BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Medis 1. Pengertian - ANGGA SURYA KUSUMA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Medis 1. Pengertian Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang

  sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin, 2011).

  Hipertropi prostat merupakan kelainan yang sering ditemukan. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Sjamsuhidajat & de Jong, 2005).

  Benigna prostat hyperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul fibriadenomatosa majemuk dalam prostate, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliperasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa (Sylvia A. Price, 2006).

  Benigna prostate hyperplasia adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 2005).

  Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa BPH adalah suatu kondisi dimana sistem perkemihan mengalami gangguan yang disebabkan oleh terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat

  7 mengelilingi saluran kemih pada pria dengan usia diatas 50 tahun yang mengakibatkan kurang lancarnya berkemih.

2. Anatomi & Fisiologi a. Anatomi Prostat

  Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Gambar letak prostat terlihat di gambar 2.1

Gambar 2.1 Letak Anatomi Prostat

  ( Hidayat, 2009 ) b.

   Fisiologi prostat

  Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.

  Prostat bersifat difus dan bermuara ke dalam pelksus santorini. Persarafan prostat terutama berasal dari simpatis pleksus hipoglaktikus dan serabut yang berasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat melalui pleksus sakralis. Drainase limfe prostat ke nodi limfatisi obturatoria, iliaka eksterna dan pre sakralis, serta sangat penting dalam mengevaluasi luas penyebaran penyakit dari prostat (Andra Yessie, 2013). Sedangkan menurut Smeltzer (2005), sewaktu perangsangan seksual, prostat mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula seminalis dan sperma. cairan prostat bersifat basa (alkalis). Sewaktu mengendap di cairan vagina wanita, bersama ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan karena motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah.

3. Etiologi

  Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de jong (2010) dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen karena produksi estrogen menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikrokopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut menyebabkan gejala dan tanda klinis.

  Menurut Nursalam (2006), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :

  a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.

  b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

  c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati. Diduga hormon androgen berperan menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostate. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostate.

  d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.

4. Pathofisiologi

  Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (2005), menyebutkan bahwa pada umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma yang progresif menekan atau mendesakn jaringan jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat

  • – serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kanndung kemih. Pada beberapa kasus jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid (lemah), berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisa urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat.

  Menurut Mansjoer Arif, (2003) pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat destrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat destrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat destusor sehingga terbentuk tojolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sekula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan destrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut destrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

  Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan

  • – peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tekanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli
  • –buli berupa hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel
  • –buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut yang oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Nursalam, 2006).

5. Manifestasi Klinik

  Menurut Yuliana Elin (2011), pasien BPH dapat menunjukkan berbagai macam tanda dan gejala. Gejala BPH berganti-ganti dari waktu- kewaktu dan mungkin dapat semakin parah, menjadi stabil, atau semaki buruk secara spontan.

  Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori: obstruktif (terjadi ketika faktor dinamik/atau faktor static mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil dari obstruksiyang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih).

  Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza (2013), timbulnya gejala LUTS (lower urinary tract symptom) merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli- buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh kepada fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut.

  Adapun gejala dan tanda yang nampak pada pasien dengan BPH:  Retensi urine  Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing  Miksi yang tidak puas  Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)  Miksi harus mengejan  Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)  Massa pada abdomen bagian bawah (hematuria)  Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)  Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi  Kolik renal  Berat badan turun

  Menurut Pierce A. Grace dan Neil R. Borley (2007) mengatakan bahwa obstruksi dini pada saluran keluar yaitu:  Pancaran lemah, hesistansi, intermitensi, menetes/dribbling, mengejan saat berkemih, retensi urin akut.

  Ketidakstabilan destrusor menyebabkan:  Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, inkontinensia.

  Akhirnya terjadi kegagalan otot destrusor dan retensi kronis:  Kandung kemih yang teraba (atau dapat diperkusi) inkontinensia.

   Pembesaran prostat yang licin pada pemeriksaan RT.

6. Klasifikasi BPH

Tabel 2.1 Kategori keparahan BPH berdasarkan gejala dan tanda Keparahan penyakit Kekhasan gejala dan tanda

  Ringan Asimtomatik Kecepatan urinary puncak<10mL/s Volume urin residual setelah pengosongan >25-50 mL

Peningkatan BUN dan kreatinin serum

  

Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan gejala

dan iritatif penghilangan gejala 9tanda dari destrusor yang tidak stabil)

Parah Semua tanda diatas ditambah satu atau dua lebih komplikasi

BPH Sumber: ISO farmakoterapi 2 hal: 146

  Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat & de Jong (2005) dibedakan menjadi 4 tingkat seperti terlihat dalam tabel 2.1 yang dinilai berdasakan pemeriksaan fisik dengan colok dubur dan pemeriksaan sisa volume urin/atau residu urin yang ada di kandung kemih setelah pasien berkemih dengan menggunakan kateter.

Tabel 2.2 Derajat berat hipertrofi prostat Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin

  I Penonjolan prostat, Batas atas dapat diraba < 50 ml

  II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat

  50

  • – 100 ml dicapai

  III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml

  

IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urin total

  Menurut R. Sjamsuhidayat dan wim de jong (2010) :

  a. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah, diberi pengobatan konservatif.

  b. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection / tur).

  c. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans retropublik/perianal.

  d. Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.

7. Pemeriksaan Penunjang

  Menurut Andra saferi dan Yessie mariza (2013), pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan pada pasien dengan BPH adalah: a. Pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher)

  Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah diberi pelicin ke dalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok dubur dinilai:

  1) Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus (BCR). 2) Mencari kemungkinan adanya massa didalam lumen rectum. 3) Menilai keadaan prostate.

  b. Laboratorium 1) Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria.

  2) Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal.

  c. Pengukuran derajat berat obstruksi 1) Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan (normal sisa urin kosong dan batas intervensi urin lebih dari 100 cc).

  2) Pancaran urin (uroflowmetri) syarat : jumlah urin dalam vesika 125 s/d 150 ml. angka normal rata-rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi ringan 6-8 ml/detik.

  d. Pemeriksaan lain 1) BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder 2) USG dengan transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk menentukan volume prostate 3) Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika. 4) Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.

  Menurut sjamsuhidajat dan wim de jong (2007), dengan pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan pielografi intravena, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung kemih. kalau dibuat foto stelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli- buli pada gambaran sistogram tampak terangkat ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sitogram retrograd.

8. Penatalaksanaan Medis

  Menurut Sjamsuhidjat dan de Jong (2010) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu :

  a. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat

  adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini

  adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

  b. Stadium II Ada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra

  (trans uretra). c. Stadium III Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.

  d. Stadium IV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau

  

sistotomi . Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok

  melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan Transurethral Resection (TUR) atau pembedahan terbuka.

  Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa . Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

  Menurut Andra saferi dan yessie mariza, (2013) penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan: a. Observasi

  Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur. b. Medikamentosa Terapi medikamentosa pada penanganan BPH antara lain :

  1) Mengharnbat adrenoreseptor alfa 2) Obat anti androgen 3) Penghambat enzim alfa 2 reduktase 4) Fisioterapi

  c. Terapi Bedah

  Prostatectomy merupakan tindakan pembedahan bagian

  prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.

  Prostatektomy diindikasikan untuk hiperplasia dan kanker prostat. Prostatektomi mencakup bedah pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat. Pendekatan pembedahan dapat

  

transuretra (melalui uretra), atau melalui suprapubis (abdomen bawah

  dan leher kandung kemih), perineal (anterior rektum), atau insisi retropubis (abdomen bawah, tidak dilakukan reseksi leher kandung kemih). (Carpenito, 2010)

  Menurut Smeltzer dan Bare (2005) jenis Prosratektomy, yaitu : 1) Trans Uretral Resection Prostatectomy (TURP)

  Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra.

  2) Prostatektomi Suprapubis (Suprapubic/Open Prostatectomy) Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.

  3) Prostatektomi retropubis (Retropubik Prostatectomy) Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih. 4) Prostatektomi Peritoneal (Perineal Prostatectomy)

  Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.

  d. Terapi Invasif Minimal Terapi invasif minimal dalam penatalaksanaan Benign Prostatic

  Hyperplasia (BPH), antara lain :

  1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT) Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter. 2) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD) 3) High Intensity Focused Ultrasound 4) Ablasi Jarum Transuretra (TUNA) 5) Stent Prostat

  Menurut Mansjoer, dkk (2000) dalam pemilihan prosedur pembedahan prostatektomy bergantung pada : a. Ukuran kelenjar

  b. Keparahan obstruksi

  c. Usia dan kondisi pasien

  d. Adanya Penyakit berkaitan 9.

   Komplikasi

  Menurut Andra dan Yessie (2013), komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah : a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.

  b. Proses perusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.

  c. Hernia/hemoroid d. Hematuria.

  e. Sistitis dan Pielonefritis Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat & de Jong, 2005).

B. Konsep Dasar Keperawatan

  Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang membutuhkan perawatan tidak terlepas dari pendekatan dengan proses keperawatan. Proses keperawatan yaitu suatu proses pemecahan yang dinamis dalam usaha untuk memperbaiki dan melihat pasien sampai ketaraf optimum melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan langkah-langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, dan evaluasi keperawatan yang berkesinambungan.

1. Fokus Pengkajian

  Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :

  a) Sirkulasi Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan darah. Peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.

  b) Integritas Ego Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

  c) Eliminasi Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi.

  d) Makanan dan cairan Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan. Tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.

  e) Nyeri dan kenyamanan Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.

  f) Keselamatan/ keamanan Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda- tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre operasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.

  g) Seksualitas Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.

  h) Laboratorium Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien pre operasi maupun post operasi BPH. Pada pre operasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, sel darah putih. Sedangkan pada post operasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

2. Pathway Keperawatan

  a. Pathway Pre Operasi Perubahan usia (usia lanjut) Ketidakseimbangan produksi estrogen dan testosteron Pertumbuhan sel kelenjar jaringan adipose BPH DHT dan enzim alfa reduktase obstruksi Memacu m-RNA iritasi Pertumbuhan kelenjar pengosongan yang destrusor

  Prostate tidak sempurna berkontraksi Resistensi vesika Disuria rasa tidak puas saat miksi

  Nyeri Inkontinensia urin Destrusor menebal

  Nyeri supra pubik Retensi urin Perubahan status kesehatan kemungkinan prosedur operasi

  Hidroureter, Hidronefrosis, dan

  Ansietas Gagal ginjal

  Kerusakan pola eliminasi urin

  Distensi kandung kemih Kurang terpajan informasi proses penyakit dan Diuretik

  Refluks vesiko ureter pengobatan Resiko Infeksi

  Kurang pengetahuan Resiko ketidakseimbangan volume cairan

Gambar 2.2 Pathway

  Sumber: Doenges, (2000) b. Pathway Post Operasi Sumber: NANDA NIC-NOC, 2013)

  Perubahan usia (usia lanjut) Ketidak seimbangan produksi estrogen dan testosteron

  Kadar Estrogen meningkat Kadar Testoteron menurun

  Proliferasi sel prostat Hiperplasi sel stroma pada jaringan prostat

  BPH

  Terputusnya kontinuitas jaringan Pendarahan

  Resiko Kekurangan Resiko Infeksi

Nyeri Akut

  Pembedahan Adanya media masuk kuman

  Resiko Kerusakan Gangguan Mobilitas Fisik

  penurunan Hb

  ketidakefektifan Perfusi Jaringan perifer

3. Prioritas Diagnosa Masalah

  Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dari hasil pengkajian pada pasien dengan BPH menurut Doengoes, dkk (2006) dan NANDA (2007), adalah :

  a. Pre operasi Diagnosa keperawatan pre operasi BPH, yaitu : 1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (resistensi vesika, penebalan destrusor dan disuria).

  2) Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik (penebalan destrusor dan retensi urin).

  3) Cemas berhubungan dengan status kesehatan (kemungkinan prosedur operasi).

  4) Kurang pengetahuan berhubugan dengan keterbatasan paparan. 5) Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan pemberian obat diuretik serta distensi kandung kemih.

  6) Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan serta refluks vesiko ureter.

  b. Pasca operasi Diagnosa keperawatan pasca operasi BPH, yaitu : 1) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan diuresis dari drainase kandung kemih yang terlalu cepat.

  2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi (terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan).

  3) Kerusakan mobolitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovakuler (nyeri).

  4) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.

  5) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan lingkungan terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).

4. Fokus Intervensi keperawatan

  Intervensi keperawatan menurut Diagnosa Keperawatan Nanda (NIC & NOC) (2007), yaitu pada tabel 2.3 tentang intervensi pre operasi dan tabel 2.4 tentang intervensi post operasi.

Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan Pre Operasi

  No. Dx NOC NIC

  I Setelah dilakukan tindakan NIC : Manajemen Nyeri keperawatan diharapkan nyeri a) Kaji secara menyeluruh berkurang atau hilang. tentang nyeri termasuk

  NOC 1 : Level Nyeri lokasi, durasi, Indikator Awal Akhir frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab

  Laporkan frekuensi

  b) Observasi isyarat non nyeri verbal dari

  Kaji frekuensi nyeri ketidaknyamanan Lamanya nyeri terutama jika tidak berlangsung dapat berkomunikasi Ekspresi wajah secara efektif terhadap nyeri

  c) Berikan analgetik Perubahan vital dengan tepat.

  sign

  d) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir, dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.

  e) Ajarkan teknik non formakologi (misalnya; relaksasi, distraksi).

  No. Dx NOC NIC NOC 2 : Kontrol nyeri Kriteria Hasil :

  Indikator Awal Akhir Mengenal faktor penyebab Gunakan tindakan pencegahan Gunakan tindaka non analgetik Gunakan analgetik yang tepat

  Keterangan :

  1. Ekstrim 4. Ringan

  2. Berat 5. Tidak ada

  3. Sedang

  II Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola eliminasi urin kembali normal. NOC : pola Eliminasi

  Indikator Awal Akhir Berkemih dalam jumlah normal Residu pasca berkemih kurang dari 50 ml Klien dapat berkemih volunter

  Keterangan :

  1. Ekstrim 4. Ringan NIC : Manajemen

  Eliminasi

  a) Jelaskan pada klien tentang perubahan dari pola eiminasi.

  b) Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila dirasakan.

  c) Perkusi/palpasi area suprapubik d) Observasi aliran dan kekuatan urine, ukur residu urine pasca berkemih e) Monitor laboratorium : urinalisa dan kultur,

  2. Berat 5. Tidak menunjukan

  f) Berikan mengenai informasi diagnosis, tindakan dan prognosis.

  d) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan.

  b) Jelaskan penyakit yang diderita pasien c) Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat

  a) Beri penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien

  process

  NIC : Teaching : disease

  Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis, dan program pengobatan Pasien dan keluarga mampu

  Kriteria Hasil : Indikator Awal Akhir

  and health behavior

  IV Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dan keluarga dapat mengetahui tentang keadaan dan penyakit klien. NOC : Knowledge : disease process

  b) Jelaskan semua proedur dan apa yang dirasakan selama prosedur c) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut d) Dorong keluarga untuk menemani e) Intrsuksikan pasien menggunakan teknik relaksasi.

  3. Sedang BUN, kreatinin

  a) Gunakan pendekatan yang menenangkan

  3. Sedang NIC : Anxiety Reduction (Penurunan kecemasan)

  2. Berat 5. Tidak ada

  1. Ekstrim 4. Ringan

  Keterangan :

  Cemas Mampu mengontrol cemas Vital signnormal

  Kriteria Hasil: Indikator Awal Akhir

  Impulse control

  III Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas berkurang/hilang. NOC : Anxiety Control, Coping,

  f) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antagonis dan alfa adrenergik (prazosin).

NO.DX NOC NIC

  melaksanakan prosedur yang telah dijelaskan

  Keterangan :

  1. Ekstrim 4. Ringan

  2. Berat 5. Tidak ada

  3. Sedang

  V Setelah dilakukan tindakan NIC 1 : Fluid keperawatan diharapkan resiko

  Management

  ketidakseimbangan volume cairan tidak

  a) Pertahankan intake dan terjadi. output yang akurat NOC : Keseimbangan asam basa dan

  b) Monitor vital sign elektrolit, keseimbangan cairan dan c) pasang urine kateter hidrasi jika perlu

  Kriteria hasil :

  d) Monitor masukan makanan/cairan Indikator Awal Akhir

  e) Berikan diuretik sesuai Terbebas dari edema instruksi Terbebas dari

  NIC 2 : Fluid Monitoring kelelahan, a) Monitor berat badan kecemasan b) Catat secara akurat

  Keterangan : intake dan output

  1. Ekstrim 4. Ringan

  2. Berat 5. Tidak ada

  3. Sedang

  VI Setelah dilakukan tindakan NIC 1 : Infection Control keperawatan diharapkan resiko infeksi a) pertahankan teknik tidak terjadi. isolasi dan batasi

  NOC : Immune status, knowledge : pengunjung

  infection control, risk control

  b) Gunakan baju, sarung Kriteria hasil : tangan sebagai pelindung.

  Indikator Awal Akhir

  c) Pertahankan Klien terbebas dari lingkungan aseptik. tanda dan gejala

  d) Lakukan perawatan infeksi luka dengan

  Jumlah leukosit mempertahankan dalam batas normal teknik aseptik

  Keterangan : e) Beri terapi antibiotik.

  1. Ekstrim 4. Ringan NIC 2 : Infection Protector

  2. Berat 5. Tidak ada

  a) Monitor tanda dan

  3. Sedang gejala infeksi b) Monitor granulosit,

  WBC

Tabel 2.4 Intervesi Keperawatan Post Operasi

  II Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang. NOC 1 : Level Nyeri Kriteria hasil :

  Ambulation

  NIC : Exercise Therapy

  III Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat meningkatkan mobilisasi pada tingkat

  d) kolaborasi medis pemberian analgetik dengan tepat

  b) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif c) Ajarkan teknik non formakologi (misalnya; relaksasi, distraksi)

  a) Kaji secara mnyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, dursi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab

  3. Sedang NIC : Manajemen Nyeri

  2. Berat 5. Tidak ada

  1. Ekstrim 4. Ringan

  Keterangan :

  Indikator Awal Akhir Laporkan frekuensi nyeri Kaji frekuensi nyeri Elastis turgor kulit baik Ekspresi wajah terhadap nyeri Perubahan vital sign

  f) Hitung balance cairan

  No. Dx NOC NIC

  e) Masukan oral

  c) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat0 d) Kolaborasikan pemberian cairan intravena (IV)

  b) Monitor vital sign

  a) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

  3. Sedang NIC : Fluid Management

  2. Berat 5. Tidak ada

  1. Ekstrim 4. Ringan

  Keterangan :

  sign

  Indikator Awal Akhir Vital sign dalam batas normal Tidak ada dehidrasi Elastis turgor kulit baik Tidak ada rasa haus yang berlebihan Perubahan vital

  I Setelah dilkukan tindakan perawatan proses keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi. NOC : Fluid balance Kriteria hasil :

  a) Bantu pasien untuk yang paling tinggi. NOC : Mobility Level Kriteria hasil :

  Indikator Awal Akhir Gerakan otot Gerakan Sendi Ambulansi jalan dan kursi roda Memposisikan tubuh

  d) Intruksikan pasien/pemberi pelayanan ambulansi tentang teknik ambulansi

  a) Observation ekstremitas edema, ulserasi, kelembaban

  NIC : Skin Surveilance

  Keterangan : 1. = Tidak menunjukan 2. = Ringan 3. = Sedang 4. = Berat 5. = Ekstrim

  Indikator Awal Akhir Elastisitas normal Warna, tekstur Jaringan bebas lesi Sensasi normal

  IV Setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi. NOC : Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa. Kriteria hasil :

  No. Dx NOC NIC

  c) Monitor pasien dalam menggunakan alat bantu jalan yang lain

  Keterangan :

  b) Tempatkan meja klien pada posisi yang mudah dijangkau/diraih

  5. Mandiri menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah kecelakaan atau jatuh

  4. Melakukan sendiri dengan alat

  3. Memerlukan orang lain

  2. Bantuan orang lain dan alat

  1. Dibantu total

  b) Monitor temperatur kulit dan warna kulit c) Inspeksi kulit dan membran mukosa d) Inspeksi kondisi insisi bedah e) Monitor infeksi dan edema V Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi. NOC : Deteksi infeksi Kriteria hasil :

  Indikator Awal Akhir Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan Mampu mengindentifikasi potensial resiko

  Keterangan : 1. = Selalu menunjukan 2. = Sering menunjukan 3. = Kadang menunjukan 4. = Jarang menunjukan 5. = Tidak pernah menunjukan

  NIC : Teaching disease

  proses

  a) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat b) Sediakan informasi tentang kondisi pasien c) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan d) Gambaran tanda dan gejala penyakit e) Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan