Analisis Kontekstual Tentang Kekerasan d

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki
50

Analisis Kontekstual Tentang Kekerasan
di Harian Kedaulatan Rakyat, Bernas,
dan Radar Jogja (Tahun 2000-2001)
Suparman Marzuki
Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Abstract

Violence heppened in Yogyakarta, August 2000-August 2001, based on news
in Kedaulatan Rakyat, Bernas, and Radar Jogja daily newspaper, mostly perpetrated by police officials and armed civilian mass groups under political
parties armrest. Such involvement often in indirect manner; mostly by taking
no stance to such law and human rights violations. In several definition, structural and cultural violence is regarded as law human rights violation under
the right of security.
Particular violence perpetrated by armed civilian mass groups, mere provoked by many factor. First, values conflict a many people and government
body injustice practices, e.g. by Police Force and local government. Second,
values and social relations background of perpetrators were influenced mostly
by political and power interest. Third, no positive corelation existed on the
perpetrators unfamiliarity to law and human right very well.

Quality, variation and motivation of violence perpetrated by organized armed
civilian groups were in live with poor profesionalism of police officers in
maintainity public security and order. It also in live with the lack respond
from legislative body which should be ferformed as mediation body.
Keywords:

violence, crime against of human rights, and law enforcement.

Selama setahun, sejak Agustus 2000 hingga Agustus 2001, terjadi berbagai
kekerasan di Yogyakarta yang dilakukan oleh kelompok sipil “bersenjata”, yang dilatari
oleh persoalan politik dan ideologi. Kekerasan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk
dan variasi seperti penyerangan terhadap aktivis yang dituduh kiri, penyerangan
terhadap kegiatan aksi demonstrasi mahasiswa, pengrusakan tempat-tempat hiburan
dan tempat yang dianggap maksiat, teror bom, dan berbagai teror yang bersifat verbal
atau ancaman. Menariknya, sebagian kelompok yang melakukan kekerasan itu
mengusung simbol-simbol Islam dengan nama-nama kelompok yang sangat radikal.
Hingga awal 2001, kekerasan itu masih berlanjut dalam bentuk sweeping buku kiri,
Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296


Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki

51

pembentukan milisi-milisi antikiri yang di bawahi partai politik, dan sebagainya, walaupun
frekuensinya tidak lagi sekerap tahun 2000.
Dari ulasan beberapa media massa terbitan Yogyakarta, terutama Harian
Kedaulatan Rakyat dan Harian Bernas , tampak ada tiga masalah besar yang
menyebabkan polisi kesulitan menekan kelompok massa pelaku kekerasan itu yaitu,
1) karena mengusung nama agama tertentu dan dalam hal ini kebanyakan
menggunakan nama-nama Islam; 2) karena mengusung nama partai politik tertentu
dan dalam hal ini terkait dengan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golongan
Karya; dan 3) karena polisi tidak mampu menemukan bukti-bukti material yang
menguatkan bahwa kekerasan itu bertentangan dengan hukum dan HAM.
Alasan pada poin ketiga di atas sesungguhnya mengundang tanda tanya.
Ketidakmampuan aparat polisi mengungkap dan menyelesaikan berbagai kasus
kekerasan yang dilakukan oleh massa terorganisasi ini menandakan bahwa kinerja
polisi tidak profesional. Dalam kata lain, mungkin disebabkan oleh dua hal yaitu, 1)
aparat polisi terlibat dalam rantai kekerasan yang dilakukan oleh massa itu dalam

bentuk membiarkan (by omission) karena terjadi persaingan “bisnis keamanan”; dan
2) polisi ditekan atau diteror oleh kelompok massa pelaku kekerasan itu.
Akan tetapi, polisi bukanlah satu-satunya faktor spiral kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok massa teroganisasi itu. Selain disebabkan oleh kepentingan dan persaingan
“bisnis keamanan” antarkekuatan massa partai politik di Yogyakarta, juga disebabkan
oleh persaingan para elit-elit partai politik pemenang Pemilihan Umum 1999 di
Yogyakarta. Sadar atau tidak sadar, elit-elit partai politik dan massa pelaku kekerasan
itu sesungguhnya saling memanfaatkan demi kepentingan masing-masing.
Dari beberapa berita suratkabar harian di Yogyakarta di atas tampak bahwa elit partai
dan kelompok massa itu selalu saling melindungi. Hal ini menarik karena hubungan
mereka secara sosiologis tampak terpisah sebagaimana terlihat dari berbagai klarifikasi
yang mereka lakukan di media massa. Namun, fakta kekerasan itu sendiri tidak bisa
mengingkari pandangan umum bahwa selalu terlihat adanya komando dan koordinasi
diantara kedua pihak baik sebagai sesama elemen partai politik itu maupun sebagai
sesama personal yang berkepentingan di posisi dan kedudukan masing-masing.
Media cetak di Yogyakarta tidak selalu bisa mengungkap akar konflik nilai dan
kepentingan yang melatari setiap tindakan kekerasan kelompok massa sipil yang
terorganisasi atau sistematis itu. Secara umum, sudut pandang berita-berita kekerasan
di media massa terbitan Yogyakarta, khususnya di suratkabar harian Kedaulatan Rakyat,
harian Bernas, dan harian Radar Yogya, lebih banyak menceritakan korban. Ulasanulasan yang muncul pun lebih bersifat komentar atau opini narasumber yang tidak

komplit sehingga sulit ditemukan sebuah analisis yang akurat, tuntas, dan mendalam
dari tiga suratkabar harian di atas.
Batasan Masalah dan Definisi
Pengertian “kekerasan” dalam penelitian ini akan dibatasi berdasarkan
peristiwa-peristiwa yang bersifat massal atau peristiwa yang dilakukan oleh kelompok
massa yang terorganisasi. Minimal, kelompok pelaku kekerasan itu memiliki simbolsimbol kolektif yang diusung baik berupa pakaian seragam atau ucapan dan slogan
Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki
52

tertentu. Batasan tentang kekerasan dalam penelitian ini dibuat untuk membedakannya
dengan kekerasan yang dilakukan oleh massa yang bersifat insidental seperti
pengeroyokan oleh massa terhadap seorang pencopet atau pencuri dan lain-lain. Selain
itu, kekerasan dalam penelitian ini pun dibatasi berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
diberitakan oleh tiga suratkabar terbitan Yogyakarta yaitu harian Kedaualatan Rakyat,
harian Bernas, dan harian Radar Yogya sepanjang Agustus 2000 hingga Agustus 2001.
Secara definitif, makna “kekerasan” terbagi menjadi kekerasan legal dan kekerasan

ilegal (PUSHAM UII, Bahan Bacaan Training Polisi, 2001-2002: 55). Kekerasan legal
adalah tindakan atau rangkaian tindakan dari atau oleh aparat penegak hukum untuk
dan atas nama kepentingan penegakan hukum, dan dilakukan sesuai dengan ketentuan
atau prosedur hukum yang langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan akibat
pada fisik, psikis, sosial, dan moral seseorang atau sekelompok orang. Sementara,
kekerasan ilegal ialah tindakan atau serangkaian tindakan seseorang atau sekelompok
orang yang langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan akibat pada fisik,
psikis, sosial, dan moral seseorang atau sekelompok orang lainnya, dan tindakan itu
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki hak dan
kewenangan.
Penelitian tentang kekerasan berdasarkan analisis berita di tiga media massa
terbitan Yogyakarta ini hanya merujuk definisi tentang kekerasan sekelompok orang
yang terorganisasi atau kekerasan massa yang dilakukan secara ilegal.
Telaah Pustaka
Perubahan-perubahan masyarakat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
kekerasan seringkali pula tidak mudah diidentifikasi karena sangat mungkin struktur
organisasi penggeraknya bermain di belakang layar (invisible hand). Dalam kata lain,
kekuatan penggeraknya tidak berada di lapangan sehingga kekerasan yang terjadi
tampak seperti spontan belaka. Kekerasan model ini sering kali muncul karena memang
sudah ada akar masalah yang bersifat laten atau tersembunyi di tengah masyarakat

(Kartikasari [ed.], 2000). Biasanya, sebab-sebabnya selalu didominasi oleh faktor konflik
atau persaingan kepentingan di sektor politik (kekuasaan) dan ekonomi, selain karena
ditimbulkan juga dari faktor ketidakmampuan negara menegakkan keadilan sosial
(Camara, 2000).
Menurut Smelser (1971), ada empat hal yang menjadi dasar timbulnya tindakan
kekerasan: 1) Tindakan yang berorientasi nilai yang dimobilisasi atas nama kepercayaan
umum dalam rangka menginginkan atau menghendaki perumusan kembali nilai-nilai;
2) Tindakan yang berorientasi pada norma umum atau kepercayaan umum yang
menginginkan atau menghendaki perumusan kembali nilai-nilai; 3) Tindakan yang
muncul karena ledakan kebencian; dan 4) Tindakan yang muncul dari kegalauan atau
kepanikan dan merupakan bentuk perilaku yang dilandasi oleh suatu redefinisi umum
terhadap fasilitas yang tersedia.
Sementara, menurut bagan Johan Galtung (Jurnal Wacana, IX/2002: 13 dan
21-32), ada beberapa tipologi dasar kekerasan yaitu seperti tergambar di bawah ini:

Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki


Akar dan Tipe
Kekerasan

Kebutuhan
Survival

Kebutuhan
Kesejahtera-an

53

Kebutuhan
Identitas

Kebutuhan
Kemerdekaan

Kekerasan
langsung.


Pembunuhan.

Pengepungan; Derita
sanksi.

Desosialisasi;
Resosialisasi;
Warganegara kelas
dua.

Represi;
Penahanan;
Pengusiran.

Kekerasan
struktural.

Eksploitasi A.


Eksploitasi B.

Penetrasi;
Segmentasi.

Marjinalisasi;
Fragmentasi.

Keempat golongan kebutuhan dasar dalam bagan di atas terpilah dalam dua
bentuk kekerasan yaitu kekerasan langsung dan kekerasan struktural. Sedangkan
dari keempat kebutuhan dasar dalam kolom di atas, terdapat pula negasi-negasi yaitu
1) kebutuhan survival dengan kematian atau mortalitas sebagai negasinya; 2) kebutuhan
kesejahteraan dengan penderitaan atau morbiditas sebagai negasinya; 3) kebutuhan
identitas atau makna dengan alienasi atau keterasingan sebagai negasinya; dan 4)
kebutuhan pada kebebasan dengan represi sebagai negasinya.
Berdasarkan hasil persilangan kolom dan lajur bagan kekerasan di atas, maka
tampaklah delapan subtipe kekerasan. Akan tetapi, menurut Galtung, mengidentifikasi
kekerasan langsung akan lebih mudah dibanding mengidentifikasi kekerasan struktural
kerena persoalan struktural bersifat lebih komnpleks dan sistematis. Selain itu, ada
instrumen-instrumen lain yang dapat melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan

struktural itu dan instrumen-instrumen itu disebut Galtung sebagai kekerasan kultural.
Contoh-contoh instrumen yang dimaksud Galtung sebagai kekerasan kultural itu ialah
agama, ideologi, bahasa, seni, ilmu dan pengetahuan empiris, ilmu dan pengetahuan
formal, dan kosmologi.
Kekerasan struktural yang dimaksud oleh Galtung itu adalah aspek-aspek
budaya atau wilayah simbolis eksistensi manusia. Ciri-ciri yang disebutkan di atas
adalah “aspek-aspek dari budaya”, dan bukan keseluruhan budaya karena hanya
menyangkut sistem simbolis manusia seperti bintang, salib, bulan sabit, bendera, lagulagu kebangsaan, parade militer, pakaian seragam, foto seorang pemimpin, suara
pidato, poster-poster yang membakar, dan seterusnya. Dengan demikian, melalui
pengertian ini kita dapat memilahkan dua hal yaitu tentang “kekerasan budaya” (culture violence) dan “budaya kekerasan” (violent cultures). Akan tetapi, menurut Galtung,
seluruh kebudayaan hampir tidak mungkin diklasifikasikan keras. Oleh karena itu, kita
memiliki alasan untuk memilih ungkapan berikut: “Aspek A dari kebudayaan C adalah
suatu contoh kekerasan kultural” daripada stereotype ungkapan bahwa “budaya C itu
keras” (Galtung, Jurnal Wacana, IX/2002: 11-12).
Jadi, ada persoalan psikoetnik atau psikobudaya yang tidak bisa dipungkiri
oleh Galtung sehingga suatu kekerasan tidak selalu dapat dituduh sebagai kebiadaban.
Dalam bahasa Erich Fromm, kekerasan itu menjadi kajian psikoanalisis karena akar
utamanya justru terletak pada manusia secara individual. Kekerasan tidak berakar
dari sebuah insting layaknya pada hewan. Banyak bukti penelitian paleontologi,
antropologi, dan sejarah yang membantah tesis kekerasan instingtif itu dengan

Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki
54

kesimpulan bahwa: 1) kelompok manusia memiliki tingkat destruktif yang berbeda
secara fundamental satu sama lain sehingga fakta-faktanya tidak selalu dapat dijelaskan
dengan asumsi seolah-olah kedestruktifan dan kekejaman manusia itu adalah
pembawaan; 2) beragam tingkat kedestruktifan manusia itu bisa dikorelasikan dengan
faktor-faktor psikis yang lain dan perbedaan dalam masing-masing struktur sosialnya;
dan 3) derajat kedestruktifan manusia itu meningkat seiring meningkatnya
perkembangan peradaban, dan bukan sebaliknya (Fromm, 2001: xx).
Bila merujuk teori spiral kekerasan Dom Helder Camara, maka berlaku tiga
bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional, dan struktural. Akan tetapi, akar
dasar dan faktor utamanya justru terletak pada fakta-fakta yang menunjukkan adanya
ketimpangan dan eksploitasi masyarakat. Dengan demikian, menurut Camara,
kekerasan pasti muncul secara spiral oleh kenyataan bahwa di tengah masyarakat
telah terjadi: 1) ketidakadilan atau ketimpangan; 2) fakta pada poin ke-1 itu akan
mengakibatkan pemberontakan sipil; dan 3) fakta pada poin ke-2 itu otomatis akan
melahirkan represi negara (Camara, 2002: 31-39).
Secara historis, banyak penelitian yang berhasil membuktikan bahwa kekerasan
di Indonesia memang sangat dekat dengan politik. Bahkan, menurut Henk SchulteNordholt (Jurnal Wacana, IX/2002: 37), kekerasan politik di Indonesia bersifat sangat
geneologis karena pola-pola tertentu dari kekerasan itu sangat mirip dengan polapola kekerasan sebelumnya. Bahkan, aktor-aktor pelaku kekerasan itu sering kali
mendasarkan pendekatan mereka pada pengalaman-pengalaman dan contoh-contoh
yang diperoleh dari warisan generasi sebelumnya.
Landasan Teori
Berdasarkan teori Smelser, maka tindakan kekerasan di atas dapat terjadi
karena berorientasi nilai yang dimobilisasi atas nama kepercayaan umum dalam rangka
menginginkan atau menghendaki perumusan kembali nilai-nilai. Atau, berorientasi pada
norma umum atau kepercayaan umum yang menginginkan atau menghendaki
perumusan kembali nilai-nilai. Bisa juga karena ledakan kebencian atau muncul dari
kegalauan dan kepanikan perilaku yang dilandasi oleh suatu redefinisi umum terhadap
fasilitas yang tersedia.
Sementara itu, teori Johan Galtung dapat menjelaskan kekerasan itu
berdasarkan yang tampak di atas permukaan yaitu berbentuk perilaku fisik secara
langsung seperti pembunuhan, pemukulan, intimidasi, dan penyiksaan. Juga kekerasan
yang berada di bawah permukaan yang terdiri dari: 1) kekerasan struktur atau kekerasan
yang melembaga yang terkait dengan konteks, sistem, dan strukturnya seperti
diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan kesehatan, globalisasi
ekonomi, penyangkalan hak dan kemerdekaan, atau politik pemisahan (misalnya, politik
Apartheid); dan 2) kekerasan yang bersumber dari sikap, nilai-nilai, dan perasaan seperti
kebencian, ketakutan, ketidakpercayaan, rasisme, seksisme, atau ketidakmampuan
bertoleransi.
Kekerasan di atas pun dapat dijelaskan berdasarkan teori Dom Helder Camara
yang mengatakan bahwa kekerasan selalu berdasarkan dan bersumber kuat dari
Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki

55

ketidakadilan. Kekerasan ini merupakan gejala yang menimpa perorangan, kelompok,
atau negara karena ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Kekerasan tahap
ini akan mengakibatkan kondisi “sub-human” atau kondisi di bawah standar hidup
layak sebagai manusia normal. Kondisi “sub-human” ini akan mengakibatkan
pemberontakan di kalangan masyarakat sipil sebab dalam kondisi ini manusia
mengalami tekanan psikologis, ketarasingan (alienasi), dehumanisasi martabat, atau
tekanan struktural. Selanjutnya, kekerasan dapat muncul dalam bentuk represi
penguasa (aparatur negara) terhadap rakyat. Kekerasan ini terjadi karena adanya
perlawanan oleh kelompok pelaku kekerasan karena terjadinya ketidakadilan. Dengan
demikian, terjadilah satu bentuk kekerasan yang disebut Camara dengan Spiral
Kekerasan.
Teori spiral kekerasan ini diformulasikan oleh Dom Helder Camara dari logika
induktif-analitik. Kekuatan Dom Helder Camara terletak pada modus kelahiran teori itu
yaitu berdasarkan observasi dan pengalaman langsung di lapangan sehingga fakta
yang diperolehnya lebih lugas, aktual, dan sangat mudah dipahami.
Dalam teori spiral kekerasan Dom Helder Camara ini suatu kekerasan dapat dijelaskan
berdasarkan tiga akar pelaku yaitu personal, institusional, dan struktural. Tiga akar
pelaku kekerasan itu dapat dijelaskan lagi berdasarkan sifatnya atau fakta-fakta yang
terjadi dalam masyarakat yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil, dan
represi negara. Ketiga sifat penyebab kekerasan ini sangat terkait satu sama lain dan
dapat pula muncul secara beruntun atau susul-menyusul.
Rumusan Masalah
Dari uraian dalam poin latar belakang masalah di atas, tersimpul berbagai
pertanyaan. Pertanyaannya inilah yang akan menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini. 1) Bagaimanakah bentuk atau variasi dan motivasi kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok sipil politik di Yogyakarta ini sehingga dapat disimpulkan ke
sebuah teori dan dasar kekerasan tertentu?; 2) Secara sosiologis, bagaimanakah bentuk
atau pola-pola hubungan antarkelompok/individu dalam masyarakat di Yogyakarta
sehingga menimbulkan kekerasan?; dan 3) Sejauh mana kekerasan yang dilakukan
oleh kelompok sipil politik itu relevan dengan pemahaman mereka terhadap hukum
dan Hak Asasi Manusia?
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode hermenetik (tafsir). Karena menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman tentang makna atau nilai-nilai yang
membentuk pengetahuan seorang pelaku kekerasan hingga ke sikap dan perilaku
kesehariannya, maka metode penelitian yang paling tepat untuk menjawab semua
motivasi dan latar belakang kekerasan itu ialah metode hermeneutik.
Dalam metode hermeneutik ini akan digunakan model penguraian eksploratifinterpretatif, sementara dalam menganalisis dan menginterpretasi data akan
menggunakan cara verstehen. Verstehen ialah upaya membentuk pengertian empatik
terhadap pikiran atau pandangan subyek yang diteliti —termasuk juga terhadap data
tertulis— dalam rangka mengeluarkan atau mengartikulasikan kembali motif atau tujuan
Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki
56

di balik tindakan kekerasan. Melalui cara verstehen ini, setiap detil proses interpretasi
data akan diperdalam dan lalu ditimbang dengan latar belakang budaya Yogyakarta
serta akan dikonfrontasi dengan pengalaman atau hasil observasi langsung di lapangan.
Jenis data yang akan dijadikan bahan dalam penelitian ini ialah data tertulis (primer)
berupa berita-berita di tiga suratkabar harian yang terbit di Yogyakarta (Kedaulatan
Rakyat, Bernas, dan Radar Jogja). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
juga dengan teknik wawancara dan pengamatan (observasi). Dengan demikian, selain
melakukan wawancara, peneliti juga secara khusus menjadi observer terhadap
sejumlah kekerasan yang terjadi di Yogyakarta.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kekerasan Normatif Berdimensi Politik
Berdasarkan pemberitaan harian Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Radar Jogya,
kekerasan yang bersifat horisontal yang berbau politik dan ideologis itu merupakan
lingkaran konflik politik warisan Orde Baru karena ternyata melibatkan massa PPP,
Partai Golkar, dan PDI-P.
Dalam hal ini, PPP Yogyakarta memakai nama laskar-laskar yang langsung
berada di bawah Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), dan Partai Golkar memakai nama
Gerakan Pemuda Anti-Komunis (GEPAKO). Harian Kedaulatan Rakyat dan Bernas
beberapa kali melansir pernyataan Komandan GPK dan fungsionaris GEPAKO tentang
sikap organisasi mereka yang antikiri atau anti komunisme.
Akan tetapi, dari beberapa investigasi dan diskusi terbuka dengan sejumlah
aktivis GPK dan GEPAKO, tampak bahwa para “prajurit” GPK dan GEPAKO di lapangan
sesungguhnya tidak begitu banyak paham tentang sejarah komunisme dan warisan
konflik politik antara Islam versus komunisme di Indonesia. Untuk menutupi
ketidaktahuan itu, maka GPK (termasuk beberapa Ormas Islam) selalu menghadapkan
Islam versus kiri atau komunisme secara normatif dan moralistik. Akibatnya, terjadi
ambiguitas di dalam tubuh GPK dan Ormas-ormas Islam itu sendiri karena kekerasan
yang mereka lakukan terhadap kelompok yang mereka tuduh kiri atau komunis itu
sendiri tidak mencerminkan moralitas yang Islami. Kenyataan ini juga sama dalam hal
cara GPK dan beberapa Ormas Islam ketika melakukan tindakan polisionil berupa
sweeping terhadap rental-rental VCD, Play Station, atau menyerang kelompok pekerja
seks komersial (termasuk para waria dan gay).
Modus sweeping dengan kekerasan itu dilakukan pula oleh GEPAKO yang
berada di bawah Partai Golkar terhadap sejumlah gerakan mahasiswa. Tingkat
ambiguitasnya sama dengan GPK dan Ormas-ormas Islam. Namun, GEPAKO lebih
banyak mengusung isu-isu dan slogan nasionalisme yang berbau militeristik seperti
“waspadai antek-antek komunisme baru”, “curigai setiap gerakan massa yang mengarah
pada anarkisme”, atau “tolak setiap gerakan massa yang berusaha memecah-belah
masyarakat”. Sepanjang sejarah Orde Baru, Partai Golkar memang selalu
bergandengan mesra dengan militer (TNI/Polri). Apalagi, Partai Golkar (dulu masih
bernama Golkar) memang didirikan dan dibesarkan oleh TNI dalam rangka
membendung sisa-sisa kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki

57

Dari sejumlah isu yang diusung (seperti antikomunis atau antikiri, antimaksiat
atau antipornografi, antisekuler, pro-syari’at Islam, pro-penegakan hukum dan normanorma Islam), tampaknya belum ada kesamaan pada tujuan akhir yang sering
dituduhkan oleh banyak orang yaitu tentang negara Islam. Hal ini terjadi karena masingmasing kelompok sesungguhnya mengusung kepentingan masing-masing berdasarkan
afiliasi aliran politiknya. Di Yogyakarta, kekerasan yang dimunculkan oleh kelompokkelompok Islam selalu berada dalam skala yang serba normatif, diwakili oleh organisasiorganisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam. Sedangkan kekerasan yang berbau
normatif, tetapi dibungkus oleh kepentingan ekonomi dan supremasi partai politiknya
kebanyakan dilakukan oleh elemen-elemen massa Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Golongan Karya (P-Golkar).
Kekerasan dan Kinerja Polisi
Dari sejumlah liputan harian Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Radar Jogya
juga memperlihatkan bagaimana kelompok pelaku kekerasan itu selalu mengusung
slogan-slogan Islam baik secara simbolik dari cara mereka berpakaian atau alat-alat
yang mereka gunakan, maupun secara langsung dari ucapan dan teriakan saat mereka
melakukan aksi penyerangan.
Pada saat yang sama, aparat polisi ternyata banyak melakukan pembiaran (by omission) atas berbagai kekerasan yang timbul dari bentrok antara gerakan massa partai
politik dan gerakan massa mahasiswa atau kelompok miskin kota. Aparat polisi juga
tidak menunjukkan profesionalitasnya dalam meredam atau mencegah gerakan
polisionil (swepping) yang dilakukan oleh massa sipil partai politik terhadap sejumlah
gerakan mahasiswa yang dianggap kiri, rental VCD, dan Play Station, serta para
pedagang buku yang dianggap menjual buku-buku kiri.
Kekerasan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia
Bila mencermati berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok
massa terorganisasi yang terjadi di Yogyakarta antara Agustus 2000 hingga Agustus
2001 berdasarkan variasi dan motivasinya, baik berdasarkan sejumlah berita di harian
Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Radar Jogya maupun berdasarkan investigasi, maka
kekerasan itu sangat didominasi oleh intrik-intrik politik dan ideologi, walaupun isunya
normatif.
Isu-isu syari’at Islam ternyata lebih banyak dijadikan alasan utama oleh
kelompok aksi dari Ormas-ormas Islam seperti kelompok-kelompok remaja masjid
atau kelompok-kelompok pengajian masjid. Berbagai manuver berupa kampanye
antimaksiat pada kelompok masjid ini memang cukup dipengaruhi oleh faktor
eksklusivisme beragama. Analisis sosial kelompok ini ternyata sangat lemah. Dibanding
massa PPP, mereka tidak bisa memetakan secara akurat persoalan patologi sosial
masyarakat Yogyakarta yang selalu beriring antara lemahnya kebijakan politik dan
penegakan hukum serta tingginya tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Bagi laskar-laskar di bawah PPP, faktor eksklusivisme agama tampaknya tidak
terlalu mempengaruhi karena kelompok-kelompok pelaku kekerasan itu bisa dan mau
Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki
58

tampil dalam forum-forum diskusi baik sebagai pembicara atau nara sumber maupun
sebagai partisan aktif. Justru di dalam forum diskusi atau seminar itulah mereka selalu
mengklarifikasi dan menjelaskan bahwa gerakan mereka bukanlah sebagai gerakan
preman atau geng. Bahkan, mereka lebih suka dikaitkan sebagai gerakan massa
partainya. Pernyataan itu pernah dikemukakan oleh Imam Syafe’i dari GPK dalam
pertemuan antara kelompok “kiri” dan “kanan” di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
(LKBH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada bulan September 2000.
Hal yang sangat menarik justru terlihat pada tidak adanya korelasi yang positif
antara ketidaktahuan pelaku kekerasan itu pada nilai-nilai hukum dan Hak Asasi
Manusia. Dari beberapa investigasi terbukti bahwa para pelaku sangat mengerti tentang
hukum dan Hak Asasi Manusia. Bahkan, beberapa aktivis GPK yang berada di bawah
payung PPP justru masih sekolah di Fakultas Hukum di beberapa kampus besar di
Yogyakarta. Bahkan, sekelompok remaja masjid yang juga memiliki jaringan dengan
aktivis GPK, malahan melakukan polling tentang penegakan hukum dan kinerja aparat
hukum di Yogyakarta.
Simpulan
Tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata itu
merupakan perpaduan aksi politik dan kepentingan ekonomi dalam kondisi di mana
pemerintah lokal dan pihak kepolisian tidak dapat memenuhi rasa adil dan rasa aman
rakyat banyak. Law enforcement yang buruk oleh kalangan eksekutif (terutama soal
kebijakan publik yang sensitif HAM), legislatif (terutama soal kepekaan dan
keberpihakan pada kepentingan rakyat), dan yudikatif (terutama soal kinerja Polisi
dan aparat hukum lainnya) juga menjadi penyebab terpenting bagi terjadinya
pelanggaran hukum dan HAM secara umum sepanjang tahun 2000-2001.

Pustaka Acuan
Abdurrahman Wahid, dkk., (1998). Islam and Nonviolence. Terjemahan M. Taufiq
Rahman: Islam Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: LkiS.
Aderito de Jesus Soares, dkk., (1997). 1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran
HAM di Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI).
Anonim, (2002). Peta Konflik Horisontal dan Resolusinya di Yogyakarta (Dokumen
Riset Sementara), Yogyakarta: Tim Peneliti Aliansi Yogyakarta untuk Penegakan
Hak Asasi Manusia (Ayo-HAM).
Anonim, (1998). Deklarasi Kairo, Hak Asasi Manusia dalam Islam. Terjemahan ELSAM.
Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki

59

Anonim, (1998). Fact Sheet. Terjemahan Komisi Nasional HAM dan The British Council: Lembar Fakta Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komisi Nasional HAM dan The
British Council.
Anonim, (2001-2002). Bahan Bacaan Training Polisi, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII).
Anonim, (1998). Human Rights Manual, All Human Rights for All, Fiftieth Anniversary
of The Universal Declaration of Human Rights 1948-1998. Australia: Departemen
of Foreign Affairs and Trade Australia.
Anonim, (1998). Sketsa HAM Jawa Timur 1998. Resume Tahunan. Surabaya: YLBHI
LBH Surabaya.
Artidjo Alkostar, (2000). Negara Tanpa Hukum, Catatan Pengacara Jalanan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar dan Pusat Studi HAM UII.
Baehr, Peter, dkk., (1997). Major International Human Rights Instruments. Terjemahan
Yayasan Obor Indonesia: Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Camara, Dom Helder, (2000). Spiral of Violence Sheed and Ward. Terjemahan
Komunitas Apiru: Spiral Kekerasan. Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka
Pelajar.
Erich Fromm, (2001). The Anatomy of Human Destructiveness. Terjemahan Imam
Muttaqin: Akar Kekerasan, Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fisher, Simon, dkk., (2001). Working with Conflict: Skills and Strategies for Action.
Terjemahan S.N. Kartikasari: Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi untuk
Bertindak. Jakarta: The British Council, Zed Books, dan Responding to Conflict.
Galtung, Johan, (1990). “Cultural Violence”, dalam Journal of Peace Research Volume 27 Number 3.
_____, (2002). “Kekerasan Kultural”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 9 Tahun III,
Yogyakarta: INSIST Press.
Heffelbower, Duane Ruth, (2001). “Reconciling Injustices A Process for Indonesia.”
Islamic Millenium Journal Volume I/Number 1/September-November 2001.
Karim, Abdul Gaffar, dkk., (2000). Melucuti Serdadu Sipil Mengembangkan Wacana
Demiliterisme dalam Komunitasd Sipil. Yogyakarta: FISIPOL UGM.
Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki
60

Layla S. Mirza (Eds.), (2000). Politik dan Radio, Buku Pegangan bagi Jurnalis Radio,
Jakarta: Freidrich Naumann Stiftung.
Mohtar Mas’oed, dkk., (1997). Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu.
Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan
Kawasan UGM dan Departemen Agama R.I.
Mubarok, Ahmad, (2001). “Reconciliation: The Quranic Perspective.” Islamic Millenium
Journal Volume I/Number 1/September-November 2001.
Rahardjo, Satjipto, dan Anton Tabah, (1993). Polisi Pelaku dan Pemikir, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sumartana, Th., dkk., (2001). Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: Interfidei.
Sarna, Shirley, (1998). A Springboard for a More Humane World: The National and
International Status of Human Rights and Freedoms. Information Document.
Terjemahan Wahyu Harjanto: Hak Asasi Manusia dan Kebebasan, Sebuah Batu
Loncatan ke Arah Dunia yang Lebih Manusiawi. Pengakuan Nasional dan
Internasional tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan. Dokumen Publikasi.
Quebec: Commission des droiots de la personne Et des droits de la jeunesse.
Schulte-Nordholt, Henk, (2002). “Asal-usul Kekerasan”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 9
Tahun III, Yogyakarta: INSIST Press.
Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sokorejo,
Situbondo, (2000). Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yogyakarta:
LKiS.
Veeger, K.J., 1990, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan IndividuMasyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Analisis Kontekstual tentang Lelerasam di Harian ... oleh: Suparman Marzuki

61

Lampiran:
TABEL 1
Jumlah Kekerasan terhadap Aktivis Mahasiswa/Pelajar, Rental VCD dan Play
Station, Masyarakat/Tempat Umum, dan Lain-lain Berdasarkan Berita di Harian
Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Radar Jogya
Agustus 2000 – Agustus 2001
Korban
Aktivis Gerakan
Mahasiswa/
Pelajar

Pelaku
- Kelompok massa tak
dikenal atau
beratribut partai politik
atau berpakaian
model ninja;

Jumlah Kejadian
dalam Setahun
17 kasus

Modus Kekerasan
- Penyerangan/
pengeroyokan/pemukulan
- Pengrusakan;
- Penyiksaan/
penganiayaan;

- Aparat polisi;

- Ancaman.

- Pelajar;
- Aparat birokrasi
kampus.
Rental VCD dan Play
Station

Massa tak dikenal

4 kasus

Men-sweeping VCD porno
atau jenis hiburan yang
merusak

Masyarakat
Umum/Kantor/

- Penelpon gelap tak
dikenal;

- Ancaman/teror dengan
isu bom;

Tempat Publik

- Aparat polisi;

47 kasus khusus teror
dan ancaman bom; dan
9 kasus kekerasan biasa

Aktivis LSM

- Massa partai politik;

- Pengrusakan dan
provokasi dengan
kekerasan;

- Massa geng/ massa
umum.

- Penggeledah-an atau
penangkapan paksa.

- Massa partai politik;

2 kasus

Menolak aktivis yang
mendukung perbuatan
maksiat, liberal, atau
sekuler.

4 kasus

- Pengrusakan atribut
partai politik;

- Massa tak dikenal.
Massa/Aktivis Partai
Politik

- Massa tak dikenal;
- Aktivis mahasiswa;

- Penanganan massa
dengan cara represif.

- Aparat polisi.
Wartawan

- Massa beratribut
ormas Islam;

2 kasus

Pemukulan dan pelecehan
profesi

2 kasus

- Penyerangan dan
ancaman;

- Aparat polisi.
Gelandangan dan
Pengemis/
Pedagang

- Massa partai dan
ormas Islam (khusus
untuk kasus
pedagang kolak bulan
Ramadhan);

- Penggusuran atau
penggarukan.

- Polisi.
Aparat Polisi

- Pelajar;

4 kasus

Melecehkan atau melawan
dan menghalangi tugas
polisi

2 kasus

Pungutan liar dengan paksa
atau pemalakan

- Massa tak dikenal;
- Massa partai politik.
Awak Minibus

Aparat polisi

Sumber: Data primer dari Harian Kedaulatan Rakyat, Bernas, dan Radar Yogya
terbitan bulan Agustus 2000 – Agustus 2001.
Fenomena: Vol. 1 No. 1 Maret 2003

ISSN : 1693-4296

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63