BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Teori Kateterisasi urin 1. Pengertian - ERMAN KURNIAWAN BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Teori Kateterisasi urin 1. Pengertian Kateter urin adalah alat berbentuk selang tabung yang dimasukan

  kedalam kandung kemih dengan maksud untuk mengeluarkan air kemih melalui uretra. Kateterisasi urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukan kateter kedalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2011).

  Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukan selang plastik atau karet melalui uretra kedalam kandung kemih.

  Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji saluran urin perjam pada klien yang ststus hemodinamiknya tidak stabil (Potter & Perry, 2013).

  Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih. (Ulfa Maria dan Rosa E M, 2017).

2. Tipe Kateterisasi

  Menurut Hidayat, pemasangan kateter dapatbersifat sementara atupun menetap menetap. Pemasangan kateter sementara atau

  

intermiten catheter dilakukan jika pengosongan kandung kemih

  dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau idwelling catheter dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus. (Hidayat 2011).

  a. Katater sementara (stright kateter) Pemasangan kateter dilakukan dengan cara kateter lurus yang sekali pakai dimasukan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5-10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan katater intermiten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi. Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan katater ini berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat memeasukan kateter dapat menimbulkan infeksi (Potter & Perry, 2013).

  Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang di kemukakan oleh (Rizki, 2009 dalam Purnomo Bayu, 2017) antara lain :

  1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi atau over distensi yang mengakibatkan darah naik ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin. 2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal.

  3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga feedback ke medula spinalis tetap terpelihara.

  4) Tekhnik yang mudah pada pasien tidak terganggu kegiatan sehari-harinya, kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya distensi kandung kemih, resiko resiko utama uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang, resiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal uretra (flora normal).

  b. Kateter menetap (foley kateter) Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama. Kateter menetap digunakan untuk periode yang lebih lama.

  Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan penggantian kateter. Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu melakukan berkemih dengan tuntas atau selam pengukuran urin akurat dibutuhkan. (Potter & Perry, 2013)

  Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter menetap ini banyak menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter menetap, maka dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi menetap yang kontinu tidak fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih. (Aulawi, Haryani, Perdana, 2011).

  Katater menetap terdiri atas folley katater (double lumen) dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dari lumen yang digunakan untuk mengalirkan cairan kedalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan. (Potter & Perry, 2013).

3. Indikasi kateterisasi urin

  Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang klien yang mengalami cidera medulla spinalis, digenerasi neuromucullar atau kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Potter & Perry, 2013). Menurut hidayat (2011) kateterisasi sementara diindikasikan pada klien yang tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi urin akut setelah trauma uretra, tidak mampu berkemih akibat obat sediatif atau analgesik, cedera pada tulang belakang, degres neumoscular secara progresif dan pengeluaran urin residual.

  Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan pada klien pascaoperasi uretra dan struktur di sekitarnya (TURP), obstruksi aliran urin, obstruksi uretra, pada pasien inkontinensia urin dan disorientasi berat (Hidayat, 2011).

  Kateter di indikasikan untuk beberapa alasan. Pemasangan kateter dalam jangka waktu yang pendek akan meminimalkan infeksi, sehingga metode pemasangan kateter sementara adalah metode yang paling baik (Aulawi, Haryani, Perdana, 2011).

  a) Indikasi pemasangan kateter sementara :

  1. Mengurangi ketidaknyamanan pada distensi kandung kemih

  2. Pengambilan urin residu setelah pengosongan kandung kemih

  b) Indikasi pemasangan kateter jangka pendek :

  1. Obstruksi kandung kemih (pembesaran kelenjar prostat

  2. Pembedahan untuk memperbaiki organ perkemihan, seperti vesika urinaria, uretra, dan organ sekitarnya

  3. Preventif pada obstruksi uretra dan pembedahan

  4. Untuk memantau output urin

  5. Irigasi vesika urinaria c) Indikasi pemasangan kateter jangka panjang :

  1. Retensi urin pada penyembuhan penyakit ISK atau UTI

  2. Skin rash, uclear dan luka yang iritatif apabila kontak dengan urin

  3. Klien dengan penyakit terminal

  4. Inkontinensia urin dan pencegahanya 4.

   Komplikasi

  Adapun komplikasi yang didaptkan dari keteterisasi urin menurut Brunner & Suddarth (2010) :

  a. Iritasi ataupun trauma pada uretra Penggunaan kateter yang ukuranya tidak tepat dapat mengiritasi uretra, sehingga kemungkinan terjadinya traumapun meningkat.

  Selain itu, kurangnya penggunaan lubrikasi dapat melukai jaringan sekitar uretra pada saat penyisipan , trauma yang terjadi apabila penyisipan pada letak kateter belum tepat pada saat balon retensi pada kateter di kembangkan. Fiksasi kateter yang kurang tepat dapat menambah gerakan yang menyebabkan regangan atau tarikan pada uretra atau yang membuat kateter terlepas tanpa disengaja.

  Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi b. Krutasi pada kateter

  Urin yang banyak mengandung urea yang memproduksi bakteri seperti proteus mirabilis, yang meningkatkan PH urin memicu terbentuknya kusta pada kateter. Lumen kateter tersumbat oleh kristal yang berasal dari campuran PH urin yang tinggi, bakteri dan ion magnesium. Pembentukan krusta yang berasal dari garam urin dapat menjadi sumber pembentukan batu. Asupan cairan yang bebas dan peningkatan haluan urin harus dipastikan untuk mengirigasi kateter dan mengencerkan zat-zat dalam urin yang dapat membentuk krusta

  c. Terjadi bloking atau retensi (Tersumbat, tidak dapat mengalir dengan lancar) Kerusakan pada kateter yang disebabkan oleh krusta yang menutupi area lumen kateter d. Terjadinya inkontinensia urin pemasangan kateter dalam waktu yang lama mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Apabila hal ini terjadi dan kateter di lepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinya hingga terjadinya inkontinensia urin

  e. Terjadinya kebocoran Kateter yang pada bagian balon untuk memfiksasi kateter tidak terfiksasi dengan baik akan menyebabkan pengeluaran urin yang tidak tepat. Sehingga urin dapat merembes keluar tidak melalui selang kateter. f. Resiko tinggi infeksi Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran kemih bagian bawah dengan menyumbat duktus preuretralis, mengiritasimukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman kedalam kandung kemih. Banyak mikroorganisme ini merupakan bagian dari flora endogen atau flora usus normal, atau didapat melaluikontaminasi silang oleh pasien atau petugas rumah sakit maupun melalui kontak dengan peralatan yang tidak steril

B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Terpasang Kateter Urin 1. Pengkajian

  a. Anamnesa Identitas pasien seperti nama pasien, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat rumahb, No. RM. Sedangkan penanggung jawab (orang tua, keluarga terdekat) seperti namanya, pendidikan terakhir, jenis kelamin, No. HP.

  b. Riwayat kesehatan Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga. Bisa menggunakan PQRST jika pasien merasakn nyeri yaitu : 1) P (Provokes) : Penyebab timbulnya nyeri.

  2) Q (Quality) : Rasa nyeri seperti di tekan, tertusuk, atau diremas-remas.

  3) R (Region) : Lokasi nyeri berada di bagian tubuh mana. 4) S (Saverity) : Skala nyeri. 5) T (Time) : Nyeri yang dirasakan.

  c. Pemeriksaan fisik 1) Keadaan umum

  Mengkaji keadaan umum klien atau pasien seperti terlihat lemas dan peingkatatn tanda tanda vital karena respon dari terjadinya inkontinensia. 2) Pemeriksaan persistem

  Dalam penatalaksanaan ini menggunakan tekhnik 6 B yaitu :  B 1 : Breathing (Pernafasan)

  Untuk mengukur pola nfas, bunyi nafas, bentuk dada simetris atau tidak, ada atau tidaknya gerakan cuping hidung, ada atau tidaknya sianosis.  B 2 : Bleeding (Kardiovaskular atau sirkulasi)

  Untuk mengetahui bunyi jantung, irama jantung, nadi, tekanan darah.

   B 3 : Brain (Pemikiran) Untuk mengukur nilai GCS atau kesadaran.

   B 4: Bowel (Pencernaan)

  Rongga mulut terdapat lesi atau tidak, adanya dehidrasi atau tidak, bising usus.

   B 5 : Bone (Muskuloskeletal) Warna kulit, suhu, integritas kulit, adanya lesi atau decubitus atau tidak.

   B 6 : Bladder (Perkemihan) Inspeksi : dengan melihat warna urin, bau, banyaknya urin atau jumlah urin, biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra publik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.

  Palpasi : rasa nyeri didapat pada daerah supra publik atau pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga diluar waktu kencing.

  d. Pemeriksaan diagnostik 1) Pemeriksaan radiografi 2) Urinalisa 3) Pemeriksaan lab seperti kimia darah, arah lengkap, urin 4) Pemeriksaan lainya

2. Diagnosa keperawatan

  a. Risiko inkontiensia urine (NANDA Edisi 10, 2015-2017).

  Kriteria hasil :

  1. Mampu mengontrol pengeluaran urin

  2. Adanya dorongan/rangsangan untuk berkemih

  3. Frekuensi berkemih lancar Intervensi :

  1. Kateterisasi urin

  2. Bantuan untuk berkemih

  3. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mngkaji pengalaman berkemih

  4. Lakukan terapi bladder training pada saat terpasang kateter urin

  5. Latih untuk berkemih secara mandiri (NIC Edisi 6, 2013) C.

   Inkontinensia urin 1. Definisi inkontinensia urin

  Menurut NANDA (2015-2017) inkontinensia urin merupakan rembesan urin secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh peningkatan aktivitas intra abdomen. Produksi urin pada setiap individu berbeda. Pada umumnya produksi urin seimbang dengan pemasukan cairan, namun ada beberapa faktor yang ikut mendukung jumlah urin dalam satu hari. Faktor yang mempengaruhi produksi urin adalah jumlah cairan yang masuk ke tubuh, kondisi sehat sakit, tingkat tingkat aktifitas, sedangkan pola buang air kecil dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang, usia, penggunaan obat obatan dan pengaruh makanan (Hariyati dan Tutik 2012).

  Secara umum inkontinensia urin disebabkan oleh perubahan pada anatomi dan fungsi organ lansia, obesitas, menopouse, dan usia lanjut.

  Pebambahan berat dan tekanan selama hamil dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir pada eorang ibu melahirkan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya inkontinensia urin. Faktor jenis kelamin dapat berperan terjadinya inkontinensia urin khususnya pada wanita karena menurunya kadar hormon estrogen pada usia menopouse akan terjadi penurunan tonus otot kandung kemih sehingga menyebabkan inkontinensia urin (Sulasmini dkk, 2017).

  Inkontinensia urin dapat terjadi akibat pemasangan kateter dalam waktu yang lama dikarenakan terbiasa oleh penggunaan kateter mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya.

  Apabila hal ini terjadi dan kateter di lepas, maka otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengontrol pengeluaran urinya. (Smeltzer and Bare, 2011).

2. Klasifikasi inkontinensia urin

  Ada beberapa klasifikasi inkontinensia urin menurut hidayat (2011) yaitu :

  a. Inkontinensia dorongan Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa disengaja atau tanpa sadar, terjadi seger asetelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan di tandai dengan seringnya miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spasme kandung kemih (Hidayat, 2011).

  Pasien inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan oleh otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita.

  (Potter & Perry, 2013). Beberapa penyebab terjadinya inkontinensia urin dorongan disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih, iritasi pada reseptor renggangan kandung kemih yang menyebabkan spasme (infeksi saluran kemih) minuman alkohol atau kafein, peningkatan konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih yang berlebihan. (Hidayat, 2011). b. Inkontinensia urin total Inkontinensia total mrupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain : disfungsi neorologis, kontraksi independen dan reflek detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati. (Hidayat, 2011).

  c. Inkontinensia stress Inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinesia stress terjadi akibat otot springter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, dan tertawa. (Hidayat, 2011).

  Keluar urin dari uretra pada saat terjadi tekanan intraabdominal, merupakan jenis inkontinensia yang paling banyak pravelensinya yaitu 8,33%. Pada pria kelainan uretra yang menyebabkan inkontinensia adalah kerusakan springter uretra eksterna pasca prostatektomi. Inontinensia stress jarang ditemukan pada laki-laki, namun apabila pada hal ini ditemukan maka membutuhkan tindakan pembedahan untuk penangananya. (Potter & Perry, 2013).

  d. Inkontinensia refleks Inkontinensia refleks merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurobiologis (lessi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur. (Hidayat, 2011).

  e. Inkontinensia fungsional Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran secara tanpa disadari dan tidakdapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini di tandai dengan adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin. (Hidayat, 2011).

  Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia alzaimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi. (Potter & Perry, 2013).

3. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Inkontinensia Urin

  1. Inkontinensia urin akut dapat terjadi karena :

  a. Sembelit

  b. Penggunaan kateter terlalu lama

  c. Infeksi saluran kemih

  d. Konsumsi alkohol berlebih

  e. Minum terlalu banyak atau minum cairan yang dapat mengiritasi kandung kemih, seperti minuman berkarbonasi, minuman yang mengandung kafein, buah dan jus jeruk, pemanis buatan, dan termasuk kopi dan teh tanpa kafein.

  f. Mengkonsumsi obat, seperti obat untuk flu, alergi, depresi, nyeri, tekanan darah tinggi, diuretik, dekongestan dan relaksan otot.

  2. Inkotinensia urin kronis dapat terjadi karena :

  a. Faktor usia

  b. Otot kandung kemih yang terlalu aktif

  c. Terdapat obstruksi pada saluran kemih, seperti batu saluran kemih d. Otot dasar panggul lemah

  e. Stroke f. Kanker kandung kemih

  g. Multiple sclerosis (penyakit kronis pada sistem saraf pusat)

  h. Penyakit parkinson i. Tumor otak j. Cedera tulang belakang k. Interstitial cystitis (radang kronis pada dinding kandung kemih) l. Penyakit atau cedera yang mempengaruhi sistem saraf oto, termasuk diabetes m. Monuilitas yang minim.

  (Setiati dan Pramantara, 2009).

  D.

   Bladder Training 1.

   Definisi Bladder Training Bladder training merupakan latihan kandung kemih sebagai salah

  satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan atau untuk mengemnangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal (Hariyati dan Tutik, 2012).

  Penggunaan metode bladder training merupakan metode non farmakologi yang bermanfaat dalam mengurangi frekuensi terjadinya inkontinensia urin. Latihan ini sangatlah efektif dan memiliki efek samping yang minimal dalam mengangani masalah inkontinensia urin.

  Dengan bladder training diharapkan pola kebiasaan disfungsuonal, memperbaiki kemampuan untuk menekan urgensi dapat di ubah dan secara bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan memperpanjang interval berkemih (Potter & Perry, 2013).

2. Jenis Metode Bladder Training

  Terdapat tiga macam metode bladder training meurut Hariyati dan Tutik (2012) yaitu :

  a. Kegel exercises (Latihan otot dasar panggul) Merupakan latihan yang dilakukan dengan cara mengencangkan atau otot-otot dasar panggul.

  b. Delay urination (Menunda berkemih) Merupakan latihan dengan cara menunda interval waktu untuk berkemih dalam waktu yang sudah di tentukan.

  c. Scheduled bathroom trips (jadwal berkemih) Merupakan latihan dengan cara membuat jadwal berkemih dengan waktu penjadwalan yang sudah di tentukan seperti, bangun pagi, dua jam pada siang dan sore hari dan sebelum tidur

  Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda untuk berkemih) pada pasien yang terpasang kateter. Bladder training dapat dilakukan dengan mengeklem atau mengikat aliran urin ke urin bag Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi dihentikan atau dilepas. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara menjepit katater urin dengan klem kemudian jepitanya di lepas setiap beberapa jam sekali, kateter di klem selama 1-2 jam dan kemudian klem kateter dilepas agar aliran urin mengalir ke urin bag, tindakan penjepitan kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot-otot detrusor brkontraksi dan sedangkan pelepasan klem memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Hriyati dan Tutik, 2012).

3. Tujuan Bladder Training

  Tujuan dari dilakukanya bladder training adalah melatih kembali kandung kemih atau mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau mestimulasi pengeluaran air kemih (Potter & Perry, 2013). Bladder training bertujuan untuk mengembalikan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi optimal. Latihan ini dilakukan setelah kateter di pasang dalam jangka waktu yang lama dan kateter akan di lepas ( Suhariyanto, 2015).

  Suhriyanto (2015) menyatakan tujuan dilakukanya bladder training adalah : a. Membantu klien mendapat pola berkemih rutin.

  b. Mengembalikan tonus otot kandung kemih sehingga dapat mencegah terjadinya inkontinensia.

  c. Memperpanjang interval waktu berkemih

  d. Meningkatkan kapasitas kandung kemih

  e. Melatih kandung kemih untuk mengeluarkan urin secara periodie inkontinensia.

  4. Indikasi Bladder Training

  Bladder training dilakukan pada pasien dengan mengalami inkontinensia urin, maupun pada pasien terpasang kateter dalam jangka waktu yang lama sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2015). Bladder training juga bisa dilakukan pada pasien stroke, bladder injury, da pasien dengan pemasangan kateter yang lama (Hariyati dan Tutik, 2012).

  5. Prosedur Bladder Training

  Prosedur kerja dalam melakukan bladder training menurut Suharyanto (2015) yaitu :

  1) Melakukan cuci tangan 2) Menyiapkan alat 3) Mengucapkan salam 4) Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien 5) Kontrak waktu dengan pasien 6) Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai ruangan 7) Memakai sarung tangan 8) Melakukan pengukuran volume urin pada kantong urin dan kosongkan kantong urin 9) Anjurkan pasien untuk minum sebanyak 200-250 cc

  10) Klem atau ikat selang kateter sesuai dengan program (selama 1-2 jam) atau hingga pasien merasakan ingin berkemih, yang bertujuan untuk memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot detrusor berkontraksi, supaya meningkatkan volume urin residual.

  11) Tanyakan apakah klien ingin bermiksi setelah 1 jam 12) Buka klem atau ikatan dan biarkan urin mengalir keluar 13) Mengulangi langkah nomor 9 dan 10 14) Mengukur volume urin dan perhatikan warna urin, jumlah urin, dan bau urin 15) Lepaskan sarung tangan dan merapihkan semua peralatan