Kencenderungan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sengketa terkait pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku
telah menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Secara yuridis perbuatan yang
mencantumkan klausula eksonerasi di dalam suatu perjanjian merupakan
perbuatan yang dilarang. 1 Namun di dalam praktik perbuatan itu sering kali terjadi
yang berarti adalah suatu bentuk pelanggaran. Sebahagian kalangan praktisi
terutama bagi kalangan para pelaku usaha yang memiliki posisi tawar (bargaining
position) yang kuat cenderung mencantumkan klausula eksonerasi tersebut di
dalam format (formulir) perjanjian.
Eksonerasi atau exoneration (Inggris) diartikan sebagai perbuatan yang
membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung
jawab hukum. Secara sederhana, klausula eksonerasi berarti suatu klausula
pengecualian kewajiban atau tanggung jawab di dalam perjanjian. 2
Klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan di dalam suatu
perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi
kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi
karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. 3 Klausula eksonerasi dapat


1

Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(disingkat UUPK).
2
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi,
diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh Diana Kusumasari, berjudul “Klausula
Eksonerasi” dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 April 2011.
3
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 47.

1

2

membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak, padahal menurut
hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.
Memperhatikan pengertiannya saja sudah jelas-jelas secara hukum tidak
memenuhi rasa keadilan dan tidak memenuhi asas proporsionalitas (asas
keseimbangan) serta bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, padahal

menurut Pasal 1338 KUH Perdata. Hukum di Indonesia menganut asas kebebasan
berkontrak, bukan justru dibuat pembatasan-pembatasan tanggung jawab oleh
salah satu pihak yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak tersebut.
Asas keseimbangan merupakan asas yang menyatakan suatu kondisi dalam
keadaan “seimbang” (evenwicht) yang menunjuk pada makna suatu keadaan
pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keadaan hening
atau keselarasan dari berbagai hak dan kewajiban tidak satupun mendominasi
yang lainnya, atau tidak satupun elemen yang menguasai elemen lainnya. 4 Berarti
kondisi yang tidak seimbang dalam pembagian hak dan kewajiban para pihak di
dalam suatu perjanjian merupakan larangan dan bertentangan dengan asas ini.
Larangan atau pembatasan dalam peraturan

yang ada terhadap

pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku di dalam perjanjian dapat
ditemui dalam hukum positif di Indonesia yaitu dalam Pasal 18 UU Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK). Dalam UUPK
ini klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk “klausula baku” yang
dilarang dalam UUPK tersebut.


4

Van Dale dalam Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian
Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2006), hal. 304.

3

Klausula baku mengandung syarat-syarat baku sekaligus merupakan
aturan bagi para pihak yang terikat didalamnya dan telah dipersiapkan terlebih
dahulu untuk dipergunakan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan pihak
yang lain. 5 Tujuan larangan pencantuman klausula baku di dalam Pasal 18 UUPK
tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan
pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. 6
Tujuan larangan pencantuman klausula baku karena klausula baku
berupaya untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak
terhadap gugatan pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan
kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian. 7 Sehingga bila klausula baku
ditemukan, maka posisi kedudukan konsumen tidak lagi setara dengan pelaku
usaha, padahal berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, para pihak harus bebas
menentukan klausula dalam perjanjian, pihak yang satu tidak boleh membuat

penekanan terhadap pihak lainnya, tetapi harus sama-sama merasa puas dengan
perjanjian yang dibuat.
Ketidakseimbangan yang ditunjukkan dengan pencantumkan klausula
eksonerasi dalam perjanjian bertentangan pula dengan asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak sangat ideal jika para pihak yang terikat dalam suatu

5

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak Dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung:
Mandar Maju, 2012), hal. 320.
6
Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK.
7
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1993), hal. 75.

4


perjanjian/kontrak berada dalam posisi tawar yang masing-masing seimbang
antara satu sama lain. 8
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak
bahwa setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian (Pasal
1338 KUH Perdata) sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban
umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
Pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul
bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya dalam perjanjian apabila
dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang. Pihak yang
memiliki posisi tawar yang kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut
untuk menentukan klausula-klausula yang baku bahkan di dalam klausula baku itu
dicantumkan pula klausula eksonerasi. Seharusnya perjanjian itu dirancang oleh
para pihak secara bersama-sama, namun pihak yang kuat tersebut umumnya telah
mempersiapkan format perjanjian oleh pihak yang posisi tawarnya lebih kuat. 9
Pencantuman klausula eksonerasi dalam praktik masih mendominasi
terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi para pihak yang melakukan
perjanjian. Bukan saja terjadi bagi para pihak yang melakukan perjanjian, namun
dalam kehidupan sehari-hari yakni dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku
sering mengandung klausula eksonerasi itu dicantumkan misalnya di dalam form

perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat,
seperti dalam penjualan tiket-tiket pesawat angkutan penumpang udara,
8

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2013), hal. 39.
9
Ibid., hal. 39-40.

5

perusahaan pengangkutan laut maupun transportasi darat, perusahaan lising
(leasing corporate), perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, kegiatan pinjammeminjam uang, dan lain-lain, semua kesepakatan dicantumkan dalam bentuk
klausula baku, ada yang sudah terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir dan
adapula yang dibuat dengan cara bernegosiasi langsung di antara para pihak.
Secara hukum walaupun klausula eksonerasi dilarang, namun dalam
praktik perdagangan dalam perjanjian/kontrak baku tidak jarang ditemukan
pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku yang ujung-ujungnya untuk
menguntungkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang
kuat di dalam perjanjian/kontrak.

Penyelesaian masalah ketidakseimbangan dalam perjanjian, hakim
berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu perjanjian jika diperlukan karena isi
dan pelaksanaan suatu perjanjian/kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam
masyarakat. 10

Hal

ini

dimaksudkan

jika

klausula-klausula

di

dalam

perjanjian/kontrak tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai ketertiban umum, maka

harus dibatalkan.
Prinsip kebebasan berkontrak pada masa kini dapat diterima dalam situasi
bilamana para pihak memiliki persamaan atau keseimbangan dalam posisi tawar
(equality in bargaining power). Sebelum abad ke-19 model perjanjian/kontrak
masih bersifat klasik di mana perjanjian/kontrak semua bersifat individual, namun

10

Asikin Kesuma Atmadja, ”Pembatasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan
Keadilan”, Varia Peradilan, Tahun II, No. 27, Februari 1987, hal. 2.

6

setelah abad ke-19 dan di awal abad ke-20 prinsip individual telah ditinggalkan
menuju prinsip kolektif. 11
Akibat desakan paham etis dan sosialis, pada akhir abad XIX, paham
individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan
pihak yang memiliki posisi tawar lemah lebih banyak mendapat perlindungan.
Kehendak bebas tidak lagi diberikan secara mutlak, tetapi diberi secara relatif

yang selalu dikaitkan dengan kepentingan umum/negara. 12
Perkembangan

ini

menghendaki

dalam

perjanjian/kontrak

harus

diutamakan prinsip keseimbangan dan keadilan antara posisi tawar masingmasing pihak di dalam perjanjian/kontrak tersebut harus dipenuhi, bukan
mementingkan kepentingan individual sebagaimana perjanjian-perjanjian yang
mengandung klausula eksonerasi dipandang hanya mementingkan satu pihak saja,
sementara di pihak lain tidak menimbulkan rasa keadilan.
Ketidakseimbangan hak dalam perjanjian yang mengandung klausula
eksonerasi dapat dicontohkan pada si A adalah perusahaan besar, katakanlah
sebauh perusahaan yang fungsinya melakukan jual beli mobil (kendaraan) kepada

para konsumennya. Tentu saja dalam kondisi ini posisi tawar yang kuat itu ada
pada pihak perusahaan bukan pada konsumen, sehingga perusahaan dapat dengan

11

Y. Yogar Simamora, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah di Indonesia, (Surabaya: Kantor Hukum WINS & Partners, 2013), hal. 31-32.
Perjanjian yang bersifat individual adalah perjanjian yang mementingkan kepentingan individu
salah satu pihak biasanya pihak ini memiliki posisi tawar yang kuat, sedangkan perjanjian yang
bersifat kolektif adalah perjanjian yang menyeimbangkan kepentingan antara para pihak yang
terikat dalam perjanjian jadi menurut prinsip ini tidak ada satu pihak menekan pihak lain.
12
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersil, (Jakarta: Kencana 2011), hal. 112.

7

mudah mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku untuk
menghindari kerugian perusahaan dan agar perusahaan itu terhindar dari tanggung
jawabnya.

Contoh lain misalnya di dalam hal pengerjaan proyek pelaksanaan
pembangunan yang telah diperjanjikan antara pemodal dengan pelaksanaa proyek,
juga kadang-kadang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi di dalam
perjanjian/kontrak yang didominasi oleh pihak pemilik modal yang memiliki
posisi tawar yang kuat di dalam perjanjian.
Kebutuhan akan suatu benda maupun suatu proyek bagi pihak konsumen
maupun pelaksanaan proyek sudah merupakan hal yang lazim, tetapi yang
membuat hubungan ini menjadi tidak lazim adalah karena tidak seimbang. Ketika
ditemukannya suatu kalusula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang sematamata hanya mementingkan kepentingan si pelaku usaha atau si pemilik modal
yang posisi tawarnya kuat, maka perjanjian demikian adalah tidak seimbang.
Memang sangat disadari suatu prinsip yang berkembang di kalangan para pelaku
usaha yang dikenal dengan sebutan, “take it or leave it contract” 13 menjadi
adagium yang sangat menakutkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar yang
sangat lemah, akibatnya mau tidak mau, pihak yang lemah akan menyetujuinya
karena posisinya sangat memerlukan dan mendesak.

13

Christopher M. Kaiser, “Take It Or Leave It: Monsanto V. Mcfarling, Bowers v.
Baystate Technologies, And The Federal Circuit’s Formalistic Approach To Contracts Of
Adhesion”, Journal Chicago-Kent Law Review, Issue 1 Symposium: Final Status for Kosovo:
Untying the Gordian Knot, Volume 80, Article 19 April 2005, hal. 17.
Lihat juga: http://www.businessdictionary.com/definition/adhesion-contract.html, diakses
tanggal 4 Mei 2014, Defenisi yang ditulis dan dipublikasikan oleh Admin
BusinessDictionary.com.

8

Menolak perjanjian/kontrak atau tidak menyetujui perjanjian yang
mengandung klausula eksonerasi dalam kondisi yang sangat dibutuhkan, sama
artinya menyianyiakan kesempatan, pihak yang posisi tawarnya lemah itu akan
kehilangan kesempatan dan keuntungan, namun sebaliknya jika diambil
(disetujui), maka di samping pihak yang posisi tawar yang lemah beruntung dan
terpenuhi kebutuhannya, namun sebenarnya ia masih memiliki unsur yang
dirugikan secara materil.
Kerugian materil itu misalnya dalam hal perjanjian leasing, pada
umumnya kepada konsumen tidak diberikan copy contract perjanjian oleh
perusahaan leasing. Ketika hal ini dipertanyakan oleh konsumen, perusahaan
leasing mendalihkan dengan alasan yang macam-macam hingga selesainya
perjanjian itu baru kemudian copy contract tersebut diberikan kepada konsumen.
Ternyata di dalam copy contract terdapat klausula yang menyatakan misalnya,
“perusahaan pelaku usaha (kreditor) berhak menarik mobil dengan secara sepihak
jika debitor macet dalam melakukan kewajibannya”. Andaikan saja hal ini terjadi
selama kredit masih berjalan, tentu saja bisa merugikan pihak debitor karena
semaunya kreditor menarik tanpa ada kesepakatan penarikan.
Kerugian materil itu juga dapat dirasakan ketika suatu saat terjadi
kerusakan barang atau objek yang diperjanjikan itu telah dimiliki oleh si
konsumen. Misalnya ketika dilakukan klaim asuransi, umumnya para konsumen
dari perusahaan leasing tidak mengetahui secara jelas apa saja yang menjadi hakhak dan kewajibannya di dalam perjanjian/kontrak. Perusahaan leasing hanya

9

memberikan solusi berupa penjelasan secara lisan tentang bagaimana seharusnya
yang dilakukan untuk klaim asuransi tersebut.
Soal siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang dialamai oleh
konsumen terkait dengan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian
pada praktiknya, konsumen yang merugi mengajukan gugatan wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum. Antara lain contoh dalam praktik dapat dijumpai
misalnya dalam usaha kredit perbankan. Sebelum adanya UUPK, dalam
memberikan kredit, bank mencantumkan syarat sepihak dicantumkannya klausula
yang menyatakan bahwa bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah
(menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh debitur,
tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan
kata lain ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak
yang diambil oleh bank untuk merubah suku bunga kredit, yang telah diterima
oleh debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung. 14
Contoh bank dilarang untuk menyatakan dan menundukkan debitur kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh bank dalam masa perjanjian kredit. 15 Jika ada
pencantuman klausula demikian pada perjanjian kredit bank, berdasarkan larangan
dalam ketentuan Pasal 18 UUPK, terhadap perjanjian ini dapat dimintakan
14

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi,
diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh Diana Kusumasari, berjudul “Klausula
Eksonerasi” dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 April 2011.
15
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2884, diakses tanggal 3 Mei 2014,
Jawaban Bung Pokrol atas pertanyaan, “Bagaimanakah praktik perjanjian kredit dalam Perbankan
di mana terdapat perjanjian baku dengan klausula eksonerasi didalamnya, dengan keluarnya UU
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditentukan dalam Pasal 18 tentang
perjanjian baku, apakah nasabah dapat benar-benar terlindungi, dan apakah hal tersebut dapat
berpengaruh buruk bagi kinerja perbankan?”, Jawaban dipublikasikan di website hukumonline
pada tanggal 28 Juli 2004.

10

pembatalan oleh debitur. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan untuk melindungi
kepentingan konsumen (debitur) pengguna jasa perbankan.
Klausula baku ini juga dapat dijumpai dalam tiket pesawat angkutan udara
maupun karcis parkir, dan lain-lain. Pengadilan telah menyatakan pencantuman
klausula baku dalam tiket pesawat maupun karcis parkir adalah batal demi hukum.
Beberapa putusan pengadilan antara lain misalnya dalam perkara hilangnya mobil
milik Anny R. Gultom saat parkir di parkiran Plaza Cempaka Mas diajukan kasasi
ke MA ditolak oleh MA yang tetap mempertahankan putusan pengadilan tinggi
yang memenangkan pemilik mobil yang hilang Anny R. Gultom. MA menyatakan
putusan ini menjadi yurisprudensi bagi perkara yang serupa. 16
Kemudian dalam kasus gugatan yang diajukan oleh konsumen bernama
David M.L. Tobing menggugat atas penundaan keberangkatan (delay) pesawat
angkutan udara milik PT. Lion Mentari Airlines (PT. Lion Air). MA
memenangkan David M.L. Tobing dengan menjatuhkan putusan ganti rugi yang
harus dibayar oleh PT. Lion Air kepada David M.L. Tobing sebesar
Rp.1.852.000,- (satu juta delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah) yang terdiri
dari uang ganti rugi sebesar Rp.718.500,- (tujuh ratus delapan belas ribu lima
ratus rupiah) dan biaya perkara Rp.1.134.000,- (satu juta seratus tiga puluh empat
ribu rupiah). Biaya perkara itu mencakup seluruh biaya mulai dari proses di

16

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c53c3c1c94a8/ma-tetap-larang-pengelolaparkir-terapkan-klausula-baku, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh ASH (nama
inisial), berjudul, “MA Tetap Larang Pengelola Parkir Tetapkan Klausula Baku”, dipublikasikan di
website hukumonline pada tanggal 31 Juli 2010.

11

pengadilan tingkat pertama hingga Pengadilan Tinggi, dan biaya teguran
(aanmaning). 17
Klausula eksonerasi yang bersifat baku di dalam tiket pesawat PT. Lion
Air itu menyatakan berikut: “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian
apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan
ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan
penyerahan bagasi”. Dari klausula demikian jelas-jelas PT. Lion Air ingin
membebaskan kewajiban yang semestinya menjadi bertanggung jawabnya, tetapi
justru dilepaskannya melalui pencantuman klausula eksonerasi ini. Majelis hakim
MA menyatakan klausula baku dalam tiket PT. Lion Air adalah batal demi
hukum. 18
Kemudian pengadilan juga menyatakan pencantuman klausula baku dalam
tiket pesawat milik PT. Indonesia Air Asia (PT. Air Asia) adalah batal demi
hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam perkara ini,
konsumen yang bernama Hastjarjo Boedi Wibowo mengajukan gugatan atas
perbuatan melawan hukum kepada PT. Air Asia di Pengadilan Negeri Tangerang.
Pengadilan memenangkan gugatan konsumen tersebut dengan menjatuhkan
putusan ganti rugi sebesar Rp.806.000,- (delapan ratus enam ribu rupiah) dan

17

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21311/putusan-idelayi-pesawat-lion-airdieksekusi, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh MON (nama inisial), berjudul,
“Putusan Delay Pesawat Lion Air Dieksekusi”, dipublikasikan di website hukumonline pada
tanggal 27 Februari 2009.
18
Ibid.

12

ganti rugi immaterial sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang harus
dibayar PT. Air Asia kepada Hastjarjo Boedi Wibowo. 19
Alasan pembatalan keberangkatan pesawat angkutan udara milik PT. Air
Asia ini adalah terjadinya kerusakan pesawat sehingga menjadi suatu keadaan
memaksa (overmacht). Pesawat baru bisa digunakan pada tanggal 13 Desember
2008 sementara jadwal penerbangan Hastjarjo Boedi Wibowo adalah tanggal 12
Desember 2008. Pertimbangan majelis hakim menilai PT. Air Asia tidak dapat
membuktikan secara jelas apakah pesawat yang rusak itu adalah pesawat yang
mengangkut Boedi dari Jakarta ke Yogyakarta. PT. Air Asia dinilai tidak bisa
membuktikan pesawat yang rusak dalam kondisi perbaikan selama sidang
pengadilan. 20
Pencantuman klausula eksonerasi menentukan pengalihan tanggung jawab
dalam tiket pesawat PT. Air Asia jelas sangat bertentangan dengan Pasal 18 ayat
(1) huruf a UUPK. Dalam tiket pesawat PT. Air Asia tercantum klausula
eksonerasi yaitu: “Indonesia Air Asia akan mengangkut penumpang, tetapi tidak
menjamin ketepatan sepenuhnya, Indonesia Air Asia dapat melakukan perubahan
tanpa pemberitahuan sebelumnya”. 21 Ketentuan lain dalam Pasal 146 UU Nomor
1 Tahun 1999 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) juga mewajibkan
pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan,

19

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b6c031c4fc99/air-asia-kalah-lawankonsumen, diakses tanggal 3 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh MON (nama inisial), berjudul,
“Air Asia Kalah Lawan Konsumen”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5
Februari 2010.
20
Ibid.
21
Ibid.

13

kecuali pengangkut dapat membuktikan keterlambatan disebabkan oleh faktor
cuaca dan teknis operasional.
Sehubungan dengan persoalan-persoalan yang telah dideskripsikan di atas,
masih banyak lagi contoh-contoh kasus yang akan dianalisis dalam penelitian ini.
Berdasarkan penelusuran pada Direktori Mahkamah Agung Republik Indonesia
ada ditemukan 7 (tujuh) contoh kasus yang mengandung klausula eksonerasi
dalam perjanjian/kontrak digugat di pengadilan. Kesemua contah kasus ini akan
dibahas dan dianalisis mengenai aspek hukumnya, dan pertimbangan majelis
hakimnya.
Persoalan pencantuman klausula eksonerasi dalam 7 (tujuh) contoh kasus
tersebut lebih jauh ditelaah bagaimana seharusnya menurut teori-teori, doktrindoktrin, asas-asas dan prinsip-prinsip perjanjian/kontrak, apakah hakim-hakim
pengadilan dengan serta-merta mengabulkan gugatan penggugat terhadap
perjanjian/kontrak yang mengandung kalusula eksonerasi atau hakim-hakim
pengadilan memiliki pertimbangan lain dan berbeda satu sama lainnya dalam
memberikan argumentasi hukumnya.
Fokus kajian yang menjadi sorotan penting diteliti adalah tingkat
kencenderungan putusan-putusan hakim pengadilan terhadap pencantuman
klausula

eksonerasi

dalam

perjanjian/kontrak.

Bagaimana

hakim-hakim

pengadilan memberikan pertimbangan di dalam putusan-putusannya tentang
pencantuman klausula eksonerasi, untuk mengetahui tingkat kecenderungan
tersebut, maka dilakukan metode pendekatan melalui berbagai putusan
pengadilan. Dari pendekatan tersebut akan diketahui apakah hakim pada

14

umumnya setuju atau mungkin ada yang tidak sependapat dengan pencantuman
klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak. Inilah yang menjadi fokus kajian di
dalam penelitian ini.
Dikaitkan dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian/kontrak misalnya
prinsip

keseimbangan

dan

keadilan,

menimbulkan

pertanyaan

apakah

pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak dapat memenuhi rasa
keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat khususnya konsumen. Hal ini
juga menjadi fokus kajian yang pada kesimpulannya akan memberikan dua opsi
mengatakan perjanjian yang mencantumkan klausula eksonerasi tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian/kontrak atau sebaliknya, perjanjian yang
mencantumkan klausula eksonerasi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
perjanjian/kontrak.
R. Subekti, tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan siapapun
tidak berwenang mencampuri urusan di dalam perjanjian/kontrak. Beliau
menyebut hakim memiliki wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian.22
Suharnoko juga menegaskan hal yang sama bahwa jika pelaksanaan perjanjian
tidak menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim
dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum
dalam perjanjian/kontrak. 23
Perkara-perkara terkait dengan pencantuman klausula baku yang
mengandung klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak berikut ini, ada
gugatannya dikabulkan oleh majelis hakim dan ada pula yang ditolak oleh majelis
22

R. Subekti dalam Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 4.
23
Ibid.

15

hakim. Timbul keiinginan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan
argumentasi hakim yang menolak atau mengabulkan gugatan atas pencantuman
klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak. Alasan-alasan inilah yang menjadi
topik pembahasan di dalam penelitian ini, sehingga menarik untuk dikaji.
Berdasarkan putusan-putusan hakim pengadilan tersebut di atas,
setidaknya telah tergambar adanya persoalan dalam menjatuhkan putusan tentang
perjanjian/kontrak yang mengandung klausula eksonerasi digugat di pengadilan.
Pertimbangan-pertimbangan majelis hakim dalam putusan-putusan itu akan
dianalisis apa yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim cenderung
mengabulkan gugatan atau cenderung menolak gugatan pengugat. Dorongan
untuk mengetahui persoalan ini sehubungan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a
UUPK telah menentukan larangan yaitu melarang pencantuman klausula
eksonerasi di dalam perjanjian.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini,
dirumuskan yaitu:
1. Bagaimanakah ruang lingkup larangan terhadap pencantuman klausula
eksonerasi dalam perjanjian yang diatur di dalam perundang-undangan?
2. Apakah pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak dapat
memenuhi rasa keadilan dan prinsip-prinsip perjanjian/kontrak?
3. Bagaimanakah

kencenderungan

putusan-putusan

hakim

terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian?

pengadilan

16

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup larangan terhadap
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian yang diatur di dalam
perundang-undangan.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pencantuman klausula eksonerasi
dalam perjanjian/kontrak dikaitkan dengan rasa keadilan dan prinsipprinsip perjanjian/kontrak.
3. Untuk mengetahui kencenderungan putusan-putusan hakim pengadilan
terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik
secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat secara teoritis, dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami dan menganalisis permasalahan hukum terhadap
pencantuman

klausula

eksonerasi

dalam

perjanjian,

mengetahui

kecenderungan putusan-putusan hakim terhadap pencantuman klausula
eksonerasi di dalam perjanjian. Bermanfaat pula menjadi bahan referensi
bagi peneliti selanjutannya untuk menambah wawasan dan memberikan
kontribusi bagi ilmu pengetahuan hukum tentang perjanjian.

17

2. Secara praktis, penelitian ini sangat urgen memberikan manfaat bagi para
pihak (para pelaku usaha maupun masyarakat sebagai konsumen) agar
tidak dirugikan oleh pihak lain, bermanfaat pula bagi para majelis hakim
betapa pentingnya memperhatikan hak-hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian demi menyeimbangkan hak dan kewajiban antara para
pihak (para pelaku usaha dan konsumen) dalam perjanjian.

E. Keaslian Penelitian
Sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas
Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU, tujuannya
adalah untuk menghindari kaya ilmiah yang mengandung unsur plagiat terhadap
karya ilmiah milik orang lain. Hasil penelusuran di perpustakaan USU ditemukan
beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini:
1. Tesis atas Nia Winata, NIM: 11701109, Alumni Mahasiswa Magister
Kenotariatan USU, Tamat Tanggal 27 Januari 2014, Judul Tesis “Analisis
Pencantuman Prinsip Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Penyerahan
Anak (Penelitian Dipantiasuhan Anak Yatim Muhamadiyah Cabang
Ganda Pura Kabupaten Bireun Aceh)”. Fokus kajian di dalam tesis ini
adalah membahas tentang klausula eksonerasi di dalam perjanjian
penyerahan anak yatim di Panti Asuhan Muhammadiyah Cabang Ganda
Pura Kabupaten Bireun Aceh.
2. Tesis atas Arief Kurniawan Harefa, NIM: 117011062, dengan judul,
“Akibat Hukum Penerapan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian

18

Penerbitan Kartu Kredit”. Fokus kajian di dalam tesis ini adalah tentang
akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dari pencantuman klausula
eksonerasi khususnya di dalam perjanjian penerbitan kartu kredit.
Sedangkan judul pada penelitian ini adalah “Kencenderungan PutusanPutusan Hakim Pengadilan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam
Perjanjian”. Permasalahan yang akan menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini
adalah tentang ruang lingkup larangan terhadap pencantuman klausula eksonerasi
dalam perjanjian yang diatur di dalam perundang-undangan, kencenderungan
putusan-putusan hakim pengadilan terhadap pencantuman klausula eksonerasi
dalam perjanjian dan kaitannya dengan pemenuhan rasa keadilan serta prinsipprinsip perjanjian/kontrak.
Perbandingan judul dan fokus permasalahan di dalam penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya jelas menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sejauhmana
kecenderungan putusan-putusan pengadilan terhadap pencantuman klausula
eksonerasi di dalam perjanjian akan diteliti dengan melakukan pendekatan
terhadap beberapa putusan pengadilan. Dengan demikian dapat dikatakan
penelitian ini adalah asli, di mana terhadap judul dan rumusan masalah di dalam
penelitian ini tidak memiliki kemiripan dengan judul dan permasalahan penelitian
sebelumnya, sehingga penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat
terhadap karya tulis orang lain.

19

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Pencantuman klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi di
dalam perjanjian/kontrak bertentangan dengan prinsip keadilan, dan prinsip
keseimbangan

(proporsionalitas),

bertentangan

dengan

prinsip-prinsip

perjanjian/kontrak dan norma-norma di dalam undang-undang perlindungan
konsumen. Oleh karena itu teori yang digunakan untuk menganalisis
permasalahan ini adalah teori keadilan komutatif dan teori keseimbangan
(proporsionalitas).
Teori Aristoteles membagi keadilan dalam tiga lingkup yaitu keadilan
distributif, keadilan komutatif, dan keadilan hukum. Dari penjelasan teori tentang
keadilan Aristoteles ini nantinya akan dapat disimpulkan teori mana yang relevan
terhadap teori keseimbangan. Sehingga teori ini disepakati adalah teori keadilan
proporsional yang diadopsi dari teori keadilam komutatif Aristoteles.
Penggunaan teori ini sehubungan dengan kedudukan para pihak dalam
suatu perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dinilai tidak adil dan tidak
seimbang. Apalagi jika di dalam perjanjian itu terdapat satu pihak yang memiliki
posisi tawar kuat dan di pihak lain memiliki posisi tawar lemah, maka pihak yang
kuat biasanya cenderung mengamputasi hak-hak yang seharusnya diserahkan
kepada pihak yang lemah seperti konsumen.

20

Aristoteles sebagai adalah seorang filsuf Yunani sekitar tahun 384-322
SM, telah mempersoalkan tentang keadilan (justice) 24 dalam kehidupan manusia
memiliki kesamaan dengan gurunya Plato yakni sama-sama mempersoalkan
keadilan yang ekstrim, tetapi konsep yang digunakan keduanya sedikit berbeda.
Di mana Plato memperoleh konsep keadilan dari ilham, sedangkan Aristoteles
memperoleh keadilan berdasarkan konsep rasional. 25
Ilham yang dirasakan Plato sehingga melahirkan postulatnya tentang
keadilan adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi, itulah keadilan. 26 Sedangkan
Aristoteles melihat keadilan sebagai suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya
menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran apa
yang hak, maka kecenderungannya adalah orang harus mengendalikan diri dari
pleonexia, yaitu memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara
merebut apa yang merupakan kepunyaan orang lain, atau menolak apa yang
seharusnya diberikan kepada orang lain. 27
Kemudian H.L.A. Hart melihat keadilan adalah nilai kebajikan yang
paling legal (the most legal of virtues), atau dengan meminjam istilah Cicera
menyebut keadilan adalah atribut pribadi (personal atribute).

28

Munir Fuady

masih melihat para filosof Yunani memandang keadilan sebagai suatu kebijakan

24

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982),
hal. 21, hal. 24-27. Dari sisi pendekatan historis, teori tentang keadilan telah muncul sejak lama
dari zaman Socrates (469-399 SM), ajaran keadilan Socrates kemudian dilanjutkan oleh muridnya,
Plato (427-347 SM), ajaran Plato tentang keadilan kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu
Aristoteles (384-322 SM).
25
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat
dan Antinomi Nilai, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007), hal. 13.
26
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.
27
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 163.
28
Munir Fuady, Loc. cit.

21

individual (individual virtue), 29 yang berarti pandangan ini tetap bersifat
individual (subjektif).
Perbedaan pandangan dalam melihat keadilan selalu menyisakan
kehidupan yang tidak pernah berhenti membicarakan keadilan. Oleh karena itu,
sebagai manusia yang berada pada suatu negara hukum, apabila terjadi tindakan
yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukumlah
yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the
lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif. 30
Aristoteles melihat keadilan sebagai suatu kebijakan politik, 31 tetapi
pemikirannya tentang keadilan sangat rasional. Pemikiran Aristoteles mendekati
keadilan dari sisi persamaan, di sisi lain persamaan bisa pula dikecualikan.
Pendekatan dari sisi kesamaan, Aristoteles menghendaki agar asas-asas persamaan
diberikan kepada anggota-anggota masyarakat atau negara. Hukum hendaknya
menjaga agar pembagian yang demikian senantiasa terjamin dan dilindungi dari
perkosaan-perkosaan terhadapnya. 32
Aristoteles membagi keadilan menjadi tiga yakni keadilan distributif,
keadilan komutatif (keadilan korektif), dan keadilan hukum (legal justice).
Pembagian ini bertujuan untuk menemukan kesamaan. Keadilan distributif
menurutnya memberikan setiap orang apa yang patut didapatnya atau yang sesuai
dengan prestasinya seperti jasa baik (merits) dan kecurangan/ketercelaan

29

Ibid, hal. 93.
Ibid.
31
Satjipto Rahardjo, Loc. cit.
32
Ibid.
30

22

(demerits), yang merupakan pekerjaan yang lebih banyak dilakukan oleh badan
legislatif. 33
Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik, dan keadilan korektif
yang kedua berlaku dalam hukum perdata dan pidana. Pembagian keadilan
distributif dan korektif dilakukan atas dasar karena sama-sama rentan memaknai
kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya saja. Hal
yang penting dalam keadilan distributif adalah imbalan-imbalan yang sama rata
diberikan atas pencapaian yang sama rata, sedangkan pada keadilan korektif yang
menjadi persoalan adalah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh
pelanggaran kesepakatan harus dikoreksi dan dihilangkan. 34
Keadilan distributif berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barangbarang lain yang sama-sama bisa didapatkan oleh anggota masyarakat, dengan
mengesampingkan pembuktian matematis. Jelaslah apa yang ada di benak
Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai
yang berlaku di kalangan warga. 35 Distribusi yang adil boleh jadi merupakan
distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilai bagi masyarakat.
Keadilan distributif mendistribusikan hak-hak setiap orang atau setiap
warga negara sama rata tanpa membeda-bedakan statusnya. Misalnya, hak-hak
politik masyarakat atau kedudukan di dalam parlemen, atau hak setiap mahasiswa
dalam memperoleh pendidikan adalah sama. Dapat pula diartikan bentuk keadilan

33

Munir Fuady, Dinamika...Op. cit., hal. 111.
Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Filsafat Hukum
Perspektif Historis, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 25.
35
Aristoteles, The Nicomachean Ethics, (New York: Oxford University Press Inc, 2009),
hal. 84.
34

23

ini yaitu memberikan bagian masing-masing orang sama banyaknya, tidak perlu
dibedakan apakah ia kaya atau miskin.
Pengertian keadilan komutatif menurut Aristoteles adalah memberikan
kepada setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each
one his due) tidak sama rata. Mengusahakan keadilan komutatif ini merupakan
pekerjaanya para hakim. Misalnya menjatuhkan hukuman sesuai dengan
kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya,
sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang
lain, atau tidak ada orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain. 36
Bentuk keadilan komutatif inilah yang disebut-sebut sebagai keadilan
korektif. Keadilan korektif berupaya mengoreksi keadilan distributif di
pengadilan. Siapakah yang berperan penting dalam mengoreksi keadilan itu
adalah para hakim pengadilan. Itu sebabnya sejalan dengan kekuasaan kehakiman
diberikan kewenangan kepada para hakim untuk menemukan hukum termasuk
menemukan keadilan bagi para pencari keadilan.
Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu
perjanjian dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya
memberikan kompensasi yang memadai bagi para pihak yang dirugikan. Jika
suatu kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan
kepada si pelaku. Jika ada pertengahan antara dua ekstrem yang mempersoalkan

36

Munir Fuady, Dinamika...Op. cit., hal. 111.

24

ketidakadilan,

maka

keadilan

korektif

lah

yang

berupaya

mengoreksi

ketidakadilan itu. 37
Bagaimanapun

ketidakadilan

akan

mengakibatkan

terganggunya

kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas
membangun kembali kesetaraan atau meminjam ungkapan modern disebut dengan
keseimbangan (proporsionalitas). Dari doktrin-doktrin keadilan Aristoteles ini
sesungguhnya dapat dipahami bahwa ketika orang menuntut suatu hak dalam
perjanjian harus seimbang (proporsional), maka sesungguhnya ia sedang menuntut
hak-haknya yang hilang melalui keadilan korektif (corrective justice).
Hukum hanya meninjau pada perbedaan yang diciptakan oleh suatu
pelanggaran, dan memperlakukan setiap manusia sebagai makhluk yang setara
dari sananya, di mana yang satu menciptakan kerugian dan yang lain menderita
kerugian, atau seseorang berbuat dan orang lain menerima akibat dari perbuatan
orang tersebut. Nyatalah bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan
yang tepat, sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya Pemerintah. 38
Pengertian

keadilan

hukum

(legal

justice)

menurut

Aristoteles

membicarakan keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum (hak dan kewajiban)
dalam undang-undang, di mana pelanggaran terhadap keadilan hukum ini akan
ditegakkan melalui proses hukum, umumnya di pengadilan. 39 Ketiga-tiga
pembagian keadilan ini dapat diterapkan bersifat kasusitis, para hakim harus
bijaksana dalam menerapkan keadilan mana yang seharusnya dan sepantasnya
diberikan kepada para pencari keadilan.
37

Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Op. cit., hal. 26.
Munir Fuady, Dinamika...Loc. cit.
39
Ibid.
38

25

Sebagaimana Aristoteles melihat keadilan dengan dasar yang rasional
(penalaran), John Rawls juga mendasarkan pada rasionalitas untuk melihat
keadilan. Sesuatu itu adil atau tidak adil menurut John Rawls harus didukung
dengan penilaian-penilaian yang rasional atau penalaran. Rasionalitas merupakan
dasar keadilan korektif. Setiap orang memiliki hasrat untuk bertindak sesuai
dengan penilaian-penilaian dan mengharapkan hasrat sesuai dengan yang ada pada
orang lain. Bahkan beliau katakan bahwa kapasitas moral sangat jelas dan
kompleks. 40
John Rawls mengembangkan keadilan yang dibagi-bagi oleh Aristoteles
tersebut khususnya keadilan yang mesti dikembalikan oleh hukum (keadilan
korektif). Menurutnya, keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum
penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masingmasing (justice fairnes). 41 Dua prinsip keadilan menurut John Rawls yang dirinci
pertama, terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties). Kedua,
perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang
positif yaitu (a) terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap
orang termasuk bagi setiap orang yang lemah (maximum minimorium), dan (b)
terciptanya kesempatan bagi semua orang. 42

40

John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: Harvard University Press Cambridge,
1999), hal. 41.
41
John Rawls diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 73.
42
Munir Fuady, Dinamika... Op. cit., hal. 94. Lihat juga: John Rawls, Op. cit., hal. 53.
Lihat juga: John Rawls diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op. cit., hal. 72.

26

Itulah sebabnya, ketika orang bersengketa atau berperkara, para pencari
keadilan yang telah hilang menjadikan hakim sebagai tempat perlindungan dari
ketidakadilan. Seseorang datang kepada hakim berarti datang kepada keadilan
karena sifat alamiah dari hakim berfungsi menghidupkan atau mengoreksi
kembali keadilan formulatif dalam undang-undang dan menemukan keadilan yang
telah hilang tersebut untuk dikoreksi. Dalam hal ini lembaga kehakiman harus
berfungsi sebagai lembaga untuk mengoreksi dan dikoreksi, sehingga pantas
lembaga itu bersifat independen. 43
Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan
kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia
sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa dipahami tentang kesamaan dan
dimaksudkan ketika mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan
hukum (equality before the law). Dipandang adil menurut asas ini menghendaki
setiap orang diperlakukan sama dengan memberikan hak yang sama, tidak boleh
dibeda-bedakan satu sama lainnya. 44 Mirip dengan kesamaan proporsional yang
memberi setiap orang yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
prestasinya, dan sebagainya, walaupun pembedaan Aristoteles ini menghadirkan
kontroversi seputar keadilan. 45
Sedikitnya dapat dipahami gambaran tentang keadilan walaupun hanya
dijelaskan dengan menggunakan teori-teori keadilan versi Aristoteles tersebut di
atas, namun pandangan tentang keadilan menurut pakar yang lain seperti Socrates,

43

Aristoteles, The Nicomachean Ethics…Op.cit.,hal. 87.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2009), hal. 10.
45
Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Op. cit., hal. 24.
44

27

Plato, Curzon, Eugene C. Gerhart, Bruce Nash, Allan Zullo, John Rawls, Jeremy
Bentham, Cicero, Benjamin N. Cardozo, memiliki teori tentang keadilan dengan
mengakhiri teorinya pada tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan sematamata. 46
Teori apapun yang memberikan postulatnya tentang keadilan selalu
berbeda-beda tetapi pada akhirnya selalu dikaitkan dengan tujuan hukum adalah
untuk mewujudkan keadilan. Ada yang mengaitkan keadilan dengan politik
hukum negara, sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan,
senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada juga
yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terusmenerus, untuk memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang. Ada juga
yang memiliki teori tentang keadilan dengan melihat keadilan sebagai
pembenaran dari pelaksanaan hukum yang diperlawankan dengan kesewenangwenangan. Ada pula yang berpendapat tentang keadilan sebagai sesuatu yang
harus disucikan bukan saja diperoleh dari persidangan di pengadilan tetapi di
manapun dapat diperoleh di luar pengadilan. 47
Menariknya dalam teori Benjamin N. Cardozo mencetuskan keadilan
dengan melalui humornya seolah memperlakukan keadilan terhadap seorang
wanita yang butuh tenaga dan waktu untuk dirayu. Menurutnya proses
menemukan keadilan merupakan suatu proses yang tidak pernah “terselesaikan”
tetapi merupakan proses yang senantiasa melakukan reproduksi dirinya sendiri

46

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legispridence), (Jakarta: Kencana,
2009), hal. 217-221.
47
Ibid., hal. 221.

28

sesuai dengan perkembangan zaman, dari generasi ke generasi dan terus-menerus
mengalami perubahan, yang merupakan panggilan yang berani dan terbaik. 48
Ada pula yang mengatakan keadilan yang sempurna itu tidak pernah ada,
yang ada, hanyalah sekedar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu. Maka dapat
dikatakan bahwa sesuatu itu adil (rechtvaardig) lebih bergantung pada kesesuaian
dengan hukum (rechtmatigheid) dari pandangan pribadi seorang penilai. Sudikno
Mertokusumo mengatakan, “Hukum tidaklah identik dengan keadilan”. 49
Berdasarkan teori-teori keadilan tersebut di atas mengarahkan pemikiran
pada analisis hukum dengan fokus persoalan pencantumkan klausula eksonerasi di
dalam perjanjian. Bahwa sangat dinilai tidak adil jika klausula eksonerasi
(kalusula pelepasan tanggung jawab secara sepihak) dicantumkan dalam
perjanjian bila dipandang dari teori keadilan distributif, hak dan kewajiban antara
pelaku usaha dan konsumen tidak harus sama rata atau fifty-fifty (50:50).
Klausula eksonerasi bila dipandang dari keadilan distributif adalah tidak
adil, tetapi klausula eksonerasi sangat adil bila dianalisis dari teori keadilan
komutatif (keadilan korektif). Membicarakan teori kedilan komutatif adalah sama
artinya membicarakan teori keseimbangan (proporsionalitas). Ketika pencantuman
klausula eksonerasi ini mengandung persengketaan antar para pihak, maka para
pihak dapat mengajukan klaim/tuntutan melalui pengadilan agar hakim
mengoreksi ketidakadilan itu. Disinilah perannya keadilan komutatif itu berlaku,
sehingga pencantuman klausula eksonerasi akan dipandang menjadi adil.

48
49

Ibid., hal. 222.
Ibid.

29

Kata “seimbang” (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan
pembagian beban pada kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keseimbangan
dimaksud adalah keadaan hening atau keselarasan karena berbagai gaya yang
bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya atau karena tidak satu elemen
menguasai elemen lainnya. 50 Dari pengertian seimbang ini bukan berarti hak dan
kewajiban dalam perjanjian bagi para pihak harus sama rata atau fifty-fifty (50:50).
Tim Naskah Akademis BPHN merumuskan keseimbangan menghendaki
kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan suatu perjanjian, dimana kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. 51 Perumusan
makna keseimbangan ini adalah sepihak, tidak disebutkan hak dan kewajiban
sebaliknya bagi debitur, inilah yang tidak adil dan tidak sesuai konsep keadilan
komutatif.
Memahami keadilan distributif mudah dipahami dengan melihat hak dan
kewajiban setiap mahasiswa magister ilmu hukum USU adalah sama rata, tidak
ada pembeda-bedaan antara satu sama lain. Berbeda dengan keadilam komutatif
dengan melihat hak dan kewajiban setiap orang dalam struktur perseroan tidak
sama (berbeda), hak dan kewajiban karyawan tidak sama dengan hak dan
kewajiban manager, hingga direksi, sehingga perolehan gaji masing-masing pun
harus berbeda.

50

Herlien Budiono, Op. cit, hal. 303-304.
Tim Naskah Akademis BPHN, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985), hal. 9.
51

30

Pembagian hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tentu tidak
mungkin harus mengikuti keadilan distributif, melainkan harus mengikuti
keadilan komutatif. Namun ketika para pihak merasa tidak adil, khususnya dalam
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian, maka pihak yang merasa tidak
adil itu boleh menuntut haknya melalui pengadilan, inilah makna keadilan
korektif.
Tidak akan pernah ada suatu perjanjian apapun jenisnya yang mengatur
hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak kedua harus sama rata atau
fifty-fifty (50:50). Disinlah diperlukan pembedaan keadilan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Aristoteles tersebut di atas. Tidak mungkin pengaturan hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian itu harus memenuhi keadilan distributif
(baca: Aristoteles).
Teori keadilan keseimbangan digunakan dalam penelitian ini lebih
diarahkan pada teori keadilan komutatif untuk menganalisis pencantuman
klausula eksonerasi, apakah pencantuman klausula eksonerasi tersebut adil atau
tidak. Perlu diketahui bahwa seimbang (proporsional) bukan berarti harus sama
rata atau fifty-fifty (50:50) sebagaimana dalam teori keadilan distributif, tetapi
tidak sama rata pun (misalnya 70:30) juga adil bila dipandang dari keadilan
komutatif.
Menggunakan analisis berdasarkan teori keadilan komutatif karena dapat
memberikan keseimbangan (proporsionalitas) antara hak dan kewajiban bagi para
pihak di dalam perjanjian/kontrak. Tetapi kalau pencantuman kalusula eksonerasi
dianalisis berdasarkan teori keadilan distributif adalah tidak adil. Kalau dalam

31

teori keadilan distributif berlaku asas persamaan di depan hukum (equality before
the law) tetapi kalau dalam teori keadilan komutatif tidak berlaku asas ini, artinya
ada pengecualian terhadap berlakunya asas equality before the law.
Keseimbangan menurut Van Dale harus diperhatikan dalam membuat
perjanjian/kontrak.

Menurutnya

keadaan

“seimbang”

(evenwicht)

harus

menunjukkan keselarasan antara hak dan kewajiban dari berbagai pihak yang
terikat dan tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau tidak satupun elemen
yang menguasai elemen lainnya. 52
Menurut Herlien Budiono keseimbangan dalam perjanjian merupakan
konstruksi dari kesusilaan, itikad baik, kepantasan dan kepatutan. 53 Tujuan
perjanian/kontrak menurut Atiyah menegaskan syarat pencampuran nilai-nilai
masyarakat (community values), yakni keadilan (rechtvaardigheid) dengan
kepatutan (betamelijkheid) 54, sehingga ketika membahas masalah pencantuman
klausula eksonerasi adalah membicarakan tentang asas patut atau pantas.
Agus Yudha Hernoko menghendaki proporsionalitas memberikan porsi
masing-masing pihak harus seimbang, tetapi tidak pula harus dilihat dari konteks
keseimbangan-matematis (equilib