[Munadi] PENGANTAR ILMU USUL FIQH 2017
PENGANTAR
ILMU USUL FIQIH
Dr. Munadi, MA
PENGANTAR
ILMU USUL FIQIH
Judul: PENGANTAR ILMU USUL FIQIH
vi + 96 hal., 15 cm x 23 cm
Cetakan Pertama: Oktober, 2017
Hak Cipta © dilindungi Undang-undang. All Rights Reserved
Penulis:
Dr. Munadi, MA
Perancang Sampul dan
Penata Letak: Eriyanto
Pracetak dan Produksi: Unimal Press
Penerbit:
Unimal Press
Jl. Sulawesi No.1-2
Kampus Bukit Indah Lhokseumawe 24351
PO.Box. 141. Telp. 0645-41373. Fax. 0645-44450
Laman: www.unimal.ac.id/unimalpress.
Email: [email protected]
Dilarang keras memfotocopy atau memperbanyak sebahagian atau
seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan
penyusunan buku ini. Rahmat dan sejahtera senantiasa kita kirimkan
keharibaan Nabi Besar Muhammad Saw yang telah menunjuki umat
manusia ke jalan kebenaran.
Buku dihadapan pembaca ini berawal dari buku daras yang
penulis susun sebagai pedoman bagi mahasiswa dalam mempelajari
mata kuliah usul fiqh, lalu dilakukan beberapa penambahan dan
penyempurnaan sebagaimana saat ini saat akan diterbitkan dan
diedar secara luas. Hadirnya buku ini merupakan keniscayaan dari
keterlibatan berbagai pihak, terutama para akademisi di IAIN
Lhokseumawe. Dan juga dukungan moril dari keluarga saat buku ini
disusun dan akhirnya diterbitkan.
Penulis mengakui bahwa buku ini memiliki banyak
kekurangan di sana sini. Untuk itu masukan yang kontruktif dari para
pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan ke depan. Hanya
kepada Allah segenap ikhtiar dan amalan diserahkan, semoga buku
ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan menjadi amal jariyah bagi
akhirat kelak. Amin..
Lhokseumawe, 10 Oktober 2017
Penulis
Dr. Munadi, MA
v
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................................v
Daftar Isi....................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II USUL FIQH DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA .............. 5
A. Pengertian Usul Fiqh ............................................................................... 5
B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh ...................................................... 6
BAB III USUL FIQH DAN ISTINBATH HUKUM ISLAM.....................11
A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya .......................................14
BAB IV CORAK ISTINBATH HUKUM ULAMA......................................25
BAB V MACAM-MACAM KAIDAH USUL FIQH.....................................39
A. Ijma’..............................................................................................................40
B. Qiyas.............................................................................................................44
C. Maslahah Mursalah ................................................................................47
D. Urf/Adat .....................................................................................................58
E. Sadd Zara’i..................................................................................................66
F. Istihsan ........................................................................................................70
G. Istishab........................................................................................................71
H. Siyasah Al-Syar’iyah ..............................................................................74
I. Syar’u Man Qablana.................................................................................81
J. Qaul Sahabi (Pendapat Para Sahabat) .............................................86
BAB VI PENUTUP..............................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................91
RIWAYAT PENULIS..........................................................................................95
⍝
vi
Pendahuluan
BAB I
Pendahuluan
Munculnya berbagai persoalan dalam masyarakat setiap
waktu tanpa henti dengan bentuk dan modus yang beraneka ragam
telah menuntut ahli hukum untuk berijtihad, guna menjawab
persoalan tersebut dengan ketentuan hukum yang jelas. Setiap
persoalan harus segera diberikan ketetapan hukum untuk
menghindari kekosongan dan kegamangan hukum dalam
masyarakat. Sesuai fungsinya hukum adalah untuk mengendalikan
perilaku masyarakat supaya terarah sesuai dengan prinsip keadilan
dan kesejahteraan. Di sisi yang lain hukum merupakan alat untuk
merubah dan merekayasa struktur sosial masyarakat dari suatu
bentuk kepada bentuk lainnya yang lebih baik dan terarah.
Tanpa adanya hukum sulit untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang ideal, bahkan sebaliknya kehidupan masyarakat
akan semakin kacau balau tidak terkendali. Ketiadaan hukum atau
lemahnya sistem hukum masyarakat merupakan masalah yang
krusial, semua aspek kehidupan masyarakat akan mengalami
kekacauan, karena terjadinya penyalahgunaan hak dan wewenang
secara bebas oleh individu dan kelompok dalam masyarakat.
Agama Islam merupakan solusi bagi kehidupan dengan
menghadirkan jawaban-jawaban hukum untuk setiap persoalan
lewat petunjuk Alquran dan Hadist. Manusia dapat mengakses
berbagai informasi hukum yang berkaitan dengan persoalan
hidupnya yang berkaitan dengan masalah ibadah, muamalah,
munakahat, jinayat dan lain sebagainya. Setidaknya kedua sumber
hukum tersebut telah memberikan isyarat tentang ihwal kehidupan
manusia, serta berbagai ketentuan yang mengaturnya. Tugas
manusia adalah mengelaborasi lebih jauh kandungan nash untuk
menetapkan hukum yang kongkrit bagi penyelesaian persoalan yang
muncul.
Dalam upayanya mencari jawaban hukum, umat Islam
membutuhkan seperangkat metode atau teknik yang disebut juga
dengan kaidah usul fiqh. Kaidah tersebut digunakan untuk
menetapkan hukum. Dalam kegiatan ijtihad, seorang mujtahid harus
menggunakan kaidah usul fiqh, guna memahami bentuk hukum yang
akan diputuskan. Kaidah usul fiqh merupakan acuan penetapan
hukum yang harus diikuti oleh mujtahid.
Universitas Malikussaleh
1
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Mujtahid tidak boleh secara begitu saja memutuskan hukum
tanpa melalui proses analisis dan pertimbangan usul fiqh yang
matang. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan logika
semata tidak dapat diterima sebagai hukum Islam, karena
pembentukan hukum Islam harus melalui mekanisme atau langkah
tersendiri.
Setidaknya ada tiga langkah dalam penetapan hukum Islam,
yaitu: Pertama, mencari nash yang berkaitan dengan permasalahan;
Kedua, menentukan metode istinbath yang relevan dan Ketiga,
memperhatikan implikasi atau akibat dari hukum yang dibuat.
Dalam mencari jawaban hukum bagi suatu permasalahan, seorang
mujtahid terlebih dahulu mencari nash yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut, baik nash khusus maupun umum. Jika nash
ditemukan, maka petunjuknya harus diikuti oleh mujtahid.
Setelah menemukan nash, mujtahid melakukan analisis usul
fiqh dengan menggunakan salah satu kaidah yang relevan. Biasanya
kaidah yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Jika
permasalahan tersebut mengandung manfaat yang tidak disentuh
langsung oleh nash, maka mujtahid dapat menggunakan kaidah
istislahiah untuk menguji manfaat tersebut apakah sesuai dengan
prinsip syara’ atau tidak.
Jika suatu permasalahan berkaitan dengan kebiasaan atau
tradisi masyarakat, maka untuk menganalisisnya dapat
menggunakan kaidah ‘urf guna menguji apakah kebiasaan tersebut
dapat dianggap sebagai ‘urf sahih sehingga dapat dijadikan
pertimbangan dalam pembentukan hukum ataupun termasuk ‘urf
fasid yang harus ditolak. Demikianlah seterusnya dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan hukum lainnya, mujtahid
dapat menganalisisnya dengan kaidah usul fiqh yang relevan.
Hukum yang ditetapkan juga harus diperhatikan implikasinya
terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Setiap hukum harus
berdampak positif bagi masyarakat dalam rangka menanggulangi
berbagai permasalahan. Keberadaan hukum harus menjadi solusi
bagi masalah masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi
bomerang dalam masyarakat.
Setelah melalui tiga proses di atas, suatu hukum telah dapat
ditetapkan dan diformalkan untuk dijadikan ketetapan hukum
masyarakat. Banyak ketentuan hukum ternyata harus ditolak,
direvisi bahkan direkonstruksi ulang karena tidak memenuhi syarat.
Penetapan hukum Islam telah mencapai tahap yang mudah,
karena telah adanya berbagai metode yang dikembangkan oleh para
2
Dr. Munadi, MA
Pendahuluan
berupa kaidah usul fiqh. Kaidah-kaidah tersebut dikembangkan oleh
ulama lewat perenungan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
nash, seperti keadilan, kasih sayang, keselamatan, kewajiban,
larangan dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut lalu
diaktualisasikan dalam bentuk kaidah usul fiqh yang bersifat praktis.
Kaidah itu kemudian digunakan oleh mujtahid untuk menetapkan
hukum.
Kaidah usul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam,
yaitu kaidah yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah
yang tidak disepakati ulama (mukhtalafun alaih). Kaidah yang
disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas, sedangkan yang tidak
disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u
man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang
disepakati di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan
oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang
tidak disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh
sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam kegiatan ijtihad
mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena
menganggapnya salah.
Perbedaan pendapat ulama tentang kaidah usul fiqh
disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap maksud nash
dan realitas kehidupan tempat tinggal mereka. Misalnya Abu Hanifah
yang terkenal rasional dalam penetapan hukum, di samping
mempunyai landasan dari dalil, realitas kehidupan masyarakat di
Kufah yang rasional dan berkembangnya aliran Mu’tazilah di tempat
itu turut mempengaruhi metode penelaran beliau.
Demikian pula Imam Malik yang terkenal literal dan cukup
teguh berpegang kepada hadis dalam penalaran hukum, dapat
dikaitkan dengan domisili beliau di kota Madinah. Wilayah tersebut
cukup banyak ditemukan hadis, karena Rasulullah dan sahabatnya
mayoritas berdomisili di situ. Maka dalam penalaran hukum, Imam
Malik lebih mengutamakan nash dibandingkan akal. Saat
menghadapi suatu persoalan beliau mencari penyelesaiannya dari
Al-Quran dan hadist, kemudian pendapat para sahabat dan amalan
masyarakat Madinah. Dalam anggapan beliau, amalan masyarakat
Madinah dapat menjadi acuan hukum, karena identik dengan
pengamalan Rasulullah Saw.
Setelah Abu Hanifah dan Imam Malik, tampillah Imam Syafei
dalam kancah pemikiran hukum Islam. Imam Syafei tidak lain adalah
murid dari Abu Hanifah dan Imam Malik. Dalam pengembaraan
ilmunya, beliau pertama sekali berangkat ke Madinah untuk belajar
Universitas Malikussaleh
3
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
hadis kepada Imam Malik serta metode penalaran hukum yang
dikembangkannya. Setelah itu beliau berangkat ke Kufah untuk
belajar kepada dua murid senior Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan
Al-Syaibani. Di sini beliau juga bersentuhan dengan metode
penalaran yang dikembangkan oleh Abu Hanifah yang cenderung
rasional.
Imam Syafei mengembangkan metode penalaran hukumnya
sendiri yang bercorak moderat. Metode yang dikembangkannya
merupakan kombinasi dari metode yang dikembangkan oleh Abu
Hanifah dan Imam Malik. Maka dalam penalaran hukum yang
dikembangkan oleh Imam Syafei, pengunaan nash dan rasional
bersifat proporsional (adil), namun di saat kesimpulan nash dan
rasio saling bertentangan, dalam hal ini beliau lebih mengutamakan
nash.
Beliau merumuskan beberapa kaidah usul fiqh seperti qiyas,
istishab dan ‘urf. Kaidah-kaidah tersebut merupakan bentuk
penalaran yang menggunakan nash dan rasio secara sekaligus dalam
menetapkan hukum. Imam Syafei menjadi orang pertama yang
merumuskan ilmu usul fiqh secara sistematis dengan mengarang
sebuah kitab yang bernama Al-Risalah.
Setelah Imam Syafei, diskusi mengenai usul fiqh semakin giat
dilakukan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang berusaha
mengembangkan ilmu usul fiqh yang telah disusun oleh Imam alSyafei, namun ada juga yang membahasnya secara analisis dan
memberikan berbagai kritikan. Perkembangan usul fiqh ditandai
dengan banyak bermunculan buku-buku yang ditulis para ulama
mengenai masalah ini. Masing-masing mereka menguatkan metode
yang dikembangkan oleh imam mazhabnya dan mengkritik metode
dari mazhab lain.
Sampai sekarang, buku-buku usul fiqh senantiasa bertambah
dengan corak yang beragam. Sebahagiannya merupakan ulangan dari
literatur lama, namun sebahagiannya merupakan hasil modifikasi,
revisi bahkan rekonstruksi dari usul fiqh lama. Perubahan ini
dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
perubahan masyarakat zaman modern.
Buku ini membahas tentang ilmu usul fiqh dalam dua dimensi
yaitu, teoritis dan praktis. Penulis berusaha untuk menjelaskan
kaidah-kaidah usul fiqh satu persatu serta serta aplikasinya dalam
kegiatan istinbath. Sebahagian buku usul fiqh hanya menjelaskan
kaidah-kaidah semata, namun tidak menggambarkan tentang bentuk
aplikasi kaidah tersebut dalam kegiatan istinbath. ⍝
4
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
BAB II
USUL FIQH DAN SEJARAH
PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Usul Fiqh
Secara bahasa usul berarti pokok, dalil dan dasar. Sedangkan
fiqih berarti pemahaman yang mendalam tentang suatu ilmu dan
membutuhkan potensi akal. Usul fiqh secara istilah adalah ilmu
tentang metode penetapan hukum Islam dari dalil yang terperinci.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan usul fiqh sebagai ilmu
tentang dalil-dalil hukum syara’ secara umum, metode penetapan
hukum dari dalil dan kriteria seorang mujtahid. Sedangkan ulama
Hanafiyah, Malikiyyah dan Hanabilah mendefinisikan usul fiqh
adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengistinbatkan hukum
dari dalil tafsili (terperinci), dengan kata lain usul fiqh adalah ilmu
tentang kaidah-kaidah tersebut.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa usul fiqh
merupakan seperangkat ilmu yang membahas secara komprehensif
berkaitan dengan penetapan hukum Islam, baik berkaitan dengan
dalil, metode istinbath maupun persyaratan seorang mujtahid.
Pemahaman terhadap usul fiqh akan membawaki seseorang mampu
memahami dalil-dalil hukum syara’ yang bersifat asl (primer)
maupun furu’ (sekunder). Dalil primer hukum Islam adalah berupa
Alquran dan Hadis, sedangkan dalil sekunder adalah ijma’, qiyas,
istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya.
Tidak sebatas itu, seseorang juga akan memahami pengertian
dari dalil maupun sumber hukum, serta hubungan antara dalil,
seperti hubungan Alquran dengan Hadis, hubungan ijma’ dengan
nash, hubungan qiyas dengan nash dan seterusnya. Berkaitan dengan
hubungan dalil cukup penting diketahui, guna memahami hirarkis
dalil dan dalil mana yang harus lebih diutamakan saat dalil saling
bertentangan.
Masalah yang kedua yang dibahas dalam ilmu usul fiqh
adalah tentang metode istinbath hukum, yang disebut juga dengan
Universitas Malikussaleh
5
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
adillah al-syar’iyyah. Metode istinbath hukum adalah kumpulan
kaidah-kaidah usul fiqh bersifat operasional yang dirumuskan ulama
untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum. Dengan kaidah
tersebut, seorang mujtahid dapat memutuskan hukum secara tepat
sesuai dengan prinsip nash dan akal sehat.
Kaidah usul fiqh telah dirumuskan oleh para ulama dalam
bentuk yang beragam, yang berasal dari hasil interprestasi mereka
terhadap nash. Para ulama dengan cukup hati-hati meramu kaidahkaidah tersebut supaya tetap sejalan dengan prinsip nash, dan
menghindari segala bentuk kekeliruan dan pengaruh hawa nafsu.
Kaidah-kaidah usul fiqh yang telah dirumuskan oleh para
ulama antara lain adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslahah al-mursalah,
sadd zara’i, syar’u man qablana, qaul sahabi, istishab, dan ‘urf.
Belakangan juga muncul beberapa qaidah lainnya seperti maqashid
al-syari’ah yang dirumuskan oleh al-Syathibi dan metode InsyaiIntiqai yang dirumuskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi. Dari waktu ke
waktu kaidah usul fiqh senantiasa bertambah berdasarkan
perkembangan masalah dan kemajuan berfikir para ulama.
Masalah yang terakhir dibahas dalam ilmu usul fiqh adalah
mengenai persyaratan seorang mujtahid. Penetapan hukum dalam
Islam tidak dapat dilakukan oleh siapa saja, akan tetapi semestinya
dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam masalah
ijtihad. Penetapan hukum Islam merupakan suatu pekerjaan yang
sangat hati-hati lewat penelitian akademis yang matang. Hal itu
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas
keilmuan yang mumpuni.
Dalam ilmu usul fiqh, mengenai mujtahid dan persyaratannya
menjadi perhatian tersendiri dan dibahas secara terperinci. Dengan
demikian kita dapat mengetahui kapasitas mujtahid dan siapa saja
yang telah sampai kepada derajat tersebut.
B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh
Saat Rasulullah saw masih hidup, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum syara’,
semua permasalahan dapat langsung ditanyakan kepada beliau atau
merujuk kepada penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an dan juga
melalui sunnahnya. Para sahabat menyaksikan dan berinteraksi
langsung dengan turunnya wahyu baik al-Quran maupun hadits, di
samping itu mereka merupakan ahli bahasa, memiliki kecerdasan
berpikir serta jiwa yang bersih sehingga sangat mudah memahami
hukum. Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat tidak
6
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
membutuhkan perangkat teori (kaidah) untuk berijtihad, meskipun
prinsip-prinsip dari kaidah tersebut telah mereka kuasai dan dapat
digunakan saat memerlukannya.
Setelah meluasnya wilayah Islam hasil dari penaklukan, umat
Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang
berbeda bahasa dan latar belakang sosial-budaya (peradaban), hal ini
menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan
sebagian umat, terutama di Irak. Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad
begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang
belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang
mencerminkan metode dalam berijtihad. Pertama; Madrasah ahl arra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah. Kedua; Madrasah
ahl al-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada kuantitas (banyaknya)
penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad.
Madrasah ahl al-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas
(analogi) dalam berijtihad, disebabkan oleh sedikitnya jumlah hadits
yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka
lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar
di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat
seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain
masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu
banyak, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengandalkan qiyas
(analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini
muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang
sangat kompleks dan berbeda dengan situasi di Mekkah maupun
Madinah. Dalam berijtihad mereka mengikuti metode yang
digunakan guru mereka Abdullah bin Mas’ud yang banyak
menggunakan qiyas dalam berijtihad untuk menyelesaikan berbagai
masalah.
Sedangkan madrasah ahl al-hadits lebih hati-hati
menggunakan qiyas dalam berfatwa, karena situasi yang mereka
hadapi berbeda, di mana banyaknya perbendaharaan hadits di
tangan mereka dan sedikit sekali kasus-kasus baru yang memerlukan
ijtihad. Hal ini dapat dipahami karena di tempat itu Rasulullah Saw
tinggal menyebarkan agama Islam hingga wafat, sehingga banyak
persoalan telah dijawab ketika hidup beliau. Dalam berijtihad, ulama
Madinah mengikuti metode Abdullah bin Umar dan Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam
berfatwa. Setiap pendapat hukum yang mereka kemukakan
Universitas Malikussaleh
7
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
senantiasa dikaitkan dengan nash. Perbedaan metode istinbath dari
kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, dan amat sering
terjadi pertentangan pendapat. Realitas ini menurut para ulama
waktu itu sangat perlu menyusun kaidah-kaidah istinbath yang
dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan untuk menyatukan
dua madrasah ini.
Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini
adalah Abdurrahman al-Mahdi (135-198 H) yang meminta kepada
Imam Al-Syafi’i (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang
prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka
lahirlah kitab al-Risalah karya Imam al-Syafi’i sebagai kitab pertama
dalam bidang ushul fiqh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum
lahirnya kitab al-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama
sekali, tetapi hal itu sudah ada sejak masa sahabat dan ulama-ulama
sebelum Imam al-Syafi’i, hanya saja kaidah-kaidah tersebut belum
tersusun rapi dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri secara
sistematis dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama.
Imam al-Syafi’i adalah ulama pemakarsa penulisan ilmu ushul fiqh
dengan judul bukunya al-Risalah yang menjadi rujukan bagi para
ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan
ilmu ini. Beliau merupakan ilmuwan yang mumpuni yang dilahirkan
oleh dua madrasah yang berkembang waktu itu, yaitu madrasah ahl
al-hadits dan madrasah ahl al-ra’yi.
Imam al-Syafi’i dilahirkan di Ghaza, pada usia 2 tahun beliau
berangkat ke Mekkah bersama ibunya untuk belajar dan menghafal
Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah
mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu
kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15
tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy (salah
seorang ulama Mekkah) untuk memberi fatwa, beliau sudah
menguasai hukum syara’ dalam usia yang relatif muda dan sudah
dipercayakan sebagai mufti. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan
berguru kepada ulama besar Madinah, yaitu Malik bin Anas (95-179
H) serta ulama-ulama lainnya lebih kurang 9 tahun, sehingga beliau
memiliki pengetahuan yang cukup dalam dibidang hadits dan fiqh
Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak
kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani (wafat th 187 H), murid
dari Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H). Dari latar
belakang pendidikannya, terlihat bahwa Imam Syafi’i menguasai ilmu
dan metode yang dianut oleh kedua madrasah yang saling berbeda,
maka beliau memang orang yang tepat untuk menjadi orang pertama
8
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
yang menulis buku dalam ilmu ushul fiqh. Selain al-Risalah, Imam
Syafi’i juga memiliki beberapa karya tulis lainnya dalam ilmu ushul,
yaitu kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Setelah Imam al-Syafi’i, penulisan kitab ushul fiqh mulai giat
dilakukan oleh ulama-ulama yang lain, sehingga melahirkan banyak
karya tulis dalam bidang ini dengan berbagai pengembangan di
dalamnya. Berikut penulis sebutkan beberapa buah kitab ushul fiqh
yang pernah ditulis oleh para ulama dari lintas mazhab dan generasi,
antara lain adalah Kitab Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad
Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi, AnNasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H),
Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud
bin Ali Az-Zhahiri, Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin
Ali Al-Bashri Al-Mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H), Al-Burhan
karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Al-Haramain,
Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad, AlMahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy, Al-Ihkam
fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi, Ushul AlKarkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi, Ushul Al-Jashash
karya Abu Bakar Al-Jashash, Ushul as-Sarakhisi karya Muhammad bin
Ahmad As-Sarakhsi, Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali
bin Muhammad Al-Bazdawi, Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin
Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-Hanafi, al-Tahrir karya Kamaluddin
Muhammad bin Abdul Wahid, Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin
Ali As Subki, Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Asy-Syathibi, Irsyadulfuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-Syaukani dan karya-karya tulis lainnya yang tidak
disebutkan di sini.
⍝
Universitas Malikussaleh
9
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
This page is intentionally left blank
10
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
BAB III
USUL FIQH DAN ISTINBATH
HUKUM ISLAM
Kehidupan manusia senantiasa menghadirkan permasalahan
yang muncul dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat seiring
mobilasi dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Setiap
permasalahan yang muncul merupakan tantangan yang harus
dihadapi terutama oleh hukum supaya masyarakat tidak terjebak
dalam kegamangan, kegalauan karena tidak ada kepastian hukum
tentang suatu permasalahan.
Untuk menjawab setiap permasalahan yang muncul
diperlukan upaya pembentukan atau penemuan hukum, dalam
hukum Islam biasa disebut dengan istinbath atau ijtihad. Sedangkan
dalam hukum Barat disebut rechtsvinding (penemuan hukum),
tujuannya adalah untuk memberikan jawaban hukum dan
mengontrol segala kemungkinan dan permasalahan yang muncul
akibat dari perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat.
Perubahan sosial terjadi disebabkan munculnya suatu fenomena
sosial yang baru ataupun juga permasalahan lampau yang belum ada
penyelesaian hukumnya, di sinilah pembentukan dan penemuan
hukum (istinbath) dilakukan untuk memberikan jawaban hukum dan
mengontrol perubahan sosial supaya tetap sejalan dengan ketentuan
syara’.
Menurut Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dan
cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi
maupun karena adanya difusi (penggabungan) ataupun penemuanpenemuan baru dalam masyarakat. Menurut Samuel Koeng,
perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi
dalam pola-pola kehidupan manusia, modifikasi-modifikasi tersebut
terjadi karena sebab-sebab internal maupun sebab-sebab eksternal.1
Menurut Selo Soemardjan yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto merumuskan bahwasanya perubahan sosial adalah segala
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di
Samuel Koening, Man and Society, the Basic Teaching of Sociology, (New
York: Borners Van Noble Inc: 1957), Cet. 1 ,h. 279.
1
Universitas Malikussaleh
11
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.2
definisi di atas menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah
perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya,
termasuk nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan kondisi
geografis, kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru
dalam masyarakat. Sehingga menimbulkan sikap dan pola perilaku di
antara kelompok-kelompok masyarakat.
Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut
adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada
umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum.
Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa hukum
merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat.
Senada dengan itu, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum
tentang perubahan sosial dan hubungannya dengan perubahan
hukum. Menurutnya, perubahan hukum dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu: pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan
di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antar
kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social
movement).3 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang sarjana Islam juga
mengemukakan hal yang sama, bahwa perubahan fatwa adalah
dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.4
Pengaruh atau unsur perubahan di atas dapat menimbulkan
perubahan-perubahan sosial yang berakhir kepada perubahan dalam
khazanah pemikiran dan sistem hukum yang ada, tanpa terkecuali
pada khazanah pemikiran dan hukum Islam. Menghadapi perubahan
sosial tersebut hukum Islam harus mampu menjawab dan
memberikan solusi hukum melalui pembaruan hukum. Pada
dasarnya pembaruan hukum Islam hanya mengangkat dan berkaitan
dengan aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam yang
bersentuhan dengan perubahan sosial, tanpa mengabaikan aspek
universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Dengan adanya
pembaruan hukum Islam maka terhindarlah kesulitan-kesulitan
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XII,Jakarta: Rajawali
Press: 1995), h. 337.
3 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 96.
4 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin
(Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 444.
2
12
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
dalam memasyarakatkan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat,
khususnya saat terjadi perubahan sosial.5
Sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku dalam
masyarakat, hukum Islam harus menunjukkan eksistensi dan
fungsinya sebagai problem solving bagi setiap permasalahan yang
dihadapi
masyarakat
dan
membuktikan
relevansi
dan
fleksibelitasnya untuk setiap tempat dan zaman (salih li kulli makan
wa zaman).6 Hukum Islam akan berperan secara nyata dan
fungsional jika istinbath konsisten dilakukan dan ditempatkan secara
proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai
kompleksitas persoalan yang ditimbulkan.
Untuk mengawal supaya hukum Islam tetap dinamis,
responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan
perubahan dapat ditempuh dengan cara menghidupkan dan
menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.
Pada posisi ini, ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya
perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai
sistem ajaran yang relevan untuk setiap tempat dan zaman.
Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber
hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara
kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya, dan
semakin bertambah saja dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat.
Ibnu Rusyd mengomentari realitas tersebut dalam kitabnya Bidayah
al-Mujtahid bahwasanya persoalan-persoalan kehidupan masyarakat
tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah naṣ, al-Qur’an dan alḥadīs, jumlahnya terbatas. Sesuatu yang terbatas jumlahnya mustahil
dapat menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.7
Terbatasnya jumlah naṣ meniscayakan kepada adanya
istinbath untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang tidak
secara ekplisit tersebut dalam naṣ, istinbath merupakan satu-satunya
jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan
perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang
memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme
Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60.
6Murtadha Mutahhari, Inn al-Din ‘inda Allah al-Islam, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), 164; lihat juga Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta:
Gema Insani Press, 1998), h. 176.
7Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar
al-Kutub al-Arabiyyah, tt), h. 2.
5
Universitas Malikussaleh
13
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya
Kata istinbath berasal dari kata nabth, yang berarti air yang
mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali. Maka menurut
bahasa istinbath dapat dipahami sebagai perbuatan mengeluarkan
sesuatu dari persembunyiannya.8 Setelah dipakai menjadi istilah
dalam studi hukum Islam, arti istinbath menjadi upaya atau usaha
untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya. Makna istilah ini
hampir
sama
dengan ijtihad.
Adapun
fokus atau
objek
istinbath adalah teks suci ayat-ayat al-Qur`an dan ḥadīs-ḥadīs Nabi
Saw. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum
dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Abdul Wahab Khalaf mengartikan istinbath adalah suatu
upaya berpikir serius secara optimal dan maksimal dalam menggali
hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh kepastian jawaban
terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.9
Istinbath merupakan upaya untuk mengantisipasi berbagai
tantangan dan permasalahan hukum baru yang senantiasa muncul
sebagai akibat dari evolusi, mobilisasi dan perubahan perilaku dan
realitas kehidupan masyarakat. Manusia sebagai khalifah Tuhan di
muka bumi dituntut untuk senantiasa berpikir, dan menggali
berbagai kemungkinan hukum bagi setiap permasalahan yang
muncul, tetapi berpikir di sini bukan berarti yang bebas begitu saja
tanpa kontrol dan batas. Dalam berfikir manusia harus menjaga
batas-batas yang telah digariskan syara’, yakni selalu berlandaskan
al-Qur’an dan ḥadis.
Istinbath memiliki landasan hukum yang jelas, sehingga
legalitasnya tidak perlu diragukan. Adapun dalil mengenai istinbath
antara lain adalah firman Allah Swt QS al-Nisa ayat 83 yang berbunyi:
ََِ
ﻭﻟﻮﺭﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ
َ ِ ﺃﻣﺮ
ِ ِ ﻋﻮﺍ
ِ ْ َ ْ ِ َ ﺍﻷﻣﻦ
ٌ ْ َ ﺟﺎءﻫﻢ
ْ َ َ ْ َ ﱡ,ﺑﻪ
ْ ُ َﺃﻭﺍﻟﺨﻮﻑ َﺃﺫ
ْ ُ َ َ ﻭﺇﺫﺍ
ِ ْ َ ْ ﻣﻦ
َ ِ َ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ
َﻭﻟﻮﻻ
َ ْ ﻟﻌﻠﻤﻪُ ﱠ
ِ ْ ُ ﻭﺇﻟﻰ
ْ ُ ِ ْ َ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ
ْ َ َ ,ﻣﻨﻬﻢ
ِ ُْ ﱠ
ْ ُ ْ ِ ُﻳﺴﺘﻨﺒﻄﻮﻧَﻪ
ْ ُ ْ ِ ﺍﻷﻣﺮ
ِ ْ َ ْ ﺃﻭﻟﻰ
َ ِ َ َ ﻣﻨﻬﻢ
ُ َ ْ َ َ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ُ ْ َ
.ًﻗﻠﻴﻼ
ْ ِ َ ﺍﻟﺸﻴﻄﻦ ِﺇﻻﱠ
َ َ ْ ﻻﺗﺒﻌﺘﻢ ﱠ
ْ ُ ْ َ َ ِﻓﻀﻞ ﷲ
ْ ُ ْ َ ﻭﺭﺣﻤﺘﻪُ َ ﱠ
Artinya:
Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan
Anggota IKAPI, 1996), h. 25
9Abd al-Wahhab al-Khalaf, Mashadir al-Tashri‘ al-Islam fi ma la Naṣ fih
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 7.
8
14
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
(QS. Al-Nisa: 83)
Ulama tafsir
menjelaskan bahwasanya ayat ini
membicarakan tentang pengambilan kesimpulan dari suatu berita
tentang keamanan dan ketakutan yang disampaikan/diadukan
kepada rasul dan ulil amri (pemerintah), lalu keduanya menetapkan
(ber-istinbath) mengenai kesimpulan atau keputusan dari berita itu.
Ibnu Zaid dan Muqatil meriwayatkan bahwa ulil amri adalah
panglima perang, sedangkan Al-Syaukani meriwayatkan bahwa ulil
amri artinya para ulama dan orang-orang yang memiliki wawasan
yang luas, yang kepada mereka urusan kaum muslimin dikembalikan
(ditanyakan).
Dalam ayat di atas jelas tersebut kata “yastanbithu” dalam
bentuk mudhari’ dari kata masdar “istinbath” yang artinya menggali
dan menyimpulkan suatu kesimpulan atau jawaban atas suatu berita
yang disampaikan. Ini menunjukkan bahwa makna dari istinbath
adalah upaya sungguh-sungguh dari orang yang mempunyai
kapasitas keilmuan yang mapan dalam menyimpulkan atau
menetapkan suatu kesimpulan dan ketentuan mengenai suatu
permasalahan yang muncul.
Dalam ayat yang lain Allah Swt juga berfirman berkenaan
dengan anjuran istinbath yaitu QS al-Syura ayat 38 yang berbunyi:
َ ﱠ
ﻭﻣﻤﺎ
ﻭﺃﻗﺎﻣﻮ
َ َِْ ﱠ
َﻬﻢ َ ِ ﱠ
ْ ُ َ َ َ ﻟﺮﺑﻬﻢ
ْ ُ َ َ ْ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ
ْ ُ ﺷﻮﺭﻯ َ ْﺑﻴﻨ
ْ ُ ُ ْ َ َ َ ﺍﻟﺼﻼﺓ
ْ ِ ِّ َ ِ ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﻮﺍ
َ ْ ُ ﻭﺃﻣﺮﻫﻢ
َْ َ
.ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ
َ ْ ُ ِ ْ ُ َﺎﻫﻢ
ْ ُ ﺭﺯﻗﻨ
Artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
(QS. Al-Syura: 38)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang telah menerima
seruan Allah untuk mengesakan-Nya, serta mengakui keesaan-Nya,
tidak menyembah kepada selain-Nya, mendirikan shalat wajib ketika
Universitas Malikussaleh
15
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
tiba waktunya, dan ketika menghadapi suatu persoalan, mereka
menyelesaikannya dengan jalan musyawarah.10 Ayat ini
menerangkan tentang kedudukan syura yaitu musyawarah sebagai
mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul
dikalangan umat Islam. dengan musyawarah ini suatu permasalahan
dipecahkan bersama-sama dengan saling menawarkan opsi terbaik
untuk persoalan tersebut, lalu memutuskan bersama keputusan yang
tepat.
Yusuf al-Qaradhawi mengartikan kata syura yaitu mencari
kebenaran terhadap setiap persoalan yang muncul sesuai dengan
dalil syara’, baik permasalahan tersebut dijelaskan naṣ secara
langsung atau tidak langsung. Khususnya mengenai permasalahan
yang tidak memperoleh penjelasan memadai dari naṣ, menjadi
tempat ijtihad atau istinbath dari bagi para mujtahid, dan mereka
akan saling berbeda pendapat dalam hal ini tergantung sudut
pandang masing-masing.11
Selain al-Quran juga terdapat beberapa ḥadīs yang berkenaan
dengan istinbath, salah satunya yang paling populer adalah ḥadīs
yang berkenaan dengan dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz bin
Jabal ketika diutus menjadi Gubernur Yaman. Rasulullah bertanya
kepadanya: Dengan apa kamu nanti akan memutuskan hukum?,
Muadz menjawab: Dengan kitabullah. Rasulullah bertanya lagi: Jika
kamu tidak menemukan di dalamnya (kitabullah)?, Muadz menjawab:
Dengan Sunnah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bertanya lagi: Jika
kamu tidak menemukan di dalamnya (sunnah)? Muadz menjawab:
Aku akan berijtihad. Lalu Rasulullah menepuk bahu Muadz seraya
berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemampuan
terhadap utusan rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
Allah dan rasul-Nya.12
Hadīs ini telah umum diketahui dan telah diterima oleh umat
Islam sebagai dalil istinbath dan juga telah diperkuat oleh Ibnu Abdul
Barr, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Az-Zhahabi, Ibnu Katsir dan
lainnya. Al-Syaukani berkata: ḥadīs ini secara umum dianggap Hasan
oleh para ulama. Dengan ḥadīs ini para ulama memahami
bahwasanya ijtihad merupakan suatu yang dibolehkan, ketika
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wili Ay al-Qur`an,
Jilid. 10, (Kairo: Markaz al-Buhus wa al-Dirasah al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah,
2001), Cet. I, h. 522.
11 Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a
Nadharatin al Tahliliyatin fi al Ijtihad al Mu’ashir, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt), h. 77.
12 Ibid, ...h. 77.
10
16
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
menghadapi suatu permasalahan yang tidak mendapatkan
penjelasan yang memadai dari naṣ. Setiap permasalahan harus
dicarikan solusinya, pertama dari al-Qur`an, kemudian Sunnah dan
terakhir yaitu ijtihad/istinbath.
Kebolehan dan anjuran mengenai istinbath juga dilandasi
oleh ijma’ ulama, di mana semua ulama dari semua mazhab
mengakui keberadaan istinbath dan harus senantiasa dilakukan.
Rasio menghendaki bahwa istinbath mesti dilakukan, karena dalil
syara’ menerima untuk berbagai penafsiran, untuk itu diperlukan
istinbath untuk menentukan yang mana penafsiran yang paling kuat
dan juga sebaliknya. Demikian pula permasalahan yang tidak
terdapat naṣ, juga tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa melakukan
istinbath bagaimana ketentuan hukumnya, ini tentu saja dengan
menggunakan suatu metode istinbath hukum yang berkembang.
Syariat Islam mengatur semua perbuatan manusia dengan ketentuan
hukum masing-masing, namun hal itu dapat ditemukan dengan jalan
istinbath.13
Jadi legalitas istinbath tidak diragukan lagi, karena memiliki
landasan hukum yang jelas berupa naṣ, al-Quran dan ḥadis maupun
logika, istinbath merupakan suatu upaya yang dapat digunakan oleh
para ulama untuk menggali dan menemukan hukum Islam dari
sumbernya yaitu al-Quran dan Sunnah, dan setiap permasalahan
yang tidak diatur di dalam keduanya. Melalui istinbath para ulama
mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang
muncul akibat dari perubahan sosial masyarakat.
Istinbath dan tuntutan perubahan sosial terdapat hubungan
atau interaksi yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa istinbath baik langsung maupun tidak langsung
dipengaruhi dan berkaitan dengan perubahan sosial yang
diakibatkan oleh perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu
pengetahuan serta teknologi. Perubahan-perubahan sosial tersebut
harus senantiasa diberi arah oleh hukum, sehingga realitas
masyarakat dan perubahan sosial tersebut mampu mewujudkan atau
menjadi suatu yang maslahat bagi umat manusia.
Perubahan masyarakat atau perubahan sosial terbagi dua
macam, ada yang mempunyai efek menguntungkan dan membawa
pengaruh positif bagi masyarakat, artinya membawa kemajuan dan
perkembangan (progress), tetapi ada juga perubahan sosial yang
mempunyai akibat merugikan dan membawa pengaruh negatif bagi
13
Ibid, h. 78.
Universitas Malikussaleh
17
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
masyarakat, artinya membawa kemunduran dan kepayahan
(regress).14 Banyak perubahan sosial yang muncul, lalu menjadikan
masyarakat tenggelam dan terjebak dalam persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan tanpa dapat mengambil suatu sikap yang tepat
terhadap keadaan yang baru itu. Padahal seharusnya masyarakat
mampu mengendalikannya dengan memberikan ketentuan hukum
yang pasti buatnya, atau menjadikan perubahan tersebut sebagai
wujud kemaslahatan bagi kehidupan mereka.
Perkembangan dan perubahan masyarakat dari waktu ke
waktu senantiasa terjadi dan menimbulkan permasalahan baru,
perubahan tersebut pada dasarnya merupakan upaya masyarakat
dalam mengembangkan diri dan lingkungan melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi. Seharusnya masyarakat mampu
mengimbangi perubahan tersebut dengan suatu ketentuan hukum
sehingga tidak menimbulkan kegamangan dan kekosongan hukum.
Dalam kajian sosiologi hukum dalam menghadapi realitas di
atas, hukum dituntut untuk dapat memainkan peranan ganda yang
sangat penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat kontrol
sosial (social control) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai
alat rekayasa sosial (social enginering), dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu
sendiri.15
Tujuan dan fungsi hukum yang demikian, terdapat pada
semua sistem hukum yang berlaku di dunia, tanpa terkecuali hukum
Islam. Bahkan hukum Islam yang notabenenya berdasarkan kepada
wahyu bukan akal belaka melalui istinbath harus mampu
menampakkan
perbedaan
dan
keistimewaan
tersendiri
16
dibandingkan dengan sistem hukum yang lainnya Sehingga tidak
menutup kemungkinan hukum Islam itu akan dijadikan sebagai
pertimbangan dan rujukan dalam memecahkan masalah dan
menetapkan hukum atas suatu masalah oleh masyarakat dunia, tidak
hanya oleh mereka yang beragama Islam saja.
Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu,
hukum Islam mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mewujudkan
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi
Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), h. 19.
15 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 99-107.
16 J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, (New York: New
York University Press, 1959), h. 116.
14
18
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat, melalui
harmonisasi hubungan manusia dengan objek di luar mereka secara
vertikal (hablum min Allah) dan horizontal (hablum min al-nass).17
Untuk terwujudnya harmonisasi hubungan-hubungan tersebut di
atas, Allah Swt memberikan pedoman berupa aturan-aturan hukum
yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dalam bentuk
aturan-aturan dalam bentuk akidah dan ibadah melalui naṣ yang
relatif rinci, memiliki daya ikat dan validitas yang kuat bersifat qath‘i
(pasti).18 Dalam menghadapi permasalahan yang qath’i ini manusia
tidak diperbolehkan melakukan perubahan-perubahan dan
pengembangan serta interpretasi lain selain yang dimaksud oleh naṣ
syara’. Dalam hal ini adalah bidang akidah, ibadah wajib (mahdah)
serta bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang telah diatur secara rinci oleh naṣ. Dalam
bidang-bidang ini tidak boleh ada campur tangan manusia, yang
dengan sendirinya bidang-bidang tersebut bukanlah merupakan
lapangan istinbath.
Lain halnya permasalahan mu’amalah atau sosial
kemasyarakatan dalam arti yang lebih luas, aturan-aturan hukum
mengenai hal ini dinyatakan oleh Allah dalam bentuk garis-garis
besarnya saja (global) dan bersifat zanni (dugaan). Dari garis-garis
besar tersebut, manusia dengan potensi akal yang dianugerahkan
Allah kepadanya, diberi kebebasan atau keleluasaan untuk mencari
alternatif-alternatif
pemecahan
terhadap
permasalahanpermasalahan kehidupan yang dihadapinya selama tidak
bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam itu sendiri.19
Tujuan diberikan kebebasan kepada manusia dalam mencari
alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan
kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia itu sendiri, karena kemaslahatan dan
kebutuhan manusia tidaklah tetap, melainkan senantiasa mengalami
Muhammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and The Rule of
Necessity and Need, (Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic
University, 2011), h. 140.
18 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 2.
19 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), 42.
17
Universitas Malikussaleh
19
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
perubahan setiap saat, sehingga manusia dapat mencari alternatif
yang terbaik buat dirinya.20
Pengaturan sebagian besar masalah sosial kemasyarakatan
dalam kehidupan manusia melalui naṣ-naṣ dalam bentuk yang global
saja, maka masalah sosial kemasyarakatan macam ini menjadi objek
dan lapangan istinbath bagi manusia.21 Dalam bidang ini terlihat
bagaimana prinsip dan dinamika hukum Islam dalam mengantisipasi
dan mengatasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dalam berbagai bidang, ini bukan berarti bahwa masalah
sosial kemasyarakatan (mu’amalah) tidak mengandung dimensi
ibadah sama sekali. Akan tetapi, pembagian tersebut lebih ditujukan
untuk memberikan penekanan terhadap masalah-masalah yang
menerima perubahan dan pengembangan dengan berbagai metode
istinbath dan pertimbangan yang diterapkan.22
Jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstan, permanen,
dan stabil, tidak berubah sepanjang masa seiring dengan kemajuan
peradaban manusia yaitu menerima dan terbuka untuk pembaruan
dan perubahan, mengingat peristiwa hukum, teknis, dan cabangcabangnya mengalami perubahan setiap saat, berkembang sejalan
dengan perkembangan zaman. Sehingga dengan tetap teguhnya jiwa
dan prinsip hukum, dibarengi dengan terbuka lebarnya perubahan
dan perkembangan cabang-cabangnya, terjaminlah modernisasi dan
kemajuan hukum Islam secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh
prinsip, norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya
perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum
Islam di bidang sosial kemasyarakatan semakin bertambah materi
hukumnya, semakin banyak perbendaharaannya dan semakin
sempurna pembahasannya.23
Jadi obyek dan ranah istinbath adalah segala sesuatu yang
tidak diatur secara tegas dalam naṣ al-Qur’an dan Sunnah serta
masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan naṣ.
Pada permasalahan tersebut oleh para ulama dapat menerapkan
Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial
(Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), hal. 45.
21Abdul Wahab Khallaf, Masadir, …h. 7-9. Lihat juga Rachmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 107.
22Khutbuddin Aibak, Penalaran Ta’lalily Dalam Hukum Islam; Telaah Corak
Penalaran Hukum Islam dalam Upaya Penerapan Maqashid Syari’ah, (STAIN
Tulungagung: Jurnal Islamica, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2006), h. 58.
23 Ibid, h. 59.
20
20
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
berbagai metode istinbath untuk menggali kemungkinan hukum yang
dapat diterapkan, dan merekayasa sedemikian rupa agar perubahan
masyarakat dapat menjadi suatu yang maslahat buat mereka bukan
sebaliknya menjadi permasalahan yang mengganjal keharmonisan
hidup mereka. Metode-metode yang diterapkan ulama dalam
menggali hukum tentu banyak sekali dan metode tersebut juga
terbuka peluang untuk berubah dan bertambah, di antaranya adalah
qiyas, istislah, istishab, ‘urf dan lain-lain.24
Metode-metode tersebut akan bekerja pada setiap
permasalahan yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur’an dan alḥadīs secara jelas. Menurut Amir Syarifudin permasalahan yang tidak
diatur naṣ dapat dilihat dari dua segi, yaitu:25
a. Al-Qur’an dan al-ḥadīs secara jelas dan langsung tidak
menetapkannya, tidak secara keselu
ILMU USUL FIQIH
Dr. Munadi, MA
PENGANTAR
ILMU USUL FIQIH
Judul: PENGANTAR ILMU USUL FIQIH
vi + 96 hal., 15 cm x 23 cm
Cetakan Pertama: Oktober, 2017
Hak Cipta © dilindungi Undang-undang. All Rights Reserved
Penulis:
Dr. Munadi, MA
Perancang Sampul dan
Penata Letak: Eriyanto
Pracetak dan Produksi: Unimal Press
Penerbit:
Unimal Press
Jl. Sulawesi No.1-2
Kampus Bukit Indah Lhokseumawe 24351
PO.Box. 141. Telp. 0645-41373. Fax. 0645-44450
Laman: www.unimal.ac.id/unimalpress.
Email: [email protected]
Dilarang keras memfotocopy atau memperbanyak sebahagian atau
seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan
penyusunan buku ini. Rahmat dan sejahtera senantiasa kita kirimkan
keharibaan Nabi Besar Muhammad Saw yang telah menunjuki umat
manusia ke jalan kebenaran.
Buku dihadapan pembaca ini berawal dari buku daras yang
penulis susun sebagai pedoman bagi mahasiswa dalam mempelajari
mata kuliah usul fiqh, lalu dilakukan beberapa penambahan dan
penyempurnaan sebagaimana saat ini saat akan diterbitkan dan
diedar secara luas. Hadirnya buku ini merupakan keniscayaan dari
keterlibatan berbagai pihak, terutama para akademisi di IAIN
Lhokseumawe. Dan juga dukungan moril dari keluarga saat buku ini
disusun dan akhirnya diterbitkan.
Penulis mengakui bahwa buku ini memiliki banyak
kekurangan di sana sini. Untuk itu masukan yang kontruktif dari para
pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan ke depan. Hanya
kepada Allah segenap ikhtiar dan amalan diserahkan, semoga buku
ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan menjadi amal jariyah bagi
akhirat kelak. Amin..
Lhokseumawe, 10 Oktober 2017
Penulis
Dr. Munadi, MA
v
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................................v
Daftar Isi....................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB II USUL FIQH DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA .............. 5
A. Pengertian Usul Fiqh ............................................................................... 5
B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh ...................................................... 6
BAB III USUL FIQH DAN ISTINBATH HUKUM ISLAM.....................11
A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya .......................................14
BAB IV CORAK ISTINBATH HUKUM ULAMA......................................25
BAB V MACAM-MACAM KAIDAH USUL FIQH.....................................39
A. Ijma’..............................................................................................................40
B. Qiyas.............................................................................................................44
C. Maslahah Mursalah ................................................................................47
D. Urf/Adat .....................................................................................................58
E. Sadd Zara’i..................................................................................................66
F. Istihsan ........................................................................................................70
G. Istishab........................................................................................................71
H. Siyasah Al-Syar’iyah ..............................................................................74
I. Syar’u Man Qablana.................................................................................81
J. Qaul Sahabi (Pendapat Para Sahabat) .............................................86
BAB VI PENUTUP..............................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................91
RIWAYAT PENULIS..........................................................................................95
⍝
vi
Pendahuluan
BAB I
Pendahuluan
Munculnya berbagai persoalan dalam masyarakat setiap
waktu tanpa henti dengan bentuk dan modus yang beraneka ragam
telah menuntut ahli hukum untuk berijtihad, guna menjawab
persoalan tersebut dengan ketentuan hukum yang jelas. Setiap
persoalan harus segera diberikan ketetapan hukum untuk
menghindari kekosongan dan kegamangan hukum dalam
masyarakat. Sesuai fungsinya hukum adalah untuk mengendalikan
perilaku masyarakat supaya terarah sesuai dengan prinsip keadilan
dan kesejahteraan. Di sisi yang lain hukum merupakan alat untuk
merubah dan merekayasa struktur sosial masyarakat dari suatu
bentuk kepada bentuk lainnya yang lebih baik dan terarah.
Tanpa adanya hukum sulit untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang ideal, bahkan sebaliknya kehidupan masyarakat
akan semakin kacau balau tidak terkendali. Ketiadaan hukum atau
lemahnya sistem hukum masyarakat merupakan masalah yang
krusial, semua aspek kehidupan masyarakat akan mengalami
kekacauan, karena terjadinya penyalahgunaan hak dan wewenang
secara bebas oleh individu dan kelompok dalam masyarakat.
Agama Islam merupakan solusi bagi kehidupan dengan
menghadirkan jawaban-jawaban hukum untuk setiap persoalan
lewat petunjuk Alquran dan Hadist. Manusia dapat mengakses
berbagai informasi hukum yang berkaitan dengan persoalan
hidupnya yang berkaitan dengan masalah ibadah, muamalah,
munakahat, jinayat dan lain sebagainya. Setidaknya kedua sumber
hukum tersebut telah memberikan isyarat tentang ihwal kehidupan
manusia, serta berbagai ketentuan yang mengaturnya. Tugas
manusia adalah mengelaborasi lebih jauh kandungan nash untuk
menetapkan hukum yang kongkrit bagi penyelesaian persoalan yang
muncul.
Dalam upayanya mencari jawaban hukum, umat Islam
membutuhkan seperangkat metode atau teknik yang disebut juga
dengan kaidah usul fiqh. Kaidah tersebut digunakan untuk
menetapkan hukum. Dalam kegiatan ijtihad, seorang mujtahid harus
menggunakan kaidah usul fiqh, guna memahami bentuk hukum yang
akan diputuskan. Kaidah usul fiqh merupakan acuan penetapan
hukum yang harus diikuti oleh mujtahid.
Universitas Malikussaleh
1
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
Mujtahid tidak boleh secara begitu saja memutuskan hukum
tanpa melalui proses analisis dan pertimbangan usul fiqh yang
matang. Hukum yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan logika
semata tidak dapat diterima sebagai hukum Islam, karena
pembentukan hukum Islam harus melalui mekanisme atau langkah
tersendiri.
Setidaknya ada tiga langkah dalam penetapan hukum Islam,
yaitu: Pertama, mencari nash yang berkaitan dengan permasalahan;
Kedua, menentukan metode istinbath yang relevan dan Ketiga,
memperhatikan implikasi atau akibat dari hukum yang dibuat.
Dalam mencari jawaban hukum bagi suatu permasalahan, seorang
mujtahid terlebih dahulu mencari nash yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut, baik nash khusus maupun umum. Jika nash
ditemukan, maka petunjuknya harus diikuti oleh mujtahid.
Setelah menemukan nash, mujtahid melakukan analisis usul
fiqh dengan menggunakan salah satu kaidah yang relevan. Biasanya
kaidah yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Jika
permasalahan tersebut mengandung manfaat yang tidak disentuh
langsung oleh nash, maka mujtahid dapat menggunakan kaidah
istislahiah untuk menguji manfaat tersebut apakah sesuai dengan
prinsip syara’ atau tidak.
Jika suatu permasalahan berkaitan dengan kebiasaan atau
tradisi masyarakat, maka untuk menganalisisnya dapat
menggunakan kaidah ‘urf guna menguji apakah kebiasaan tersebut
dapat dianggap sebagai ‘urf sahih sehingga dapat dijadikan
pertimbangan dalam pembentukan hukum ataupun termasuk ‘urf
fasid yang harus ditolak. Demikianlah seterusnya dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan hukum lainnya, mujtahid
dapat menganalisisnya dengan kaidah usul fiqh yang relevan.
Hukum yang ditetapkan juga harus diperhatikan implikasinya
terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Setiap hukum harus
berdampak positif bagi masyarakat dalam rangka menanggulangi
berbagai permasalahan. Keberadaan hukum harus menjadi solusi
bagi masalah masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi
bomerang dalam masyarakat.
Setelah melalui tiga proses di atas, suatu hukum telah dapat
ditetapkan dan diformalkan untuk dijadikan ketetapan hukum
masyarakat. Banyak ketentuan hukum ternyata harus ditolak,
direvisi bahkan direkonstruksi ulang karena tidak memenuhi syarat.
Penetapan hukum Islam telah mencapai tahap yang mudah,
karena telah adanya berbagai metode yang dikembangkan oleh para
2
Dr. Munadi, MA
Pendahuluan
berupa kaidah usul fiqh. Kaidah-kaidah tersebut dikembangkan oleh
ulama lewat perenungan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam
nash, seperti keadilan, kasih sayang, keselamatan, kewajiban,
larangan dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut lalu
diaktualisasikan dalam bentuk kaidah usul fiqh yang bersifat praktis.
Kaidah itu kemudian digunakan oleh mujtahid untuk menetapkan
hukum.
Kaidah usul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam,
yaitu kaidah yang disepakati ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah
yang tidak disepakati ulama (mukhtalafun alaih). Kaidah yang
disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas, sedangkan yang tidak
disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u
man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang
disepakati di sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan
oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang
tidak disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh
sebahagian mujtahid dan menggunakannya dalam kegiatan ijtihad
mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karena
menganggapnya salah.
Perbedaan pendapat ulama tentang kaidah usul fiqh
disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap maksud nash
dan realitas kehidupan tempat tinggal mereka. Misalnya Abu Hanifah
yang terkenal rasional dalam penetapan hukum, di samping
mempunyai landasan dari dalil, realitas kehidupan masyarakat di
Kufah yang rasional dan berkembangnya aliran Mu’tazilah di tempat
itu turut mempengaruhi metode penelaran beliau.
Demikian pula Imam Malik yang terkenal literal dan cukup
teguh berpegang kepada hadis dalam penalaran hukum, dapat
dikaitkan dengan domisili beliau di kota Madinah. Wilayah tersebut
cukup banyak ditemukan hadis, karena Rasulullah dan sahabatnya
mayoritas berdomisili di situ. Maka dalam penalaran hukum, Imam
Malik lebih mengutamakan nash dibandingkan akal. Saat
menghadapi suatu persoalan beliau mencari penyelesaiannya dari
Al-Quran dan hadist, kemudian pendapat para sahabat dan amalan
masyarakat Madinah. Dalam anggapan beliau, amalan masyarakat
Madinah dapat menjadi acuan hukum, karena identik dengan
pengamalan Rasulullah Saw.
Setelah Abu Hanifah dan Imam Malik, tampillah Imam Syafei
dalam kancah pemikiran hukum Islam. Imam Syafei tidak lain adalah
murid dari Abu Hanifah dan Imam Malik. Dalam pengembaraan
ilmunya, beliau pertama sekali berangkat ke Madinah untuk belajar
Universitas Malikussaleh
3
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
hadis kepada Imam Malik serta metode penalaran hukum yang
dikembangkannya. Setelah itu beliau berangkat ke Kufah untuk
belajar kepada dua murid senior Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan
Al-Syaibani. Di sini beliau juga bersentuhan dengan metode
penalaran yang dikembangkan oleh Abu Hanifah yang cenderung
rasional.
Imam Syafei mengembangkan metode penalaran hukumnya
sendiri yang bercorak moderat. Metode yang dikembangkannya
merupakan kombinasi dari metode yang dikembangkan oleh Abu
Hanifah dan Imam Malik. Maka dalam penalaran hukum yang
dikembangkan oleh Imam Syafei, pengunaan nash dan rasional
bersifat proporsional (adil), namun di saat kesimpulan nash dan
rasio saling bertentangan, dalam hal ini beliau lebih mengutamakan
nash.
Beliau merumuskan beberapa kaidah usul fiqh seperti qiyas,
istishab dan ‘urf. Kaidah-kaidah tersebut merupakan bentuk
penalaran yang menggunakan nash dan rasio secara sekaligus dalam
menetapkan hukum. Imam Syafei menjadi orang pertama yang
merumuskan ilmu usul fiqh secara sistematis dengan mengarang
sebuah kitab yang bernama Al-Risalah.
Setelah Imam Syafei, diskusi mengenai usul fiqh semakin giat
dilakukan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang berusaha
mengembangkan ilmu usul fiqh yang telah disusun oleh Imam alSyafei, namun ada juga yang membahasnya secara analisis dan
memberikan berbagai kritikan. Perkembangan usul fiqh ditandai
dengan banyak bermunculan buku-buku yang ditulis para ulama
mengenai masalah ini. Masing-masing mereka menguatkan metode
yang dikembangkan oleh imam mazhabnya dan mengkritik metode
dari mazhab lain.
Sampai sekarang, buku-buku usul fiqh senantiasa bertambah
dengan corak yang beragam. Sebahagiannya merupakan ulangan dari
literatur lama, namun sebahagiannya merupakan hasil modifikasi,
revisi bahkan rekonstruksi dari usul fiqh lama. Perubahan ini
dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
perubahan masyarakat zaman modern.
Buku ini membahas tentang ilmu usul fiqh dalam dua dimensi
yaitu, teoritis dan praktis. Penulis berusaha untuk menjelaskan
kaidah-kaidah usul fiqh satu persatu serta serta aplikasinya dalam
kegiatan istinbath. Sebahagian buku usul fiqh hanya menjelaskan
kaidah-kaidah semata, namun tidak menggambarkan tentang bentuk
aplikasi kaidah tersebut dalam kegiatan istinbath. ⍝
4
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
BAB II
USUL FIQH DAN SEJARAH
PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Usul Fiqh
Secara bahasa usul berarti pokok, dalil dan dasar. Sedangkan
fiqih berarti pemahaman yang mendalam tentang suatu ilmu dan
membutuhkan potensi akal. Usul fiqh secara istilah adalah ilmu
tentang metode penetapan hukum Islam dari dalil yang terperinci.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan usul fiqh sebagai ilmu
tentang dalil-dalil hukum syara’ secara umum, metode penetapan
hukum dari dalil dan kriteria seorang mujtahid. Sedangkan ulama
Hanafiyah, Malikiyyah dan Hanabilah mendefinisikan usul fiqh
adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengistinbatkan hukum
dari dalil tafsili (terperinci), dengan kata lain usul fiqh adalah ilmu
tentang kaidah-kaidah tersebut.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa usul fiqh
merupakan seperangkat ilmu yang membahas secara komprehensif
berkaitan dengan penetapan hukum Islam, baik berkaitan dengan
dalil, metode istinbath maupun persyaratan seorang mujtahid.
Pemahaman terhadap usul fiqh akan membawaki seseorang mampu
memahami dalil-dalil hukum syara’ yang bersifat asl (primer)
maupun furu’ (sekunder). Dalil primer hukum Islam adalah berupa
Alquran dan Hadis, sedangkan dalil sekunder adalah ijma’, qiyas,
istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya.
Tidak sebatas itu, seseorang juga akan memahami pengertian
dari dalil maupun sumber hukum, serta hubungan antara dalil,
seperti hubungan Alquran dengan Hadis, hubungan ijma’ dengan
nash, hubungan qiyas dengan nash dan seterusnya. Berkaitan dengan
hubungan dalil cukup penting diketahui, guna memahami hirarkis
dalil dan dalil mana yang harus lebih diutamakan saat dalil saling
bertentangan.
Masalah yang kedua yang dibahas dalam ilmu usul fiqh
adalah tentang metode istinbath hukum, yang disebut juga dengan
Universitas Malikussaleh
5
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
adillah al-syar’iyyah. Metode istinbath hukum adalah kumpulan
kaidah-kaidah usul fiqh bersifat operasional yang dirumuskan ulama
untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum. Dengan kaidah
tersebut, seorang mujtahid dapat memutuskan hukum secara tepat
sesuai dengan prinsip nash dan akal sehat.
Kaidah usul fiqh telah dirumuskan oleh para ulama dalam
bentuk yang beragam, yang berasal dari hasil interprestasi mereka
terhadap nash. Para ulama dengan cukup hati-hati meramu kaidahkaidah tersebut supaya tetap sejalan dengan prinsip nash, dan
menghindari segala bentuk kekeliruan dan pengaruh hawa nafsu.
Kaidah-kaidah usul fiqh yang telah dirumuskan oleh para
ulama antara lain adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslahah al-mursalah,
sadd zara’i, syar’u man qablana, qaul sahabi, istishab, dan ‘urf.
Belakangan juga muncul beberapa qaidah lainnya seperti maqashid
al-syari’ah yang dirumuskan oleh al-Syathibi dan metode InsyaiIntiqai yang dirumuskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi. Dari waktu ke
waktu kaidah usul fiqh senantiasa bertambah berdasarkan
perkembangan masalah dan kemajuan berfikir para ulama.
Masalah yang terakhir dibahas dalam ilmu usul fiqh adalah
mengenai persyaratan seorang mujtahid. Penetapan hukum dalam
Islam tidak dapat dilakukan oleh siapa saja, akan tetapi semestinya
dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam masalah
ijtihad. Penetapan hukum Islam merupakan suatu pekerjaan yang
sangat hati-hati lewat penelitian akademis yang matang. Hal itu
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas
keilmuan yang mumpuni.
Dalam ilmu usul fiqh, mengenai mujtahid dan persyaratannya
menjadi perhatian tersendiri dan dibahas secara terperinci. Dengan
demikian kita dapat mengetahui kapasitas mujtahid dan siapa saja
yang telah sampai kepada derajat tersebut.
B. Sejarah Perkembangan Usul Fiqh
Saat Rasulullah saw masih hidup, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum syara’,
semua permasalahan dapat langsung ditanyakan kepada beliau atau
merujuk kepada penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an dan juga
melalui sunnahnya. Para sahabat menyaksikan dan berinteraksi
langsung dengan turunnya wahyu baik al-Quran maupun hadits, di
samping itu mereka merupakan ahli bahasa, memiliki kecerdasan
berpikir serta jiwa yang bersih sehingga sangat mudah memahami
hukum. Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat tidak
6
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
membutuhkan perangkat teori (kaidah) untuk berijtihad, meskipun
prinsip-prinsip dari kaidah tersebut telah mereka kuasai dan dapat
digunakan saat memerlukannya.
Setelah meluasnya wilayah Islam hasil dari penaklukan, umat
Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang
berbeda bahasa dan latar belakang sosial-budaya (peradaban), hal ini
menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan
sebagian umat, terutama di Irak. Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad
begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang
belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang
mencerminkan metode dalam berijtihad. Pertama; Madrasah ahl arra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah. Kedua; Madrasah
ahl al-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada kuantitas (banyaknya)
penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad.
Madrasah ahl al-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas
(analogi) dalam berijtihad, disebabkan oleh sedikitnya jumlah hadits
yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka
lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar
di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat
seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain
masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu
banyak, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengandalkan qiyas
(analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini
muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang
sangat kompleks dan berbeda dengan situasi di Mekkah maupun
Madinah. Dalam berijtihad mereka mengikuti metode yang
digunakan guru mereka Abdullah bin Mas’ud yang banyak
menggunakan qiyas dalam berijtihad untuk menyelesaikan berbagai
masalah.
Sedangkan madrasah ahl al-hadits lebih hati-hati
menggunakan qiyas dalam berfatwa, karena situasi yang mereka
hadapi berbeda, di mana banyaknya perbendaharaan hadits di
tangan mereka dan sedikit sekali kasus-kasus baru yang memerlukan
ijtihad. Hal ini dapat dipahami karena di tempat itu Rasulullah Saw
tinggal menyebarkan agama Islam hingga wafat, sehingga banyak
persoalan telah dijawab ketika hidup beliau. Dalam berijtihad, ulama
Madinah mengikuti metode Abdullah bin Umar dan Abdullah bin
‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam
berfatwa. Setiap pendapat hukum yang mereka kemukakan
Universitas Malikussaleh
7
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
senantiasa dikaitkan dengan nash. Perbedaan metode istinbath dari
kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, dan amat sering
terjadi pertentangan pendapat. Realitas ini menurut para ulama
waktu itu sangat perlu menyusun kaidah-kaidah istinbath yang
dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan untuk menyatukan
dua madrasah ini.
Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini
adalah Abdurrahman al-Mahdi (135-198 H) yang meminta kepada
Imam Al-Syafi’i (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang
prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka
lahirlah kitab al-Risalah karya Imam al-Syafi’i sebagai kitab pertama
dalam bidang ushul fiqh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum
lahirnya kitab al-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama
sekali, tetapi hal itu sudah ada sejak masa sahabat dan ulama-ulama
sebelum Imam al-Syafi’i, hanya saja kaidah-kaidah tersebut belum
tersusun rapi dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri secara
sistematis dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama.
Imam al-Syafi’i adalah ulama pemakarsa penulisan ilmu ushul fiqh
dengan judul bukunya al-Risalah yang menjadi rujukan bagi para
ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan
ilmu ini. Beliau merupakan ilmuwan yang mumpuni yang dilahirkan
oleh dua madrasah yang berkembang waktu itu, yaitu madrasah ahl
al-hadits dan madrasah ahl al-ra’yi.
Imam al-Syafi’i dilahirkan di Ghaza, pada usia 2 tahun beliau
berangkat ke Mekkah bersama ibunya untuk belajar dan menghafal
Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah
mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu
kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15
tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy (salah
seorang ulama Mekkah) untuk memberi fatwa, beliau sudah
menguasai hukum syara’ dalam usia yang relatif muda dan sudah
dipercayakan sebagai mufti. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan
berguru kepada ulama besar Madinah, yaitu Malik bin Anas (95-179
H) serta ulama-ulama lainnya lebih kurang 9 tahun, sehingga beliau
memiliki pengetahuan yang cukup dalam dibidang hadits dan fiqh
Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak
kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani (wafat th 187 H), murid
dari Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H). Dari latar
belakang pendidikannya, terlihat bahwa Imam Syafi’i menguasai ilmu
dan metode yang dianut oleh kedua madrasah yang saling berbeda,
maka beliau memang orang yang tepat untuk menjadi orang pertama
8
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh Dan Sejarah Perkembangannya
yang menulis buku dalam ilmu ushul fiqh. Selain al-Risalah, Imam
Syafi’i juga memiliki beberapa karya tulis lainnya dalam ilmu ushul,
yaitu kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Setelah Imam al-Syafi’i, penulisan kitab ushul fiqh mulai giat
dilakukan oleh ulama-ulama yang lain, sehingga melahirkan banyak
karya tulis dalam bidang ini dengan berbagai pengembangan di
dalamnya. Berikut penulis sebutkan beberapa buah kitab ushul fiqh
yang pernah ditulis oleh para ulama dari lintas mazhab dan generasi,
antara lain adalah Kitab Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad
Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi, AnNasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H),
Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud
bin Ali Az-Zhahiri, Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin
Ali Al-Bashri Al-Mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H), Al-Burhan
karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Al-Haramain,
Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad, AlMahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy, Al-Ihkam
fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi, Ushul AlKarkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi, Ushul Al-Jashash
karya Abu Bakar Al-Jashash, Ushul as-Sarakhisi karya Muhammad bin
Ahmad As-Sarakhsi, Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali
bin Muhammad Al-Bazdawi, Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin
Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-Hanafi, al-Tahrir karya Kamaluddin
Muhammad bin Abdul Wahid, Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin
Ali As Subki, Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Asy-Syathibi, Irsyadulfuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-Syaukani dan karya-karya tulis lainnya yang tidak
disebutkan di sini.
⍝
Universitas Malikussaleh
9
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
This page is intentionally left blank
10
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
BAB III
USUL FIQH DAN ISTINBATH
HUKUM ISLAM
Kehidupan manusia senantiasa menghadirkan permasalahan
yang muncul dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat seiring
mobilasi dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Setiap
permasalahan yang muncul merupakan tantangan yang harus
dihadapi terutama oleh hukum supaya masyarakat tidak terjebak
dalam kegamangan, kegalauan karena tidak ada kepastian hukum
tentang suatu permasalahan.
Untuk menjawab setiap permasalahan yang muncul
diperlukan upaya pembentukan atau penemuan hukum, dalam
hukum Islam biasa disebut dengan istinbath atau ijtihad. Sedangkan
dalam hukum Barat disebut rechtsvinding (penemuan hukum),
tujuannya adalah untuk memberikan jawaban hukum dan
mengontrol segala kemungkinan dan permasalahan yang muncul
akibat dari perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat.
Perubahan sosial terjadi disebabkan munculnya suatu fenomena
sosial yang baru ataupun juga permasalahan lampau yang belum ada
penyelesaian hukumnya, di sinilah pembentukan dan penemuan
hukum (istinbath) dilakukan untuk memberikan jawaban hukum dan
mengontrol perubahan sosial supaya tetap sejalan dengan ketentuan
syara’.
Menurut Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dan
cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi
maupun karena adanya difusi (penggabungan) ataupun penemuanpenemuan baru dalam masyarakat. Menurut Samuel Koeng,
perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi
dalam pola-pola kehidupan manusia, modifikasi-modifikasi tersebut
terjadi karena sebab-sebab internal maupun sebab-sebab eksternal.1
Menurut Selo Soemardjan yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto merumuskan bahwasanya perubahan sosial adalah segala
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di
Samuel Koening, Man and Society, the Basic Teaching of Sociology, (New
York: Borners Van Noble Inc: 1957), Cet. 1 ,h. 279.
1
Universitas Malikussaleh
11
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.2
definisi di atas menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah
perubahan cara hidup suatu masyarakat tentang sistem sosialnya,
termasuk nilai-nilai serta sikap, yang disebabkan perubahan kondisi
geografis, kebudayaan, ideologi, ataupun penemuan-penemuan baru
dalam masyarakat. Sehingga menimbulkan sikap dan pola perilaku di
antara kelompok-kelompok masyarakat.
Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut
adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada
umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum.
Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa hukum
merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat.
Senada dengan itu, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum
tentang perubahan sosial dan hubungannya dengan perubahan
hukum. Menurutnya, perubahan hukum dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu: pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan
di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antar
kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social
movement).3 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang sarjana Islam juga
mengemukakan hal yang sama, bahwa perubahan fatwa adalah
dikarenakan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.4
Pengaruh atau unsur perubahan di atas dapat menimbulkan
perubahan-perubahan sosial yang berakhir kepada perubahan dalam
khazanah pemikiran dan sistem hukum yang ada, tanpa terkecuali
pada khazanah pemikiran dan hukum Islam. Menghadapi perubahan
sosial tersebut hukum Islam harus mampu menjawab dan
memberikan solusi hukum melalui pembaruan hukum. Pada
dasarnya pembaruan hukum Islam hanya mengangkat dan berkaitan
dengan aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam yang
bersentuhan dengan perubahan sosial, tanpa mengabaikan aspek
universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Dengan adanya
pembaruan hukum Islam maka terhindarlah kesulitan-kesulitan
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XII,Jakarta: Rajawali
Press: 1995), h. 337.
3 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 96.
4 Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin
(Beirut: Dar al-Fikr, tt), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 444.
2
12
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
dalam memasyarakatkan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat,
khususnya saat terjadi perubahan sosial.5
Sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku dalam
masyarakat, hukum Islam harus menunjukkan eksistensi dan
fungsinya sebagai problem solving bagi setiap permasalahan yang
dihadapi
masyarakat
dan
membuktikan
relevansi
dan
fleksibelitasnya untuk setiap tempat dan zaman (salih li kulli makan
wa zaman).6 Hukum Islam akan berperan secara nyata dan
fungsional jika istinbath konsisten dilakukan dan ditempatkan secara
proporsional dalam mengantisipasi dinamika sosial dengan berbagai
kompleksitas persoalan yang ditimbulkan.
Untuk mengawal supaya hukum Islam tetap dinamis,
responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan
perubahan dapat ditempuh dengan cara menghidupkan dan
menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam.
Pada posisi ini, ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya
perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai
sistem ajaran yang relevan untuk setiap tempat dan zaman.
Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber
hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara
kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya, dan
semakin bertambah saja dari waktu ke waktu tanpa dapat dihambat.
Ibnu Rusyd mengomentari realitas tersebut dalam kitabnya Bidayah
al-Mujtahid bahwasanya persoalan-persoalan kehidupan masyarakat
tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah naṣ, al-Qur’an dan alḥadīs, jumlahnya terbatas. Sesuatu yang terbatas jumlahnya mustahil
dapat menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.7
Terbatasnya jumlah naṣ meniscayakan kepada adanya
istinbath untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang tidak
secara ekplisit tersebut dalam naṣ, istinbath merupakan satu-satunya
jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan
perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang
memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme
Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60.
6Murtadha Mutahhari, Inn al-Din ‘inda Allah al-Islam, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), 164; lihat juga Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta:
Gema Insani Press, 1998), h. 176.
7Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia: Daar
al-Kutub al-Arabiyyah, tt), h. 2.
5
Universitas Malikussaleh
13
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
A. Definisi Istinbath dan Dasar Hukumnya
Kata istinbath berasal dari kata nabth, yang berarti air yang
mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali. Maka menurut
bahasa istinbath dapat dipahami sebagai perbuatan mengeluarkan
sesuatu dari persembunyiannya.8 Setelah dipakai menjadi istilah
dalam studi hukum Islam, arti istinbath menjadi upaya atau usaha
untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya. Makna istilah ini
hampir
sama
dengan ijtihad.
Adapun
fokus atau
objek
istinbath adalah teks suci ayat-ayat al-Qur`an dan ḥadīs-ḥadīs Nabi
Saw. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum
dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Abdul Wahab Khalaf mengartikan istinbath adalah suatu
upaya berpikir serius secara optimal dan maksimal dalam menggali
hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh kepastian jawaban
terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.9
Istinbath merupakan upaya untuk mengantisipasi berbagai
tantangan dan permasalahan hukum baru yang senantiasa muncul
sebagai akibat dari evolusi, mobilisasi dan perubahan perilaku dan
realitas kehidupan masyarakat. Manusia sebagai khalifah Tuhan di
muka bumi dituntut untuk senantiasa berpikir, dan menggali
berbagai kemungkinan hukum bagi setiap permasalahan yang
muncul, tetapi berpikir di sini bukan berarti yang bebas begitu saja
tanpa kontrol dan batas. Dalam berfikir manusia harus menjaga
batas-batas yang telah digariskan syara’, yakni selalu berlandaskan
al-Qur’an dan ḥadis.
Istinbath memiliki landasan hukum yang jelas, sehingga
legalitasnya tidak perlu diragukan. Adapun dalil mengenai istinbath
antara lain adalah firman Allah Swt QS al-Nisa ayat 83 yang berbunyi:
ََِ
ﻭﻟﻮﺭﺩﻭﻩُ َِﺇﻟﻰ
َ ِ ﺃﻣﺮ
ِ ِ ﻋﻮﺍ
ِ ْ َ ْ ِ َ ﺍﻷﻣﻦ
ٌ ْ َ ﺟﺎءﻫﻢ
ْ َ َ ْ َ ﱡ,ﺑﻪ
ْ ُ َﺃﻭﺍﻟﺨﻮﻑ َﺃﺫ
ْ ُ َ َ ﻭﺇﺫﺍ
ِ ْ َ ْ ﻣﻦ
َ ِ َ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ
َﻭﻟﻮﻻ
َ ْ ﻟﻌﻠﻤﻪُ ﱠ
ِ ْ ُ ﻭﺇﻟﻰ
ْ ُ ِ ْ َ ْ َ ﺍﻟﺬﻳﻦ
ْ َ َ ,ﻣﻨﻬﻢ
ِ ُْ ﱠ
ْ ُ ْ ِ ُﻳﺴﺘﻨﺒﻄﻮﻧَﻪ
ْ ُ ْ ِ ﺍﻷﻣﺮ
ِ ْ َ ْ ﺃﻭﻟﻰ
َ ِ َ َ ﻣﻨﻬﻢ
ُ َ ْ َ َ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ُ ْ َ
.ًﻗﻠﻴﻼ
ْ ِ َ ﺍﻟﺸﻴﻄﻦ ِﺇﻻﱠ
َ َ ْ ﻻﺗﺒﻌﺘﻢ ﱠ
ْ ُ ْ َ َ ِﻓﻀﻞ ﷲ
ْ ُ ْ َ ﻭﺭﺣﻤﺘﻪُ َ ﱠ
Artinya:
Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan
Anggota IKAPI, 1996), h. 25
9Abd al-Wahhab al-Khalaf, Mashadir al-Tashri‘ al-Islam fi ma la Naṣ fih
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h. 7.
8
14
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
(QS. Al-Nisa: 83)
Ulama tafsir
menjelaskan bahwasanya ayat ini
membicarakan tentang pengambilan kesimpulan dari suatu berita
tentang keamanan dan ketakutan yang disampaikan/diadukan
kepada rasul dan ulil amri (pemerintah), lalu keduanya menetapkan
(ber-istinbath) mengenai kesimpulan atau keputusan dari berita itu.
Ibnu Zaid dan Muqatil meriwayatkan bahwa ulil amri adalah
panglima perang, sedangkan Al-Syaukani meriwayatkan bahwa ulil
amri artinya para ulama dan orang-orang yang memiliki wawasan
yang luas, yang kepada mereka urusan kaum muslimin dikembalikan
(ditanyakan).
Dalam ayat di atas jelas tersebut kata “yastanbithu” dalam
bentuk mudhari’ dari kata masdar “istinbath” yang artinya menggali
dan menyimpulkan suatu kesimpulan atau jawaban atas suatu berita
yang disampaikan. Ini menunjukkan bahwa makna dari istinbath
adalah upaya sungguh-sungguh dari orang yang mempunyai
kapasitas keilmuan yang mapan dalam menyimpulkan atau
menetapkan suatu kesimpulan dan ketentuan mengenai suatu
permasalahan yang muncul.
Dalam ayat yang lain Allah Swt juga berfirman berkenaan
dengan anjuran istinbath yaitu QS al-Syura ayat 38 yang berbunyi:
َ ﱠ
ﻭﻣﻤﺎ
ﻭﺃﻗﺎﻣﻮ
َ َِْ ﱠ
َﻬﻢ َ ِ ﱠ
ْ ُ َ َ َ ﻟﺮﺑﻬﻢ
ْ ُ َ َ ْ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ
ْ ُ ﺷﻮﺭﻯ َ ْﺑﻴﻨ
ْ ُ ُ ْ َ َ َ ﺍﻟﺼﻼﺓ
ْ ِ ِّ َ ِ ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﻮﺍ
َ ْ ُ ﻭﺃﻣﺮﻫﻢ
َْ َ
.ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ
َ ْ ُ ِ ْ ُ َﺎﻫﻢ
ْ ُ ﺭﺯﻗﻨ
Artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
(QS. Al-Syura: 38)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang telah menerima
seruan Allah untuk mengesakan-Nya, serta mengakui keesaan-Nya,
tidak menyembah kepada selain-Nya, mendirikan shalat wajib ketika
Universitas Malikussaleh
15
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
tiba waktunya, dan ketika menghadapi suatu persoalan, mereka
menyelesaikannya dengan jalan musyawarah.10 Ayat ini
menerangkan tentang kedudukan syura yaitu musyawarah sebagai
mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul
dikalangan umat Islam. dengan musyawarah ini suatu permasalahan
dipecahkan bersama-sama dengan saling menawarkan opsi terbaik
untuk persoalan tersebut, lalu memutuskan bersama keputusan yang
tepat.
Yusuf al-Qaradhawi mengartikan kata syura yaitu mencari
kebenaran terhadap setiap persoalan yang muncul sesuai dengan
dalil syara’, baik permasalahan tersebut dijelaskan naṣ secara
langsung atau tidak langsung. Khususnya mengenai permasalahan
yang tidak memperoleh penjelasan memadai dari naṣ, menjadi
tempat ijtihad atau istinbath dari bagi para mujtahid, dan mereka
akan saling berbeda pendapat dalam hal ini tergantung sudut
pandang masing-masing.11
Selain al-Quran juga terdapat beberapa ḥadīs yang berkenaan
dengan istinbath, salah satunya yang paling populer adalah ḥadīs
yang berkenaan dengan dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz bin
Jabal ketika diutus menjadi Gubernur Yaman. Rasulullah bertanya
kepadanya: Dengan apa kamu nanti akan memutuskan hukum?,
Muadz menjawab: Dengan kitabullah. Rasulullah bertanya lagi: Jika
kamu tidak menemukan di dalamnya (kitabullah)?, Muadz menjawab:
Dengan Sunnah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bertanya lagi: Jika
kamu tidak menemukan di dalamnya (sunnah)? Muadz menjawab:
Aku akan berijtihad. Lalu Rasulullah menepuk bahu Muadz seraya
berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemampuan
terhadap utusan rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
Allah dan rasul-Nya.12
Hadīs ini telah umum diketahui dan telah diterima oleh umat
Islam sebagai dalil istinbath dan juga telah diperkuat oleh Ibnu Abdul
Barr, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Az-Zhahabi, Ibnu Katsir dan
lainnya. Al-Syaukani berkata: ḥadīs ini secara umum dianggap Hasan
oleh para ulama. Dengan ḥadīs ini para ulama memahami
bahwasanya ijtihad merupakan suatu yang dibolehkan, ketika
Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wili Ay al-Qur`an,
Jilid. 10, (Kairo: Markaz al-Buhus wa al-Dirasah al-‘Arabiyah wa al-Islamiyah,
2001), Cet. I, h. 522.
11 Yusuf al-Qaradhawi, Al Ijtihad fi al-Syari’ah al-Islamiyyah Ma’a
Nadharatin al Tahliliyatin fi al Ijtihad al Mu’ashir, (Kuwait: Dar al-Kalam, tt), h. 77.
12 Ibid, ...h. 77.
10
16
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
menghadapi suatu permasalahan yang tidak mendapatkan
penjelasan yang memadai dari naṣ. Setiap permasalahan harus
dicarikan solusinya, pertama dari al-Qur`an, kemudian Sunnah dan
terakhir yaitu ijtihad/istinbath.
Kebolehan dan anjuran mengenai istinbath juga dilandasi
oleh ijma’ ulama, di mana semua ulama dari semua mazhab
mengakui keberadaan istinbath dan harus senantiasa dilakukan.
Rasio menghendaki bahwa istinbath mesti dilakukan, karena dalil
syara’ menerima untuk berbagai penafsiran, untuk itu diperlukan
istinbath untuk menentukan yang mana penafsiran yang paling kuat
dan juga sebaliknya. Demikian pula permasalahan yang tidak
terdapat naṣ, juga tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa melakukan
istinbath bagaimana ketentuan hukumnya, ini tentu saja dengan
menggunakan suatu metode istinbath hukum yang berkembang.
Syariat Islam mengatur semua perbuatan manusia dengan ketentuan
hukum masing-masing, namun hal itu dapat ditemukan dengan jalan
istinbath.13
Jadi legalitas istinbath tidak diragukan lagi, karena memiliki
landasan hukum yang jelas berupa naṣ, al-Quran dan ḥadis maupun
logika, istinbath merupakan suatu upaya yang dapat digunakan oleh
para ulama untuk menggali dan menemukan hukum Islam dari
sumbernya yaitu al-Quran dan Sunnah, dan setiap permasalahan
yang tidak diatur di dalam keduanya. Melalui istinbath para ulama
mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang
muncul akibat dari perubahan sosial masyarakat.
Istinbath dan tuntutan perubahan sosial terdapat hubungan
atau interaksi yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa istinbath baik langsung maupun tidak langsung
dipengaruhi dan berkaitan dengan perubahan sosial yang
diakibatkan oleh perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu
pengetahuan serta teknologi. Perubahan-perubahan sosial tersebut
harus senantiasa diberi arah oleh hukum, sehingga realitas
masyarakat dan perubahan sosial tersebut mampu mewujudkan atau
menjadi suatu yang maslahat bagi umat manusia.
Perubahan masyarakat atau perubahan sosial terbagi dua
macam, ada yang mempunyai efek menguntungkan dan membawa
pengaruh positif bagi masyarakat, artinya membawa kemajuan dan
perkembangan (progress), tetapi ada juga perubahan sosial yang
mempunyai akibat merugikan dan membawa pengaruh negatif bagi
13
Ibid, h. 78.
Universitas Malikussaleh
17
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
masyarakat, artinya membawa kemunduran dan kepayahan
(regress).14 Banyak perubahan sosial yang muncul, lalu menjadikan
masyarakat tenggelam dan terjebak dalam persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan tanpa dapat mengambil suatu sikap yang tepat
terhadap keadaan yang baru itu. Padahal seharusnya masyarakat
mampu mengendalikannya dengan memberikan ketentuan hukum
yang pasti buatnya, atau menjadikan perubahan tersebut sebagai
wujud kemaslahatan bagi kehidupan mereka.
Perkembangan dan perubahan masyarakat dari waktu ke
waktu senantiasa terjadi dan menimbulkan permasalahan baru,
perubahan tersebut pada dasarnya merupakan upaya masyarakat
dalam mengembangkan diri dan lingkungan melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi. Seharusnya masyarakat mampu
mengimbangi perubahan tersebut dengan suatu ketentuan hukum
sehingga tidak menimbulkan kegamangan dan kekosongan hukum.
Dalam kajian sosiologi hukum dalam menghadapi realitas di
atas, hukum dituntut untuk dapat memainkan peranan ganda yang
sangat penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat kontrol
sosial (social control) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai
alat rekayasa sosial (social enginering), dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu
sendiri.15
Tujuan dan fungsi hukum yang demikian, terdapat pada
semua sistem hukum yang berlaku di dunia, tanpa terkecuali hukum
Islam. Bahkan hukum Islam yang notabenenya berdasarkan kepada
wahyu bukan akal belaka melalui istinbath harus mampu
menampakkan
perbedaan
dan
keistimewaan
tersendiri
16
dibandingkan dengan sistem hukum yang lainnya Sehingga tidak
menutup kemungkinan hukum Islam itu akan dijadikan sebagai
pertimbangan dan rujukan dalam memecahkan masalah dan
menetapkan hukum atas suatu masalah oleh masyarakat dunia, tidak
hanya oleh mereka yang beragama Islam saja.
Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu,
hukum Islam mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mewujudkan
Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi
Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), h. 19.
15 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 99-107.
16 J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, (New York: New
York University Press, 1959), h. 116.
14
18
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat, melalui
harmonisasi hubungan manusia dengan objek di luar mereka secara
vertikal (hablum min Allah) dan horizontal (hablum min al-nass).17
Untuk terwujudnya harmonisasi hubungan-hubungan tersebut di
atas, Allah Swt memberikan pedoman berupa aturan-aturan hukum
yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dalam bentuk
aturan-aturan dalam bentuk akidah dan ibadah melalui naṣ yang
relatif rinci, memiliki daya ikat dan validitas yang kuat bersifat qath‘i
(pasti).18 Dalam menghadapi permasalahan yang qath’i ini manusia
tidak diperbolehkan melakukan perubahan-perubahan dan
pengembangan serta interpretasi lain selain yang dimaksud oleh naṣ
syara’. Dalam hal ini adalah bidang akidah, ibadah wajib (mahdah)
serta bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang telah diatur secara rinci oleh naṣ. Dalam
bidang-bidang ini tidak boleh ada campur tangan manusia, yang
dengan sendirinya bidang-bidang tersebut bukanlah merupakan
lapangan istinbath.
Lain halnya permasalahan mu’amalah atau sosial
kemasyarakatan dalam arti yang lebih luas, aturan-aturan hukum
mengenai hal ini dinyatakan oleh Allah dalam bentuk garis-garis
besarnya saja (global) dan bersifat zanni (dugaan). Dari garis-garis
besar tersebut, manusia dengan potensi akal yang dianugerahkan
Allah kepadanya, diberi kebebasan atau keleluasaan untuk mencari
alternatif-alternatif
pemecahan
terhadap
permasalahanpermasalahan kehidupan yang dihadapinya selama tidak
bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam itu sendiri.19
Tujuan diberikan kebebasan kepada manusia dalam mencari
alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan
kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia itu sendiri, karena kemaslahatan dan
kebutuhan manusia tidaklah tetap, melainkan senantiasa mengalami
Muhammad Muslehuddin, Islamic Jurisprudence and The Rule of
Necessity and Need, (Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic
University, 2011), h. 140.
18 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 2.
19 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), 42.
17
Universitas Malikussaleh
19
Pengantar Ilmu Usul Fiqih
perubahan setiap saat, sehingga manusia dapat mencari alternatif
yang terbaik buat dirinya.20
Pengaturan sebagian besar masalah sosial kemasyarakatan
dalam kehidupan manusia melalui naṣ-naṣ dalam bentuk yang global
saja, maka masalah sosial kemasyarakatan macam ini menjadi objek
dan lapangan istinbath bagi manusia.21 Dalam bidang ini terlihat
bagaimana prinsip dan dinamika hukum Islam dalam mengantisipasi
dan mengatasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dalam berbagai bidang, ini bukan berarti bahwa masalah
sosial kemasyarakatan (mu’amalah) tidak mengandung dimensi
ibadah sama sekali. Akan tetapi, pembagian tersebut lebih ditujukan
untuk memberikan penekanan terhadap masalah-masalah yang
menerima perubahan dan pengembangan dengan berbagai metode
istinbath dan pertimbangan yang diterapkan.22
Jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstan, permanen,
dan stabil, tidak berubah sepanjang masa seiring dengan kemajuan
peradaban manusia yaitu menerima dan terbuka untuk pembaruan
dan perubahan, mengingat peristiwa hukum, teknis, dan cabangcabangnya mengalami perubahan setiap saat, berkembang sejalan
dengan perkembangan zaman. Sehingga dengan tetap teguhnya jiwa
dan prinsip hukum, dibarengi dengan terbuka lebarnya perubahan
dan perkembangan cabang-cabangnya, terjaminlah modernisasi dan
kemajuan hukum Islam secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh
prinsip, norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya
perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum
Islam di bidang sosial kemasyarakatan semakin bertambah materi
hukumnya, semakin banyak perbendaharaannya dan semakin
sempurna pembahasannya.23
Jadi obyek dan ranah istinbath adalah segala sesuatu yang
tidak diatur secara tegas dalam naṣ al-Qur’an dan Sunnah serta
masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan naṣ.
Pada permasalahan tersebut oleh para ulama dapat menerapkan
Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial
(Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), hal. 45.
21Abdul Wahab Khallaf, Masadir, …h. 7-9. Lihat juga Rachmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 107.
22Khutbuddin Aibak, Penalaran Ta’lalily Dalam Hukum Islam; Telaah Corak
Penalaran Hukum Islam dalam Upaya Penerapan Maqashid Syari’ah, (STAIN
Tulungagung: Jurnal Islamica, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2006), h. 58.
23 Ibid, h. 59.
20
20
Dr. Munadi, MA
Usul Fiqh dan Istinbath Hukum Islam
berbagai metode istinbath untuk menggali kemungkinan hukum yang
dapat diterapkan, dan merekayasa sedemikian rupa agar perubahan
masyarakat dapat menjadi suatu yang maslahat buat mereka bukan
sebaliknya menjadi permasalahan yang mengganjal keharmonisan
hidup mereka. Metode-metode yang diterapkan ulama dalam
menggali hukum tentu banyak sekali dan metode tersebut juga
terbuka peluang untuk berubah dan bertambah, di antaranya adalah
qiyas, istislah, istishab, ‘urf dan lain-lain.24
Metode-metode tersebut akan bekerja pada setiap
permasalahan yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur’an dan alḥadīs secara jelas. Menurut Amir Syarifudin permasalahan yang tidak
diatur naṣ dapat dilihat dari dua segi, yaitu:25
a. Al-Qur’an dan al-ḥadīs secara jelas dan langsung tidak
menetapkannya, tidak secara keselu