BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual - Tyas Dyah Setiana BAB II

  a)

Kemampuan berpikir geometri Van Hiele

  Kemampuan adalah berasal dari kata mampu, mampu berarti kuasa atau sanggup melakukan sesuatu. Sedangkan berpikir menurut Santrock (2008), adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasikan informasi dalam memori. Ini sering dilakukan untuk membentuk konsep, bernalar, dan berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah.

  Menurut Walgito (1980), terdapat beberapa macam pendapat mengenai definisi berpikir, diantaranya ada yang menganggap berpikir sebagai suatu proses asosiasi saja, pandangan semacam ini yang dikemukakan oleh kaum assosiasionist. Adapula yang memandang berpikir sebagai suatu proses penguatan hubungan antara stimulus dan respons, pandangan semacam ini yang dikemukakan oleh kaum fungsionalist. Diantaranya ada yang mengemukakan bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan psikis untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih. Hubungan antara dua objek atau lebih dapat dicari dengan melalui proses berpikir. Menurut Solso (2007), berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribut mental yang mencangkup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah, logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan. Hal ini diperjelas lagi oleh Valentine (1965) (dalam Kuswana, 2013), berpikir dalam kajian psikologis secara tegas menelaah proses dan pemeliharaan untuk suatu aktivitas yang berisi mengenai "bagaimana" yang dihubungkan dengan gagasan-gagasan yang diarahkan untuk beberapa tujuan yang diharapkan.

  Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah proses mentransformasikan informasi dalam memori, untuk membentuk konsep, pemecahan masalah, bernalar, membuat kesimpulan dan mampu menghubungkan gagasan-gagasan yang diarahkan untuk beberapa tujuan yang diharapkan.

  Geometri menjelaskan tentang hubungan dan penalaran. Ide- ide geometri berguna dalam mewakili dan memecahkan masalah di bidang matematika dan dalam situasi dunia nyata, sehingga geometri harus diintegrasikan apabila memungkinkan dengan materi lain. Geometri representasi dapat membantu siswa memahami dari materi dan pecahan, histogram dan scatterplots dapat memberikan wawasan tentang data, dan grafik koordinat serta dapat melayani untuk menghubungkan geometri dan aljabar. (NCTM, 2000). Geometri merupakan salah satu materi yang ada di sekolah menengah atas.

  Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir geometri adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh siswa untuk melakukan proses mentransformasikan informasi geometri dalam memori, untuk membentuk konsep, pemecahan masalah, bernalar, membuat kesimpulan dan mampu menghubungkan ide-ide geometri.

  Di dalam teori Van Hiele menjelaskan mengenai tingkatan dari kemajuan berpikir geometri siswa. Di dalam teori tersebut diuraikan lima tingkatan yaitu dimulai dari tingkatan yang paling dasar yaitu tingkat visualisasi dan akan terus meningkat ke tingkat yang paling maju yaitu ketepatan.

  Karakteristik tingkat-tingkat Van Hiele (Van De Walle, 2006) , yaitu : 1)

Tingkatan-tingkatan tersebut bertahap. Untuk sampai pada tiap-tiap tingkatan di atas tahap 0, siswa harus menempuh

  tingkatan sebelumnya. Untuk menempuh sebuah tingkatan berarti seseorang haruslah menguasai pemikiran geometri yang cocok pada tingkatan tersebut dan telah membuat dalam pikirannya sendiri tipe-tipe objek atau hubungan yang merupakan fokus pemikiran di tingkat selanjutnya.

  2) Tingkatan-tingkatan tersebut tidaklah bergantung usia seperti tahap perkembangan Piaget. Siswa tingkat tiga atau siswa sekolah menengah dapat berada pada tingkat 0.

  Faktanya beberapa siswa dan orang dewasa terus berada di tingkat 0 dan cukup banyak orang dewasa yang tak pernah mencapai tingkat 2. 3)

  Pengalaman geometri merupakan faktor tunggal terbesar dalam mempengaruhi perkembangan dalam tingkatan- tingkatan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang memberikan kesempatan siswa menelusuri, berdiskusi, dan berinteraksi dengan materi pada tingkatan selanjutnya, meningkatkan pengalaman pada tingkat saat ini, dan memiliki kesempatan terbaik dalam mengembangkan tingkat pemikiran bagi siswa-siswa tersebut.

  4) Ketika instruksi atau bahasa yang digunakan terletak pada tingkatan yang lebih tinggi daripada yang siswa miliki, aka nada komunikasi yang kurang.

  b)

Tingkatan berpikir geometri Van Hiele

  Menurut Mayberry (dalam Abdussakir, 2010) teori Van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre Marie Van Hiele dan Dina Van Hiele-Goldef, menjelaskan tentang perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Tingkatan-tingkatan berpikir geometri Van Hiele (Van De Walle, 2006), yaitu :

  1)

Level 0 (Visualisasi)

  (Objek-objek pikiran pada level 0 berupa bentuk-bentuk) Siswa-siswa pada tingkatan awal ini mengenal dan menamakan bentuk-bentuk berdasarkan pada karakteristik luas dan tampilan dari bentuk-bentuk tersebut. Siswa-siswa ini mampu membuat pengukuran dan bahkan berbicara tentang sifat-sifat bentuk, tetapi sifat-sifat tersebut tak terpisahkan dari wujud yang sebenarnya. Siswa pada tingkatan ini akan memilih dan mengklarifikasikan bentuk berdasarkan wujud atau tampilannya. Penekanan pada level 0 terdapat pada bentuk-bentuk yang dapat diamati, dirasakan, dibentuk, dipisahkan, atau digunakan dengan beberapa cara oleh siswa. Tujuan umum yaitu menelusuri bagaimana bentuk-bentuk serupa atau berbeda, serta menerapkan ide-ide ini untuk membuat berbagai kelompok daru bentuk-bentuk. Beberapa kelompok dari bentuk- bentuk ini memiliki sebutan, yaitu persegi panjang, segitiga, prisma, silinder, dan sebagainya. Sifat-sifat bentuk, seperti sisi-sisi yang sejajar, simetri, sudut siku-siku dan sebagainya, tercakup pada level ini tapi hanya secara informal dan berdasarkan pengamatan.

  2) Level 1 (Analisis)

  (Memahami sifat-sifat dari bangun ruang) Siswa pada tingkatan analisis dapat menyatakan semua bentuk dalam golongan selain bentuk satuannya.

  Pada tahap ini siswa dapat menyebutkan sifat-sifat bangun ruang sebanyak mungkin.

  3) Level 2 (Deduksi Informal)

  (Melihat adanya hubungan sifat-sifat antar objek geometri) Siswa pada tahap deduksi informal mulai dapat berpikir tentang sifat-sifat objek geometri tanpa batasan dari objek-objek tertentu, mereka dapat membuat hubungan di antara sifat-sifat tertentu.

  4)

Level 3 (Deduksi)

  (Membuktikan teorema dengan menggunakan pemikiran logis yang terartikulasi) Pada tingkat deduksi, siswa mampu meneliti bukan hanya sifat-sifat bentuk saja. Pemikiran mereka sebelumnya telah menghasilkan dugaan mengenai hubungan antar sifat- sifat. Ketika analisis pendapat informal ini berlangsung, struktur sebuah sistem lengkap dengan aksioma, definisi, teorema, efek dan postulat mulai berkembang dan dapat dihargai sebagai alat dalam pembentukan kebenaran geometri. Pada tingkat ini, siswa mulai menghargai kebutuhan dari system logika yang berdasar pada kumpulan asumsi minimum dan dimana kebenaran lain dapat diturunkan. Siswa pada tingkat ini mampu bekerja dengan pernyataan-pernyataan abstrak tentang sifat-sifat geometri dan membuat kesimpulan lebih berdasarkan pada logika daripada naluri. Siswa juga dapat menemukan hubungan- hubungan yang nantinya mereka buktikan. 5)

Level 4 (Rigor)

  (Objek-objek pemikiran pada tingkat 4 berupa sistem- sistem deduktif dasar dari geometri) Dalam tahap ini siswa sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.

  Menurut teori, ada lima tingkat berpikir dalam geometri. Tingkat ini dijelaskan oleh Van Hiele di berbagai tempat dengan syarat-syarat umum dan perilaku pada setiap tingkatannya. Level berpikir geometri menurut teori Van Hiele (Usiskin, 1982) yaitu: 1)

  Level 1: regcognition Siswa pada level ini dapat memberikan nama dari tampilan dan pengelompokan berdasarkan bentuk.

  2) Level 2: analysis

  Siswa pada level ini dapat mengidentifikasikan sifat dari sebuah bentuk.

  3) Level 3: order

  Siswa pada level ini dapat berpikir secara logika dan dapat menghubungkan antar sifat, namun tidak mengoprasikan dengan sistem matematika. 4)

  Level 4: deduction Pada level ini siswa memahami pentingnya deduksi dan peran postulat, teorema, dan bukti. (bukti dapat ditulis dengan pemahaman)

  5) Level 5: rigor

  Pada level ini siswa dapat memahami perlunya ketegasan dan mampu membuat kesimpulan abstrak. (geometri non- Euclid dapat dipahami)

  Model terdiri dari lima tingkat berpikir. Tingkat, berlabel "visualisasi," "analisis," "informal deduksi," "deduksi," dan

  "rigor" masing-masing menggambarkan karakteristik dari proses berpikir. Seorang pelajar bergerak secara berurutan dari awal, atau dasar, tingkat (visualisasi), dimana ruang hanya diamati sifat dari angka-angka tidak secara eksplisit diakui, melalui urutan yang tercantum di atas tingkat tertinggi (rigor), yang berkaitan dengan aspek-aspek abstrak yang resmi dari deduksi.

  Berikut ini tingkat berpikir geometri menurut Van Hiele (Crowley, 1987), yaitu:

  1) Level 0 (basic level): Visualization

  Pada tahap awal ini siswa dapat mengidentifikasikan bentuk tertentu dan menamakan bentuk-bentuk tersebut.

  2) Level 1: Analysis

  Pada tahap ini, analisis konsep geometri dimulai. Siswa mulai membedakan karakteristik bentuk geometri. Sifat- sifat yang muncul kemudian digunakan untuk konsep berikutnya.

  3) Level 2: Informal Deduction

  Pada tahap ini, siswa dapat membangun hubungan timbal balik antar sifat.

  4)

Level 3: Deduction

  Pada tahap ini, siswa dapat membangun sebuah bukti bukan hanya menghafal dari sebuah definisi, aksioma, dan postulat.

  5)

Level 4: Rigor

  Pada tahap ini, siswa dapat bekerja diberbagai sistem aksioma yaitu mempelajari geometri non Euclid dan dapat membandingkan sistem yang berbeda.

  Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir geometri Van Hiele adalah suatu kemampuan yang menggambarkan tentang kemajuan tingkat- tingkat berfikir siswa dalam belajar geometri, proses mentransformasikan informasi geometri dalam memori, untuk membentuk konsep, pemecahan masalah, bernalar, membuat kesimpulan dan mampu menghubungkan ide-ide geometri.

  Berdasarkan penjabaran dari beberapa ahli di atas, maka dalam penelitian ini peneliti mengambil lima tingkatan berpikir geometri Van Hiele, yaitu: 1)

Level 0: Visualisasi

  Pada tahap ini, siswa mengenal dan menamakan bentuk-bentuk berdasarkan pada karakteristik dan tampilan dari bentuk-bentuk geometri. Penekanan pada level 0 terdapat pada bentuk-bentuk yang diamati, dirasakan, dibentuk, dipisahkan atau digunakan dengan beberapa cara oleh siswa. Contoh: Berikut ini manakah yang termasuk dalam bentuk kotak ?

  (c) (a) (b) (e) (f) (d)

  (h) (g)

  Jawab: Yang merupakan bentuk kotak adalah: (a), (b), (f), (g), dan (h)

  2)

Level 1: Analisis

  Pada tahap ini, siswa mengenali sebuah bentuk geometri dan akan menyebutkan sifat-sifat dari bentuk geometri sebanyak mungkin. Contoh: Sebutkan sifat-sifat dari bangun berikut: Jawab: Sifat-sifat dari bangun prisma segilima adalah:

  a) memiliki bidang alas dan bidang atas berupa segilima yang kongruen (2 alas tersebut juga merupakan sisi prisma segilima) b) memilki 7 sisi (2 sisi berupa alas atas dan bawah, 5 sisi lainnya merupakan sisi tegak yang semuanya berbentuk persegi panjang) c) memiliki 15 rusuk d) memiliki 10 titik sudut

  3)

Level 2: Deduksi Informal

  Pada tahap ini, siswa mulai berpikir tentang sifat-sifat objek geometri tanpa batasan dari objek-objek tertentu, serta dapat membuat suatu hubungan diantara sifat-sifat geometri. Contoh: Diketahui kubus ABCD.EFGH, garis l merupakan perpanjangan dari garis AD. Tentukanlah titik yang berada didalam garis l dan berada diluar garis l.

  l

  Jawab: Titik yang terletak didalam garis l adalah titik A dan titik D.

  Sedangkan titik yang berada diluar garis l adalah titik B, C, E, F, G, dan H.

  4)

Level 3: Deduksi

  Pada tahap ini, siswa membuktikan kebenaran geometri dengan menggunakan aksioma, definisi, dan teorema.

  Contoh: Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk 6 cm.

  Titik Q berada di tengah-tengah garis BF. Hitunglah jarak antara titik H ke titik Q.

  Jawab:

  1 FQ

  6 3 cm = × =

  2 Q

  2 2 2 2 HF = HG GF HQ = HF FQ + + 2 2 2

  6

  • HF =

  6

  6

  2

  • HQ =

  3 2 ( )

  36

  36 + HF =

  9 HF =

  72 + HQ =

  72

  81 9 cm HQ = = HF =

  6 2 cm Jadi, jarak antara titik H ke titik Q adalah 9 cm.

  5)

Level 4: Rigor

  Pada tahap ini, siswa dapat membuktikan berdasarkan pada aksioma-aksioma yang berbeda tanpa menghadirkan teori-teori konkrit. Contoh: Jika diketahui kubus ABCD.EFGH, garis FC merupakan diagonal bidang BCGF. Buktikan jika garis GC sejajar dengan bidang ADHE. Jawab: Bidang ABCD // bidang EFGH, sehingga jarak titik C ke titik D sama dengan jarak titik F ke titik E. karena garis FC terletak pada bidang BCGF maka garis FC sejajar dengan bidang ADHE.

  a) Pengertian Adversity Quotient (AQ)

  Menurut Stolz (2003) mengemukakan bahwa Adversity

  Quotient (AQ) memiliki tiga bentuk. Pertama Adversity Quotient

  (AQ) adalah satu kerangka konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, Adversity

  Quotient (AQ) adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon

  seseorang dalam menghadapi kesulitan. Kemudian yang ketiga,

  Adversity Quotient (AQ) adalah serangkaian peralatan yang

  memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.

  Menurut Agustian (2002), Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup.

  Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

  Adversity Quotient (AQ) merupakan suatu kecerdasan yang

  dimiliki seseorang dalam menghadapi suatu kesulitan dan kemauan yang kuat berkaitan dengan daya juang dalam mengatasi hambatan sehingga mampu untuk memanagemen hambatan tersebut menjadi sebuah keberhasilan.

  b) Tingkatan golongan Adversity Quotient (AQ)

  Menurut Stoltz (2003) ada tiga golongan respon terhadap tantangan-tantangan, yaitu: 1)

  Adversity Quotient (AQ) rendah yang disebut dengan

  Quitters

  Ada banyak orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban dan berhenti. Mereka ini disebut

  Quitters atau orang-orang yang berhenti. Mereka

  menghentikan pendakian, mereka menolak kesempatan, mereka mengabaikan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki. Pada golongan ini juga lebih memilih meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

  Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada golongan Quitters ini memiliki ciri-ciri yang pertama memilih untuk berhenti. Ciri-ciri yang kedua menghindar dari kewajiban. Kemudian ciri-ciri yang ketiga menyerah sebelum sampai pada tujuan pendakian.

  Pada golongan Quitters, memiliki ciri-ciri yang pertama memilih untuk berhenti. Untuk golongan pelajar hal ini ditunjukkan dengan jika siswa menemukan suatu kesulitan saat mengerjakan soal, mereka tidak mau berjuang untuk bisa mengatasi kesulitan tersebut dan memilih berhenti untuk tidak mengerjakan soal tersebut. Ciri-ciri yang kedua menghindar dari kewajiban. Untuk golongan pelajar hal ini ditunjukkan dengan siswa menghindar dari kewajiban siswa untuk belajar dan mengerjakan tugas dari guru. Kemudian ciri-ciri yang ketiga menyerah sebelum sampai pada tujuan pendakian. Untuk golongan pelajar hal ini ditunjukkan dengan adanya rasa puas terhadap hasil yang telah diperoleh namun siswa merasa ketidak mampuannya untuk menghadapi kesulitan tersebut.

  2) Adversity Quotient (AQ) sedang yang disebut dengan

  Campers

  Pada golongan ini adalah golongan campers atau orang- orang yang berkemah. Mereka yang telah berusaha sedikit namun memilih untuk berhenti mendaki karena telah merasa puas dan merasa bosan sehingga mereka mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat datar yang rata dan nyaman untuk berkemah. Berbeda dengan

  

Quitters, Campers sekurang-kurangnya telah menanggapi

  tantangan pendakian. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Namun, demikian meskipun Campers telah berhasil mencapai tempat perkemahan, mereka tidak mungkin mempertahankan keberhasilan itu tanpa melanjutkan pendakiannya.

  Untuk golongan pelajar hal ini ditunjukkan dengan ketika mereka diberikan kewajiban untuk mengerjakan tugas mereka melakukan kewajiban tersebut namun siswa cepat merasa puas dengan hasil usahanya. Usaha tersebut dilakukan semata-mata karena adanya rasa takut terhadap gurunya. Siswa juga tidak memperjuangkan lagi apa yang sudah dia kerjakan katika mengalami kesulitan. 3)

  Adversity Quotient (AQ) tinggi yang disebut dengan

  Claimbers Claimbers adalah golongan yang tidak cepat merasa

  puas dan berusaha untuk meraih ketingkat yang paling tinggi. Untuk semua hal yang mereka kerjakan, mereka benar-benar memahami tujuannya dan mengetahui bagaimana perasaan gembira yang sesungguhnya.

  Untuk golongan pelajar hal ini ditunjukkan dengan adanya usaha yang maksimal untuk mencapai tujuan yang dia inginkan. Mereka tidak cepat merasa puas dan menjadikan kegagalan sebagai cambuk untuk melakukannya lagi agar mendapatkan hasil yang terbaik. Mereka melaksanakan semua kewajiban sebagai siswa dan melakukan usaha tanpa pamrih atau karena adanya rasa takut terhadap gurunya. Serta siswa mempunyai daya juang yang tinggi ketika menghadapi kesulitan dalam belajar maupun dalam mengerjakan tugas dari guru.

  c) Dimensi dan indikator Adversity Quotien (AQ)

  Stoltz (2003) mengemukakan bahwa Adversity Quotient (AQ) terdiri dari empat dimensi-dimensi pokok yaitu CO

  2 RE yang

  menjadi dasar penyusunan alat ukur Adversity Quotien (AQ) pada seseorang. Dimensi-dimensi tersebut, yaitu: 1)

  Control (Pengendalian)

  Control atau kendali adalah tingkat kendali yang dirasakan

  seseorang terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan, kendali ini mempertanyakan beberapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan, kendali ini diawali dengan pemahamannya bahwa sesuatu apapun itu, dapat dilakukan kendali ini yang memberikan kekuatan. Tanpa adanya kendali, tindakan dan harapan akan hancur dan dengan kendali ini pula hidup dapat berubah dan tujuan akan terlaksana. Orang-orang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) tinggi, akan merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup dari pada orang yang memiki Adversity Quotient (AQ) rendah.

  Seseorang yang memiliki control yang tinggi cenderung mampu mengendalikan diri dalam menghadapi kesulitan, dan mudah bangkit dari ketidakberdayaan. 2)

Origin dan Ownership (Asal-Usul dan Pengakuan)

  Istilah Origin dan Ownership disebut juga dengan asal-usul dan pengakuan, yang akan mempertanyakan apa atau siapa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab asal-usul kesulitan. Orang yang Origin-nya rendah cenderung berpikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri serta memuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya. Sedangkan semakin tinggi pengakuan seseorang, maka semakin besar ia akan mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan apapun penyebabnya. Sebaliknya semakin rendah pengakuan seseorang maka ia semakin tidak mengakui akibat akibatnya apapun penyebabnya. Seseorang yang O

  2 yang tinggi maka orang tersebut mampu menempatkan rasa bersalah secara wajar, dan bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukan. 3)

  Reach (Jangkauan)

  Reach yang disebut juga dengan istilah jangkauan, yang

  berarti sejauh mana dampak kesulitan terhadap dampak aspek lain dalam kehidupannya. Orang yang Reach-nya tinggi, maka semakin besar kemungkinannya untuk merespon kesulitan sebagai suatu yang spesifik dan terbatas, mampu memetakan masalah dengan tepat dan mampu memaksimalkan sisi positif dari suatu kesulitan. Semakin efektif seseorang menahan atau mambatasi jangkauan kesulitan, ia akan merasa semakin lebih berdaya dan perasaan kewalahannya akan berkurang, menjaga kesulitan supaya tetap berada ditempatnya, kesukaran- kesukaran hidup dan tantangan hidup menjadi lebih mudah ditangani. 4)

  Endurance (Daya Tahan)

  Endurance yang disebut sebagai daya tahan, yaitu rentang

  waktu kesulitan dan penyebab kesulitan, berapa lama kesulitan akan berlangsung, dan berapa lamakah penyebab kesulitan.

  Berdasarkan hasil penelitian Seligmen (Stoltz, 2003) tentang teori Atribusi menunjukkan bahwa ada perbedaan yang dramatis antara orang yang mengaitkan kesulitan dengan sesuatu yang sifatnya sementara versus sesuatu yang sifatnya lebih permanen. Ia menemukan bahwa orang yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan, cenderung kurang bertahan di bandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan. Seseorang yang memiliki Endurance yang tinggi maka orang tersebut akan menilai kesulitan atau kegagalan bersifat sementara sehingga memiliki sikap optimis dalam menghadapi kesulitan.

  Selanjutnya berdasarkan uraian tersebut, dapat di tentukan indikator-indikator Adversity Quotient (AQ) dari dimensi-dimensi Adversity Quotient (AQ), yaitu:

  1) Control (Pengendalian)

  Indikator dari dimensi Control antara lain mampu mengendalikan diri dalam menghadapi kesulitan dan tidak mudah putus asa dalam meraih kesuksesan. 2)

  Origin dan Ownership (Asal usul dan Pengakuan) Indikator dari dimensi Origin & Ownership antara lain menempatkan rasa bersalah secara wajar dan bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan.

  3) Reach (Jangkauan)

  Indikator dari dimensi Reach antara lain mampu melakukan pemetaan masalah dengan tepat dan mampu berpikir positif ketika berada dalam situasi yang sulit. 4)

  Endurance (Daya Tahan) Indikator dari dimensi Endurance antara lain memandang kesulitan atau kegagalan hanya bersifat sementara dan optimis dalam menghadapi kesulitan.

B. Penelitian Relevan

  Berikut ini adalah beberapa penelitian yang relevan terkait kemampuan berpikir geometris Van Hiele. Pada penelitian mengenai pemecahan masalah geometri dengan menggunakan representasi aljabar untuk sekolah menengah atas tingkat 3 pada tingkat berpikir geometri Van Hiele yang diteliti oleh Suwito, dkk (2016) menunjukkan siswa pada tingkat 3 untuk tingkat Van Hiele memiliki kemampuan yang baik untuk memecahkan masalah geometri aljabar dalam konten dengan memanfaatkan pengurangan penalaran ketrampilan berpikir untuk membangun struktur geometri dalam sistem aksioma dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Umumnya, tingkat sekolah menengah pertama anak-anak memiliki kemampuan Van Hiele pada tingkat 0-2, tetapi sesuai dengan pengalaman, belajar dapat membantu siswa untuk dapat mengoptimalkan potensi. Masalah geometri terkait erat dengan aljabar, banyak masalah geometri dapat diselesaikan dengan mudah, jika berubah dalam aljabar atau sebaliknya.

  Berbeda dengan penelitian tersebut, hasil penelitian mengenai analisis keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir Van Hiele oleh Muhassanah (2014) menunjukkan hasil bahwa keterampilan geometri yang dimiliki siswa berdasarkan tingkat berpikir Van Hiele itu ternyata berbeda-beda dan berurutan sesuai dengan tingkat berpikir Van Hiele dan hasil penelitian mengungkapkan bahwa setiap siswa dalam sebuah kelas itu mempunyai tingkat berpikir yang berbeda-beda.

  Selain itu penelitian mengenai mencirikan perkembangan tingkat Van Hiele dalam geometri oleh Burger dan Shaughnessy (1986) menunjukkan hasil bahwa dalam belajar geometri, siswa rata-rata hanya mampu sampai dengan level 3 atau deduksi belum mencapai pada level tertinggi yaitu level 4 atau rigor.

  Berbeda dengan penelitian di atas, hasil penelitian mengenai paradigm alternative untuk mengevaluasi perolehan tingkatan Van Hiele oleh Gutierrez, Jaime, dan Fortuny (1991) menunjukan hasil bahwa seorang siswa bisa saja mengembangkan dua tingkat penalaran berturut- turut pada saat yang bersamaan, namun yang biasanya terjadi adalah perolehan siswa tingkat rendah lebih lengkap dari pada siswa tingkat tinggi. Tidak semua siswa menggunakan satu tingkat, tetapi beberapa diantaranya menggunakan beberapa tingkat pada saat bersamaan, namun tergantung pada kesulitan masalah. Proses pemikiran manusia yang berbeda-beda ada yang sederhana dan ada pula yang linier yang mempengaruhi hal tersebut.

  Sedangkan penelitian tentang The Van Hiele Levels of Geometric

  Thought in Undergraduate Preservice Teachers oleh Mayberry (1983)

  menunjukan hasil bahwa 70% dari pola-pola respon siswa yang belajar geometri berada di bawah level 3.

  Adapun persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian diatas yaitu sama-sama mengacu pada kemampuan berpikir geometri Van Hiele siswa. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada variabel tinjauan, subjek, dan tempat penelitian. Pada penelitian ini, variabel tinjauan yang digunakan adalah Adversity Quotient (AQ). Sedangkan tempat penelitiannya di SMA Negeri Wangon dengan subjek penelitian adalah siswa kelas X tahun ajaran 2016/2017. Penelitian ini akan terfokus untuk menganalisis kemampuan berpikir geometri Van Hiele siswa SMA Negeri Wangon ditinjau dari Adversity Quotient (AQ).

C. Kerangka Pikir

  Pada dasarnya penentu sebuah kesuksesan seseorang dalam hidupnya baik dalam hal pendidikan ataupun yang lainnya bukan hanya dari kecerdasan intelegensi (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) saja. Banyak orang yang memiliki IQ tinggi namun ia tidak memiliki kemampuan untuk berempati dengan orang lain, bergaul dengan orang lain, serta tidak berusaha untuk bahagia. Menurut Stoltz (2003), kemampuan tersebut disebut dengan EQ. Namun, tidaklah cukup hanya sekedar memiliki IQ dan EQ yang tinggi. Beberapa orang yang memiliki IQ yang tinggi berikut segala aspek EQ, namun mereka gagal menunjukkan kemampuannya.

  Maka dari itu, pada dasarnya bukanlah IQ ataupun EQ yang menentukan suksesnya seseorang. Akan tetapi, yang menentukan kesuksesan seseorang adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi dan mengatasi sebuah hambatan yang dikenal sebagai Adversity Quotient (AQ).

  Seorang remaja selalu dihadapkan dengan berbagai masalah dalam kehidupannya. Ketika seorang remaja, terutama siswa sekolah menengah tidak memiliki kecerdasan untuk menghadapi kesulitan yang dihadapinya maka ia akan memandang bahwa hidupnya penuh dengan kesulitan.

  Seseorang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi maka ia tidak akan mudah menyerah ketika dihadapkan pada situasi yang sulit dan selalu mencari jalan keluar untuk mengatasi kesulitan tersebut karena ia yakin bahwa kesulitan itu bersifat sementara dan tidak akan melebihi kemampuannya. Sedangkan seseorang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) sedang biasanya lumayan baik dalan menyikapi kesulitan hidup selama segala sesuatunya berjalan dengan lancar.

  Namun ketika segala sesuatunya berjalan di luar dari apa yang direncanakan maka akan mengalami beban frustasi karena usaha yang dilakukan tidak maksimal dan hanya sekedarnya saja. Lain halnya dengan seseorang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) rendah akan cepat menyerah ketika baru dihadapkan pada situasi yang sulit sebelum memberikan usahanya untuk menyikapi kesulitan tersebut. Untuk itulah seseorang penting memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi untuk kebaikan dalam dirinya, dan seseorang yang memiliki Adversity Quotient (AQ) sedang ataupun rendah masih bisa mengembangkan Adversity

  

Quotient (AQ) menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Pengembangan

Adversity Quotient (AQ) dapat dikembangkan melalui pendidikan

  khususnya dalam mata pelajaran matematika yang sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Pada situasi inilah

  Adversity Quotient (AQ) seorang siswa dapat diasah dan dikembangkan.

  Di dalam dunia pendidikan sekarang ini, diharapkan para guru untuk memperhatikan Adversity Quotient (AQ) siswa, karena pentingnya

  

Adversity Quotient (AQ) dimiliki oleh seorang siswa untuk meraih

  prestasinya terutama prestasi matematika. Pada dasarnya tujuan diadakannya mata pelajaran matematika sendiri adalah agar siswa mampu menghadapi keadaan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan memecahkan permasalahan matematis akan menuntut siswa untuk berpikir secara logis, kritis, sistematis, dan dibutuhkan daya juang untuk dapat memecahkan permasalahan tersebut, sehingga diharapkan keterampilan yang diperoleh dalam belajar matematika dapat ditransfer dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu materi yang banyak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari adalah materi geometri. Geometri merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah menengah atas, dimana siswa belajar tentang memahami sebuah ruang. Didalam belajar geometri menurut teori Van Hiele ada lima tingkatan, yaitu tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), tingkat 2 (deduksi informal), tingkat 3 (deduksi), dan tingkat 4 (rigor), dimana setiap tingkatan memerlukan sebuah daya juang atau Adversity Quotient (AQ) untuk menuju ke tingkatan berikutnya.

  Berdasarkan uraian tersebut dapat diduga bahwa seorang siswa memiliki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi maka ia juga memiliki kemampuan berpikir geometri pada tingkat yang tinggi bahkan bisa mencapai pada tingkat rigor, sedangkan jika seorang siswa memiliki

  

Adversity Quotient (AQ) yang sedang maka kemungkinan ia memiliki

  kemampuan berpikir geometri pada tingkat yang sedang atau belum sampai ke tingkat rigor, dan berbeda pula bagi siswa yang memiliki

  

Adversity Quotient (AQ) yang rendah kemungkinan akan memiliki

  kemampuan berpikir geometri pada tingkat paling rendah yaitu tingkat visualisasi.