Pengaruh Preparasi Bevel Pada Restorasi Klas I Resin Komposit Berbasis Silorane Terhadap Celah Mikro (Penelitian In Vitro)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Resin komposit telah digunakan sebagai restorasi gigi selama lebih dari 50
tahun.20 Sistem adhesif juga terus mengalami perkembangan sejak diperkenalkannya
resin komposit. Meskipun perbaikan yang signifikan terus dilakukan pada sistem
adhesif dan resin komposit selama beberapa dekade terakhir, pengerutan polimerisasi
tetap menjadi masalah terbesar dari restorasi. Pengerutan polimerisasi dapat
mengarah pada terjadinya celah mikro yang menjadi faktor utama kegagalan bahan
resin komposit di rongga mulut.2

Untuk memecahkan masalah ini, telah

dikembangkan suatu matriks resin komposit baru yang bertujuan untuk mengurangi
pengerutan polimerisasi yang disebut Silorane.18

2.1 Resin Komposit Berbasis Methacrylate
Kemajuan pada bahan restorasi dengan sistem adhesif dimulai ketika Bowen
(1960) memperkenalkan resin komposit yang mempunyai warna menyerupai gigi asli
tetapi memiliki kelemahan yaitu adanya pengerutan polimerisasi. Resin komposit
modern yang banyak digunakan saat ini berbahan dasar monomer dimethacrylate

yang berpolimerisasi melalui reaksi radikal bebas. Reaksi polimerisasi ini dapat
dihambat oleh oksigen di atmosfir yang mengakibatkan adanya monomer – monomer
yang tidak terpolimerisasi sempurna di lapisan permukaannya.1
Resin komposit methacrylate mengandung sejumlah komponen. Komponen
utama adalah matriks resin organik dan partikel pengisi anorganik (filler ) yang
memberikan stabilitas dimensional pada matriks resin yang halus. Disamping kedua
komponen tersebut, beberapa komponen lain juga diperlukan untuk meningkatkan
efektivitas dan ketahanan bahan. Suatu bahan coupling (silane) diperlukan untuk
memberikan ikatan antara bahan pengisi anorganik dan matriks resin, serta aktivator –
inisiator yang diperlukan untuk polimerisasi resin. Sistem fotoinisiator seperti
champorquinone juga terdapat pada komponen resin komposit yang berpolimerisasi

dengan penyinaran. Sejumlah kecil bahan tambahan lain juga diperlukan untuk

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan stabilitas warna (penyerap sinar ultraviolet) dan mencegah polimerisasi
dini (bahan penghambat seperti Hidroquinon). Komposit juga mengandung titanium
dioxide sebagai pemberi warna opak serta beberapa komponen lain seperti
magnesium, copper dan iron oxides untuk memperoleh berbagai variasi warna yang


mirip dengan struktur gigi.1,6,21
Kebanyakan bahan komposit saat ini menggunakan matriks organik berupa
molekul bis-GMA yang merupakan monomer dimethacrylate yang disintesis oleh
reaksi antara bisfenol-A dan glisidil methacrylate. BisGMA memiliki molekul
methacrylate yang besar dengan dua cincin karbon untuk menambah berat molekul

dan kekakuannya. Modifikasi lain dari resin Bis-GMA yaitu triethylene glycol
dimetakrilat (TEGDMA) yang memiliki molekul lebih kecil dari BisGMA dengan

berat molekul dan viskositas yang lebih rendah serta urethane dimetakrilat (UDMA)
yang biasanya dikombinasi dengan BisGMA. (Gambar 1).1,4,16

Gambar 1. Struktur kimia resin komposit berbasis methacrylate.16

Universitas Sumatera Utara

2.1.1 Kelemahan Resin Komposit Berbasis Methacrylate
2.1.1.1 Pengerutan Polimerisasi dan Stress Polimerisasi
Resin komposit cenderung mengalami pengerutan saat proses polimerisasi.

Terdapat dua metode polimerisasi resin komposit yaitu self-cured dan light-cured.
Metode self-cured memerlukan pencampuran dua komponen yaitu katalis dan base,
yang menimbulkan reaksi polimerisasi resin komposit. Sedangkan metode Lightcured menggunakan sumber sinar. Metode Light-cured lebih disukai karena memiliki

beberapa keuntungan dibandingkan Self-cured diantaranya menambah waktu kerja,
memberikan stabilitas warna yang lebih baik dan jumlah porositas internal yang lebih
sedikit. Arah pengerutan polimerisasi pada kedua metode ini juga berbeda, pada selfcured pengerutan cenderung mengarah ke bagian tengah sedangkan pada metode
Light-cured arah pengerutan polimerisasi cenderung ke sumber sinar sehingga

menyebabkan bahan restorasi mengerut menjauhi tepi kavitas yang jauh dari sumber
sinar.8,21
Formulasi resin komposit terus mengalami modifikasi selama bertahun –
tahun dengan tujuan untuk meningkatkan karakteristik fisik, mekanis dan
penanganannya. Salah satu faktor utama yang berhubungan dengan dampak klinis
restorasi komposit yang harus dipertimbangkan adalah kualitas penutupan interface
antara restorasi dengan gigi dan tidak adanya celah mikro. Hal ini sangat ditentukan
oleh derajat pengerutan polimerisasi resin komposit dan kualitas perlekatan terhadap
struktur gigi.22
Meskipun resin komposit menjadi pilihan yang paling banyak digunakan
sebagai bahan restorasi saat ini, banyaknya pengerutan polimerisasi yang terjadi dan

efeknya terhadap integritas tepi restorasi tetap menjadi masalah yang belum
sepenuhnya terpecahkan. Selama bertahun – tahun pengerutan polimerisasi hanya
dikurangi secara bertahap dan tetap menjadi salah satu kelemahan paling utama dari
resin komposit.2 Selain pengerutan, parameter penting penggunaan bahan restorasi
adalah stress polimerisasi. Stress polimerisasi timbul ketika resin komposit disinar
dalam kondisi yang berikatan dan pengerutan polimerisasi akan menghasilkan suatu
gaya di dalam dinding kavitas. Struktur gigi yang kaku dapat bertahan dari gaya ini,

Universitas Sumatera Utara

namun adanya tarikan dapat mengarah pada terbentuknya celah pada tepi restorasi
atau kerusakan struktur gigi yang sehat oleh deformasi. Gaya – gaya atau tarikan ini
dikenal dengan istilah stress polimerisasi. Stress yang timbul akibat pengerutan
polimerisasi tersebut dapat mengganggu perlekatan resin komposit dengan kavitas
restorasi (Gambar 2).3,6 Stress polimerisasi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : 1)
pengerutan polimerisasi, 2) kemampuan bahan untuk mengalir dan 3) kinetik
polimerisasi (kecepatan polimerisasi). Bahan yang mempunyai pengerutan yang
tinggi dengan kemampuan mengalir yang rendah dan penyinaran yang cepat pada
detik – detik pertama akan menunjukkan stress polimerisasi yang lebih tinggi.3,16


Gambar 2. Pengerutan polimerisasi dapat
menimbulkan celah di antara restorasi dan
permukaan gigi.6
Ketika monomer – monomer resin bereaksi untuk membentuk suatu ikatan
kovalen, jarak di antara dua grup atom akan berkurang dan terjadi pengurangan
volume bebas, kedua hal ini disebut dengan volumetric shrinkage atau besar
pengerutan yang dihitung dalam persen.24 Besar pengerutan yang terjadi pada resin
komposit berbasis methacrylate saat polimerisasi adalah sebanyak 2 – 4 %.3
Besarnya stress polimerisasi merupakan fenomena yang kompleks dan bergantung
pada beberapa faktor diantaranya :

Universitas Sumatera Utara

a. Viskositas Resin
Viskositas resin dipengaruhi oleh berat molekul resin. Semakin tinggi berat
molekul semakin sedikit pengerutan yang dihasilkan. Molekul monomer BisGMA
memiliki lebih sedikit pengerutan dibandingkan TEGDMA yang memiliki berat
molekul lebih rendah. Meningkatnya kepadatan ikatan ganda (C=C) pada monomer
yang berat molekulnya rendah membentuk ikatan kovalen dengan jumlah yang lebih
besar selama polimerisasi sehingga menambah derajat konversi serta menghasilkan

pengerutan yang lebih tinggi. Sedangkan pada monomer yang memiliki berat molekul
tinggi sekelompok methacrylate yang reaktif memiliki lebih banyak jarak sehingga
lebih sedikit ikatan kovalen yang membentuk massa pada tahap akhir polimerisasi
dengan kondisi penyinaran yang sama.1
b. Filler Loading
Filler loading merupakan faktor utama yang

mempengaruhi pengerutan

polimerisasi. Semakin tinggi muatan partikel filler akan mengurangi pengerutan
polimerisasi. Selain itu, semakin tinggi muatan partikel juga meningkatkan modulus
elastisitas yang akan membuat resin komposit menjadi lebih kaku dan berkurang
kemampuannya menyerap tekanan pengerutan.1
c. Faktor Konfigurasi Kavitas (C – factor)
Faktor konfigurasi kavitas (C-factor) adalah perbandingan area permukaan
kavitas yang dibonding dengan yang tidak dibonding pada permukaan gigi yang
dipreparasi.

5,7-9


C-factor digunakan untuk menggambarkan stress yang dihasilkan

selama pengerutan polimerisasi resin komposit. Selama proses polimerisasi, resin
komposit mengalami pengerutan dimensional, apabila resin komposit berpolimerisasi
tanpa melekat pada dinding kavitas, bahan tersebut mampu mengerut dan mengalir,
sehingga dapat mengurangi nilai stress. Namun secara klinis ketika resin komposit
ditempatkan di dalam kavitas dan harus melekat pada dinding kavitas disekelilingnya,
deformasi bahan tersebut menjadi terbatas sehingga stress yang ada dipindahkan ke
area perlekatan sebagai kekuatan tarik (tensile forces). Saat resin komposit melekat
pada semua permukaan dinding kavitas, pengerutan harus diimbangi dengan aliran
komposit.

Ketika perbandingan area permukaan yang dibonding dengan tidak

dibonding bertambah, stress pada gigi juga akan meningkat karena resin komposit

Universitas Sumatera Utara

tidak dapat mengalir untuk mengurangi stress pengerutan. Akibatnya, stress
pengerutan internal yang terus terjadi dapat merusak perlekatan resin komposit

dengan dinding kavitas.4 Pengerutan polimerisasi sangat potensial terjadi khususnya
pada restorasi resin komposit klas I. Pada restorasi resin komposit klas I dengan
bentuk preparasi box-only atau butt joint memiliki 5 permukaan bonding dan 1
permukaan tidak dibonding sehingga nilai C-factor nya adalah 5:1.8,9

Gambar 3.Faktor konfigurasi (C-factors) pada preparasi gigi yang berbeda.
Preparasi gigi klas I memiliki nilai C-Factor tertinggi (paling tidak
menguntungkan) sehingga lebih beresiko mengalami efek pengerutan
polimerisasi. C-factor berperan penting saat preparasi gigi meluas
hingga ke permukaan akar dan menyebabkan terbentuknya gap
berbentuk “V” antara komposit dan permukaan akar selama
pengerutan polimerisasi.6
Stress pengerutan lebih sedikit terjadi pada kavitas dengan nilai C-factor yang

lebih rendah seperti kavitas klas IV karena resin komposit dapat mengalir cukup baik
pada area permukaan yang tidak dibonding sehingga stress pun dapat dikurangi.19
Oleh karena itu, semakin besar nilai C-factor , semakin besar peluang mengalami
gangguan perlekatan resin komposit akibat pengerutan polimerisasi terutama
disepanjang dasar kavitas (Gambar 3).6,8,9


Universitas Sumatera Utara

d. Teknik Peletakan Resin Komposit Secara Incremental
Teknik incremental juga berhubungan dengan berkurangnya stress pengerutan
pada restorasi dengan resin komposit. Restorasi yang diletakkan secara incremental
hingga terisi penuh akan mengalami pengurangan besar pengerutan yang signifikan
pada lapisan increment terakhir dibandingkan dengan teknik pengisian bulk.
Menggunakan teknik incremental dalam mengurangi stress pengerutan terletak pada
pengurangan C-factor sehingga dapat mengurangi stress yang berkembang pada
interface resin komposit.1

e. Protokol Penyinaran (Polimerisasi)
Polimerisasi resin komposit mengalami berbagai tahap, tahap yang paling
penting dalam pembentukan stress adalah ketika bahan mulai memadat tahap ini
disebut dengan tahap gel point. Memulai penyinaran dengan intensitas rendah akan
menunda terbentuknya tahap gel point dari resin komposit sehingga memungkinkan
resin dapat mengalir dan beradaptasi pada permukaan kavitas dan mengurangi stress
yang sedang terjadi.1
f. Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas merupakan pengukuran terhadap kekakuan suatu bahan,

semakin rendah modulus semakin elastis suatu bahan. Kebanyakan pada resin
komposit yang kaku dapat menghasilkan stress yang lebih tinggi sedangkan resin
dengan viskositas rendah umumnya lebih fleksibel sehingga memiliki modulus
elastisitas yang rendah dan mampu menyerap stress yang ditimbulkan oleh
pengerutan.1

Modulus elastisitas resin komposit jauh lebih kecil dibandingkan

enamel, modulus elastisitas enamel adalah 84.1 Gpa. Resin komposit dengan partikel
material yang halus (fine-particle) memiliki modulus elastisitas yang sama dengan
dentin, modulus elastisitas dentin adalah 18.5 Gpa dan modulus elastisitas resin
komposit adalah 18.9 GPa.24

2.1.1.2 Celah Mikro
Pengerutan polimerisasi mengarah pada terjadinya celah mikro yang menjadi
faktor utama kegagalan bahan resin komposit di rongga mulut.2 Celah mikro
merupakan jalur yang terbentuk pada interface kavitas restorasi dan tidak terdeteksi

Universitas Sumatera Utara


secara klinis serta mengakibatkan dapat masuknya bakteri dan produknya, cairan –
cairan, molekul atau ion – ion dari rongga mulut.6,7 Seperti yang dikemukakan oleh
Philip (1965) cit. Nawawy (2012) penutupan yang tidak sempurna pada perlekatan
antara gigi dan tepi kavitas restorasi dapat mengakibatkan terjadinya hipersensitifitas
post operative, diskolorisasi marginal, karies sekunder dan patologi pulpa (Gambar

4).3,16
Beberapa usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi celah mikro akibat
pengerutan polimerisasi diantaranya adalah modifikasi desain kavitas dengan
membulatkan sudut – sudut cavosurface internal kavitas, meletakkan resin komposit
pada kavitas dengan teknik incremental, menggunakan cavity liner dan base, dan
penyinaran dengan metode “Soft start polymerization” yaitu prosedur penyinaran
prepolimerisasi dengan intensitas yang rendah kemudian diikuti penyinaran akhir
dengan intensitas yang tinggi, namun tidak ada metode yang dapat mengurangi
pengerutan polimerisasi secara total dan efektif. 25,26

Gambar 4. Dampak klinis akibat pengerutan polimerisasi dan stress
polimerisasi yang tinggi.16
2.1.1.3 Keterbatasan Penyinaran
Ketika resin komposit disinar dengan penyinaran intensitas tinggi, reaksi
polimerisasi resin komposit lebih cepat terjadi pada permukaan restorasi. Maksimum
ketebalan resin komposit yang disarankan selama penggunaan di klinik adalah 2-4
mm. Apabila resin komposit diletakkan lebih dari ketebalan tersebut polimerisasi

Universitas Sumatera Utara

yang terjadi tidak adekuat pada bagian terdalam dari kavitas sehingga bahan yang
tidak terpolimerisasi sempurna dapat mempengaruhi ketahanan dan sifat mekanis,
sifat fisis serta sifat biologis restorasi.1

2.1.1.4 Keterbatasan Derajat Konversi
Derajat konversi adalah ukuran terhadap jumlah ikatan ganda karbon
methacrylate (C=C) yang bereaksi membentuk ikatan kovalen dengan sekelompok
methacrylate di sekitarnya. Derajat konversi pada resin komposit methacrylate adalah

sekitar 50 – 70% oleh karena itu 30-50% dari ikatan ganda yang tersisa mungkin
tidak bereaksi dan hanya 10% dari monomer mungkin memiliki kedua ikatan ganda
yang tidak bereaksi sehingga molekul monomer yang tidak terikat dapat larut dan
menyebabkan kerusakan pulpa dan perubahan warna gigi. Derajat konversi yang
rendah pada resin komposit biasanya mengakibatkan rendahnya sifat – sifat mekanis
meskipun secara simultan menghasilkan sedikit pengerutan polimerisasi. Oleh karena
itu dibutuhkan keseimbangan antara sifat – sifat mekanis yang baik dengan
pengerutan polimerisasi yang sedikit.1

2.1.2 Oxygen Inhibited Layer Pada Resin Komposit Berbasis Methacrylate
Oxygen inhibited layer dapat didefinisikan sebagai lapisan monomer yang

dihambat reaksi polimerisasinya oleh adanya oksigen pada permukaan resin komposit
yang telah disinar. Lapisan ini memiliki komposisi yang sama dengan resin yang
tidak disinar atau tidak terpolimerisasi. Derajat dan kedalaman oxygen inhibition
pada permukaan resin komposit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
viskositas resin semakin rendah viskositas monomer methacrylate resin semakin
tinggi lapisan oxygen inhibition yang terbentuk. Faktor lain seperti derajat filler load
berpotensial mempengaruhi derajat oxygen inhibition dengan mempengaruhi rute
difusi oksigen dari atmosfir ke dalam resin komposit. Penelitian lain menunjukkan
bahwa peningkatan temperatur menyebabkan berkurangnya viskositas resin sehingga
meningkatkan difusi oksigen dari atmosfir ke dalam matriks resin dan oxygen
inhibition.1

Universitas Sumatera Utara

2.2 Sistem Adhesif
Semua restorasi langsung yang menggunakan resin komposit memerlukan
sistem adhesif. Sistem adhesif telah mengalami perkembangan dalam hal unsur unsur kimiawi, aplikasi, mekanisme, teknik dan efektivitasnya seiring dengan
perkembangan bahan – bahan restorasi estetik dan bertambahnya permintaan pasien
terhadap restorasi estetis khususnya resin komposit. Secara terminologi, adhesi adalah
proses perlekatan dari suatu substansi ke substansi lainnya. Permukaan atau substansi
yang berlekatan disebut adherend. Adhesif adalah bahan yang biasanya berupa zat
cair kental yang menggabungkan dua substansi hingga mengeras dan mampu
memindahkan suatu kekuatan dari satu permukaan ke permukaan lainnya.27,28
Seluruh sistem adhesif terdiri dari tiga langkah yaitu etsa, primer dan bonding.
Etsa adalah larutan asam yang menghasilkan proses demineralisasi pada permukaan
enamel atau dentin yang meningkatkan energi bebas permukaan. Primer terdiri dari
campuran monomer hidrofilik dan pelarut yang bertujuan untuk menghasilkan
kemampuan pembasahan permukaan gigi. Bonding mengandung bagian hidrofobik
yang menghasilkan penggabungan dengan bahan restorasi berbasis resin. Bahan
perekat atau adhesif atau bonding agent/adhesive system adalah bahan yang bila
diaplikasikan pada permukaan suatu benda dapat melekat, dapat bertahan dari
pemisahan dan dapat menyebarluaskan beban melalui perlekatannya. 27,28

2.2.1 Perlekatan Resin terhadap Enamel
Perkembangan bahan adhesif dimulai sekitar 50 tahun yang lalu sejak
Buonocore (1955) menemukan bahwa etsa asam pada enamel dapat menambah
kekuatan perlekatan resin terhadap enamel. Etsa asam membuat permukaan enamel
yang halus menjadi tidak beraturan dan menambah energi bebas pada permukaannya.
Asam yang diaplikasikan pada enamel akan membentuk suatu mikroporositas. Ketika
cairan berbasis resin diaplikasikan pada permukaan tidak beraturan yang sudah dietsa,
resin akan berpenetrasi dan melekat pada mikroporositas enamel melalui mekanisme
micromechanical interlock. 27,28

Asam akan mempengaruhi enamel melalui beberapa cara yaitu membuang
pelikel – pelikel agar terbuka komponen - komponen kristal inorganik enamel,

Universitas Sumatera Utara

membentuk lapisan berporus sehingga ketika resin viskositas rendah diaplikasikan
akan mengalir kedalam mikroporositas dan berpolimerisasi membentuk resin tags,
menambah kemampuan membasahi dan menambah area permukaan substrat enamel
untuk bonding serta meningkatkan energi permukaan enamel. (Gambar 5) 25,28,29.

Gambar 5. Arah panah menunjukkan hasil Scanning Electron
Microscopy (SEM) enamel tags yang terbentuk setelah
pengetsaan pada permukaan enamel yang akan diisi
oleh resin sehingga membentuk resin tags.28
Resin tags yang terbentuk di sekitar enamel rods yakni diantara prisma –

prisma enamel disebut dengan macrotags. Jaringan halus dari beberapa small tags
terbentuk di tiap – tiap ujung rod di tempat larutnya kristal hidroksiapatit dan dikenal
sebagai microtags. Microtags menjadi sangat penting karena jumlahnya sangat
banyak dan juga memberikan kontak area permukaan yang sangat besar.
Pembentukan resin micro dan macro tags pada permukaan enamel merupakan
mekanisme dasar perlekatan micromechanical pada enamel (Gambar 6).25,29

Universitas Sumatera Utara

Gambar 6.

Scanning electron microscopy pandangan cross-sectional interface
antara agen bonding enamel dengan enamel microtags diantara
macrotags (A). Gambar skematik pandangan cross-sectional
macrotags dan microtags (B).29

2.2.2 Perlekatan Resin terhadap Dentin
Karakteristik keberhasilan perlekatan resin komposit terhadap dentin adalah
adanya perlekatan micromechanical antara resin dan lapisan permukaan intertubular
dentin yang terdemineralisasi. Tujuan utama aplikasi agen bonding/adhesif resin
adalah pembentukan dan stabilisasi hybrid layer , pembentukan resin tags pada
tubulus dentin dan disaat yang sama secara efektif menutup tubulus dentin sehingga
mengurangi peningkatan permeabilitas dan iritasi pulpa. Ketika agen bonding
diaplikasikan, sebagian akan berpenetrasi ke dalam mikroporus kolagen pada
intertubular dentin yang dikenal dengan penetrasi intertubular dan sisanya akan
berpenetrasi ke dalam tubulus dentin yang disebut dengan penetrasi intratubular. Pada
penetrasi intertubular, agen bonding berpolimerisasi dengan monomer primer
membentuk

lapisan

demineralisasi

dentin

dan

infiltrasi

monomer

yang

berpolimerisasi disebut hybrid layer (Gambar 7).25,29

Universitas Sumatera Utara

A

B

Gambar 7. Scanning Electron Microscopy ruang intertubular dan tubulus dentin
yang terbuka sangat luas pada dentin yang dietsa (A). Pandangan
cross-sectional micromechanical retention sistem bonding pada
dentin. Gambaran skematik komposit, hybrid layer dengan microtags
dan tubulus dengan resin microtags setelah larut dengan dentin (B).29

Sistem adhesif dapat dibagi berdasarkan interaksinya terhadap struktur gigi
yaitu : Etch-and-rinse (Total etch) dan Self-etch. Sedangkan berdasarkan jumlah
tahapan klinisnya, sistem adhesif dibagi menjadi: Three step etch-and-rinse, two step
etch-and-rinse system, two step self-etch system dan one step self-etch system (all in
one).30 Pada sistem adhesif total etch, seluruh smear layer akan disingkirkan dan

serat kolagen akan terpapar akibat etsa asam sehingga menciptakan kondisi yang baik
untuk retensi mikromekanis melalui infiltrasi monomer resin, tetapi penyingkiran
seluruh smear layer dari permukaan dentin menyebabkan jaringan kolagen yang
terpapar menjadi kolaps (Gambar 8).27

Universitas Sumatera Utara

Gambar 8. Perlekatan resin terhadap dentin menggunakan teknik total-etch 28
Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkan sistem adhesif self-etch. Sistem
adhesif self-etch menggunakan asam primer untuk memodifikasi smear layer ,
mendemineralisasi permukaan dentin dan mengekspos kolagen. Aplikasi bahan
adhesif akan berikatan dengan kolagen yang terekspos dan membentuk lapisan
hybrid. Selain itu, asam primer akan menginfiltrasi smear plug dan mempersiapkan

jalur bagi penetrasi bahan adhesif ke dalam smear plug yang kemudian
berpolimerisasi membentuk resin tag (Gambar 9). Karena terhalang oleh smear layer ,
maka asam primer tidak dapat merembes lebih dalam sehingga lapisan hybrid yang
terbentuk lebih pendek jika dibandingkan dengan sistem total etch.28

Universitas Sumatera Utara

Gambar 9. Perlekatan resin terhadap dentin menggunakan Self-etch Primer.28

2.3 Perkembangan Resin Komposit
BisGMA masih menjadi komponen yang paling dominan pada kebanyakan
resin komposit saat ini. Walaupun memiliki laju polimerisasi yang cepat dan
menghasilkan polimer dengan sifat mekanis yang tinggi resin methacrylate tetap
memiliki kelemahan seperti pengerutan polimerisasi, derajat konversi yang terbatas
dan ketidakstabilan hidrolitik. Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengembangkan
pengganti BisGMA atau alternatif kimiawi dalam usaha untuk mengatasi atau
meningkatkan sifat – sifat resin komposit konvensional antara lain :
a. Oxirane
Oxirane memiliki pengerutan yang minimum karena berpolimerisasi dengan

reaksi pembukaan cincin kation dan bukan polimerisasi radikal bebas seperti
monomer methacrylate. Sifat menguntungkan dari bahan ini adalah tidak adanya
oxygen inhibited layer, mengurangi pengerutan polimerisasi, kekerasan yang adekuat

dan kekuatan mekanis baik sekali. Namun dalamnya penyinaran hanya terbatas pada
1 mm dan lambatnya perkembangan flexural strenght serta waktu pengerasan yang
terlalu panjang tidak memungkinkan untuk penggunaan klinis.1

Universitas Sumatera Utara

b. Spiro-orthocarbonates
Spiro-orthocarbonates

(SOC) merupakan siklus monomer yang berbahan

dasar ester dari asam orthocarboxylic dengan empat atom oksigen terikat pada satu
atom karbon. SOC berpolimerisasi melalui reaksi pebukaan cincin kation ganda.
Formulasi klinis SOC menghasilkan pengerutan yang sedikit. Penggabungan SOC
dengan

BisGMA atau monomer methacrylate lain

tidak menghasilkan efek

pengerutan namun berkurangnya secara signifikan sifat – sifat mekanis pada
restorasi.1
c. Ormocers

Monomer Ormocers berbahan dasar dimethacrylate yang berpolimerisasi
melalui reaksi radikal bebas dan mengeras tanpa meninggalkan monomer sisa
sehingga biokompatibilitasnya sangat baik. Namun, pada produk komersial biasanya
dikombinasi dengan TEGDMA sebagai pelarut untuk mengurangi viskositas dari
Ormocers sehingga kelemahan – kelemahan TEGDMA ikut ke dalam bahan restoratif

akhir Ormocers.1
d. Liquid crystalline monomers
Liquid crystalline monomers (LCM) memiliki viskositas yang relatif rendah

sehingga memungkinkan untuk ditambah filler . Bahan ini juga memiliki laju konversi
monomer yang tinggi dan pengerutan polimerisasi yang rendah. Namun LCM masih
terlalu mahal untuk diproduksi dan memiliki fleksibilitas yang berlebihan sehingga
dapat mengurangi sifat – sifat mekanisnya.1
2.4 Restorasi Resin Komposit Berbasis Silorane
Dalam mengurangi pengerutan polimerisasi dan celah mikro para peneliti di
bidang kedokteran gigi

telah mengembangkan suatu resin komposit dengan

komponen matriks resin yang berbeda dengan methacrylate yaitu resin komposit
berbasis Silorane. Silorane dihasilkan dari reaksi penggabungan molekul oxirane dan
siloxane,

yang mekanismenya dapat mengurangi stress dengan cara terbukanya

cincin oxirane selama polimerisasi. Siloxane merupakan bahan yang memiliki sifat
hidrofobik sehingga memiliki daya serap air yang rendah dan oxirane sangat dikenal

Universitas Sumatera Utara

karena penyusutannya yang rendah dan stabilitasnya yang sangat baik terhadap
pengaruh reaksi fisik dan kimia (Gambar 10).6,16
Salah satu komponen sistem inisiator Silorane adalah champorquinone yang
disesuaikan dengan sumber sinar polimerisasi Halogen dan LED. Komponen unik
sistem inisiator Silorane adalah iodonium salts dan electron donors yang
mengaktifkan reaksi cationic dan memulai proses polimerisasi pembukaan cincin.
Silorane berisi kombinasi partikel fine quartz dan radiopaque yttrium fluoride.

Menurut filler nya Silorane dapat diklasifikasikan sebagai komposit microhybrid.16,19
Resin komposit berbasis Silorane juga menghasilkan polimer yang memiliki
sifat – sifat mekanis seperti kedalaman penyinaran, flexural modulus dan kekerasan
serta sifat - sifat fisik seperti compressive dan flexural strenght yang sebanding
bahkan lebih baik dari resin komposit berbasis methacrylate terkemuka lainnya.
Beberapa sifat menguntungkan lainnya seperti perlekatan yang sangat baik pada
enamel dan dentin dan tensile bond strenghts yang lebih baik, peningkatan sifat
hidrofobik, sitotoksisitas dan pengerutan polimerisasi yang rendah. Pengujian klinis
selama satu tahun menunjukkan hasil yang lebih baik menggunakan bahan ini
dibandingkan resin komposit posterior lainnya.1,15,19

Gambar 10. Struktur kimia resin komposit berbasis Silorane.16

Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Reaksi Polimerisasi Resin Komposit Berbasis Silorane
Proses polimerisasi Silorane terjadi melalui pembukaan reaksi cincin kation
yang menghasilkan kontraksi polimerisasi yang lebih rendah dibandingkan resin
methacrylate yang berpolimerisasi melalui reaksi radikal ikatan ganda. Pembukaan

cincin saat polimerisasi Silorane secara signifikan mengurangi jumlah pengerutan
polimerisasi saat proses penyinaran. Selama proses polimerisasi, molekul –
molekulnya saling berdekatan untuk membentuk ikatan kimia. Ketika pengerutan
polimerisasi dimulai, cincin silorane secara simultan terbuka dan mengimbangi
pengerutan bahan dengan menambah volume molekul – molekulnya sehingga
membuat bahan ini menjadi lebih padat. Proses ini mengakibatkan berkurangnya
volume pengerutan polimerisasi (Gambar 11). 15,16
Oleh karena Silorane berpolimerisasi melalui reaksi cationic pengaruh
oksigen di atmosfir terhadap dinamika reaksi sangat berkurang sehingga
menunjukkan bahwa pembentukan oxygen inhibited layer dapat dihilangkan.1
Pengaruh inhibition layer dapat meningkatkan adhesi antara dua lapis restorasi resin
komposit dengan pembentukan ikatan kovalen dalam suatu jaringan yang saling
berpenetrasi. Reaksi pembukaan cincin pada Silorane adalah reaksi kationik dimana
tidak ada oxygen inhibition pada permukaan yang terpolimerisasi. Oleh karena itu,
ikatan antara dua lapis resin komposit Silorane hanya bergantung pada reaktifitas
material komposit tersebut. Dapat dikatakan bahwa kekuatan ikatan antara dua lapis
resin komposit Silorane akan lebih rendah dibandingkan resin komposit methacrylate.
31,32

Universitas Sumatera Utara

Gambar 11. Sisi reaktif Silorane dan methacrylate serta besar pengerutan yang
terjadi selama polimerisasi. Proses polimerisasi bahan restoratif
Silorane terjadi melalui reaksi pembukaan cincin kation
menghasilkan pengerutan polimerisasi yang lebih rendah (A)
dibandingkan dengan methacrylate yang berpolimerisasi melalui
reaksi linear (B). 16

Filtek Silorane Restorative telah dikembangkan untuk meminimalisasi

pengerutan polimerisasi dan stress polimerisasi, serta berikatan dengan sangat baik
dengan struktur gigi. Beberapa penelitian mengenai pengerutan polimerisasi yang
telah dilakukan menunjukkan Filtek Silorane Restorative memiliki nilai pengerutan
yang lebih rendah dibandingkan semua resin komposit berbasis methacrylate.16
Menurut Weinmann et al (2005) Silorane merupakan bahan resin yang
berbasis sistem monomer baru yang memiliki tekanan pengerutan lebih rendah dan
warna yang lebih stabil dibandingkan resin komposit berbasis methacrylate.17 Prachi
& Rujuta (2010) Silorane merupakan resin komposit pertama yang mengalami
penyusutan polimerisasi kurang dari 1 % dan memiliki integritas tepi yang sangat
baik dibandingkan resin komposit berbasis methacrylate.2 Al Boni & Raja (2010)
melakukan evaluasi celah mikro terhadap resin komposit berbasis Silorane yang
dibandingkan dengan resin komposit berbasis methacrylate. Hasilnya meskipun
semua sistem restoratif menunjukkan adanya celah mikro, teknologi Silorane
memiliki lebih sedikit celah mikro dibandingkan resin komposit berbasis
methacrylate.18

Universitas Sumatera Utara

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa C – factor memiliki peranan
terhadap efek pengerutan polimerisasi, Ghulman (2011) melakukan penelitian efek Cfactor terhadap adaptasi marginal resin komposit berbasis Silorane, hasilnya

meskipun resin komposit berbasis Silorane sedikit dipengaruhi oleh perubahan Cfactor dan menghasilkan adaptasi marginal yang lebih baik dibandingkan resin

komposit berbasis methacrylate, skor celah tertinggi cenderung terjadi pada C-factor
dengan permukaan bonding 5:1.9

2.4.2 Sistem Adhesif Silorane
Sistem adhesif Silorane didesain khusus untuk memberikan ikatan yang kuat
dan bertahan lama pada bahan restoratif Silorane terhadap enamel dan dentin,
sehingga memberikan integritas tepi restorasi yang sangat baik. Adanya Siloxane
membuat resin komposit berbasis Silorane bersifat lebih hidrofobik dibandingkan
resin komposit berbasis methacrylate, sehingga penyerapan air menjadi lebih rendah.
Hal ini berarti bahwa sistem adhesif yang ada harus dapat menjembatani perbedaan
antara struktur gigi yang hidrofilik dan bahan restoratif Silorane yang bersifat
hidrofobik (Gambar 12).16 Oleh karena itu sistem adhesif Silorane dibuat dengan
mekanisme two-step adhesive :
-

Silorane System Adhesive Self-Etch Primer yang bersifat hidrofilik dan

memiliki adhesi yang kuat dan tahan lama terhadap gigi
-

Silorane System Adhesive Bond dioptimalkan untuk membasahi dan

melekat pada bahan restoratif posterior Silorane .16

Universitas Sumatera Utara

Gambar 12. Perbedaan sifat yang terjadi pada interface antara gigi
yang bersifat hidrofilik dan FiltekTM Silorane Low
Shrink Posterior
Restorative yang bersifat
hidrofobik.16

2.4.2.1

Sistem adhesif Self-Etch Primer Silorane

Prinsipnya, self-adhesion dihasilkan oleh monomer asam yang mengetsa
substrat gigi dan menciptakan pola retensi membentuk suatu micromechanical
interlocking antara bahan adhesif dengan gigi yang selanjutnya membentuk ikatan

kimia terhadap hidroksiapatit dari jaringan yang termineralisasi. Sistem adhesif SelfEtch Primer Silorane mengandung phosporylated methacrylates dan carboxylic acid.

Kemudian, comonomers seperti BisGMA dan HEMA, sebagai sistem pelarut yang
terdiri dari air dan ethanol untuk membasahi dan penetrasi ke substrat gigi, dan sistem
fotoinisiator berisi champorquinon untuk proses pengerasan. Silane mengandung
silica filler dengan partikel berukuran 7 nm juga ditambahkan untuk meningkatkan

kekuatan mekanis dan sifat film-forming dari sistem Adhesif Self-Etch Primer
Silorane. Filler ini menyebar dengan sangat sempurna sehingga mencegah terjadinya

pengendapan.16

Universitas Sumatera Utara

Gambar 13. SEM Micrograph interface antara adhesif dan dentin
setelah aplikasi Silorane self-etch primer .16

Dengan pH 2.7 sistem Adhesif Self-Etch Primer Silorane mendemineralisasi
stuktur gigi dengan kuat dan memberi perlekatan yang tahan lama melalui pola
nanoetching, seperti perlekatan kimia pada hidroksiapatit. Pada dentin, sistem adhesif

ini berpenetrasi ke struktur dentin dan membentuk resin tag dengan sangat baik
(Gambar 13).16

2.4.2.2 Sistem Adhesif Bond Silorane
Sistem Adhesif Bond Silorane juga terdiri atas methachrylate. Sebagai
komponen utama berisi monomer bifungsional yang hidrofobik sehingga sesuai
dengan resin komposit Silorane yang bersifat hidrofobik juga. Hasilnya bahan
restoratif Silorane akan sangat mudah beradaptasi dengan Sistem Adhesif Bond
Silorane. Terdapat komponen lain seperti acidic monomers yang menginisiasi

pembukaan cincin kation saat proses penyinaran bahan restoratif Silorane sehingga
membentuk ikatan kimia antara sistem adhesif dengan bahan restoratif Silorane
(Gambar 14). Sedangkan sistem fotoinisiator berbahan dasar champorquinone.
Adhesif Bond Silorane ini juga mengandung Silane-treated silica filler yang juga

Universitas Sumatera Utara

dapat meningkatkan kekuatan mekanis bahan.16 Perbedaan komposisi sistem adhesif
Silorane dan methacrylate dapat dilihat pada tabel 1.

TABEL 1. KOMPOSISI SISTEM ADHESIF SILORANE DAN METHACRYLATE
Sistem Adhesif

Komposisi

Manufacturer

Primer
: Phosporylated methacrylates, Vitrebond
copolymer, BisGMA, HEMA, Water, Ethanol,
Silorane System
Silane-treated Silica filler, Initiators, Stabilizer
Adhesive
Bond
: Hydrophobic dimethacrylates, 3M
phosporylated methacrylate, TEGDMA, Silanetreated silica filler, Initiators, Stabilizer
Liquid 1 : Methacrylate phosporic esters, BisGMA, Initiatior, Stabilizer
Adper Prompt LPop
Liquid 2 :Water, 2-Hydroxyethyl methacrylate,

ESPE
DENTA
L
Products
St. Paul,
MN,
USA

Polyalkenoic acid, Stabilizers

Gambar 14. Mekanisme ikatan kimia antara Silorane Adhesive Bond dan Silorane
Low Shrink Posterior Restorative.16

Universitas Sumatera Utara

2.5 Desain Kavitas Restorasi Klas I Resin Komposit
Sejak dikembangkannya sistem adhesif untuk restorasi resin komposit,
terdapat dua sistem restorasi yang masih saling berdampingan untuk merawat lesi
karies. Sistem yang lama berdasarkan prinsip Black yang mengutamakan resistensi
restorasi. Prinsip ini diterapkan untuk restorasi non-adhesif amalgam dan
menyebabkan hilangnya struktur gigi yang tidak perlu dibuang sehingga dapat
meningkatkan resiko terjadinya karies sekunder saat pemakaian jangka panjang.
Restorasi seperti ini tidak berlekatan dengan jaringan gigi, oleh karena itu diperlukan
cara – cara mekanis untuk meningkatkan bentuk resistensi dan retensinya.5
Sistem yang kedua yaitu desain preparasi adhesif yang lebih modern
menggunakan pendekatan biologis yang memberikan retensi dan kekuatan melalui
perlekatan pada struktur gigi yang masih ada disekelilingnya. Outline form kavitas
bergantung pada lokasi, ukuran dan morfologi dari lesi karies yang terjadi, tidak ada
undercut dan tidak diperlukan minimal kedalaman preparasi. Desain preparasi adhesif

ini lebih mengarah pada pemeliharaan struktur gigi untuk mendapatkan kekuatan
restorasi dengan gigi, serta memberikan perlindungan terhadap pulpa melalui sistem
adhesif pada enamel dan dentin.5
Restorasi resin komposit menggunakan desain preparasi kavitas adhesif.
Beberapa pedoman umum yang dapat diikuti dalam restorasi klas I resin komposit
diantaranya adalah preparasi dibatasi hanya untuk akses ke daerah lesi karies, outline
form pada oklusal harus menghilangkan semua karies enamel, memberikan akses

terhadap karies dentin serta memberikan akses untuk aplikasi bahan restorasi. Lebar
preparasi harus sesempit mungkin. Untuk mendapatkan adaptasi resin yang lebih
baik, seluruh sudut internal line harus dibulatkan dan dinding kavitas harus
dihaluskan.13
Beberapa penelitian mengindikasikan preparasi dengan bevel oklusal pada
restorasi klas I lebih resisten terhadap celah mikro dibandingkan dengan preparasi
tanpa bevel oklusal bila menggunakan etsa asam.10 Enamel tersusun atas jutaan
enamel rods yang merupakan komponen struktural terbesar, seperti cabang – cabang

Universitas Sumatera Utara

disertai substansi – substansi inter-rod di beberapa area. Setiap rod memiliki bagian
atas (head) dan bagian bawah (tail). Bagian atas mengarah ke oklusal dan bagian
bawah mengarah ke servikal. Enamel rods membentang tegak lurus terhadap dentinoenamel junction. Kumpulan kristal pada enamel rods menjadikan enamel sebuah

struktur yang sangat kuat dan keras.33 Dengan adanya bevel pada enamel
memungkinkan asam

mengenai enamel rods pada sudut yang tepat sehingga

diperoleh micromechanical interlock yang maksimal.10
Bevel didesain untuk memaparkan enamel secara melintang (cross cut atau
end-on) sehingga mendapatkan pola etsa yang lebih efektif. Pengetsaan yang

dilakukan pada enamel rods yang dipotong melintang (pada ujung – ujung enamel
rods) menghasilkan pembentukan tags yang lebih panjang sehingga ikatan menjadi

lebih kuat dibandingkan pola etsa longitudinal (pada sisi – sisi enamel rods).11
Preparasi dengan sudut 90o sangat berguna saat restorasi memerlukan pemeliharaan
struktur gigi secara maksimum. Namun, desain ini tidak mengekspos ujung – ujung
enamel rods sehingga menjadi kurang retentif. Sedangkan bevel dengan sudut 45o

paling sering digunakan. Desain ini tetap memelihara struktur alami gigi dan
mengekspos ujung – ujung enamel rods. Jika dibandingkan dengan desain preparasi
dengan sudut 900, bevel 45o memberikan penutupan yang jauh lebih baik pada enamel
terutama pada tepi gingival (Gambar 15).27 Desain ini memiliki estetis yang lebih
baik dengan menciptakan transisi permukaan dan warna yang halus antara komposit
dengan enamel. Preparasi dengan bevel juga dapat mengurangi celah mikro bila
dibandingkan dengan preparasi yang hanya dapat mengetsa sisi – sisi enamel rods
(Gambar 16).8,27
Namun, masih ada pendapat yang bertentangan mengenai preparasi dengan
bevel enamel pada tepi kavitas restorasi gigi posterior dengan resin komposit.

Menurut Hinoura (1988) cit. Albers (2002) umumnya pada preparasi yang kecil
dilakukan pembevelan pada sudut 90 derajat tepi cavosurface untuk membuka ujung ujung enamel rods. Terbukanya ujung – ujung enamel rods ini dapat menambah
perlekatan dan mengoptimalkan penutupan resin komposit dengan tepi kavitas.
Komponen horizontal dari desain ini membantu memelihara penutupan tersebut yang

Universitas Sumatera Utara

bisa saja hilang sewaktu polimerisasi resin komposit sehingga preparasi dengan bevel
pada enamel memberi penutupan tepi restorasi yang lebih baik daripada tanpa bevel.27

Gambar 15. Desain preparasi dengan sudut 90o , resin tidak dapat masuk
melalui ujung – ujung enamel rods sehingga ikatannya
lebih lemah (A) Bevel 45o mengekspos lebih banyak
enamel rods pada sudutnya (B) 27

Gambar 16. Pengetsaan ujung – ujung enamel rods yang lebih efektif,
dapat membentuk microundercuts yang lebih dalam (A)
daripada hanya sisi enamel rods yang dietsa (B).8

Bergmann et al (1990) melakukan penelitian dengan resin komposit hybrid,
hasilnya bevel pada tepi cavosurface klas I dapat mengurangi kebocoran tepi

Universitas Sumatera Utara

restorasi.12 Menurut Terry & Karl (2008) bevel pada cavosurface oklusal harus
dilakukan untuk semua preparasi kavitas klas I dan klas II. Dengan anggapan bahwa
adanya bevel sebenarnya memperluas area permukaan bonding enamel, dengan
demikian dapat mengurangi potensi terjadinya celah disepanjang tepi kavitas.13
Menurut Nisha & Amit (2010) bevel pada tepi enamel dapat menambah retensi
karena bevel akan memperluas permukaan untuk bahan bonding, mengurangi celah
mikro, meningkatkan estetis karena bevel membuat restorasi tampak menyatu dengan
struktur gigi disekelilingnya serta menambah kekuatan perlekatan.6
Sedangkan menurut Dias et al (2005) yang melakukan evaluasi efek bevel
pada restorasi resin komposit gigi – gigi molar terhadap celah mikro menyatakan
bahwa bevel pada seluruh sudut cavosurface tidak perlu dilakukan karena dapat
meningkatkan peluang adanya celah mikro disekeliling tepi restorasi.14 Theodore
(2009) bevel biasanya tidak ditempatkan pada permukaan oklusal gigi posterior atau
area lain yang berpotensi memiliki kontak yang berat karena desain preparasi
konvensional sudah cukup memberi pengetsaan pada enamel rods sesuai arah enamel
rods di permukaan oklusal. Sehingga tidak perlu membuat bevel tambahan pada tepi

oklusal karena akan ada resin komposit yang tipis pada area dengan kontak oklusal
yang berat.8 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sikri (2011) bevel pada
oklusal biasanya tidak diperlukan karena arah enamel rod dan perluasan bahan
restorasi sudah menjadi area yang cukup kuat untuk menerima tekanan.25

Universitas Sumatera Utara

2.6 Kerangka Konsep

Restorasi Klas I

Bevel Oklusal

Tanpa Bevel Oklusal

Preparasi klas I
dengan sudut bevel
45o di tepi cavosurface
oklusal
dapat
mengekspos ujung –
ujung enamel rods
secara
melintang
(cross-cut atau endon) memberikan pola
etsa yang lebih efektif
sehingga
menghasilkan ikatan
resin – enamel yang
lebih kuat.

Preparasi klas I
dengan sudut 90o
pada
tepi
cavosurface oklusal
mengekspos hanya
pada sisi – sisi
enamel rods atau
secara longitudinal
sehingga menjadi
kurang retentif.

Resin Komposit

Sistem Adhesif

Preparasi Kavitas

Methacrylate

Total
Etch

Silorane
Self Etch two Step

Self
Etch

Methacrylate

 Mengandung Silanetreated silica filler yang
dapat
menambah
kekuatan
mekanis
Silorane
 Mengandung
hydrophobic
bifunctional monomer
sehingga
memiliki
ikatan yang kuat dan
bertahan lama pada
bahan restoratif Silorane
yang bersifat hidrofobik
dan penyerapan air yang
rendah.

Silorane

Proses
polimerisasi
Silorane terjadi melalui
pembukaan reaksi cincin
kation yang menghasilkan
kontraksi polimerisasi yang
lebih rendah
dan
mengalami
pengerutan
polimerisasi kurang dari 1
% sehingga memiliki
integritas tepi yang sangat
baik dibandingkan resin
komposit
berbasis
methacrylate

Polimerisasi monomer resin

Pengerutan polimerisasi

Stress pada interface restorasi
dan gigi
Celah Mikro

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini dilakukan pada restorasi klas I resin komposit. Dalam penelitian
ini kavitas akan dibentuk sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh
Al-Boni dan Raja yaitu dengan panjang 4 mm, lebar 3 mm dan kedalaman 3 mm serta
internal line angle yang membulat. Desain kavitas yang dibentuk menggunakan dua

cara yaitu preparasi dengan bevel 45o sepanjang 2 mm pada tepi cavosurface kavitas
dan preparasi tanpa bevel atau tepi cavosurface kavitas 90o.
Beberapa penelitian mengindikasikan preparasi dengan bevel pada enamel
jauh lebih resisten terhadap celah mikro dibandingkan dengan preparasi tanpa bevel
bila menggunakan etsa asam. Etsa asam pada enamel dapat membersihkan
permukaan enamel, menambah area permukaan, dan menciptakan suatu area yang
dapat dimasuki oleh bahan bonding sehingga terbentuk permukaan yang lebih reaktif.
Dengan adanya bevel pada enamel memungkinkan asam mengenai enamel rods pada
sudut yang tepat sehingga diperoleh micromechanical interlock yang maksimal.
Bevel didesain untuk memaparkan enamel secara melintang (cross cut atau
end-on) sehingga mendapatkan pola etsa yang lebih efektif. Pengetsaan yang

dilakukan pada enamel rods yang dipotong melintang (pada ujung – ujung enamel
rods) menghasilkan pembentukan tags yang lebih panjang sehingga ikatan menjadi

lebih kuat dibandingkan pola etsa longitudinal (pada sisi – sisi enamel rods).
Preparasi dengan sudut 90o sangat berguna saat restorasi memerlukan pemeliharaan
struktur gigi secara maksimum. Namun, desain ini tidak mengekspos ujung – ujung
enamel rods sehingga menjadi kurang retentif. Sedangkan bevel dengan sudut 45o

paling sering digunakan. Desain ini tetap memelihara struktur alami gigi dan
mengekspos ujung – ujung enamel rods. Jika dibandingkan dengan desain preparasi
dengan sudut 900 , bevel memberikan penutupan yang jauh lebih baik pada enamel.
Pada penelitian ini sistem adhesif yang digunakan adalah self-etch two step
Silorane system adhesive.

Silorane System Adhesive Self-Etch Primer bersifat

hidrofilik dan memiliki adhesi yang kuat dan tahan lama terhadap gigi dan Silorane
System Adhesive Bond dioptimalkan untuk membasahi dan melekat pada bahan

restoratif posterior Silorane. Bahan restorasi yang digunakan adalah resin komposit
berbasis Silorane. Bahan dasar matriks resin yang digunakan resin komposit berbasis

Universitas Sumatera Utara

Silorane merupakan gabungan monomer siloxane dan oxirane yang mekanismenya

dapat mengurangi stress dengan cara terbukanya cincin oxirane selama polimerisasi.
Siloxane merupakan bahan yang memiliki sifat hidrofobik sehingga memiliki daya

serap air yang rendah sedangkan oxirane sangat dikenal karena penyusutannya yang
rendah dan stabilitasnya yang sangat baik terhadap pengaruh reaksi fisik dan kimia.
Ketika pengerutan polimerisasi dimulai, cincin silorane secara simultan
terbuka dan mengimbangi pengerutan bahan dengan menambah volume molekul –
molekulnya sehingga membuat bahan ini menjadi lebih padat. Resin Komposit
berbasis Silorane merupakan resin komposit pertama yang mengalami pengerutan
polimerisasi kurang dari 1 % dan memiliki integritas tepi yang sangat baik
dibandingkan resin komposit berbasis methacrylate. Sedangkan besar pengerutan
yang terjadi pada resin komposit berbasis methacrylate saat polimerisasi sebanyak 2 –
4 %. Stress yang timbul akibat pengerutan polimerisasi tersebut dapat mengganggu
perlekatan resin komposit dengan kavitas restorasi.
Polimerisasi komposit dapat dibagi kedalam dua fase yaitu pre dan post gel.
Pada fase pre gel yaitu dimana resin komposit masih berbentuk seperti pasta, polimer
reaktif resin mampu mengimbangi pengerutan tanpa menimbulkan stress. Setelah
derajat konversi mencapai 10-20% polimer resin berubah dari bentuk pasta menjadi
gel. Pada tahap ini pengerutan polimerisasi terus berlanjut dan menimbulkan stress di
dalam material resin komposit yang kemudian disalurkan pada interface restorasi dan
gigi serta di dalam struktur gigi. Stress yang timbul dapat melebihi perlekatan adhesif
dan cohesive strenght gigi atau komposit sehingga mengakibatkan kerusakan pada
tepi restorasi. Stress pengerutan dan pengerutan polimerisasi merupakan faktor utama
terjadinya celah mikro pada tepi restorasi dan menyebabkan kegagalan bahan resin
komposit di rongga mulut.
Hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan desain preparasi
klas I dengan bevel dan tanpa bevel terhadap celah mikro menggunakan resin
komposit berbasis Silorane. Dengan demikian penelitian ini dilakukan untuk melihat
pengaruh preparasi bevel pada restorasi klas I resin komposit berbasis Silorane
terhadap celah mikro (penelitian in vitro).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) dan Resin Flowable sebagai Intermediate Layer pada Restorasi Klas V Resin Komposit Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 30 96

Pengaruh Preparasi Bevel Pada Restorasi Klas I Resin Komposit Berbasis Silorane Terhadap Celah Mikro (Penelitian In Vitro)

2 6 85

Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) dan Resin Flowable sebagai Intermediate Layer pada Restorasi Klas V Resin Komposit Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 0 2

Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) dan Resin Flowable sebagai Intermediate Layer pada Restorasi Klas V Resin Komposit Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 0 4

Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) dan Resin Flowable sebagai Intermediate Layer pada Restorasi Klas V Resin Komposit Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 1 18

Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) dan Resin Flowable sebagai Intermediate Layer pada Restorasi Klas V Resin Komposit Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 1 4

Pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) dan Resin Flowable sebagai Intermediate Layer pada Restorasi Klas V Resin Komposit Terhadap Celah Mikro (In Vitro)

0 0 17

Pengaruh Preparasi Bevel Pada Restorasi Klas I Resin Komposit Berbasis Silorane Terhadap Celah Mikro (Penelitian In Vitro)

0 0 5

Pengaruh Preparasi Bevel Pada Restorasi Klas I Resin Komposit Berbasis Silorane Terhadap Celah Mikro (Penelitian In Vitro)

0 2 4

Pengaruh Preparasi Bevel Pada Restorasi Klas I Resin Komposit Berbasis Silorane Terhadap Celah Mikro (Penelitian In Vitro)

0 1 15