Pemetaan Risiko Tsunami terhadap Bangunan secara Kuantitatif | Wibowo | Majalah Geografi Indonesia 28044 71744 1 PB

ISSN 0125-1790 (print) ISSN 2540-945x (online)
Majalah Geograi Indonesia Vol. 31, No. 2, September 2017 (68 - 78)
DOI: https://doi.org/10.22146/mgi.25493, web: https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
© 2017 Fakultas Geograi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia.

Pemetaan Risiko Tsunami terhadap Bangunan secara Kuantitatif
Totok Wahyu Wibowo, Djati Mardiatno, dan Sunarto
Faculty of Geography, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
Email Koresponden: totok.wahyu@ugm.ac.id
Diterima : April 2017 ; Direvisi : Juli 2017; Dipubikasikan: September 2017
© 2017 Fakultas Geograi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia.

Abstrak Tsunami merupakan bencana alam yang sebagian besar kejadiannya dipicu oleh gempabumi dasar laut. Dampak kerugian
tsunami terhadap lingkungan pesisir antara lain rusaknya properti, struktur bangunan, infrastruktur dan dapat mengakibatkan
gangguan ekonomi. Bencana tsunami memiliki keunikan dibandingkan bencana lainnya, karena memiliki kemungkinan sangat
kecil tetapi dengan ancaman yang tinggi. Paradigma Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang berkembang dalam beberapa
tahun terakhir yang menekankan bahwa risiko merupakan hal utama dalam penentuan strategi terhadap bencana. Kelurahan
Ploso, merupakan salah satu lokasi di Kabupaten Pacitan yang berpotensi terkena bencana tsunami. Pemetaan risiko bangunan
dilakukan dengan metode kuantitatif, yang mana disusun atas peta kerentanan dan peta harga bangunan. Papathoma Tsunami
Vulnerability 3 (PTVA-3) diadopsi untuk pemetaan kerentanan. Data harga bangunan diperoleh dari kombinasi kerja lapangan
dan analisis Sistem Informasi Geograis (SIG). Hasil pemetaan risiko menunjukkan bahwa Lingkungan Barehan memiliki risiko

kerugian paling tinggi diantara semua lingkungan di Kelurahan Ploso. Hasil ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk penentuan
strategi pengurangan risiko bencana di Kelurahan Ploso.
Kata kunci : Risiko bangunan, tsunami, PTVA-3, Pacitan
Abstract Tsunami is a natural disaster whose occurrences are mostly triggered by submarine earthquakes. he impact of tsunami
on coastal environment includes damages to properties, building structures, and infrastructures as well as economic disruptions.
Compared to other disasters, tsunamis are deemed unique because they have a very small occurrence probability but with a very
high threat. he paradigm of Disaster Risk Reduction (DRR) that has developed in the last few years stresses risk as the primary
factor to determine disaster strategies. Ploso Sub-district, an area in Pacitan Regency, is potentially afected by tsunamis. he risk
mapping of the buildings in this sub-district was created using a quantitative method based on maps of vulnerability and building’s
cost. his research used Papathoma Tsunami Vulnerability 3 (PTVA-3) for vulnerability mapping. he cost of the buildings was
obtained from a combination of ieldwork and Geographic Information System (GIS). he results of risk mapping showed that the
Barehan Environment had the highest risk of loss among the other environments in Ploso Sub-district. hese indings, thereby, can
be used as a reference for determining DRR strategy in Ploso Sub-district.
Keywords: Risk of Buildings, Tsunami, PTVA-3, Pacitan.

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki berbagai potensi bencana
alam yang dapat mengganggu kehidupan penduduknya.
Secara geograis, Indonesia dikelilingi oleh beberapa
lempeng tektonik yang memiliki aktivitas seismik

tinggi, yang dalam hal ini turut berkontribusi pada
banyaknya kejadian bencana alam (Latief et al., 2000).
Gempabumi merupakan dampak primer dari adanya
aktivitas seismik tersebut, diikuti dengan tsunami yang
merupakan bahaya sekunder.
Berdasarkan data NGDC/WDC (2011) terdapat
205 kejadian tsunami yang menerjang wilayah
Indonesia. Sejumlah 17 kejadian di antaranya memiliki
ketinggian limpasan lebih dari 10 m. Kejadian Tsunami
Aceh menjadi kejadian yang paling merugikan karena
banyak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan
bangunan. Hal ini menyadarkan berbagai pihak akan
ancaman tsunami. Selain itu, kejadian ini bahkan
menjadi pemicu komunitas ilmiah untuk meneliti
bahaya tsunami di Samudra Hindia (Okal and Synolakis,
2008).

Zona subduksi adalah zona dinamis di mana
umumnya merupakan lokasi episentrum gempa, yang
dapat memicu tsunami. Wilayah pesisir selatan Pulau

Jawa yang berhadapan langsung dengan Samudra
Hindia memiliki risiko tsunami yang tinggi (Marfai
et al., 2008; Widianto dan Damen, 2014). Meskipun
kejadian tsunami di bagian selatan Jawa lebih sedikit
daripada bagian lain di Indonesia, namun sebagai
pulau terpadat di Indonesia risiko tsunami tidak dapat
dikesampingkan (Mardiatno, 2013).
Bangunan menjadi unsur yang paling rentan
terhadap kerusakan pada kebanyakan kasus bencana.
Bangunan bukan saja bernilai ekonomis tetapi juga
menjadi tempat tinggal bagi penduduk yang masih
selamat dari kejadian bencana (Westen et al., 2009).
Dengan demikian, diperlukan adanya suatu upaya
untuk mengetahui persebaran risiko bangunan
agar dilakukan langkah persiapan yang tepat dalam
menghadapi bencana.
Kerusakan bangunan dari tsunami dapat
digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu 1) kerusakan

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78


dari dampak gelombang datang, 2) kerusakan yang
disebabkan oleh puing-puing yang terbawa oleh
gelombang, dan 3) kerusakan yang disebabkan oleh
gelombang balik (Ramroth, 2007). Ketiga kategori
tesebut akan memiliki perlakuan yang berbeda terhadap
bangunan, karena setiap bangunan memiliki struktur
yang belum tentu sama.
Penilaian kerentanan bangunan terhadap tsunami
merupakan langkah awal untuk penilaian risiko secara
kuantiatif, karena secara teoritis risiko merupakan hasil
interaksi antara bahaya dengan kerentanan (UNDP,
2004; Smith dan Petley, 2008). Kajian pemetaan
risiko secara kuantitatif bermanfaat sebagai dasar
pengurangan risiko bencana yang rinci. Pengurangan
risiko bencana merupakan salah satu upaya dalam
menghadapi bencana alam agar sedapat mungkin
mengurangi kerugian yang mungkin ditimbulkan.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai risiko bangunan
terhadap tsunami dengan menggunakan pendekatan

kuantiatif. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan untuk
pemilihan strategi pengurangan risiko bencana.
Pacitan merupakan salah satu kabupaten
yang terletak di bagian selatan pulau Jawa, sehingga
menjadikannya berpotensi terkena bencana tsunami.
Kejadian tsunami besar di dekat Pacitan pernah terjadi
tahun 1994 di Banyuwangi (Rajegwesi). Topograi
Pesisir Pacitan juga berpotensi memperbesar risiko
karena berupa teluk yang datar dan adanya konsentrasi
permukiman. Hasil pemodelan bahaya tsunami pada
skenario gempabumi hipotetik 8,5 Mw, terdapat 16

desa/keluirahan yang berpotensi terdampak langsung
(Mardiatno, 2008).
Kabupaten Pacitan secara administratif merupakan
bagian dari Provinsi Jawa Timur. Secara umum kondisi
isik di wilayah pesisir Pacitan berupa rangkaian
pegunungan kapur selatan yang menghadap Samudera
Hindia dan membujur dari Gunungkidul hingga ke
Trenggalek. Secara topograis, Pacitan didominasi

oleh perbukitan dengan kemiringan lereng lebih dari
15%, yang menyebabkan distribusi penduduk menjadi
tidak merata. Konsentrasi penduduk terjadi di daerah
lowland yaitu Kecamatan Pacitan. Data sensus tahun
2010 mencatat Kecamatan Pacitan memiliki kepadatan
penduduk tertinggi, yaitu sebesar 915,5 Jiwa/km2
(BPS, 2011). Secara geomorfologis Kecamatan Pacitan
merupakan bentukan dari dua macam bentuklahan,
yaitu luvial dan marin, memiliki topograi yang datar
dengan ketinggian kurang dari 75 m (Sunarto dan
Rahayu, 2006).
Penelitian dilakukan di Kelurahan Ploso (Gambar
1), yang secara administratif merupakan bagian dari
Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan. Pemilihan
lokasi penelitian didasarkan atas beberapa hal, yaitu
a) Kelurahan Ploso memiliki jumlah penduduk paling
tinggi diantara tiga desa di Teluk Pacitan, sehingga
diasumsikan memiliki jumlah bangunan yang paling
tinggi pula; dan b) Kelurahan Ploso dilewati oleh
sungai utama, yaitu Sungai Grindulu, sehingga tingkat

kerawanan terhadap tsunami semakin tinggi.

Gambar 1. Peta Lokasi Kajian Penelitian
https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |69

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

METODE PENELITIAN
Metode Analisis Peta Bahaya Tsunami
Peta bahaya tsunami diperoleh dari penelitian
sebelumnya oleh Mardiatno (2008) yang membuat
peta bahaya tsunami dalam tiga besaran magnitudo
gempa hipotetik, yaitu 7,5; 8; dan 8,5 Mw (Gambar 2).
Hampir semua wilayah Kelurahan Ploso terkena bahaya
tsunami dengan tingkat bahaya sangat tinggi (inundasi
yang lebih dari 2 m) berdasarkan model gempa 8,5
Mw. Sementara itu pada magnitudo gempa hipotetik
8 Mw, tingkat bahaya tertinggi yang sampai masuk
jauh ke daratan yaitu bahaya tinggi dengan inundasi
1 – 2 m. Tingkat bahaya paling rendah dijumpai pada

magnitudo gempa 7,5 Mw, dengan jarak inundasi ke
daratan hanya mencapai 0,5 m.

Metode Analisis Peta Kerentanan Bangunan
Struktur bangunan yang lemah (misalnya,
dengan jumlah lantai sedikit, bahan bangunan yang
lemah seperti kayu, pondasi dangkal, dan kondisi
pemeliharaan yang buruk) lebih berpotensi mengalami
kerusakan akibat bencana tsunami, meskipun hanya
tegenang sebagian saja. Hal ini disebabkan oleh tekanan
hidrodinamika air yang mengalir dan atau dampak dari
benda hanyut seperti mobil atau perahu (Warnitchai,
2005). Di sisi lain, sebuah bangunan dengan struktur
yang sangat kuat (misalnya, tiga lantai atau lebih,
struktur yang terbuat dari beton bertulang, dan fondasi
yang dalam) yang terkena tsunami, mungkin hanya
mengalami 40–50 % kerusakan saja, tanpa mengalami
kerusakan struktural (Ramroth, 2007).

Gambar 2. Bahaya tsunami di Kelurahan Ploso dengan Magnitudo Gempa Hipotetik a) 7,5 Mw, b) 8 Mw,

dan c) 8,5 Mw (Sumber: Mardiatno, 2008)
Model Papathoma Tsunami Vulnerability
Assessment 3 (PTVA-3) digunakan untuk penilaian
kerentanan bangunan terhadap tsunami (Dall’Osso
et al., 2009). Indeks Kerentanan Relatif (Relative
Vulnerability Index/RVI) bangunan dalam model ini
dihitung berdasarkan pembobotan 2 komponen sebagai
berikut: a) kerentanan yang berhubungan dengan daya
dukung bangunan (Structural Vulnerability/ SV); dan
b) kerentanan bangunan oleh karena adanya kontak
bangunan dengan air (Water contact Vulnerability/ WV).
Hubungan keduanya dijabarkan dalam persamaan 1.

..……..…………… (1)
Dalam model yang dijabarkan oleh Dall’Osso
et al. (2009), keseluruhan variabel yang digunakan
dalam penliaian RVI merupakan hasil dari analisis
multi kriteria. RVI sendiri memiliki rentang nilai
(terskalakan) antara 1-5, yang dikelaskan menjadi 5
kelas kerentanan (Tabel 3).

70| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi

Jika dijabarkan lebih lanjut, kerentanan struktural
suatu bangunan disusun oleh tiga faktor, yaitu atribut
dari bangunan (Bv), derajad proteksi (Prot) yang
tersedia untuk bangunan, dan kedalaman genangan air/
eksposur (Ex) pada lokasi bangunan berdiri. Hubungan
ketiga faktor tersebut dijabarkan dalam persamaan 2.
SV = (Bv) x (Prot) x (Ex) …………………….(2)
a.

Kerentanan bangunan
Faktor-faktor yang dinilai berkontribusi dalam
kerentanan bangunan antara lain: jumlah lantai
(s), material bangunan dan teknik konstruksi (m),
hidrodinamisasi lantai dasar (g), fondasi (f), bentuk dan
orientasi bangunan (so), keberadaan objek yang mudah
bergerak (mo), dan kondisi pemeliharaan bangunan
(pc). Persamaan di 3 kemudian digunakan untuk
menghitung nilai kerentanan bangunan (Dall’Osso et

al., 2009):

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

………………(3)

Penilaian masing-masing komponen kerentanan
bangunan dilakukan berdasarkan pada Tabel 2.
Nilai positif mengindikasikan adanya peningkatan
kerentanan bangunan sesuai dengan atributnya,
sementara nilai negatif menunjukkan hal sebaliknya.
b.

Derajad proteksi
Faktor-faktor yang mempengaruhi perlindungan
bangunan antara lain jarak bangunan dari garis pantai

(Protbr), keberadaan dinding laut (Protsw), hambatan
alamiah (Protnb), dan keberadaan pagar di sekeliling
bangunan (Protw). Tabel 3 digunakan sebagai acuan
untuk memberikan nilai derajad proteksi pada setiap
bangunan. Faktor proteksi (Prot) dihitung dengan
persamaan 4.

.......(4)

Tabel 1. Nilai Variabel Asli dan Terskalakan yang Digunakan dalam Perhitungan Nilai RVI

Sumber: Dall’Osso et al. (2009) dengan Modiikasi
Tabel 2. Nilai Kerentanan Bangunan

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |71

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

Tabel 3. Nilai Proteksi Bangunan

c.

Eksposur
Eksposur (Ex) berkaitan dengan kedalaman
genangan pada titik di mana bangunan berada. Tingkat
kerusakan struktural idealnya meningkat seiring
kedalaman air, karena tekanan dan kecepatan aliran
merupakan fungsi langsung dari kedalaman aliran
(Dall’Osso et al., 2009)
Komponen kerentanan kedua dalam model
PTVA-3 adalah kerentanan bangunan karena adanya
kontak bangunan dengan air (WV). Ketika lantai
suatu bangunan tergenang oleh air akibat tsunami,
tentunya seluruh bagian di dalamnya akan memerlukan
perbaikan. Dengan demikian, kerentanan bangunan
untuk dalam hubungannya dengan kontak air jelas
bergantung pada jumlah lantai yang tergenang di setiap
bangunan (termasuk ruang bawah tanah).
Metode Analisis Peta Risiko Bangunan
Risiko bangunan dinyatakan secara kuantitatif
dengan menggunakan persamaan berikut:
Risiko = V * A ………………...……………… (2)
keterangan:
V ialah kerentanan isik, ditetapkan sebagai derajad
kerusakan dari elemen yang berisiko, dan A ialah
kuantiikasi dari bangunan
Nilai kerentanan isik banguan (V) dalam hal
ini diperoleh dari model PTVA-3, sementara itu nilai
kuantiikasi bangunan (A) dalam hal ini adalah harga
individual bangunan. Untuk mendapatkan harga
individual bangunan digunakan pendekatan harga
bangunan rerata per m2, sehingga masing-masing
bangunan dapat diketahui nilainya dengan mengalikan
luas bangunan dengan harga per m2 tersebut. Perolehan
informasi harga bangunan dilakukan dengan kegiatan
survei lapangan berdasarkan standar harga pada Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB).
Data harga bangunan per m2 diperoleh dengan
cara survei lapangan pada berbagai jenis bangunan
yang terdapat di lokasi penelitian. Dalam survei
lapangan disusun nilai rerata harga bangunan untuk

72| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi

jenis penggunaan bangunan yang berbeda, kemudian
dikalikan dengan luas bangunan, sehingga diperoleh
harga individual bangunan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil digitasi data tapak bangunan dari citra
penginderaan jauh memiliki informasi yang sangat
terbatas terkait parameter kerentanan bangunan. Atap
bangunan yang dapat dikenali dari citra Quickbird
digunakan sebagai dasar pengelompokan bangunan.
Penentuan kelompok atap bangunan pun didahului
dengan survei lapangan yang bertujuan untuk melihat
secara sekilas variasi bentuk atap yang terdapat di
Kelurahan Ploso. Informasi dari survei pendahuluan
ini kemudian dikombinasikan dengan kenampakan
di citra Quickbird dan studi literatur (Ronald, 1997),
sehingga didapatkan 8 kelompok bentuk atap, yaitu
atap kampung, limasan, kampung modiikasi, limasan
modiikasi, masjid, joglo dan limasan patah, kompleks
dan modern, dan perumahan. Pengelompokan
bangunan berdasarkan bentuk atap lebih ditujukan
untuk mempermudah teknis pengambilan sampel di
lapangan dan mudah dikenali dari citra satelit resolusi
tinggi.
Kebanyakan bangunan di Kelurahan Ploso
memiliki tipe atap kampung dan limasan, bahkan
jumlah keduanya mencapai 73% dari keseluruhan
bangunan. Pada kedua tipe atap tersebut jenis
penggunaan bangunan yang sering dijumpai yaitu
sebagai permukiman. Sementara itu, untuk tipe
atap kampung modiikasi dan limasan modiikasi
memiliki jenis penggunaan bangunan berupa kantor
pemerintahan, sekolah, dan permukiman. Bentuk atap
modiikasi yang ditemui antara lain berbentuk seperti
huruf U, L, dan T.
Dalam model bahaya 7,5 Mw sebagian besar
bangunan (1.282) masuk ke dalam kelas RVI sangat
rendah, dan sebanyak 609 bangunan tersebut memiliki
bentuk atap kampung. Bangunan sisanya tergabung
dalam kelas RVI rendah dan sedang, masing-masing
sebanyak 289 dan 84, namun tidak terdapat bangunan
yang termasuk ke dalam kelas tinggi maupun sangat
tinggi. Ketiadaan bangunan yang masuk ke dalam

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

kelas RVI tinggi dan sangat tinggi ini disebabkan oleh
pengaruh nilai kerentanan SV, yang pada model bahaya
tsunami 7,5 Mw sebagian besar bangunan termasuk ke
dalam kelas kerentanan SV sangat rendah.
Hasil yang berbeda ditemui untuk kerentanan
bangunan pada model bahaya 8 Mw, yang mana
sebagian besar bangunan (1.245) termasuk ke dalam
kelas RVI rendah. Akan tetapi masih belum ditemui
bangunan yang termasuk ke dalam kelas RVI tinggi
ataupun sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan
model bahaya tsunami 7,5 Mw terdapat penurunan
jumlah bangunan pada kelas RVI sangat rendah dan
penambahan jumlah bangunan pada kelas RVI rendah.
Hal tersebut terjadi pada semua bentuk atap bangunan.
Penambahan jumlah bangunan juga ditemukan pada
kelas RVI sedang, namun hanya terjadi pada tiga
kelompok bentuk atap bangunan, yaitu atap kampung,
atap limasan dan atap kampung modiikasi. Perhitungan
RVI pada model bahaya tsunami 8,5 Mw menghasilkan
distribusi yang lebih merata, dimana terdapat pula
bangunan yang memiliki kelas RVI tinggi dan sangat
tinggi. Konsentrasi bangunan pun bergeser menjadi
kelas RVI sedang, dengan jumlah bangunan mencapai
1.046. Kelas RVI tinggi dimiliki oleh 155 bangunan,
sedangkan kelas RVI sangat tinggi dimiliki oleh 87
bangunan.
Pengamatan pada saat survei pendahuluan
mengindikasikan bahwa kerentanan bangunan lebih
terkait dengan kemampuan ekonomi pemilik bangunan
tersebut. Dalam hal ini diasumsikan bahwa semakin
tinggi kemampuan ekonominya, maka semakin rendah
tingkat kerentanan bangunannya. Dengan kekuatan
ekonomi yang berlebih tentunya pemilik leluasa dalam
memilih bahan bangunan terbaik dan dibangun pada
lahan yang terlindung, atau rekayasa lain yang dapat
mengurangi kerentanan bangunan. Bahkan untuk
kelompok bangunan yang sama, tetapi jika kemampuan
ekonomi pemiliknya berbeda maka berbeda pula
tingkat kerentanannya.
Pendekatan harga bangunan dilakukan dengan
cara mengalikan luas bangunan dengan harga bangunan
per m2. Pada dasarnya harga bangunan memiliki
hubungan yang berbanding lurus dengan luasan,
dimana semakin luas bangunannya semakin mahal pula
harganya. Bangunan paling mahal yaitu bangunan SMA
Negeri 1 Pacitan yang memiliki luas 1743,04 m2. Secara
visual dapat diketahui bahwa Lingkungan Ngampel
(RW VII) yang memiliki bangunan-bangunan sekolah
yang cukup luas.
Tabel 4 menyajikan data harga bangunan menurut
jenis penggunaannya. Pada tabel tersebut pun didapati
bahwa sekolah memiliki nilai rerata harga bangunan
tertinggi, yaitu Rp 199,4 Juta, sedangkan rerata harga
bangunan terendah adalah
Rp 23,4 Juta
yang dimiliki oleh rumah dengan kondisi pemeliharaan
buruk. Namun demikian secara individual bangunan
paling murah merupakan rumah dengan kondisi

pemeliharaan sedang, dengan harga Rp 5,3 Juta.
Jumlah total harga bangunan di Kelurahan Ploso
sendiri hampirmencapai angka Rp 73,6 Miliar. Harga
tersebut tentunya masih berada pada standar PBB, jika
dikonversi menjadi harga sebenarnya total harga tersebut
diperkirakan mencapai Rp 368 Miliar. Persebaran harga
bangunan dapat dilihat pada Gambar 3.
Berdasarkan tiga model peta bahaya yang
digunakan, model bahaya tsunami 8,5 Mw
menyebabkan risiko tertinggi (Tabel 5). Total risiko
kerugian bangunan pada model bahaya tsunami 8,5
Mw sendiri bernilai Rp 33,88 Miliar, dua kali lipat
dari jumlah risiko pada model bahaya tsunami 8 Mw.
Rumah dengan kondisi pemeliharaan baik memiliki
jumlah risiko kerugian bangunan tertinggi diantara
jenis penggunaan bangunan lainnya, dengan nilai risiko
mencapai Rp 16,07 Miliar, sedangkan bangunan pabrik
tidak berisiko terhadap bahaya tsunami sama sekali
karena tidak terpengaruh oleh model tsunami. Nilai
rata-rata kerugian bangunan tertinggi, dimiliki oleh
bangunan sekolah dan kantor pemerintahan dengan
nilai mencapai Rp 0,06 Miliar.
Sebaran risiko bangunan menurut lingkungan
(RW) di Kelurahan Ploso dapat dilihat pada Tabel
6. Pengelompokan nilai risiko berdasarkan unit
administrasi ini dilakukan karena akan memudahkan
manajemen bencana yang dapat disesuaikan dengan
urutan birokrasi.
Jumlah risiko tertinggi berada di Lingkungan
Barehan dengan jumlah nilai kerugian mencapai Rp 7,8
Miliar. Hal tersebut sangat wajar karena Lingkungan
Barehan berbatasan langsung dengan pantai dan
konsentrasi permukiman penduduk hanya berjarak 600
m dari garis pantai. Di lain pihak Lingkungan Krajan
Kidul memiliki jumlah risiko paling rendah, dengan
nilai sebesar Rp 1,7 Miliar. Nilai risiko yang paling
rendah tersebut disebabkan karena jumlah bangunan di
Lingkungan Krajan Kidul yang memang paling sedikit
diantara semua lingkungan.
Nilai risiko maksimum pada data individual
tertinggi berada di Lingkungan Kebon, dengan nilai
risiko kerugian sebesar Rp 0,3 Miliar. Ketika dilakukan
cek silang pada peta, nilai risiko maksimum tertinggi
tersebut merupakan bangunan sekolah. Urutan jumlah
risiko kerugian bangunan pada tiap lingkungan
tersebut dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam
pelaksanaan program pengurangan risiko bencana,
dimana risiko yang tinggi idealnya mendapat prioritas
lebih tinggi. Persebaran risiko kerugian bangunan
pada model bahaya tsunami 8,5 Mw dapat dilihat pada
Gambar 4. Bangunan-bangunan publik seperti sekolah,
pasar, masjid atau kantor pemerintahanbiasanya digunakan
untuk lokasi evakuasi pada saat kejadian bencana.
https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |73

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

Tabel 4. Datar Harga Bangunan Berdasarkan Jenis Penggunaan Bangunan
Harga Bangunan (dalam juta Rupiah)
Penggunaan
Jumlah
Bangunan
Minimum Maksimum
Rata-rata
Jumlah Harga

No

Jumlah total harga bangunan di kelurahan Ploso
Sumber; Hasil Analisis Data

Penggunaan
Bangunan

Tabel 5. Nilai Risiko Kuantitatif pada Setiap Lingkungan
Risiko Kerugian Bangunan (dalam Miliar Rupiah)
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Jumlah RisikoBangunan

Gudang

0

0

0,01

0,02

0,02

0,06

0,01

0,01

0,04

0,06

0,06

0,32

Kantor Pemerintahan

0

0

0,01

0,03

0,08

0,16

0,01

0,03

0,06

0,03

0,51

0,92

Masjid/Musholla

0

0

0,01

0,07

0,07

0,14

0,01

0,07

0,04

0,11

0,27

0,65

POM Bensin

0

0,03

0,03

0

0,03

0,03

0

0,03

3

0

3

0,03

Pabrik

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Rumah Buruk

0

0

0

0,02

0,02

0,03

0

0,01

0,01

0,04

0,29

0,61

Rumah Sedang

0

0

0

0,04

0,04

0,09

0

0,01

0,01

1,44

4,43

9,66

Rumah Baik

0

0

0

0,06

0,06

0,11

0

0,01

0,02

2,24

7,37

16,07

Rumah Sangat Baik

0

0

0

0,07

0,07

0,13

0,01

0,02

0,04

0,72

1,30

2,63

Sekolah

0

0

0

0,12

0,21

0,30

0

0,02

0,06

0,23

1,03

3,01

4,93

15,27

33,88

Jumlah Total

RW

Lingkungan

Tabel 6. Nilai Risiko Kuantitatif pada Setiap Lingkungan
Risiko Kerugian Bangunan (dalam juta Rupiah)
Jumlah
Bangunan
Minimum Maksimum
Rata-rata
Jumlah Risiko

Jumlah Total
Sumber: Hasil Analisis Data
74| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

Gambar 3. Persebaran Harga Bangunan di Kelurahan Ploso, Kabupaten Pacitan

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |75

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

Gambar 4. Peta Risiko Tsunami Terhadap Bangunan pada Model Bahaya 8,5 Mw

76| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

Berdasarkan hasil pada Gambar 4 diketahui bahwa
tidak sedikit dari bangunan yang dapat digunakan untuk
evakuasi tersebut yang memiliki risiko tinggi, bahkan
untuk bangunan yang terletak cukup jauh dari garis
pantai. Temuan ini tentunya sangat bermafaat sebagai
bahan pertimbangan untuk penentuan lokasi evakuasi.
Selain itu, temuan ini juga akan sangat membantu
dalam tahapan managemen bencana yang lebih baik di
masa mendatang.
KESIMPULAN
Secara umum pada model bahaya tsunami 8,5
Mw, bangunan di Kelurahan Ploso memiliki kerentanan
sedang, sehingga diperlukan upaya untuk mengurangi
kerentanan bangunan. Diantara semua lingkungan
di Kelurahan Ploso, Lingkungan Barehan (RW VIII)
merupakan daerah yang memiliki kerentanan bangunan
sangat tinggi. Jika dilihat dari komponen kerentanan,
letak bangunan (dekat pantai), jumlah lantai (satu),
dan arah hadap dinding utama (tegak lurus terhadap
arah tsunami), merupakan komponen yang paling
mempengaruhi tingginya kerentanan bangunan di
Lingkungan Barehan.
Sementara itu, jika dilihat kerentanan secara
keseluruhan kondisi pemeliharaan bangunan adalah
komponen kerentanan yang berpengaruh pada
kerentanan bangunan di Kelurahan Ploso. Pemeliharaan
bangunan erat kaitannya dengan kemampuan ekonomi
pemilik rumah. Semakin tinggi kemampuan ekonomi,
maka semakin baik pula tingkat pemeliharaan
bangunannya. Bahkan mampu meningkatkan faktor
proteksi dengan cara menanam hambatan alamiah atau
membangun tembok di sekeliling bangunan. Sayangnya
tingkat pemeliharaan bangunan tersebut berbanding
terbalik dengan kerentanan bangunan.
Kondisi kerentanan bangunan di Kelurahan
Ploso tersebut berbanding lurus dengan potensi risiko
kerugian bangunannya. Diantara jenis penggunaan
bangunan lainnya, bangunan rumah/permukiman
penduduk memiliki potensi kerugian tertinggi, terlebih
yang berlokasi di Lingkungan Barehan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. (2011). Kecamatan Pacitan dalam Angka 2010.
Pacitan: BPS Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Dall’Osso, F., Gonella, M., Gabbianelli, G., Withycombe,
G. & Dominey-Howes, D. (2009). A Revised
(PTVA) Model for Assessing the Vulnerability of
Buildings to Tsunami Damage. Natural Hazards
Earth System Science, 9, 1557-1565.
Latief, H., Puspito, N., & Imamura, F., (2000), Tsunami
Catalog and Zones in Indonesia. Journal of Natural
Disaster Science, 22(1), 25-43.

Mardiatno, D. (2008). Tsunami Risk Assessment Using
Scenario-Based Approach, Geomorphological
Analysis and Geographic Information System: A
Case Study in South Coastal Areas of Java IslandIndonesia. Disertasi. Innsbruck: Austria: Faculty
of Geo-and Atmospheric Sciences. University of
Innsbruck.
Mardiatno, D. (2013). A Proposal for Tsunami
Mitigation by Using Coastal Vegetation: Some
Findings from Southern Coastal Area of Central
Java, Indonesia. Journal of Natural Resources and
Development, 3, 85-95.
Marfai, M.A., King, L., Singh, L.P., Mardiatno, D.,
Sartohadi, J., Hadmoko, D.S. & Dewi, A. (2008).
Natural hazards in Central Java Province,
Indonesia: an Overview, Environmental Geology,
56, 335–351.
National Geophysical Data Center/ World Data Center
(NGDC/WDC). (2011). Historical Tsunami
Database, Boulder, CO, USA. dapat diakses di
http://www.ngdc.noaa.gov/hazard/tsu_db.shtml
Okal, E.A. & Synolakis, C.E. (2008). Far-ield Tsunami
Hazard from Mega-hrust Earthquakes in the
Indian Ocean, Geophysics Journal Int., 172(3),
995–1015.
Ramroth, W.G. (2007). Planning for Disasters: How
Natural and Man-Made Disasters Shape he Built
Environment. New York: Kaplan Publishing.
Reese, S., Cousins, W.J., Power, W.L., Palmer, N.G.,
Tejakusuma, I.G. & Nugrahadi, S. (2007). Tsunami
Vulnerability of Buildings and People in South
Java – Field Observations Ater the July 2006 Java
tsunami. Natural Hazards Earth System Science, 7,
573-589.
Ronald, A. (1997). Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir
Keagungan Rumah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sunarto & Rahayu, L. (2006). Model Prevensi
Gempabumi dan Tsunami pada Lowland di
Wilayah Teluk Pacitan. Yogyakarta: Pusat Studi
Bencana Universitas Gadjah Mada.
Smith, K. & Petley, D.N. (2008). Environmental Hazards:
Assessing Risk and Reducing Disaster (5th Edition).
New York: Routledge.
UNDP. (2004). Reducing Disaster Risk: A Challenge for
Development. New York: John S. Swit Co.
Warnitchai, P. (2005). he 26 December 2004 Tsunami
Disaster in hailand: Experience and Lesson
Learned. Proceedings of the 4th International
Symposium on New Technologies for Urban Safety
of Mega Cities in Asia. Singapore, 18–19 October,
2005.

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |77

Totok Wahyu Wibowo dkk/Majalah Geograi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 68 - 78

Westen, C., Kingma, N., & Montoya, L., (2009). Multi
Hazard Risk Assessment, Educational Guide Book
Session 4: Elements at Risk, diedit oleh Cees van
Westen. Enschede, he Netherlands: ITC.
Widianto, A. & Damen, M. (2014). Determination of
Coastal Belt in the Disaster Prone Area: A Case
Study in the Coastal Area of Bantul Regency,
Yogyakarta, Indonesia, Indonesian Journal of
Geography, 46(2), 125-137.

78| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi