun, dengan proporsi laki-laki 13,5% dan proporsi perempuan 12,5%, agama Islam 52,9%, pendidikan SD/SLTP 42,3%, pekerjaan Pelajar/Mahasiswa 52,9%, bukan rujukan 61,5%, keluhan Demam 100%, jumlah trombosit pada saat masuk RS 50.000-100.000/mm 8485 , 8 028 , 0 + − = x y 3

sebesar 45,2%, jumlah trombosit pada saat DBD

bermanifestasi menjadi DSS <50.000/mm3 sebesar 51,0%, persentase hematokrit

pada saat masuk RS <40% sebesar 63,5%, persentase hematokrit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS < 40 % sebesar 60,6%, penatalaksanaan medis cairan tunggal (ringer laktat) 89,4%, pulang atas permintaan sendiri 43,9%, lama rawatan rata-rata penderita 5 hari, lama rawatan rata-rata dari DBD menjadi DSS 2 hari.

Penderita yang pulang meninggal persentase hematokritnya pada saat masuk

RS ≥40% lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan penderita yang pulang

sembuh. (77,8 vs 32,6). Penderita yang pulang meninggal persentase hematokritnya

pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS ≥40% lebih tinggi secara bermakna

dibandingkan dengan penderita yang pulang sembuh.(77,8% vs 35,8%)

Bagi pihak rumah sakit sebaiknya meningkatkan pelayanan kesehatan bagi penderita DBD yang mengalami DSS khususnya dan memberikan informasi kepada penderita tentang bagaimana dan penanganan DBD agar tidak bermanifestasi menjadi DSS


(3)

ABSTRACK

Dengue Shock Syndrome (DSS) is the most severe manifestations in cases of dengue hemorrhagic fever (DHF) which initially found in Bangkok, Thailand. On DSS Patients, we can find severe vascular leakage, Cool clammy skins, blueness (circumal cyanosis) around the mouth, and weak rapid pulse.

This Descriptive observations, case-series study is conducted to identify the characteristics of DSS cases hospitalized at The Dr.Pirngadi General Hospital, Medan 2008.

The tendency of DHF cases which become DSS, according to monthly statistic in 2008, showed reducing with equality of line y=-0,028x + 8,8485, The highest proportion of DHF patients who suffered DSS is age group of 10-14 years. 13,5 percents are boys and 12,5 percent are girls, 52,9% patients are Muslim, 42,3% patients are only educated in Elementary-primary School,52,9% patients are Students, 61,5% patients are non secondary-health care’s patients,100% patients had fever,45,2% patients have platelet count at 50.000-100.000/mm3 and 63,5% patients have the hematocrit less than 40%, on their first day in hospital. Meanwhile, DHF patients who become DSS, have platelet count less than 50.000/mm3 is 51%, and have the hematocrit less than 40% is 60,6%, 89,4% patients got Ringer's lactate treatment,43,9% patients returned to home on their own requests, the average lengths of treatment from DHF patients who become DSS are 5 days and the average lengths of treatment from DHF symptoms to DSS symptoms are 2 days.

The percentage of dead-DHF patients is significantly higher than the percentage of recovering-DHF patients based on the hematocrit more than 40% on first day in hospital. (77,8% vs 32,6%) The percentage of dead-DHF patients is also significantly higher than the percentage of recovering-DHF patients based on the hematocrit more than 40% on DHF cases which become DSS. (77,8% vs 35,8%).

For Hospital, it is suggested to increase its medical services for Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) patients who particularly suffer from Dengue Shock Syndrome (DSS) and give information to patients about the way to prevent DHF becoming DSS. For Medical record department, is expected to completely fulfill patient’s records on medical record.

Key Words : DHF cases which become DSS, patients’ characteristics, RSUD Dr.Pirngadi


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : ESSY MANDRIANI

Tempat/Tanggal Lahir : Tg.Gading, 27 Desember 1987 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin Jumlah Anggota Keluarga : 6 orang

Alamat Rumah : Jln. Sepak Bola No 1 Lubuk Buaya, Padang Riwayat Pendidikan :

1. 1993-1999 : SD Negeri 016396 Asahan 2. 1999-2002 : SMP Negeri 2 Asahan

3. 2002-2005 : SMA Negeri 1 Tebing Tinggi

4. 2005-2009 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang Mengalami Dengue Shock Syndrome (DSS) Rawat Inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Yurizal Jamal dan Ibunda Yasnita yang telah membesarkan, membimbing, dan mendidik penulis dengan kasih sayang serta memberikan dukungan dan do’a kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

Terima kasih kepada Dosen Pembimbing I Bapak Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH dan Dosen Pembimbing II Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes serta Dosen Pembanding I Ibu Prof. dr. Nerseri Barus, MPH serta Dosen Pembanding II Bapak Drs. Jemadi M.Kes yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberi saran, kritikan dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(6)

3. Bapak Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik. 4. Ibu Direktur dan Bapak Wakil Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

5. Seluruh staff Komite Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Teknologi Kesehatan dan seluruh staff Rekam Medik RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah mempermudah administrasi penulis selama melakukan penelitian.

6. Seluruh Dosen dan Pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh keluarga yang penulis sayangi: Ayahanda Yurizal Jamal dan Ibunda Yasnita, Kakanda Emil Martha Yumichi, Kakanda Eka Gustianti dan Adinda Willy Suryawan yang sudah begitu bijak memahami penulis apa adanya.

8. Sahabat-sahabatku tersayang, Cut Hesty Maulina, Nurhalisah Harahap, dan Desmond Handika terima kasih atas persahabatan, doa, bantuan dan semangatnya kepada penulis.

9. Teman-teman peminatan Epidemiologi 05 (Ninna, Arien, Vina, Nita Ike, Yunni, Siska, Dewi, Ayu, Melinda, Nita, Citra, Christin, , Maria, Erna dan masih banyak yang lain) atas semangat dan kebersamaannya dalam meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.


(7)

Semoga Alllah SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Amin…

Medan, Mei 2009 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... iia ABSTRACT ... iib DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.3 Manfaat Penulisan... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Defenisi DBD dan DSS... 8

2.2. Infectious Agent ... 8

2.3. Gejala Klinik ... 9

2.3.1. Demam Dengue... 9

2.3.2. Demam Berdarah Dengue ... 10

2.3.3. Dengue Shock Syndrome... 11

2.4. Diagnosa... 12

2.5. Patogenisis DSS ... 14

2.6. Epidemiologi DSS... 15

2.6.1. Distribusi Penyakit ... 15

2.6.2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kejadian DSS... 18

2.7. Pencegahan... 19

2.7.1. Pencegahan Primer... 19

2.7.2. Pencegahan Sekunder... 25

2.7.3. Pencegahan Tertier... 26

BAB 3 KERANGKA KONSEP ... 27

3.1. Kerangka Konsep ... 27

3.2. Defenisi Operasional... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN... 34

4.1. Jenis Penelitian... 34

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

4.2.1. Lokasi Penelitian... 34


(9)

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 34

4.3.1. Populasi Penelitian ... 34

4.3.2. Sampel Penelitian... 35

4.4. Pengumpulan Data ... 35

4.5. Analisa Data ... 35

BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 36

5.1. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Bulan ... 36

5.2. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Sosiodemografi ... 37

5.3. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Asal Rujukan... 39

5.4. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Derajat Keparahan pada saat masuk RS... 39

5.5. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Keluhan ... 40

5.6. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Jumlah Trombosit... 41

5.6.1. Jumlah Trombosit Pada Saat Masuk RS ... 41

5.6.2. Jumlah Trombosit Pada Saat DBD bermanifestasi Menjadi DSS ... 42

5.7. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Persentase Hematokrit... 42

5.7.1. Persentase Hematokrit Pada Saat Masuk RS ... 42

5.7.2. Persentase Hematokrit Pada Saat DBD bermanifestasi Menjadi DSS ... 43

5.8. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Penatalaksanaan Medis. ... 44

5.9. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DBD yang mengalami DSS. ... 44

5.10. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang... 45

5.11. Analisis Statistik ... 50

5.11.1. Jumlah Trombosit Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang... 50

5.11.2. Persentase Hematokrit Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang... 52

5.11.3. Umur Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang... 54

5.11.4. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Derajat Keparahan Pada Saat Masuk RS ... 54


(10)

BAB 6 PEMBAHASAN ... 57

6.1. Distribusi Frekuensi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Bulan ... 57

6.2. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Sosiodemografi ... 58

6.2.1. Umur dan Jenis Kelamin... 58

6.2.2. Suku ... 59

6.2.3. Agama ... 60

6.2.4. Pendidikan... 61

6.2.5. Pekerjaan ... 62

6.3. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Asal Rujukan... 63

6.4. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Derajat Keparahan pada saat masuk RS... 64

6.5. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Keluhan ... 65

6.6. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Jumlah Trombosit... 67

6.7. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Persentase Hematokrit... 68

6.8. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Penatalaksanaan Medis. ... 69

6.9. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DBD yang mengalami DSS. ... 70

6.10. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang... 71

6.11. Analisis Statistik ... 73

6.11.1. Jumlah Trombosit Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang... 73

6.11.2. Persentase Hematokrit Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang... 75

6.11.3. Umur Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang... 78

6.11.4. Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan Derajat Keparahan Pada Saat Masuk RS ... 79

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ... 82

7.2. Saran... 84


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Bulan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 36 Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUD Dr. Pirngadi

Medan Tahun 2008 ... 37 Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Sosiodemografi di RSUD Dr. Pirngadi Tahun 2008... 38 Tabel 5.4. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Asal Rujukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun

2008... 39 Tabel 5.5. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Derajat Keparahan Pada Saat Masuk RS di RSUD Dr.

Pirngadi Medan Tahun 2008... 40 Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Keluhan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 41 Tabel 5.7. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Jumlah Trombosit Pada Saat Masuk RS di RSUD Dr.

Pirngadi Medan Tahun 2008... 42 Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Jumlah Trombosit Pada Saat DBD Bermanifestasi

Menjadi DSS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 42 Tabel 5. 9. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Persentase Hematokrit Pada Saat Masuk RS di RSUD

Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008... 43 Tabel 5. 10. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Persentase Hematokrit Pada Saat DBD Bermanifestasi Menjadi DSS di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun

2008... 44 Tabel 5.11 Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUD Dr. Pirngadi Medan


(12)

Tabel 5.12. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DBD yang mengalami DSS di

RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 45 Tabel 5.13. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DBD yang mengalami DSS di

RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 45 Tabel 5.14. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Lama Rawatan dari DBD Menjadi DSS di RSUD Dr.

Pirngadi Medan Tahun 2008... 46 Tabel 5.15. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi

Medan Tahun 2008 ... 47 Tabel 5.16. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat

Inap yang Meninggal Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di

RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 48 Tabel 5.17. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat

Inap yang Meninggal Berdasarkan Karakteristik Penderita di

RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 48 Tabel 5.18. Distribusi Proporsi Jumlah Trombosit Penderita DBD yang

mengalami DSS Pada Saat Masuk RS Berdasarkan Keadaan

Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 51 Tabel 5. 19. Distribusi Proporsi Jumlah Trombosit Penderita DBD yang

mengalami DSS Pada Saat DBD Bermanifestasi Menjadi DSS Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi

Medan Tahun 2008 ... 52 Tabel 5. 20. Distribusi Proporsi Persentase Hemtaokrit Penderita DBD yang

mengalami DSS Pada Saat Masuk RS Berdasarkan Keadaan

Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 53 Tabel 5. 21. Distribusi Proporsi Persentase Hematokrit Penderita DBD yang

mengalami DSS Pada Saat DBD Bermanifestasi Menjadi DSS Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi

Medan Tahun 2008 ... 54 Tabel 5. 22. Distribusi Proporsi Umur Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSUD Dr. Pirngadi


(13)

Tabel 5.23. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Derajat Keparahan Pada Saat Masuk RS di RSUD Dr.

Pirngadi Tahun 2008 ... 56 Tabel 5.24. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DBD yang mengalami DSS

dari DBD menjadi DSS Berdasarkan Derajat Keparahan Pada Saat


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 6.1. Diagram Batang Jumlah Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Bulan di RSUD Dr. Pirngadi MedanTahun

2008... 58 Gambar 6.2. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSU Dr. Pirngadi

Medan Tahun 2008 ... 59 Gambar 6.3. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Suku di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008... 61 Gambar 6.4. Diagram Pie Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Agam di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008 ... 62 Gambar 6.5. Diagram Pie Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Pendidikan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun

2008... 63 Gambar 6.6. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Pekerjaan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun

2008... 64 Gambar 6.7. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Asal Rujukan di RSU Dr. Pirngadi Medan

Tahun 2008 ... 65 Gambar 6.8. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Derajat Keparahan Pada Saat Masuk RS di RSU

Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008... 66 Gambar 6.9. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Keluhan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun

2008... 67 Gambar 6.10. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Jumlah Trombosit di RSU Dr. Pirngadi Medan

Tahun 2008 ... 68 Gambar 6.11. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS

Berdasarkan Persentase Hematokrit di RSU Dr. Pirngadi


(15)

Gambar 6.12. Diagram Pie Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSU Dr. Pirngadi

Medan Tahun 2008 ... 70

Gambar 6.13. Diagram Batang Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Lama Rawatan dari DBD menjadi DSS di RSU

Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008... 73

Gambar 6.14. Diagram Pie Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di RSU Dr. Pirngadi

Medan Tahun 2008 ... 74 Gambar 6.15. Diagram Batang Jumlah Trombosit Pada Saat Masuk RS

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita DBD yang

mengalami DSS di RSU Dr. Pirngadi Mdan Tahun 2008 ... 75 Gambar 6.16. Diagram Batang Jumlah Trombosit Pada Saat DBD

bermanifestasi menjadi DSS Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita DBD yang mengalami DSS di RSU Dr.

Pirngadi Mdan Tahun 2008... 76 Gambar 6.17. Diagram Batang Persentase Hematokrit Pada Saat Masuk RS

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita DBD yang

mengalami DSS di RSU Dr. Pirngadi Mdan Tahun 2008 ... 77 Gambar 6.18. Diagram Batang Persentase Hematokrit Pada Saat DBD

bermanifestasi menjadi DSS Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang Penderita DBD yang mengalami DSS di RSU Dr.

Pirngadi Mdan Tahun 2008... 79 Gambar 6.19. Diagram Batamg Umur Berdasarkan Keadaan Sewaktu

Pulang Penderita DBD yang mengalami DSS di RSU Dr.

Pirngadi Mdan Tahun 2008... 80 Gambar 6.20. Diagram Batang Lama Rawatan Rata-Rata Berdasarkan

Derajat Keparahan pada saat masuk RS di RSU Dr. Pirngadi

Medan Tahun 2008 ... 81 Gambar 6.21. Diagram Batang Lama Rawatan Rata-Rata dari DBD

Menjadi DSS Berdasarkan Derajat Keparahan pada saat


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Master Data... 1

Lampiran 2. Output Master Data... 5

Lampiran 3.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Lebih dari Satu Keluhan... 19

Lampiran 4.Surat Penelitian dari FKM USU... 21

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian dari RSUD. Dr. Pirngadi Medan... 22


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat menjangkau kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia.1

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas maka salah satu pokok program pembangunan kesehatan adalah untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan dari penyakit menular dan mencegah penyebaran serta mengurangi dampak sosial akibat penyakit, sehingga tidak menjadi masalah kesehatan. 2

Upaya kesehatan yang semula di titik beratkan pada upaya penyembuhan penderita berangsur-angsur berkembang ke arah upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat. 3

Salah satu upaya yang dilakukan adalah Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan menjadi masalah nasional. Penyakit ini dapat berkembang sangat cepat dan dapat menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa (KLB) serta dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya dan sampai saat ini belum ditemukan obat atau vaksin bagi pengobatan penyakit DBD. 4


(18)

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.5 Dari 250.000 sampai 500.000 kasus DBD, terutama pada anak-anak, yang dilaporkan WHO setiap tahun dengan Case Fatality Rate (CFR) mencapai 1%-5%.6

Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah manifestasi yang serius dari DBD

yang muncul pertama kali di Bangkok, Thailand pada tahun 1950.6 Pada penderita DSS ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit terasa lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut dan nadi menjadi cepat dan lembut. 5

Sistem surveillance Dengue di Nicaragua pada bulan Juli hingga Desember 1998 mengambil sampel dari beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan (Health

Center) yang terdapat pada berbagai lokasi menghasilkan temuan 87% DF (Dengue

Fever), 7% DHF (Dengue Haemorragic Fever), 3% DSS, 3% DSAS (Dengue with

Signs Associated with Shock). Jenis virus 3 paling dominan dan jenis virus Den-2 paling sedikit.7

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Heng di Rumah Sakit Umum di Singapura tahun 1992 dari 279 kasus DBD terdapat 6 kasus DSS (2,15%) dengan 3 diantaranya meninggal (CFR 50%) 8

Penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, jumlah kasus 58 orang dengan 24 orang meninggal dengan CFR 41,38%, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit DBD.9


(19)

Walaupun CFR penderita DBD di Indonesia secara nasional menurun dari 41,4% pada tahun 1968 (saat pertama kali penyakit ini dicurigai) menjadi 4.0% pada tahun 1980, namun angka kematian penderita DBD yang disertai renjatan (DSS) tetap tinggi. 10

Penelitian yang dilakukan oleh Samsi , dkk di RS Sumber Waras, Jakarta Barat pada tahun 1987-1988 menunjukkan dari 151 kasus DBD dengan CFR 1,8%, proporsi penderita DSS sebesar 15 %. Dari penelitian yang dilakukan oleh Chairulfatah, dkk di RS Hasan Sadikin Bandung tahun 1991-1993 menunjukkan dari 128 kasus DBD dengan CFR 0,7%, proporsi penderita DSS adalah 19%. 11

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hadinegoro, dkk di RS Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta dari Januari-Juni 1998, dari 188 kasus DSS, 63,2% dapat disembuhkan sedangkan 36,8% meninggal dunia. 12

Dari penelitian yang dilakukan oleh Soegeng Soegijanto di RSUD Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 2000, terlihat bahwa CFR penderita DBD yang telah memasuki tahap DSS menurun dari 1,3% pada tahun 1998 menjadi 1,15% pada tahun 1999. Hal ini sebagai dampak pelatihan dan penyuluhan WHO dan Depkes yang diberikan kepada tenaga kesehatan tahun 1997 sampai sekarang.13

Di Propinsi Sumatera Utara Kasus DBD selalu terjadi setiap tahun. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak 3.723 kasus dengan CFR 1,80%, pada tahun 2006 sebanyak 2.165 kasus dengan CFR 1,60%, dan pada tahun 2007 sebanyak 4.231 kasus dengan CFR 0,86%. Dari data tersebut dapat terlihat penurunan CFR setiap tahunnya dari tahun 2005-2007.14


(20)

Di Kota Medan jumlah kasus DBD mengalami penurunan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak 1.957 kasus dengan CFR 1,77%, tahun 2006 sebanyak 1.391 kasus dengan CFR 1,09%, tahun 2007 sebanyak 1.941 kasus dengan 0,73%.14

Dari penelitian yang dilakukan oleh Munar Lubis di RSUP H.Adam Malik Medan proporsi penderita DSS 7,9% dari jumlah DBD, dengan proporsi yang sembuh 64,7% dan CFR 35,3 %. 15

Menurut hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Dr.Pirngadi Medan diketahui jumlah penderita DSS tahun 2006 sebanyak 201 orang dari 1.272 penderita DBD dengan proporsi 15,8%, jumlah penderita DSS tahun 2007 sebanyak 246 orang dari 1.419 penderita DBD dengan proporsi 17,3%, dan jumlah penderita DSS tahun 2008 sebanyak 104 orang dari 780 penderita DBD dengan proporsi 25,42%. Dari data ini dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan proporsi penderita DSS dari penderita DBD di Rumah Sakit ini dari tahun 2006-2008.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik DBD yang mengalami DSS rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008.

1.2. Perumusan Masalah

Belum diketahui karakteristik penderita DBD yang mengalami DSS rawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2008.


(21)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui karakteristik penderita DBD yang mengalami DSS yang dirawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008.

1.3.2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui trend kunjungan penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan data per bulan tahun 2008.

b. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 berdasarkan sosiodemografi (umur dan jenis kelamin, suku, agama, pendidikan dan pekerjaan).

c. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 menurut asal rujukan.

d. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 menurut derajat keparahan DBD pada saat masuk Rumah Sakit (RS).

e. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 menurut keluhan utama.

f. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 menurut jumlah trombosit.

g. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 menurut persentase hematokrit.

h. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 menurut tindakan pengobatan.


(22)

i. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008.

j. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata penderita dari DBD menjadi DSS tahun 2008.

k. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 menurut lama rawatan dari DBD menjadi DSS.

l. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita DBD yang mengalami DSS tahun 2008 menurut keadaan sewaktu pulang.

m. Untuk mengetahui perbedaan distribusi proporsi jumlah trombosit pada saat masuk RS berdasarkan keadaan sewaktu pulang.

n. Untuk mengetahui perbedaan distribusi proporsi jumlah trombosit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS berdasarkan keadaan sewaktu pulang.

o. Untuk mengetahui perbedaan distribusi proporsi persentase hematokrit pada saat masuk RS berdasarkan keadaan sewaktu pulang.

p. Untuk mengetahui perbedaan distribusi proporsi persentase hematokrit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS berdasarkan keadaan sewaktu pulang.

q. Untuk mengetahui perbedaan proporsi umur penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan keadaan sewaktu pulang

r. Untuk mengetahui perbedaan lama rawatan rata-rata berdasarkan derajat keparahan DBD pada saat masuk RS.


(23)

s. Untuk mengetahui perbedaan lama rawatan rata-rata dari DBD menjadi DSS berdasarkan derajat keparahan pada saat masuk RS.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUD Dr.Pirngadi Medan sehingga dapat meningkatkan perencanaan program pelayanan kesehatan dalam penyediaan fasilitas perawatan bagi penderita DSS.

1.4.2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini dan bahan referensi bagi perpustakaan FKM USU Medan.

1.4.3. Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis khususnya serta pihak lain tentang penyakit DBD dengan DSS dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi DBD dan DSS

DBD adalah suatu penyakit menular yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa/wabah yang disebabkan oleh virus dengue terutama menyerang anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan (shock) dan kematian.16

DSS adalah salah satu manifestasi klinik DBD yang menunjukkan tanda kegawatan, berwujud gangguan sirkulasi di pembuluh darah perifer sebagai akibat kebocoran plasma dengan ditandai tensi yang menurun sampai nol dan denyut nadi yang cepat, lemah sampai tidak teraba.17

2.2. Infectious Agent

Penyakit DBD pada seseorang dapat disebabkan oleh virus Dengue termasuk famili Flaviviridae dan harus dibedakan dengan demam yang disebabkan virus

Japanese Encephalitis dan Yellow Fever (demam kuning).18 Virus dengue sampai

sekarang dikenal ada 4 type (type 1, 2, 3 dan 4) yang termasuk dalam group B

Arthropod borne viruses (Arboviruses). Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.19 Hasil Penelitian menunjukkan bahwa virus dengue

type 3 merupakan serotype virus dominan yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal.20


(25)

Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan mungkin juga Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir diseluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan air laut. 19

2.3. Gejala Klinik

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue fever, dengue haemorrhagic fever dan dengue shock syndrom; yang terakhir dengan mortalitas tinggi yang disebabkan renjatan dan pendarahan hebat.21 2.3.1. Demam Dengue

Masa tunas berkisar antara 3-15 hari, pada umumnya 5-8 hari. Permulaan penyakit biasanya mendadak. Gejala prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, menggigil dan malaise. Pada umumnya ditemukan sindrom trias, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan timbulnya ruam. Ruam biasanya timbul 5-12 jam sebelum naiknya suhu pertama kali, yaitu pada hari ketiga sampai hari kelima dan biasanya berlangsung 3-4 hari. Ruam mula-mula dilihat di dada, tubuh serta abdomen dan menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Pada lebih dari separuh penderita gejala klinis timbul dengan mendadak, disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung, otot dan sendi disertai rasa menggigil.21


(26)

Pada beberapa penderita dapat dilihat kurve yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian sebelumnya bentuk kurve ini tidak ditemukan pada semua penderita sehingga tidak dianggap patognomonik. Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan; disamping itu perasaan tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dini penyakit sering timbul perubahan dalam indra pengecap. 21

Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Lama demam berkisar diantara 3-9 dan 4-8 hari. Kelenjar getah bening servikal dilaporkan membesar pada penderita; beberapa sarjana menyebutnya sebagai tanda Castelani, sangat patognomonik dan merupakan patokan berguna untuk membuat diagnosis banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. 21

2.3.2. Demam Berdarah Dengue

Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan empat manifestasi klinis yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredarahan darah. 21

Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi,mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium


(27)

dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.22

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit dan membedakan demam berdarah dengue dari demam berdarah adalah meningginya permeabilitas kapiler pembuluh darah, menurunnya volume plasma, hipotensi, trombositopeni dan diatesis hemoragik. 21

Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami shock. 22

2.3.3. Dengue Shock Syndrome

Disfungsi sirkulasi pada DBD, dengue shock syndrom, biasanya terjadi sesudah hari 2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi plasma leakage, efusi cairan ke rongga intersisial sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. Gangguan perfusi ginjal ditandai oleh oliguria atau anuria dan gangguan perfusi susunan syaraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran. 21

Pada fase awal DSS fungsi organ vital dipertahankan dari hipovolemia oleh sistem hemostatis dalam bentuk; takikardia, vasokonstriksi, penguatan kontraktilitas miokard, takipnea, hiperpnea, dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer mengurangi perfusi non-essensial di kulit dan menyebabkan sianosis, penurunan suhu tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler (>5 detik). Perbedaan suhu kulit dan suhu


(28)

tubuh yang >20 C menunjukkan mekanisme hemostatis masih utuh. Pada tahap DSS kompensasi curah jantung dan tekanan darah “normal” kembali. 21

Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat DSS, berarti sistem hemostatis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik sudah berat, sudah terjadi dekompensasi. 21

Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, shock biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat,

shock dapat menjadi shock berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis

metabolik, perdarahan yang hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan.22

Penyulit DSS yang lain adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (overhidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati.22

2.4. Diagnosa 23

Diagnosa ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO(1997). Terdiri dari Kriteria klinis dan laboratorium.

2.4.1. Kriteria klinis

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.


(29)

b. Terdapat manifestasi perdarahan dirandai dengan uji torniquet positif, petekia,ekimosis, pupura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena.

c. Pembesaran hati

d. Shock ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

2.4.2. Laboratorium

a. Trombositopenia (<100.000/mm3)

b. Hemakonsentrasi (kadar Ht > 20% dari normal)

WHO (1997) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat yaitu sebagai berikut :

Derajat I : Demam dengan uji bendung positif

Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain

Derajat III : Ditemui kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang lembab dan pasien menjadi gelisah.

Derajat IV : Shock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

Taufik, A, dkk (2007) membagi kategori jumlah trombosit untuk memprediksi terjadinya shock yaitu sbb 31:

1. < 50.000/mm3 2. ≥ 50.000/mm3


(30)

Kategori persentase hematokrit untuk memprediksi terjadinya shock sbb 31: 1. ≥ 40%

2. < 40%

2.5. Patogenesis DSS22

Patogenesis DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary

heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini

menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena anti bodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan meningkatkan infeksi dan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent

enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi

virus dengue didalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan

shock.

Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferai dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer


(31)

tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus

antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstrvaskular. Pada pasien dengan shock berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Shock yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan shock sangat penting guna mencegah kematian.

2.6. Epidemiologi DBB dan DSS 2.6.1. Distribusi Penyakit

Di Indonesia Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar keseluruh propinsi di Indonesia. Timbulnya penyakit DBD ditenggarai adanya korelasi antara strain dan genetik, tetapi akhir-akhir ini ada tendensi agen penyebab DBD disetiap daerah berbeda. Hal ini kemungkinan adanya faktor geografik, selain faktor genetik dari hospesnya. Selain itu berdasarkan macam manifestasi klinik yang timbul dan tatalaksana DBD secara konvensional sudah berubah. Infeksi virus Dengue telah menjadi masalah kesehatan


(32)

yang serius pada banyak negara tropis dan sub tropis. Dengue Shock Syndrome (DSS) pertama kali muncul di Bangkok, Thailand pada tahun 1950.

2.6.1. Distribusi Menurut Orang

Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit DBD. Hasil penelitian Dizon (1958) di Filipina menunjukkan kelompok umur yang paling banyak terserang DBD adalah kelompok umur < 15 tahun Menurut Saroso (1985) pada endemik awal penyakit DBD sebagian besar menyerang anak-anak dan90 % kasus yang dilaporkan terjadi pada kelompok umur <15 tahun tetapi pada tahun 1989 terjadi pergeseran proporsi kasus pada orang dewasa.26

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Rezeki Rezeki Hadinegoro dkk di RS Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta selama Januari – Juni 1998 menunjukkan bahwa dari 188 kasus DSS proporsi yang paling besar adalah kelompok umur 5-9 tahun (40%).12 Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Munar Lubis di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2003 selama periode 5 tahun menunjukkan bahwa yang paling besar adalah proporsi penderita pada kelompok umur 1-5 tahun (41,2%).15

Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita DBD tetapi hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit (2003) di Jakarta menemukan jumlah penderita DBD lebih banyak diderita oleh wanita (52,5%) dibandingkan dengan laki-laki (47,5%).26 Untuk DSS hasil penelitian yang dilakukan di RSCM pada tahun 1998 menunjukkan bahwa jumlah penderita DSS lebih banyak terdapat pada wanita juga (53,9%).12 Begitu juga dengan


(33)

hasil penelitian yang dilakukan oleh Lubis di RS Haji Adam Malik Medan juga menunjukkan jumlah penderita DSS lebih banyak terdapat pada wanita (64,7%).15

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Aggarwal di Delhi pada tahun 1996 menunjukkan bahwa jumlah penderita DSS lebih banyak terdapat pada laki-laki (60%).27

2.6.2. Distribusi Menurut Waktu.

Dari hasil pengamatan pederita DBD yang selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa musim penularan DBD pada umumnya terjadi pada musim penghujan yaitu awal dan akhir tahun. Hal ini disebabkan pada musim hujan tempat perkembangan

Aedes aegypti bertambah banyak misalnya dengan bertambahnya tempat

penampungan air secara alamiah yang terisi air hujan yang dapat dijadikan tempat berkembangbiaknya nyamuk. Sehingga jumlah vektor meningkat dan jumlah penyakit juga akan meningkat.26

2.6.3. Distribusi Menurut Tempat

Tempat terjangkitnya penyakit DBD pada umumnya adalah perkotaan.Hal ini disebabkan pada daerah perkotaan penduduknya cukup padat dan jarak antara rumah berdekatan, sehingga lebih memungkinkan terjadinya penularan penyakit DBD, mengingat jarak terbang nyamuk Aedes aegypti 50-100 meter. Tetapi dejak tahun 1975 menurut Saroso penyakit DBD dapat berjangkit di daerah pedesaan yang padat penduduk, keadaan ini erat hubungannya dengan mobilitas penduduk serta sarana transportasi yang semakin membaik. 26


(34)

2.6.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian DBD26

Menurut Jhon Gordon (1950) terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh lebih dari satu faktor (Multiple Causal). Faktor-faktor tersebut adalah agent, pejamu (host), dan lingkungan (environment).

a. Faktor Agent

Adalah penyebab untuk terjadinya suatu penyakit, dalam hal ini yang menjadi agent adalah virus Dengue. Virus Dengue termasuk kelompok Arbovirus

tergolong dalam genus Flaviviridae dan dikenal 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan Dengue

3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus Dengue

berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksisiklat, stabil pad suhu 70°C. Keempat serotipe telah ditemukan pada pasien di Indonesia dengan Dengue 3 merupakan serotipe yang paling banyak beredar.

b. Faktor Pejamu (host)

Pejamu yang dimaksud adalah manusia yang kemungkinan menderita DSS. Faktor manusia erat kaitannya dengan perilaku serta peran serta dalam kegiatan pemberantasan vektor dimasyarakat. Mobilitas penduduk yang tinggi akan memudahkan penularan virus dengue dari satu tempat ke tempat lain. Faktor lainnya adalah umur dan kondisi individu masing-masing dalam mempertahankan daya tahan tubuh dari serangan penyakit. Selain itu faktor pendidikan juga mempengaruhi cara berfikir dalam penerimaan penyuluhan yang diberikan dan cara mengatasi DBD agar tidak menjadi DSS.


(35)

c. Faktor Lingkungan (environment)

Faktor lingkungan adalah termasuk segala sesuatu yang berada diluar agent dan pejamu, antara lain :

c.1. Kualitas pemukiman dan sanitasi lingkungan yang kurang baik merupakan kondisi ideal untuk perkembangbiakan nyamuk vektor penyakit dan penularan penyakit.

c.2. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk Aedes

aegypti. Pada daerah ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan laut tidak

ditemukan vektor penular penyakit.

c.3. Curah hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan menambah kelembapan udara. Temperatur dan kelembapan selama musim hujan sangat kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk.

c.4. Iklim dan temperatur, virus dengue hanya endemis diwilayah tropis dimana iklim dan temperatur memungkinkan untuk perkembangbiakan nyamuk.

c.5. Kepadatan penduduk akan memudahkan penularan DBD karena berkaitan dengan jarak terbang nyamuk aedes aegypti.

2.7 Pencegahan

2.7.1 Pencegahan Primer a. Pencegahan DBD

Pencegahan primer dilakukan untuk mencegah terjadinya DBD. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti.


(36)

a.1. Vektor Penularan Penyakit25

Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus Dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitan. Nyamuk

Aeedes aegypti merupakan vektor penting didaerah perkotaan (daerah urban)

sedangkan di daerah pedesaan (daerah rural) kedua jenis spesies nyamuk Aedes

tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak di tempat lembab dan genangan air bersih. Sedangkan Aedes albopictus berkembang biak di lubang-lubang pohon dalam potongan bambu dan dalam genangan air lainnya. (1) Morfologi dan Lingkaran Hidup Nyamuk Aedes aegypti25

Morfologi Aedes aegypti yang terdiri dari nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Pupa atau kepompong berbentuk seperti “koma”. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibandingkan larva (jentik). Pupa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain. Larva (jentik) memiliki 4 tingkat (instar) sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut: larva instar I berukuran paling kecil, 1-2 mm, larva instar II 2,5-3,8 mm, larva instar III lebih besar sedikit dari larva instar II, dan larva instar IV berukuran paling besar 5 mm. Larva memiliki pelana yang terbuka dan gigi sisir yang berduri lateral. Beristirahat dengan bergantung membuat sudut terhadap permukaan air.

Telur berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm. Berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air jernih, atau menempel pada dinding tempat penampungan air.


(37)

Lingkaran hidup nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna yaitu telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik, dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetes menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air, stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari dan stadium pupa (kempompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa mencapai 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.

(2) Tempat Perkembangbiakan25

Tempat perkembangbiakan utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam atau di luar rumah atau di tempat-tempat umum,biasanya tidak lebih berjarak 500 m dari rumah. Nyamuk ini tidak berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.

Jenis-jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, ember dan lain-lain.

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti : tempat minum burung, vas bunga, dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain)

c. Tempat penampungan air alamiah seperti : lobang pohon , lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu dan lain-lain.


(38)

a.2. Bionomik Vektor25

Yang dimaksud dengan bionomik adalah kebiasaan tempat perindukan (breeding habit), kebiasaan menggigit (feeding habit), kebiasaan beristirahat (resting habit) dan jarak terbang.

(1) Tempat Perindukan Nyamuk (Breeding Habit) 25

Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti berupa genangan air bersih yang tertampung di suatu wadah yagn disebut dengan container. Tempat bertelur yang disukai oleh nyamuk adalah dinding vertikal bagian sebelah dalam dari tempat atau

container yagn berisi air dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat

penampungan air yang terdapat di masyarakat biasanya berupa bak mandi dengan bahan terbuat dari porselin ataupun plesteran biasa, gentong dari tanah, drum dan lain-lain.Dinding bak mandi yang terbuat dari semen bersifat kasar, gelap, dan mudah menyerap air. Dinding tempat penampungan air seperti itu sangat disukai Ae. aegypti. Tempat penampungan air yang tidak disukai Ae. aegypti adalah yang dindingnya licin, tidak menyerap air dan terang misalnya keramik.

(2) Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit) 25

Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan nyamuk betina sangat menyenangi darah manusia. Nyamuk betina biasanya menggigit dengan 2 puncak aktifitas yaitu pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00. Tempat mengigit lebih banyak di dalam rumah dari pada di luar rumah dan dapat menggigit beberapa kali. Nyamuk yang telah menggigit seseorang kemudian terbang dan menggigit orang lain sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya. Waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan


(39)

perkembangan telur, mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari.

(3) Kebiasaan Beristirahat (Resting Habit) 25

Setelah menggigit selama menunggu pematangan telur, nyamuk akan berkumpul di tempat-tempat dimana terdapat kondisi optimum untuk beristirahat setelah itu nyamuk akan bertelur dan menggigit lagi. Tempat-tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap/beristirahat adalah tempat-tempat gelap, lembab, dan sedikit angin, juga pada baju-baju yang bergantungan.

(4) Jarak Terbang25

Nyamuk Aedes aegypti sehari-hari mempunyai kebiasaan terbang dekat permukaan tanah dan bergerak ke semua arah untuk mencari mangsa, mencari tempat bertelur dan mencari tempat beristirahat.

Nyamuk betina dapat terbang rata-rata 50-100 meter dan ada kalanya sampai sejauh 2 kilometer. Di daerah yang padat penduduknya dan cukup banyak tempat air untuk bertelur, kemungkinan terjadi penyebaran ke daerah-daerah lain sedikit sekali. a.3. Pengendalian Vektor28

Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu :

a.1. Metode lingkungan

Pencegahan dilakukan dengan upaya sebagai berikut :

1. Menguras bak mandi atau WC dan tempat penampungan air lainnya sekurang-kurangnya seminggu sekali, secara teratur menggosok dinding bagian dalam


(40)

dari bak mandi, dan semua tempat penyimpanan air untuk menyingkirkan telur nyamuk.

2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air.

3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas (kaleng bekas, botol bekas ).

4. Tutuplah lubang-lubang, pagar pada pagar bambu dengan tanah.

5. Lipatlah pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap di situ.

a.2. Metode biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) dan bakteri (Bt.H-14).

a.3. Metode kimiawi

Cara pengendalian ini antara lain dengan:

1. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu. Fogging hanya efektif sekitar seminggu, setelah itu generasi nyamuk baru akan berkembang biak dengan kekuatan yang bisa lebih hebat dari pada induknya. Kekuatan besar itu muncul karena jumlah nyamuk baru akan semakin banyak. Pengasapan dilakukan minimum 2 kali dengan jarak 10 hari di rumah penderita dan sekitarnya dengan jarak 100 meter sekeliling rumah penderita, di rumah sakit yang merawat penderita dan sekitarnya, serta di sekolah penderita dan sekitarnya.


(41)

2. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air,vas bunga, kolam, dan lain-lain

b. Mencegah DBD bermanifestasi menjadi DSS13

Masa kritis dari penyakit DBD terjadi pada akhir fase demam. Pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang terjadi minimal dan sementara, namun pada kasus berat penderita dapat mengalami shock. Untuk mengantisipasi kejadian shock tersebut, penderita disarankan diinfus cairan kristaloid untuk mengganti cairan plasma yang hilang. 2.7.2 Pencegahan Sekunder25

a. Pengobatan DBD

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simtomatik dan suportif, yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intrvena (biasanya cairan ringer laktat atau NaCl) perlu diberikan.

Pada fase demam dianjurkan :

a. Tirah baring selama masih demam

b. Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

c. Memberi minum sebanyak-banyaknya, karena penderita DBD mengalami kekurangan cairan di dalam tubuh, oleh sebab itu pertolongan pertama yang paling penting adalah memberi minum sebanyak-banyaknya. Minuman dapat berupa jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit.


(42)

b. Pengobatan DSS5

DSS termasuk kasus kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat. Sebagai terapi awal untuk pengobatan DSS, cairan yang digunakan adalah ringer laktat. Dalam keadaan shock (renjatan berat), cairan harus diberikan secara diguyur, artinya secepat-cepatnya yaitu dengan membuka penjepit infus.

2.7.3. Pencegahan Tertier5

Untuk penderita yang sudah mengalami shock, pencegahan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kematian adalah dengan penggantian secara cepat cairan yang hilang. Cairan yang diberikan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid. Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, shock masih menetap sedangkan kadar hematokrit menurun, diduga sudah terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar.


(43)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita DBD yang mengalami DSS rawat inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan

tahun 2008

1. Sosiodemografi Umur

Jenis Kelamin Suku

Agama Pendidikan Pekerjaan

2. Asal Rujukan

3. Derajat keparahan pada saat masuk RS 4. Keluhan utama

5. Jumlah Trombosit 6. Persentase Hematokrit 7. Penatalaksanaan Medis 8. Lama rawatan rata-rata 9. Keadaan sewaktu pulang

3.2. Defenisi Operasional

3.2.1. DSS adalah manifestasi klinik DBD yang menunjukkan tanda kegawatan, berwujud gangguan sirkulasi di pembuluh darah perifer sebagai akibat kebocoran plasma dengan ditandai tensi yang menurun sampai nol dan denyut nadi yang cepat, lemah sampai tidak teraba berdasarkan diagnosa dokter sesuai dengan yang tercatat di kartu status.17


(44)

3.2.2. Umur adalah lamanya hidup penderita DBD yang mengalami DSS yang dihitung berdasarkan tahun sejak dilahirkan hingga saat penderita menjadi pasien di RSU Dr.Pirngadi Medan dan tercatat di kartu status, dikelompokkan atas:

1. < 5 tahun 2. 5-9 tahun 3. 10-14 tahun 4. 15-19 tahun 5. 20-24 tahun 6. 25-29 tahun 7. 30-34 tahun 8. 35-39 tahun 9. 40-44 tahun 10. 45-49 tahun 11. >50 tahun

Untuk analisis statistik, kategori umur yang digunakan adalah : 1. < 5 tahun

2. 5-14 tahun 3. ≥ 15 tahun

3.2.3. Jenis kelamin adalah setiap individu yang berdasarkan ciri-ciri tertentu yang khas dimilikinya yang tercatat di kartu status dan dikelompokkan atas :

1. Laki-laki

2. Perempuan

3.2.4. Suku adalah suku penderita DBD yang mengalami DSS yang sesuai dan tercatat di kartu status, dikelompokkan atas :

1. Batak 2. Melayu 3. Jawa 4. Minang 5. Aceh


(45)

3.2.5. Agama adalah kepercayaan yang dianut penderita DBD yang mengalami DSS seperti yang tertera di kartu status dan dikelompokkan atas :

1. Islam

2. Kristen (Protestan dan Katolik)

3.2.6. Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir penderita DBD yang mengalami DSS yang tercatat di kartu status dan dikelompokkan atas :

1. Belum Sekolah 2. SD/SLTP 3. SLTA

4. Akademi/Perguruan Tinggi 5. Tidak Tercatat

3.2.7. Pekerjaan adalah kegiatan penderita DBD yang mengalami DSS seperti yang tertera dikartu status dan dikelompokkan atas :

1. Tidak Bekerja 2. PNS

3. Karyawan/pegawai swasta 4. Pelajar/Mahasiswa

5. Ibu rumah tangga 6. Wiraswasta 7. Tidak Tercatat

3.2.8. Asal Rujukan adalah asal kedatangan penderita DBD yang mengalami DSS yang dicatat pada kartu status dan dikelompokkan atas :

1. Rujukan RS lain 2. Puskesmas 3. Praktek Dokter 4. Rujukan Bidan/Klinik 5. Bukan Rujukan 6. Tidak Tercatat


(46)

3.2.9. Derajat Keparahan DBD pada saat masuk Rumah sakit adalah tingkatan penyakit DBD yang diderita oleh penderita DBD yang mengalami DSS pada saat masuk rumah sakit, dikelompokkan menurut WHO23 :

1. Derajat I : Demam dengan uji bendung positif

2. Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain

3. Derajat III : Ditemui kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang lembab dan pasien menjadi gelisah.

4. Derajat IV : Shock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

3.2.10.Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan penderita DBD yang mengalami DSS sehubungan dengan penyakit yang diderita pada saat masuk RS seperti yang tercatat pada rekam medik dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu28 :

1. Demam 2. Nyeri kepala 3. Nyeri Ulu Hati 4. Nyeri Sendi

5. Bintik merah di kulit 6. Perdarahan di hidung 7. Perdarahan Gusi 8. Muntah Darah 9. Gelisah

10.Kesadaran menurun 11.Mual


(47)

3.2.11.Jumlah trombosit pada saat masuk RS adalah jumlah trombosit yang terdapat pada darah penderita yang didapat melalui hasil pemeriksaan laboratorium pada saat masuk rumah sakit dan tercatat dikartu status dan dikelompokkan menjadi:

1. >150.000/mm3

2. 100.000-150.000/ mm3 3. 50.000-100.000/ mm3 4. <50.000/ mm3

3.2.12.Jumlah trombosit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS adalah jumlah trombosit yang terdapat pada darah penderita DBD yang mengalami DSS yang didapat melalui hasil pemeriksaan laboratorium pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS dan tercatat dikartu status dan dikelompokkan menjadi :

1.

>150.000/mm3

2. 100.000-150.000/ mm3 3. 50.000-100.000/ mm3 4. < 50.000/ mm3

Untuk analisis statistik kategori jumlah trombosit yang digunakan adalah 31: 1.

< 50.000/ mm3 2. ≥ 50.000/ mm3

3.2.13.Persentase Hematokrit pada saat masuk RS adalah persentase hematokrit penderita yang didapat melalui hasil pemeriksaan laboratorium pada saat masuk rumah sakit dan tercatat dikartu status dan dikelompokkan menjadi31: 1. < 40%

2. 40-45% 3. 46-50% 4. >50%


(48)

3.2.14.Persentase Hematokrit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS adalah persentase hematokrit penderita yang didapat melalui hasil pemeriksaan laboratorium pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS dan tercatat dikartu status dan dikelompokkan menjadi31:

1. < 40% 2. 40-45% 3. 46-50% 4. >50%

Untuk analisis statistik kategori persentase hematokrit yang digunakan adalah31:

1. ≥ 40% 2. < 40%

3.2.15.Penatalaksanaan Medis adalah usaha pengobatan/penyembuhan yang diberikan terhadap penderita DBD yang mengalami DSS seperti yang tercatat pada kartu status yang ada direkam medik, dikelompokkan atas26 :

1. Cairan tunggal (ringer laktat) 2. Cairan ringer laktat dan transfusi.

3.2.16.Lama rawatan rata-rata adalah lama hari perawatan penderita DBD yang mengalami DSS, dihitung dari tanggal mulai masuk sampai dengan keluar (baik dengan izin dokter maupun meninggal dunia) sesuai dengan yang tercatat di kartu status dan selanjutnya ditentukan lama rawatan rat-rata.

3.2.17.Lama rawatan rata-rata penderita dari DBD menjadi DSS adalah lama hari perawatan penderita DBD yang mengalami DSS, dihitung dari tanggal mulai masuk rumah sakit sampai dengan penderita bermanifestasi menjadi DSS sesuai dengan yang tercatat dikartu status dan selanjutnya ditentukan lama rawatan rata-ratanya.


(49)

3.2.18.Kedaan sewaktu pulang adalah keadaan dan kondisi penderita DBD yang mengalami DSS waktu keluar dari rumah sakit dan dikelompokkan atas : 1. Sembuh

2. Pulang Berobat Jalan (PBJ)

3. Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) 4. Meninggal

Untuk analisa statistik, kategori keadaan sewaktu pulang yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Sembuh (Sembuh, PBJ, PAPS) 2. Meninggal


(50)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah deskriptif yang menggunakan desain

Case Series.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di RSUD Dr.Pirngadi Medan. Adapun pertimbangan dalam pemilihan lokasi ini adalah karena belum pernah dilakukan penelitian yang serupa pada tahun 2008 dan tersedianya data yang diperlukan.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2009.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitan 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh data penderita DBD yang mengalami DSS yang dirawat inap dan tercatat dalam laporan RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 sebanyak 104 kasus.


(51)

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah data penderita DBD yang mengalami DSS yang dirawat inap dan tercatat dalam laporan RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dan besar sampel adalah sama dengan populasi (total sampling).

4.4. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan padan tahun 2008. Selanjutnya dilakukan pencatatan dan tabulasi dari semua variabel yang diteliti.

4.5. Analisa Data

Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan komputer melalui program SPSS. Analisis Univariat secara deskriptif dan Analisis Bivariat menggunakan uji Chi-Square dan uji Anova. Kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi proporsi dan frekuensi, diagram batang, dan diagram pie.


(52)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang Mengalami DSS Berdasarkan Bulan

Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS rawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan berdasarkan bulan dapat dilihat pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap Berdasarkan Bulan di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Bulan f %

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 23 3 6 10 3 4 5 6 8 13 15 8 22,1 2,9 5,8 9,6 2,9 3,8 4,8 5,8 7,7 12,5 14,4 7,7

Jumlah 104 100

Berdasarkan tabel 5.1. dapat dilihat bahwa proporsi penderita tertinggi pada bulan Januari 22,1% dan terendah pada bulan Februari dan Mei 2,9%.

Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa frekuensi kasus tahun 2008 menurun sebanyak 8−23=−15 kasus, dengan simple ratio penurunan 0,35

23 8 =

kali, serta

persentase penurunan sebesar 100% 65,22% 23 23 8 = × − . 36


(53)

Trend atau kecendrungan penderita DBD yang mengalami DSS rawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan berdasarkan data tahun 2008 berada pada persamaan garis

. 8485 , 8 028 , 0 + − = x y

5.2.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Sosiodemografi

Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan sosiodemografi di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.2. dan tabel 5.3.

Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008.

Jenis Kelamin

Laki-Laki Perempuan Jumlah

Umur (Tahun)

f % f % f % < 5 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 > 50 9 9 14 5 5 3 1 3 0 1 0 8,7 8,7 13,5 4,8 4,8 2,9 0,9 2,9 0,0 0,9 0,0 13 7 13 5 10 2 0 0 2 1 1 12,5 6,7 12,5 4,8 9,6 1,9 0,0 0,0 1,9 0,9 0,9 22 16 27 10 15 5 1 3 2 2 1 21,1 15,4 26,0 9,6 14,4 4,8 0,9 2,9 1,9 1,9 0,9

Jumlah 50 48,1 54 51,9 104 100,0

Berdasarkan tabel 5.2. dapat dilihat bahwa proporsi umur penderita tertinggi pada kelompok umur 10-14 tahun 26%, dengan proporsi laki-laki 13,5% dan perempuan 12,5%. Proporsi umur penderita terendah pada kelompok umur 30-34 tahun dan > 50 tahun 1,0% dengan proporsi laki-laki 1,0% pada kelompok umur 30-34 tahun dan proporsi perempuan 1,0% pada kelompok umur > 50 tahun.


(54)

Sex ratio penderita adalah 100% 92,6% 54

50

=

× , menunjukkan jumlah

penderita lebih banyak perempuan dari pada laki-laki.

Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap Menurut Sosiodemografi di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008

Jumlah No Sosiodemografi f % 1 Suku Batak Melayu Jawa Minang Aceh Tidak Tercatat 70 7 4 1 7 5 67,3 6,7 13,5 1 6,7 4,8

Jumlah 104 100,0

2 Agama Islam

Kristen (Protestan dan Katolik)

55 49

52,9 47,1

Jumlah 104 100,0

3 Tingkat Pendidikan Belum Sekolah SD/ SLTP SLTA Akademi/ PT Tidak Tercatat 15 44 15 12 18 14,4 42,3 14,4 11,5 17,3

Jumlah 104 100,0

4 Pekerjaan Tidak Bekerja PNS

Karyawan/pegawai swasta Pelajar/Mahasiswa

Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Tidak Tercatat 15 4 2 55 3 6 19 14,4 3,8 1,9 52,9 2,9 5,8 18,3


(55)

Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa proporsi penderita berdasarkan sosiodemografi tertinggi bersuku Batak 67,3% dan terendah adalah Minang 1%. Proporsi Agama penderita tertinggi adalah Islam 51,9 % dan terendah Kristen 47,1%. Proporsi pendidikan penderita tertinggi adalah SD/SLTP 42,3% dan terendah Akademi/PT 11,5%. Proporsi pekerjaan penderita tertinggi adalah Pelajar/Mahasiswa 52,9% dan terendah Karyawan/Pegawai Swasta 1,0%.

5.3.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Asal Rujukan.

Asal rujukan penderita DBD yang mengalami DSS di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap Berdasarkan Asal Rujukan di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Jumlah Asal Rujukan

f % Rujukan RS lain

Puskesmas Praktek Dokter Rujukan Bidan/Klinik Bukan Rujukan Tidak Tercatat

6 4 5 11 64 14

5,8 3,8 4,8 10,6 61,5 13,5

Jumlah 104 100,0

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa proporsi asal rujukan penderita tertinggi pada kelompok bukan rujukan 61,5%, dan yang terendah pada kelompok Puskesmas 3,8%.


(56)

5.4.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Derajat Keparahan pada saat masuk RS.

Derajat keparahan penderita DBD yang mengalami DSS pada saat masuk RS di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.5

Tabel 5.5. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap Berdasarkan Derajat Keparahan DBD pada saat masuk RS di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Jumlah Derajat Keparahan Pada Saat Masuk

RS f %

Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV

45 43 14 2

43,3 41,3 13,5 1,9

Jumlah 104 100,0

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa proporsi derajat keparahan pada saat masuk RS penderita tertinggi adalah Derajat I 43,3% dan yang terendah Derajat IV (1,9%).

5.5.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Keluhan

Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan keluhan di RSU Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.6.


(57)

Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Keluhan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008

No. Keluhan (n = 104) f %

1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Demam Muntah Nyeri Kepala Gelisah

Nyeri Ulu Hati Mual

Kesadaran Menurun Bintik Merah di Kulit Perdarahan di Hidung Nyeri Sendi Muntah Darah Perdarahan Gusi 100 52 44 32 29 28 24 22 17 11 4 2 100,0 50,0 42,3 30,7 27,9 26,9 23,1 21,2 16,3 10,6 3,8 1,9

Berdasarkan tabel 5.6. dapat dilihat keluhan tertinggi adalah demam (100%), dan terendah adalah perdarahan gusi 1,9%. Distribusi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan lebih dari satu keluhan dapat dilihat pada Lampiran.3.

5.6.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Jumlah Trombosit.

5.6.1. Jumlah Trombosit Pada Saat Masuk RS

Jumlah trombosit penderita DBD yang mengalami DSS pada saat masuk RS di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.7.


(58)

Tabel 5. 7 Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap Berdasarkan Jumlah Trombosit pada saat masuk RS di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Jumlah Jumlah Trombosit Pada saat

masuk RS f %

>150.000/mm3 100.000-150.000/mm3 50.000-100.000/mm3 <50.000/mm3 14 33 47 10 13,5 31,7 45,2 9,6

Jumlah 104 100,0

Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa proporsi jumlah trombosit penderita pada saat masuk RS tertinggi pada kelompok 50.000-100.000/mm3 45,2%, dan yang terendah pada kelompok <50.000/mm3 9,6%.

5.6.2. Jumlah Trombosit Pada Saat DBD Bermanifestasi Menjadi DSS

Jumlah trombosit penderita DBD yang mengalami DSS pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.8.

Tabel 5.8. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap Berdasarkan Jumlah Trombosit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Jumlah Jumlah Trombosit pada saat

DBD bermanifestasi menjadi

DSS f %

>150.000/mm3 100.000-150.000/mm3 50.000-100.000/mm3 <50.000/mm3 0 1 50 53 0.0 1,0 48,0 51,0


(59)

Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa proporsi jumlah trombosit penderita pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS tertinggi pada kelompok < 50.000/mm3 (51,0%).

5.7. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Persentase Hematokrit.

5.7.1. Persentase Hematokrit Pada Saat Masuk RS

Persentase hematokrit penderita DBD yang mengalami DSS pada saat masuk RS di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.9. Tabel 5.9. Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap

Berdasarkan Persentase Hematokrit pada saat masuk RS di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Jumlah Persentase Hematokrit pada

saat masuk RS f %

< 40% 40-45% 46-50% >50%

66 29 8 1

63,5 27,9 7,7 0,9

Jumlah 104 100,0

Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa proporsi persentase hematokrit penderita pada saat masuk RS tertinggi pada kelompok <40% sebesar 63,5% dan yang terendah adalah pada kelompok > 50 % sebesar 1%.

5.7.2. Persentase Hematokrit Pada Saat DBD bermanifestasi menjadi DSS Persentase hematokrit penderita DBD yang mengalami DSS pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.10.


(60)

Tabel 5.10.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap Berdasarkan Persentase Hematokrit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Jumlah Persentase Hematokrit pada

saat DBD bermanifestasi

menjadi DSS f %

< 40% 40-45% 46-50% >50% 63 28 11 2 60,6 26,9 10,6 1,9

Jumlah 104 100,0

Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa proporsi persentase hematokrit penderita pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS tertinggi pada kelompok < 4 % sebesar 60,6% dan yang terendah adalah > 50% sebesar 1,9%.

5.8.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Berdasarkan Penatalaksanaan Medis.

Penatalaksanaan Medis penderita DBD yang mengalami DSS di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.11.

Tabel 5.11.Distribusi Proporsi Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap Berdasarkan Penatalaksanaan Medis di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Jumlah Pentalaksanaan Medis

f % Cairan tunggal (ringer laktat)

Cairan ringer laktat dan transfusi.

93 11

89,4 10,6

Jumlah 104 100,0

Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui bahwa proporsi penatalaksanaan medis penderita adalah lebih tinggi cairan tunggal 89,4% dibandingkan dengan cairan ringer laktat dan transfusi 10,6%.


(61)

5.9.Lama Rawatan Rata-Rata Penderita DBD yang mengalami DSS

Lama rawatan rata-rata penderita DBD yang mengalami DSS di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.12.

Tabel 5.12.Lama Rawatan Rata-rata Penderita DBD yang mengalami DSS Rawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Lama Rawatan Rata-Rata

Mean

Standart Deviasi (SD) 95% Confidence Interval Maksimum

Minimum

4,62 2,054 4,22 - 5,01 10 1 Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa lama rawatan rata-rata penderita adalah 4,62 hari (5 hari) dengan Standard Deviasi (SD) 2,054. Lama rawatan paling singkat 1 hari sedangkan yang paling lama 10 hari. Berdasarkan 95%

Confidence Interval didapatkan bahwa lama rawatan rata-rata 4,22 – 5,01 hari.

5.10. Lama Rawatan Rata-Rata Penderita Dari DBD menjadi DSS

Lama rawatan rata-rata penderita dari DBD menjadi DSS di RSUD Dr.Pirngadi Medan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 5.13.

Tabel 5.13.Lama Rawatan Rata-rata Penderita dari DBD menjadi DSS Rawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2008

Lama Rawatan Rata-Rata Penderita dari DBD menjadi DSS

Mean

Standart Deviasi (SD) 95% Confidence Interval Maksimum

Minimum

1,72 0,919 1,54 – 1,90 4 1


(1)

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.Kesimpulan

7.1.1. Kecenderungan kunjungan penderita DBD yang mengalami DSS di di RSUD. Dr.Pirngadi Medan berdasarkan data per bulan tahun 2008 menunjukkan peningkatan dengan persamaan garis y=−0,028x+8,8485. Proporsi tertinggi pada bulan Januari sebesar 22,1%.

7.1.2. Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan sosiodemografi diperoleh proporsi tertinggi pada kelompok umur 10-14 tahun, dengan proporsi laki-laki 13,5% dan perempuan 12,5%, agama Islam 51,9 %, Suku Batak 67,3%, pendidikan SD/SLTP 42,3%, dan pekerjaan Pelajar/Mahasiswa 52,9%.

7.1.3. Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan asal rujukan tertinggi pada kelompok bukan rujukan 61,5%.


(2)

7.1.4. Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan keluhan yang tertinggi adalah Demam 100%

7.1.5. Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan jumlah trombosit pada saat masuk RS tertinggi pada kelompok 50.000-100.000/mm3 yaitu sebesar 45,2%.

7.1.6. Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan jumlah trombosit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS tertinggi pada kelompok <50.000/mm3 yaitu sebesar 51,0%.

7.1.7. Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan persentase hematokrit pada saat masuk RS tertinggi pada kelompok <40% sebesar 63,5%.

7.1.8. Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan persentase hematokrit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS tertinggi pada kelompok < 40 % sebesar 60,6%

7.1.9. Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan penatalaksanaan medis tertinggi adalah cairan tunggal (ringer laktat) 89,4%.

7.1.10.Proporsi penderita DBD yang mengalami DSS berdasarkan keadaan sewaktu pulang tertinggi pulang atas permintaan sendiri 43,9%.

7.1.11.Lama rawatan rata-rata penderita DBD yang mengalami DSS 4,62 hari (5 hari).

7.1.12.Lama rawatan rata-rata penderita DBD yang mengalami DSS dari DBD menjadi DSS 1,72 hari (2 hari).


(3)

7.1.13.Tidak ada perbedaan jumlah trombosit pada saat masuk RS berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p = 1,000).

7.1.14.Tidak ada perbedaan jumlah trombosit pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p = 1,000).

7.1.15.Penderita yang pulang meninggal persentase hematokritnya pada saat masuk RS ≥40% lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan penderita yang pulang sembuh.(77,8% vs 32,6%)

7.1.16.Penderita yang pulang meninggal persentase hematokritnya pada saat DBD bermanifestasi menjadi DSS ≥40% lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan penderita yang pulang sembuh.(77,8% vs 32,6%).

7.1.17.Uji chi-square tidak dapat dilakukan untuk melihat perbedaan proporsi umur penderita berdasarkan keadaan sewaktu pulang karena data tidak memenuhi syarat.

7.1.18.Lama rawatan rata-rata penderita DBD yang mengalami DSS dengan Derajat IV relatif lebih singkat (1,5 hari) dibandingkan dengan Derajat III (3,21 hari), Derajat II (4,63 hari) maupun Derajat I (5,18 hari).

7.1.19.Lama rawatan rata-rata penderita dari DBD menjadi DSS dengan derajat I dan II lebih lama dibandingkan dengan lama rawatan rata-rata dari DBD menjadi DSS dengan derajat III dan IV (2 hari vs 1 hari).

7.2.Saran

7.2.1. Bagi pihak rumah sakit sebaiknya meningkatkan pelayanan kesehatan bagi penderita DBD yang mengalami DSS khususnya dan memberikan informasi


(4)

kepada penderita tentang bagaimana penanganan DBD agar tidak bermanifestasi menjadi DSS

7.2.2. Kepada bagian Rekam Medik RSUD Dr. Pirngadi Medan diharapkan untuk melengkapi pencatatan rekam medik terkhusus yang berkaitan dengan penderita DBD yang mengalami DSS, yaitu data suku, pendidikan, pekerjaan, dan asal rujukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI, 1999. Rencana Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta.

2. Bustan, M.N, 1997. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. P.T.Rineka Cipta, Jakarta.

3. Depkes RI, 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Jakarta.

4. WHO dan DepKes RI, 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD, Jakarta.

5. Hasan, Rusepno. 2000, Buku Kuliah 2, Ilmu Kesehatan Anak, Infomedika, Jakarta.

6. Wills, BA, dkk. 2005. Comparison of Three Fluid Solution for Resuscitation

in Dengue Shock Syndrome. The New England of Jurnal Medicine.

Diakses tanggal 4 Februari 2009. http://content.nejm.org/cgi/reprint/353/9/877.pdf

7. Harris, E, dkk. 1998. Clinical, epidemiologic, and virologi og dengue in the

1998 epidemic in Nicaragua. The American Journal of Tropical

Medicine and Hygiene. Diakse tanggal 15 Februari 2009. http://www.ajtmh.org/cgi/content/63/1/5.pdf

8. Heng, BH, dkk. 1992. Clinical epidemiology of dengue fever and dengue


(5)

http://www.cababstractsplus.org/abstracts/Abstract.aspx?AcNo=19990 502497

9. Handayani, K. 2007. Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat Tentang

Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Tangerang. Jurnal

Ekologi Kesehatan, volume 6 No 1

10.Poorwosoedarmo, S. 1999. Dengue Shock Syndrome. Diakses tanggal 15 Februari 2009. http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-

gdl-res-1985-poorwosoedarmo2c-1844-dengue&q=Dengue+Shock+Syndrom

11.WHO. 2005. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever anf Dengue Shock Syndrome in the Context of the Intergrated Management of Childhood Illness. Departement of Child and Adolescent Health and Development

12.Hadinegoro, S, dkk. 2000. Dengue Shock Syndrome. Diakses tanggal 4

Februari 2009. http://www.searo.who.int/en/Section10/Section332/Section521_2461.htm

13.Soegijanto,S. 2004. Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia, Jilid 1, Airlangga University Press, Surabaya.

14.Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara , 2007. Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Per Kab/Kota.

15.Lubis, M. 2003. Spectrum of Dengue Shock Syndrome in Haji Adam Malik Hospital during 5 years. Diakses tanggal 15 Februari 2009. http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2003-lubis2c-1853-spectrum&q=Dengue+Shock+Syndrom

16.Depkes RI, 1992. Petunjuk Teknis Penemuan Pertolongan dan Pelaporan Penderita DBD, Ditjen PPM dan PLP Dep.Kes.RI, Jakarta

17.Soegijanto,S. 2004. Syndroma Syok Dengue. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia, Jilid 1, Airlangga University Press, Surabaya

18.Soegijanto,S 2004. Demam Berdarah Dengue. Airlangga University Press, Jakarta

19.Depkes RI, 1981. Demam Berdarah, Diagnosa dan Pengelolaan Penderita. Ditjen PPM dan PLP Dep.Kes RI, Jakarta.


(6)

20.Holoni, A. 1995. Pergerakan PSN dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD, Berita Epidemiologi, 1995

21.Hidayat, R. 2008. Demam Berdarah Dengue. Aceh

22.Depkes RI, 2004. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Ditjen PPM dan PLP Dep.Kes.RI, Jakarta

23.Mansjoer, Arif, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3 Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.

24.Hadinegoro, dkk. 2001. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta.

25.DepKes. RI, 1992. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit DBD, Dirjen PPM dan PLP DepKes RI, Jakarta.

26.Safinah, 2004. Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) Rawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2002-2003. Skripsi FKM USU

27.Aggarwal, A. 1996. An Epidemic of Dengue Haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in children in Delhi. Diakses tanggal 11 Februari. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10216566

28.Cipto, F. 2007. Dengue Haemorragic Fever. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.

29.Dinda. 2005. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue. Diakses tanggal 29 Mei 2009. http://www.dexa-medica.com

30.Andayani, P. 1999. Karakteristik Penderita Syndrome Shock Dengue. Diakses tanggal 23 Mei. http://www.ojs/lib/unair.ac.id.

31.Taufik, A, dkk. Peranan Kadar Ht, Jumlah Trombosit dan Serologi IgG-IgM AntiDHF Dalam Memprediksi Terjadinya Syok Pada Pasien DBD di RS Islam Siti Hajar Mataram. Diakses tanggal. 25 Mei 2009. http://www.ejournal.unud.ac.id.

32.Hutasoit, R. 2007. Karakteristik Penderita Kanker Payudara Rawat Inap di RSUD Dr.Pirngadi Medan Tahun 2003-2007. Skripsi FKM USU.