3.1. Perencanaan Bidang Cipta Karya - DOCRPIJM 1512361538bab 3 arahan perencanaan pemb bid ck

BAB. III
ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
BIDANG CIPTA KARYA
3.1.

Perencanaan Bidang Cipta Karya

Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan,
konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun dengan
berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan amanat perencanaan
pembangunan.

Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan permukiman,

Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota perlu memahami arahan kebijakan
tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan pembiayaan pembangunan
Bidang Cipta Karya.
Perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya, membagi amanat
pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu amanat
penataan ruang/spasial, amanat pembangunan nasional dan direktif presiden, amanat
pembangunan


Bidang

Pekerjaan

Umum,

serta amanat internasional. Konsep

perencanaan ini disajikan dalam gambar 3.1.
Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dihadapkan pada
beberapa isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan iklim, kemiskinan, reformasi
birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan, pengarusutamaan gender, serta green
economy. Disamping isu umum, terdapat juga permasalahan dan potensi pada masingmasing daerah, sehingga dukungan seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM
Bidang Cipta Karya sangat diperlukan.

Halaman III-1

Sumber : Direktorat Bina Program,2014


Gambar 3.1 Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya

3.2.

Amanat Pembangunan Nasional Terkait Bidang Cipta Karya

Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional karena
turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka
kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Ditjen Cipta Karya
berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.

3.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan dokumen
perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan
secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025.
Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah
“Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”.

Dalam penjabarannya RPJPN
Halaman III-2


mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya,
yaitu:
a.

Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan
penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan

sektor-sektor

terkait lainnya,

seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan
melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan
pendekatan terpadu dengan sektor sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
sumber daya air, serta kesehatan.

b.


Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi
diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management)
dalam penyediaan air minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air
minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air
minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4) penyediaan sumbersumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi
masyarakat miskin.

c.

Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan
berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan
kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada
perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran
swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama
untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.

Halaman III-3


d.

Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan
RPJMN, yaitu:


RPJMN ke 2 (2010-2014) : Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui
percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama
antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan
permukiman.



RPJMN ke 3 (2015-2019) :

Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh

masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan
perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dana kuntabel. Kondisi

itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.


RPJMN ke 4 (2020-2024) : terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa
permukiman kumuh.

3.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019
Tema besar RPJMN 3 adalah daya saing (competitiveness), dengan demikian selayaknya
ketersediaan layanan infrastruktur, khususnya infrastruktur dasar (jalan, air dan listrik)
sudah terpenuhi terlebih dahulu.
Beberapa arahan dalam pembangunan bidang infrastruktur adalah sebagai berikut :


Terpenuhinya penyediaan air minum untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat (100% akses kepada sumber-sumber air minum)



Pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana

pendukung, didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan
berkelanjutan, efisien dan akuntable (kota tanpa permukiman kumuh).



Ketersediaan infrastruktur yang sesuai dengan rencana tata ruang.



Berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi.



Konservasi sumber daya air yang mampu menjaga keberlanjutan fungsi sumber
daya air dan pengembangan sumber daya air.

Halaman III-4




Pengembangan

infrastruktur

perdesaan,

terutama

untuk

mendukung

pembangunan pertanian.

3.2.3. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan
ekonomi 7-9% per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang ditetapkan melalui Perpres
No. 32 Tahun 2011. Dalam dokumen tersebut pembangunan setiap koridor ekonomi
dilakukan sesuai tema pembangunan masing-masing dengan prioritas pada kawasan
perhatian investasi (KPI MP3EI).


Ditjen Cipta

Karya diharapkan dapat mendukung

penyediaan infrastruktur permukiman pada KPI Prioritas untuk menunjang kegiatan
ekonomi dikawasan tersebut. Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah
adalah satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau
terhubung dengan satu atau lebih faktor konektivitas dan SDMIPTEK. Pendekatan KPI
dilakukan untuk mempermudah identifikasi, pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan
ekonomi atau sentra produksi yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK
yang sama.

Halaman III-5

3.2.4. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia
Sesuai dengan agenda RPJMN 2015-2019, pertumbuhan ekonomi perlu diimbangi
dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu, telah ditetapkan
MP3KI dimana semua upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mempercepat
laju penurunan angka kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat

kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. Dalam mencapai misi
penanggulangan kemiskinan pada tahun 2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga
strategi utama, yaitu :

a. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,
dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan,
b. b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga
dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia di masa mendatang,
c. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat
miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan
regional dengan memperhatikan aspek.
Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam
pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan
masyarakat (P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro Rakyat.

3.2.5. Kawasan Ekonomi Khusus
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus adalah kawasan
dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas

tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan
geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor,
impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing
Halaman III-6

internasional. Disamping zona ekonomi, KEK juga dilengkapi zona fasilitas pendukung
dan perumahan bagi pekerja.

Ditjen Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat

mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan tersebut sehingga menunjang
kegiatan ekonomi di KEK.

3.2.6. Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian,
Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan
yang meliputi Program prorakyat, Keadilan untuk semua, dan Program Pencapaian
MDGs. Ditjen CiptaKarya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro
Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program peningkatan kehidupan
masyarakat perkotaan.

Sedangkan dalam pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya

berperan dalam peningkatan akses pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta
pengurangan permukiman kumuh.

3.3.

Peraturan Perundangan Bidang Cipta Karya

Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi peraturan
perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, dan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.

3.3.1. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan Pemerintah
Pusat,

Pemerintah

Provinsi,

dan

Pemerintah

Kabupaten/Kota.

Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai tugas :

Halaman III-7

a.

Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat
kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan
berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi.

b. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c.

Menyelenggarakan
pelaksanaan

fungsi

kebijakan

operasionalisasi
kabupaten/kota

dan
dalam

koordinasi

terhadap

penyediaan

rumah,

perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.
d. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan, kebijakan,strategi, serta program di bidang
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e.

Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.

f.

Melaksanakan
kebijakan

dan

melaksanakan
strategi

peraturan

penyelenggaraan

perundang-undangan
perumahan

dan

serta

kawasan

permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
g.

Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.

h. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.
i.

Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan
dan kawasan permukiman.

j.

Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di
bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

k.

Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.

Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu :

a.

Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

Halaman III-8

b. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c.

Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

d. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturanperundang-undangan
serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e.

Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan
dan permukiman bagi MBR.

f.

Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR
pada tingkat kabupaten/kota.

g.

Memfasilitasi kerjasama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah
kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman.

h. Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh
dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
i.

Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.

Disamping mengatur tugas dan wewenang, UU ini juga mengatur penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan
peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan
tanah pendanaan dan pembiayaan, hak kewajiban dan peran masyarakat.
UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak huni
karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas
bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu
dilakukan upaya pencegahan,

terdiri

dari pengawasan, pengendalian,

dan

pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu
pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.
Halaman III-9

3.3.2. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan bangunan
gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan
pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
persyaratan status hak atas tanah,
mendirikan bangunan.

Persyaratan administratif meliputi

status kepemilikan bangunan gedung, dan izin

Sedangkan persyaratan teknis meliputi persyaratan tata

bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan
meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan
gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang ditetapkan melalui
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut :

a.

Keseimbangan,

keserasian,

dan

keselarasan

bangunan

gedung

dengan

lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan
gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya.

Disamping

itu,

sistem

penghawaan,

pencahayaan,

dan

pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
penghematan energi dalam bangunan gedung (amanat green building).
b.

Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas
bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak
mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.

c.

Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.

Halaman III-10

3.3.3. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga dilakukan dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah. Upaya
pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan timbunan sampah, pendauranulang
sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah
meliputi :
a.

pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan
jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah,

b.

pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber
sampah ketempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah
terpadu,

c.

pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari
tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah
terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir,

d.

pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah
sampah,

e.

pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu
hasil pengolahan sebelumnya kembali ke lingkungan secara aman.

Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka di tempat
pemrosesan

akhir. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus menutup tempat

pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka dan
mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.

Halaman III-11

3.3.4. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta dalam
pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011. Dalam
undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian
yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama.

Peraturan ini juga mengatur perihal pembinaan,

perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan,
peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak dan
kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.

3.4.

Amanat Internasional

Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan perumusan
kesepakatan bersama di bidang permukiman. Beberapa amanat internasional yangperlu
diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan program bidang Cipta Karya meliputi
Agenda Habitat, Konferensi Rio+20, serta Agenda Pembangunan Pasca 2015.

3.4.1. Agenda Habitat
Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat II sebagai
kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi tersebut
menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan sasaran
pembangunan permukiman yang menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam
menciptakan permukiman yang layak dan berkelanjutan.
Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk Indonesia,
adalah penyediaan tempat hunian yang layak bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali,
serta meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan pelayanan dasar terutama bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok rentan.
Halaman III-12

3.4.2. Konferensi Rio+20
Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT Pembangunan
Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensiter sebut menyepakati
dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman
pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common vision) dan
penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan dengan memperkuat
penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Planof Implementation 2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan, yaitu : (I )Ekonomi Hijau dalam konteks pembangunan
berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, (ii) pengembangan kerangka kelembagaan
pembangunan berkelanjutan tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan instrumen
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan
Sustainable Development Goals (SDGs) post-2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan
berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development
Goals (MDGs). Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan
rencana pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (2005-2025).

3.4.3. Agenda Pembangunan Pasca 2015
Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi untuk memberi
masukan kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015. Panel ini di ketuai
bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Ellen
Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris,dan
beranggotakan 24 orang dari berbagai negara.

Pada Mei 2013, panel tersebut

mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB berjudul “A New Global
Partnership : Eradicate Povertyand Transform Economies Through Sustainable
Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan kebijakan pembangunan global pascaHalaman III-13

2015 yang dirumuskan berdasarkan tantangan pembangunan baru, sekaligus pelajaran
yang diambil dari implementasi MDGs.
Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif pembangunan global pasca
2015, sebagai berikut :
a.

Mengakhiri kemiskinan

b.

Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan gender

c.

Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumurhidup

d.

Menjamin kehidupan yang sehat

e.

Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik

f.

Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi

g.

Menjamin energi yang berkelanjutan

h.

Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan pertumbuhan
berkeadilan

i.

Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan

j.

Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif

k.

Memastikan masyarakat yang stabil dan damai

l.

Menciptakan sebuah lingkungan pemungkin global dan mendorong P embiayaan
jangka panjang.

Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta karya berkepentingan dalam pencapaian
sasaran 6 yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi. Adapun target yang
diusulkan dalam pencapaian sasaran tersebut adalah :
a.

Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di rumah, dan di
sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi,

b.

Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses universal ke
sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses sanitasi di rumah
tangga sebanyak x%,

Halaman III-14

c.

Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater with drawals) dengan pasokan air
minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian sebanyak x%, industri
sebanyak y% dan daerah-daerah perkotaan sebanyak z%,

d.

Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah perkotaan dan dari
industri sebelum dilepaskan.

Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen laporan tersebut juga
menekankan pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal antar pemangku
kepentingan pembangunan. Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip inklusif, terbuka,
dan akuntabel di mana seluruh pihak duduk bersama-sama untuk bekerja bukan tentang
bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan kerangka kebijakan untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan.

3.5.

Prioritas Penanganan Infrastruktur Bidang Cipta Karya

Penyelenggaraan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya salah satunya mengacu
pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Dengan mengacu kepada peraturan perundangan tersebut, maka prioritas penanganan
infrastruktur Bidang Cipta Karya diarahkan pada kabupaten/kota yang berfungsi strategis
secara nasional. Pada pelaksanaannya, alokasi APBN Bidang Cipta Karya terdapat 5
(lima) klaster penanganan Bidang Cipta Karya sebagai berikut :

a.

Klaster A, merupakan kabupaten/kota prioritas strategis nasional yang termasuk
dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional
(PKSN) didalam KSN dan kabupaten/kota didalam kawasan metropolitan, serta
kawasan strategis lainnya (KEK, MP3EI) yang telah memiliki Perda RTRW dan Perda
Bangunan Gedung.
Halaman III-15

b.

Klaster B, merupakan kabupaten/kota prioritas strategis nasional yang termasuk
dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional
(PKSN) didalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta
kawasan strategis lainnya (KEK, MP3EI) yang telah memiliki Perda RTRW.

c.

Klaster C, terdiri dari kabupaten/kota yang menjadi prioritas pemenuhan Standar
Pelayanan Minimal (SPM), berdasarkan karakteristik antara lain daerah yang rawan
bencana alam, memiliki cakupan air minum/sanitasi rendah, permukiman kumuh,
dan daerah kritis atau miskin.

d.

Klaster D, ditujukan dalam rangka pengembangan kegiatan pemberdayaan
masyarakat Bidang Cipta Karya yang bertujuan penanggulangan kemiskinan di
perkotaan dan perdesaan.

e.

Klaster E, ditujukan untuk kabupaten/kota yang memiliki program inovasi baru
Bidang Cipta Karya yang diusulkan secara kompetitif dan selektif.

3.5.1. Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster A
Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional pada Klaster A merupakan kabupaten/kota
yang merupakan PusatKegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional
(PKSN) di dalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan
strategis lainnya (KEK, MP3EI) yang telah memiliki Perda RTRW dan Perda Bangunan
Gedung. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dengan menggunakan kriteriakriteria diatas, sampai dengan tanggal 30 Mei 2014 di identifikasi sebanyak 142 (seratus
empat puluh dua) kabupaten/kota di Indonesia yang termasuk pada Kabupaten/Kota
Prioritas Strategis Nasional Klaster A.

3.5.2. Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional Klaster B
Kabupaten/Kota Prioritas Strategis Nasional pada Klaster B adalah kabupaten/kota yang
merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan Strategis Nasional
Halaman III-16

(PKSN) di dalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan metropolitan, serta kawasan
strategis lainnya (KEK, MP3EI) yang memiliki Perda RTRW. Sampai dengan tanggal 30
Mei 2014, diidentifikasi sebanyak 111 (seratus sebelas) kabupaten/kota yang masuk
dalam klaster B.

3.5.3. Kabupaten/Kota Klaster C Dalam Rangka Pemenuhan Standar Pelayanan
Minimal (SPM)
Klaster C merupakan kabupaten/kota yang menjadi prioritas penanganan dalam rangka
pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Cipta Karya, yaitu kabupaten/kota
di luar Klaster A dan Klaster B. Pemilihan prioritas kabupaten/kota dalam pemenuhan
SPM ditentukan berdasarkan karakteristik masing-masing daerah, antara lain daerah
yang rawan bencana alam, memiliki cakupan air minum/sanitasi rendah, permukiman
kumuh, dan daerah kritis atau miskin. Selain memenuhi karakteristik tersebut, daerah
juga harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap pembangunan infrastruktur Bidang
Cipta Karya dan memiliki program yang responsif.

3.5.4. Pemberdayaan Masyarakat (Klaster D)
Klaster D khusus di alokasikan bagi program-program pemberdayaan masyarakat Bidang
Cipta Karya, baik di perkotaan maupun perdesaan. Program pemberdayaan masyarakat
ini di peruntukkan dalam rangka pengentasan kemiskinan, sesuai dengan amanat
pembangunan nasional.

3.5.5. Kabupaten/Kota Klaster E bagi Daerah dengan Program Inovasi yang Kreatif
Klaster E di peruntukkan untuk kabupaten/kota yang memiliki program yang kreatif dan
inovasi baru bagi pembangunan infrastruktur Bidang CiptaKarya dan tercantum pada
Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur JangkaMenengah (RPIJM) Bidang
Cipta Karya. Pada Klaster E ini juga di fasilitasi daerah yang berprestasi dan memiliki
inovasi baru.

Halaman III-17