Analisis Ekonomi fluktuasi ekonomi indonesia

ANALISIS EKONOMI
Investasi dalam aktiva keuangan dapat berupa investasi langsung maupun
investasi tidak langsung. Investasi aktiva langsung dapat dilakukan dengan pembelian
langsung aktiva keuangan suatu perusahaan. Sedangkan investasi tidak langsung
dilakukan dengan membeli saham (surat-surat berharga) dari perusahaan investasi yang
diperdagangkan di pasar modal. Beberapa penulis memberikan sumbangan pemikiran
terhadap model dalam menganalisis dan menilai saham dengan istilah yang beragam;
Karen (1971) menyebut dengan istilah a flow diagram of stock price determination;
Husnan (1998) menyebut dengan analisis teknikal; sedangkan Sharpe, Alexander dan
Bailey (1999) menyebut dengan istilah the big picture. Dari ketiga analisis tersebut,
secara umum bahwa untuk menganalisis dan menilai harga saham dapat dilakukan
dengan memperhatikan kondisi ekonomi atau kondisi pasar yang terdiri dari variabel
makroekonomi maupun kondisi spesifik perusahaan.
Indikator ekonomi adalah salah satu faktor yang tidak dapat dipisahkan dan
merupakan bagian penting dari keseluruhan faktor fundamental itu sendiri. Indikator
yang berupa Informasi-informasi kondisi makro ekonomi diperlukan investor untuk
melakukan investasi. Kondisi makro ekonomi secara keseluruhan akan mempengaruhi
kegiatan ekonomi masyarakat, pengusaha dan investor. Kondisi makro ekonomi yang
baik akan menciptakan iklim investasi yang baik. Beberapa variabel ekonomi nasional
yang biasanya digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang biasanya dilihat
dari Produk Domestik Bruto, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar

rupiah.
Analisis ekonomi perlu dilakukan karena adanya kecenderungan hubungan yang
kuat antara apa yang terjadi pada lingkungan ekonomi makro dengan kinerja suatu pasar
modal. Perubahan kinerja pasar modal akan mencerminkan apa yang terjadi pada
perubahan perekonomian makro. Perubahan kinerja pasar modal tidak bisa dipisahkan
dengan perubahan yang terjadi pada prospek yang berbagai perusahaan yang ada di pasar
yang selanjutnya bisa mempengaruhi aliran kas yang bisa diperoleh dari suatu perusahaan
di masa datang. Dengan demikian, jika ingin mengestimasi aliran kas, bunga atau premi
risiko dari suatu sekuritas maka kita harus mempertimbangkan analisis ekonomi makro.
Produk Domestik Bruto
Produksi domestik bruto (PDB) adalah penjumlahan seluruh barang dan jasa yang
diproduksi oleh suatu negara baik oleh perusahaan dalam negeri maupun oleh perusahaan
asing yang beroperasi di dalam negara tersebut pada suatu waktu/ periode tertentu.
Pengertian lain dari PDB yang sering disebut juga Produk nasional bruto (PNB) adalah
total produksi barang dan jasa yang diproduksi oleh penduduk negara tersebut baik yang
bertempat tinggal/ berdomisili di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri dalam
suatu periode tertentu.
Kaitan dengan analisis sekuritas dan pertumbuhan investasi dapat dijelaskan,
pertama pertumbuhan investasi di suatu negara akan dipengaruhi oleh pertumbuhan
ekonomi negara tersebut. Kedua, semakin baik tingkat perekonomian suatu negara, maka

semakin baik pula tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang lebih
tinggi ini umumnya ditandai dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan masyarakatnya.

Ketiga, dengan adanya peningkatan pendapatan tersebut, maka akan semakin banyak
orang yang memiliki kelebihan dana, kelebihan dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk
disimpan dalam bentuk tabungan atau diinvestasikan dalam bentuk surat-surat berharga
yang diperdagangkan dalam pasar modal.
Tingkat inflasi
Inflasi merupakan suatu indikator ekonomi makro yang menggambarkan kenaikan
harga-harga barang dan jasa dalam suatu periode tertentu. Bagi sebuah negara, keadaan
perekonomian yang baik umumnya diwakili dengan tingkat inflasi yang relatif rendah
dan terkendali. Penggunaan tingkat inflasi sebagai salah satu indikator fundamental
ekonomi adalah untuk mencerminkan tingkat PDB dan PNB ke dalam nilai yang
sebenarnya. Nilai PDB dan PNB riil merupakan indikator yang sangat penting bagi
seorang investor dalam membandingkan peluang dan resiko investasinya di mancanegara.
Indikator-indikator inflasi yang biasanya digunakan oleh para investor antar lain:

Indeks harga produksi atau Producer Price Index (PPI) adalah indeks yang
mengukur rata-rata perubahan harga yang diterima oleh produsen domestik untuk
setiap output yang dihasilkan dalam setiap tingkat proses produksi. Data PPI

dikumpulkan dari berbagai sektor ekonomi terutama dari sektor manufaktur,
pertambangan, dan pertanian.

Indeks harga konsumen atau Consumer Price Index (CPI) adalah digunakan untuk
mengukur rata-rata perubahan harga eceran dari sekelompok barang dan jasa tertentu.
Index CPI dan PPI digunakan oleh seorang Trader sebagai indikator untuk mengukur
tingkat inflasi yang terjadi.

Neraca pembayaran atau balance of payment adalah suatu neraca yang terdiri dari
keseluruhan aktivitas transaksi perekonomian internasional suatu negara, baik yang
bersifat komersial maupun finansial, dengan negara lain pada suatu periode tertentu.
Neraca pembayaran ini mencerminkan seluruh transaksi antara penduduk,
pemerintah, dan pengusaha dalam negeri dan pihak luar negeri, seperti transaksi
ekspor dan impor, investasi portofolio, transaksi antar Bank Sentral, dan lain-lain.
Dengan adanya neraca pembayaran ini kita mengetahui kapan suatu negara
mengalami surplus maupun defisit. Secara garis besar Balance of Payment dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu :
o
Neraca Perdagangan yang merupakan selisih antara total ekspor dan
impor barang, jasa, dan transfer. Dalam perhitungannya, neraca perdagangan ini

tidak mencakup transaksi-transaksi asset finansial dan kewajiban (hutang). Data
ini merupakan indikator tren perdagangan luar negeri yang merupakan aliran
bersih dari total ekspor dan impor barang dan jasa sebagai penerimaan atau
penghasilan. Dengan adanya transaksi ekspor maka akan diterima sejumlah uang
yang nantinya akan menambah permintaan terhadap mata uang negara eksportir.
Begitu pula sebaliknya pada impor barang dan jasa dimana sejumlah uang harus
dikeluarkan guna membayar barang dan jasa yang diimpor, hal ini akan
menambah penawaran akan mata uang negara importir.
o
Aliran Modal yaitu investasi langsung dan investasi tidak langsung,
dimana pada investasi langsung, investor dari luar negeri melakukan penanaman
modal dalam aset riil misalnya saja membangun pabrik, gedung perkantoran dan
lain-lain. Investasi ini biasanya bersifat jangka panjang. Sedangkan investasi tidak








langsung dapat ditemui di dalam investasi instrument keuangan. Misalnya seorang
investor melakukan pembelian saham atau obligasi di bursa Indonesia. Maka
investor tersebut harus menukarkan mata uangnya ke rupiah supaya dapat
membeli saham ataupun obligasi di Indonesia.
Tingkat pengangguran adalah suatu indikator yang dapat memberikan gambaran
tentang kondisi rill berbagai sektor ekonomi. Indikator ini dapat dijadikan alat untuk
menganalisa sehat/tidaknya perekonomian suatu negara. Apabila perekonomian
berada dalam kondisi baik maka akan tercapai tingkat pengangguran yang rendah.
Tetapi jika perekonomian dalam keadaan lesu maka tingkat pengangguran pun
meningkat.
Kurs valuta asing adalah nilai perbandingan atau bisa juga disebut nilai tukar
antara suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs ini biasanya digunakan
sebagai indikator utama untuk melihat kekuatan ekonomi ataupun tingkat kestabilan
perekonomian suatu negara. Jika kurs mata uang negara tersebut tidak stabil maka
dapat dikatakan bahwa perekonomian negara tersebut tidak baik atau sedang
mengalami krisis ekonomi. Untuk itu perlu bagi suatu negara untuk memiliki mata
uang yang stabil agar perekonomian negara tersebut dapat berjalan dengan lancar dan
membentuk suatu tren pertumbuhan.
PSNCR - Public Sector Net Cash Requirement atau kebutuhan tunai sektor publik
yaitu jumlah uang yang harus dipinjam pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya. Sebab pemerintah kerapkali mengeluarkan lebih dari yang mereka

terima dari penerimaan pajak, dan satu-satunya cara untuk menambah kekurangannya
adalah dari meminjam.

Teori yang dapat menjelaskan fenomena hubungan tingkat inflasi dan return saham
pada khususnya dan pasar modal pada umumnya tidak berdasar hanya pada satu sisi.
Minimal ada tiga teori yang dapat menjelaskan fenomena hubungan tersebut :
1)
teori makroekonomi yang dipelopori oleh Fama (1981:545) disatu kubu dan teori
Geske dan Roll (1983:856) di kubu lain. Dua teori ini ikut mempertimbangkan
pengaruh variabel ekonomi riil seperti Gross Domestic Product (GDP), jumlah uang
beredar, tingkat harga umum, tingkat bunga dan pajak;
Saham merupakan klaim terhadap cash flows yang dihasilkan dari aset riil.
Investasi saham menghasilkan returns yang dihitung dari selisih harga pada dua titik
waktu yang berbeda dan deviden. Apabila pasar modal efisien, maka ada hubungan antara
return saham dengan variabel ekonomi riil (Fama, 1991:1609). Ada dua teori
makroekonomi yang menjelaskan tentang korelasi harga saham dengan tingkat inflasi,
yaitu teori yang dipelopori oleh Eugene F. Fama (1981:545) dan teori Geske dan Roll
(1983:856). Kedua teori tersebut menyatakan bahwa harga saham adalah indikator yang
baik tentang aktivitas ekonomi riil, sehingga return saham dapat digunakan untuk
memprediksi pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) riil, kinerja industri,

corporate earnings dan employment.
Teori makroekonomi yang dipelopori oleh Fama (1981:545) mengajukan suatu
proposisi bahwa hubungan negatif antara return saham dan tingkat inflasi adalah karena
faktor permintaan uang. Dengan menggunakan teori permintaan uang tradisional, Fama
mengklaim bahwa jika anticipated GDP rendah berarti ex ante stock riil return rendah.
Dengan tingkat penawaran uang yang tetap, anticipated GDP yang rendah ini

menyebabkan tingkat harga umum cenderung naik atau inflasi. Jadi menurut Fama,
penurunan ex ante stock riil return adalah suatu tanda penurunan GDP. Jika jumlah uang
beredar cenderung tetap maka akan mengakibatkan kenaikan tingkat inflasi.
Geske dan Roll (1983:856) melihat hubungan antara return saham dan tingkat inflasi
berdasarkan penawaran uang. Prinsip model Geske-Roll adalah bahwa penurunan
anticipated GDP yang berarti penurunan ex ante stock riil return dapat mengakibatkan
penurunan penerimaan pajak. Jika tingkat pengeluaran pemerintah tetap, penurunan
penerimaan pajak ini akan mengakibatkan kenaikan defisit anggaran yang berakibat pada
inflasi. Hal ini karena pemerintah akan melakukan hutang untuk menutup defisit
anggaran.
2)

teori Fisher tentang tingkat bunga yang diaplikasikan pada saham sebagai aset

yang beresiko, dikembangkan oleh Jaffe dan Mandelker (1976:447);
Irving Fisher mengemukakan bahwa tingkat bunga bisa diuraikan menjadi tingkat
bunga riil dan premi resiko inflasi. Berdasarkan asumsi rasionalitas, orang juga akan
menghendaki hal yang sama pada return lainnya, atau berlakunya generalisasi Fisher
Effect pada semua aset. Jaffe dan Mandelker (1976:450) menyebut hal ini sebagai
Generalized Fisher Effect. Jaffe dan Mandelker menguji Fisher Hypothesis pada saham
sebagai aset yang beresiko, hal yang sama dilakukan pula oleh Nelson (1976:471) dan
Firth (1979:743). Asumsi yang digunakan Jaffe dan Mandelker dalam menentukan
anticipated inflation adalah menggunakan Markov Inflationary Expectation dengan
beberapa modifikasi.
3)

teori yang dikembangkan oleh Bodie (1976:459) yang menganggap bahwa saham
seharusnya
dapat
digunakan
sebagai
hedge
terhadap
inflasi.

Masing-masing teori telah dibuktikan secara empirik terutama di negara maju yang
memiliki pasar modal mapan.
Telaah teori mengungkapkan bahwa inflasi akan cenderung meningkatkan biaya
produksi dari perusahaan. Berarti margin keuntungan dari perusahaan menjadi lebih
rendah dan dampak lebih lanjut menjadikan harga sahamnya di bursa efek menjadi
menurun. Jika terjadi demikian, maka penurunan tersebut cenderung tidak akan
berlangsung seketika tetapi melalui proses waktu. Dilihat dari sisi investor, tingginya
inflasi akan mengurangi nilai keuntungan dan juga mengurangi daya beli modal
investasinya. Dengan demikian jika angka inflasi naik, maka IHSG akan menurun dan
demikian sebaliknya.
Secara teoretis, investasi pada saham dapat memberikan perlindungan nilai
(hedge) yang baik dari pengaruh inflasi karena saham merupakan klaim terhadap asetaset riil. Teori tersebut dikemukakan antara lain oleh Bodie ("Common stocks as a hedge
against inflation", Journal of Finance, 31, 459-470, 1976) serta Fama dan Schwert
("Asset returns and inflation", Journal of Business, 55, 201-231, 1977). Berdasarkan teori
tersebut, tingkat pengembalian riil dari saham seharusnya tidak terpengaruh oleh
perubahan harga-harga barang dan jasa.
Berlawanan dengan harapan dari teori tersebut, kenyataan empiris di Amerika
Serikat (AS) menunjukkan bahwa inflasi dan tingkat pengembalian investasi pada saham
berkorelasi secara negatif dalam arti inflasi yang sangat tinggi cenderung disertai dengan
tingkat pengembalian investasi pada saham yang rendah.


Kenyataan empiris di AS pada periode 1953-1971 tersebut dikemukakan Fama ("Stock
returns, real activity, inflation and money", American Economic Review, 71, 545-565,
1981). Kenyataan empiris yang berlawanan dengan teori tersebut dijelaskan oleh Fama
(1981) dengan menggunakan hipotesa pendekatan (proxy) yang menjelaskan bahwa
karena tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi positif dengan aktivitas
ekonomi riil dan aktivitas ekonomi riil berkorelasi negatif dengan perubahan harga-harga
barang dan jasa (inflasi), maka tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi
negatif dengan inflasi. Hipotesa tersebut menyiratkan bahwa tingkat pengembalian
investasi pada saham lebih erat terkait dengan aktivitas ekonomi riil daripada dengan
inflasi.
Di sisi yang lain, studi yang dilakukan oleh Spyrou ("Are stocks a good hedge
against inflation? Evidence from emerging markets", Applied Economics, 36, 41-48,
2004) menyimpulkan bahwa di beberapa negara berkembang, selain Indonesia, kenyataan
empiris menunjukkan bahwa pada beberapa emerging stock markets inflasi berkorelasi
secara positif dengan tingkat pengembalian investasi pada saham. Kenyataan tersebut
mengindikasikan bahwa dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat diharapkan tingkat
pengembalian investasi pada saham yang tinggi pula. Menurut Spyrou (2004), indikasi
tersebut kemungkinan disebabkan oleh korelasi positif antara inflasi dan aktivitas
ekonomi riil di banyak emerging countries serta kemungkinan adanya keterkaitan erat

antara kebijakan moneter dengan kebijakan sektor riil di negara-negara tersebut
Penelitian empiris di BEJ Indonesia melalui analisis regresi dengan
menghubungkan secara langsung (dirrect effect) antara inflasi dengan IHSG dalam kurun
waktu tahun 2003 sampai 2005-2006, ternyata hasilnya tidak ditemukan bukti yang
signifikan bahwa inflasi berpengaruh terhadap IHSG. Artinya penurunan IHSG bukan
karena pengaruh secara langsung dari kenaikan inflasi.
Sebagai ilustrasi, pada akhir Maret 2004, tingkat inflasi tahunan di Indonesia
adalah sebesar 5,11 persen, suatu tingkat yang relatif rendah sepanjang sejarah inflasi di
Indonesia sejak tahun 1997. Sejak akhir Oktober 2003, IHSG telah membukukan
kenaikan yang signifikan, dari level 625,55 ke level 735,68 pada akhir Maret 2004. Pada
periode tersebut, tingkat inflasi di Indonesia mulai terkendali dan berada di bawah angka
enam persen. Karena kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan, keterkaitan antara
inflasi dengan kenaikan IHSG menjadi hal yang menarik untuk dikaji.
Indonesia sebagai salah satu negara dalam kelompok emerging countries memiliki
kaitan antara inflasi tahunan dan kinerja tahunan indeks saham yang menarik untuk
dikaji. Secara keseluruhan dalam periode Januari 1997 hingga Maret 2004, IHSG
mengalami apresiasi nilai dalam 41 dari 87 bulan yang diamati. Rata-rata tingkat
pengembalian investasi pada saham dan tingkat inflasi tahunan dalam periode tersebut
adalah berturut-turut sebesar 5,78 persen dan 17 persen. Pada periode yang sama
menunjukkan bahwa apresiasi nilai IHSG melebihi laju inflasi tahunan dalam delapan
dari sepuluh bulan ketika laju inflasi berada di bawah angka empat persen. Ketika laju
inflasi tahunan berada di antara empat sampai dengan enam persen, apresiasi nilai IHSG
melebihi laju inflasi dalam 13 dari 16 bulan yang diamati. Sedangkan ketika laju inflasi
tahunan melebihi angka enam persen, apresiasi nilai IHSG hanya melebihi laju inflasi
dalam sepuluh dari 61 bulan yang diamati.
Hasil studi yang dlakukan oleh Yuki Indrayadi, tentang kaitan antara inflasi dan
kinerja IHSG dalam periode Januari 1997 sampai dengan Maret 2004 mengindikasikan

bahwa dengan inflasi tahunan sebesar 5,92 persen pada akhir bulan April 2004, investasi
pada saham dapat diharapkan untuk memberikan tingkat pengembalian yang lebih
menarik dibandingkan dengan penyimpanan uang di bank. Namun, perlu diingat bahwa
investasi di bursa saham adalah investasi yang mengandung riesiko, Sebagai contoh,
IHSG yang ditutup di level tertinggi baru 818,16 pada tanggal 27 April 2004 mengalami
penurunan nilai sebesar 4,71 persen menjadi 779,60 dalam empat hari perdagangan,
walaupun laju inflasi masih terkendali di bawah angka enam persen. Terlepas dari lebih
sederhananya metode yang digunakan dan pendeknya rentang data dalam studi, hasil
studi ini mengindikasikan bahwa pola kinerja bursa saham Indonesia mirip dengan pola
kinerja bursa saham di Amerika Serikat seperti yang dikemukakan oleh Fama (1981) di
mana kinerja positif dari investasi pada saham didorong oleh tingkat inflasi yang
terkendali dan meningkatnya aktivitas ekonomi riil. Terlepas dari sentimen negatif
terhadap saham-saham di BEJ yang disebabkan instabilitas politik menjelang pemilu
presiden di bulan Juli 2004, mulai pulihnya aktivitas ekonomi riil Indonesia tampak dari
membaiknya profitabilitas dari emiten-emiten di BEJ pada kuartal pertama tahun 2004.
Namun demikian, sekali lagi, pengaruh inflasi terhadap kinerja bursa tidak hanya
dilihat pengaruh secara langsung tetapi juga harus dilihat pengaruhnya secara tidak
langsung. Secara metodologis dikenal pengaruh secara langsung (direct effect), pengaruh
secara tidak langsung (indirect effect) dan pengaruh total (total effect). Pengaruh tidak
langsung dalam hal ini yaitu inflasi akan berpengaruh pada tingginya suku bunga dan
lebih lanjut suku bunga akan berpengaruh pada kinerja bursa.
Tingkat suku bunga
Salah satu cara pemerintah dalam menanggulangi inflasi adalah dengan
melakukan kebijakan menaikkan tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga merupakan
ukuran keuntungan investasi yang dapat diperoleh oleh investor dan juga merupakan
ukuran biaya modal yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk menggunakan dana
dari investor. Hubungan antara tingkat bunga dengan pergerakan harga saham adalah
berlawanan. Apabila terjadi kenaikan tingkat suku bunga, maka pergerakan harga saham
akan menurun, sebaliknya apabila terjadi penurunan tingkat suku bunga, maka harga
saham akan naik (Bodie, et.al., 2002) Semakin tinggi tingkat bunga perbankan, akan
menyebabkan investor mengalihkan investasinya pada investasi di perbankan, obligasi
atau aset-aset keuangan berpendapatan tetap. Karena investor mengurangi portofolio
saham dengan melepas saham maka supplay saham di bursa saham atau pasar modal
meningkat dan selanjutnya akan menyebabkan penurunan harga saham tersebut.
Dari berbagai faktor ekonomi, untuk saat ini suku bunga merupakan faktor kunci
terhadap perkembangan Bursa Efek Jakarta. Pada tingkat suku bunga seperti sekarang ini,
merupakan level yang sudah cukup menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya
pada investasi yang menghasilkan bunga. Dilihat dari segi risiko relatif kecil, tetapi
hasilnya yang berupa bunga sudah cukup menarik untuk dinikmati. Jika suku bunga naik
lagi maka akan cenderung terjadi pengalihan investasi dari bursa efek kepada alternatif
investasi yang menghasilkan bunga. Menariknya investasi dalam bursa saham juga
didorong oleh rendahnya suku bunga penyimpanan di perbankan. Suku bunga
penyimpanan tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu nominal dan riil. Suku bunga
penyimpanan nominal adalah suku bunga penyimpanan per tahun yang dipublikasikan

oleh bank-bank setiap harinya, sedangkan suku bunga penyimpanan riil adalah suku
bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi pada saat yang bersangkutan.
Secara teoretis, apabila suku bunga penyimpanan riil di suatu negara mengalami
penurunan, maka investasi di bursa saham menjadi lebih menarik karena investor
cenderung untuk mencari tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarwono (2003) menunjukkan bahwa tingkat
suku bunga merupakan variabel yang mempunyai pengaruh terhadap harga saham. Begitu
pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Okty, (2002) yang menyebutkan bahwa
faktor ekstern yang mempunyai pengaruh besar terhadap harga saham adalah tingkat suku
bunga dan inflasiHasil penelitian empiris tentang pengaruh suku bunga terhadap IHSG
dalam kurun waktu tahun 2003 sampai 2004 di BEJ, terdapat bukti yang signifikan
bahwa suku bunga berpengaruh negatif terhadap IHSG. Semakin tinggi kenaikan suku
bunga berarti akan semakin melemahkan kinerja BEJ. Angka sensitivitasnya sekitar 0,5
berarti jika suku bunga naik 1% maka indeks harga saham gabungan akan turun 0,5%.
Sebaliknya jika suku bunga turun sebesar 1% maka IHSG akan naik sebesar 0,5%.
Perubahan lebih lanjut dari suku bunga merupakan faktor kunci yang perlu diwaspadai.
Dengan mengacu hasil penelitian dengan angka sensitivitas 0,5, maka jika sampai terjadi
suku bunga naik lagi dari 12% menjadi 13% maka cenderung akan terjadi penurunan
kinerja bursa efek atau penurunan IHSG kembali posisi menuju 950-an. Namun demikian
jika suku bunga membaik atau turun kembali dari 12% ke posisi 11% atau lebih rendah
lagi, maka IHSG akan naik kembali menuju posisi 1.100 atau lebih tinggi lagi.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63