Karakteristik Penderita Diabetes Mellius Tipe 2 dengan Ulkus Kaki Diabetik yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2014-2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Mellitus
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2009). Sedangkan menurut
International Diabetes Federation (2015) DM adalah suatu kondisi kronis yang
terjadi ketika tubuh tidak bisa menghasilkan cukup insulin atau tidak dapat
menggunakan insulin yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa
darah.
Insulin adalah suatu hormon pencernaan, yang dihasilkan oleh kelenjar
pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula kedalam sel tubuh untuk
digunakan sebagai sumber energi. Pada pengidap DM, insulin yang dihasilkan
tidak mencukupi sehingga gula menumpuk dalam darah. Hal ini menimbulkan
risiko terjadinya kerusakan berbagai jaringan dan organ dalam tubuh dan bisa
menyebabkan komplikasi yang dapat mengancam kesehatan (Agoes, dkk, 2010).
2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
2.2.1

Definisi
Diabetes tipe 2 adalah jenis yang paling umum dari diabetes lainnya.


Biasanya terjadi pada orang dewasa, tetapi saat ini semakin terlihat pada anakanak dan remaja. Pada diabetes tipe 2, tubuh mampu memproduksi insulin tetapi
tubuh tidak mampu memanfaatkannya secara efisien sehingga terjadi resisten
insulin. Resistensi insulin dan defisiensi menyebabkan tingginya kadar glukosa
darah. Banyak orang dengan diabetes tipe 2 tidak menyadari kondisi mereka

9
Universitas Sumatera Utara

10

untuk waktu yang lama karena gejala biasanya tidak jelas dari pada diabetes tipe 1
sehingga pasien penderita diabetes tipe 2 butuh waktu bertahun-tahun untuk
menyadari adanya penyakitnya. Padahal, selama ini tubuh sudah rusak oleh
glukosa darah yang berlebih. Akibatnya, banyak orang yang sudah memiliki
komplikasi ketika mereka didiagnosis dengan diabetes tipe 2 (IDF, 2015).
Meskipun penyebab pasti diabetes tipe 2 masih belum diketahui, ada
beberapa faktor risiko penting, yaitu kelebihan berat badan, aktivitas fisik yang
rendah dan diet yang tidak sehat. Faktor-faktor lain yang berperan adalah sejarah
etnis, keluarga diabetes, sejarah masa lalu dari diabetes gestational dan usia lanjut.

Berbeda dengan penderita diabetes tipe 1, penderita diabetes tipe 2 tidak
memerlukan setiap hari pengobatan insulin untuk bertahan hidup. Landasan
pengobatan diabetes tipe 2 adalah gaya hidup sehat, meningkatkan aktivitas fisik
dan pemeliharaan berat badan yang normal. Jika kadar glukosa darah terus
meningkat penderita diabetes tipe 2 dapat diresepkan insulin. Jumlah orang
dengan diabetes tipe 2 berkembang pesat di seluruh dunia. Kenaikan ini terkait
dengan peningkatan populasi, perkembangan ekonomi, peningkatan urbanisasi,
diet yang buruk dan aktifitas fisik yang rendah (IDF, 2015).
2.2.2

Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
Proses pencernaan dan pengolahan bahan makanan dimulai di mulut

kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan
makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi
glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Didalam
tubuh, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses metabolisme, dan

Universitas Sumatera Utara


11

hasil akhirnya timbulnya energi. Insulin bertugas memasukkan glukosa ke dalam
sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar (Suyono,dkk, 2013).
Insulin memainkan peranan sebagai transportasi untuk menghantar
glukosa memasuki ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan kekurangan
glukosa untuk digunakan sebagai sumber energi meskipun adanya glukosa di
dalam aliran darah. Akhirnya, glukosa yang lebih ini atau glukosa yang tidak
digunakan ini akan diekskresikan dalam urin (Suyono,dkk, 2013).
Selain membantu glukosa memasuki sel-sel, insulin juga penting dalam
mengatur tingkat glukosa dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah akan
meningkat, untuk mengatasi peningkatan kadar glukosa, pankreas biasanya
melepaskan lebih banyak insulin ke dalam aliran darah untuk membantu glukosa
memasuki sel-sel dan menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Ketika
kadar glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin dari pankreas dihentikan.
Dalam DM tipe II, pasien dapat memproduksi insulin, tetapi tidak dapat
menggunakannya secara adekuat, terutama pada pasien yang mengalami resistensi
insulin (Suyono,dkk, 2013).
2.2.3


Gejala Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Mellitus sering muncul tanpa gejala. Kecurigaan adanya DM

perlu dipikirkan apabila terdapat gejala klasik DM seperti dibawah ini
(PERKENI, 2011):
a.

Gejala klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Universitas Sumatera Utara

12

b.

Gejala lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria serta pruritas vulvae pada wanita.

2.2.4


Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2
Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan hasil identifikasi

adanya hiperglikemia kronik. World Health Organization (WHO) dan American
Diabetes Association (ADA) telah menetapkan bahwa diabetes diindikasikan bila
nilai glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose, FPG) lebih atau sama dengan
7 mmol/L. Hal ini berawal dari hasil studi epidemiologi tahun 1990-an yang
menunjukkan bahwa risiko komplikasi mikrovaskuler (seperti retinopati)
meningkat secara drastis dengan nilai ambang FPG 7 mmol/L. Satu bukti bahwa
diagnostik diabetes ditegakkan dari nilai HbAIC >6,5% (48 mmol/mol) dapat
dilihat dari retinopati moderat, yang dalam penelitian terkini angkanya jarang
berada dibawah nilai ambang tersebut (Bilous dan Richard, 2014).
Menurut American Diabetes Association (2015) terdapat beberapa cara
untuk mendiagnosis diabetes, yaitu:
a. HbA1C ≥6,5%
b. Kadar glukosa puasa plasma acak (sewaktu-waktu) ≥200 mg/dL pada
individu yang memiliki gejala khas diabetes
c. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL)
d. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dL) 2 jam setelah glukosa diberikan

sebanyak 75 g per oral (oral glucosa tolerance test, OGTT).

Universitas Sumatera Utara

13

Glukosa darah diikat pada molekul hemoglobin (Hb). Ini disebut HbA1c,
yang merupakan singkatan dari Glycolated Hemoglobin atau Glycosylated
Hemoglobin dan sering juga disebut Glycohemoglobin atau A1c.
Manfaat HbA1c selama ini lebih banyak dikenal untuk menilai kualitas
pengendalian glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas terapi, namun
beberapa studi terbaru mendukung pemanfaatan HbA1c yang lebih luas, bukan
hanya untuk pemantauan, tetapi juga bermanfaat dalam diagnosis ataupun
skrining diabetes melitus tipe 2. Hemoglobin A1c telah digunakan secara luas
sebagai indikator kontrol glikemik, karena mencerminkan konsentrasi glukosa
darah 1-2 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum
pengambilan sampel darah (Paputungan dan Harsinen, 2014)
Pada beberapa keadaan, HbA1c tidak dapat mencerminkan kontrol
glukosa darah. Hal ini penting diketahui karena dapat menyebabkan under atau
over treatment. Yang dapat meningkatkan kadar HbA1c dari nilai sebenarnya

adalah: anemia defisiensi besi, usia, polisitemia rubra vera, kehamilan trimester
kedua, kadar ureum darah yang tinggi, HbF atau HbG, hipertrigliseridemia berat,
hiperbilirubinemia, konsumsi alkohol berlebihan, splenektomi, anemia aplastik,
penggunaan salisilat dosis tinggi dalam jangka panjang (Paputungan dan
Harsinen, 2014).
Kebanyakan negara tidak mempunyai kebijakan skrining yang sistematik
untuk diabetes sehingga diperkirakan hingga 50% pasien diabetes tidak
terdiagnosis. Skrining sewaktu-waktu terhadap kelompok risiko tinggi menjadi
lebih sering dilakukan. Pengukuran glukosa plasma puasa atau FPG murah dan

Universitas Sumatera Utara

14

cepat, namun tidak dapat digunakan untuk penderita hiperglikemia pascaterapi
yang diisolasi. Nantinya, HbA1C akan semakin banyak digunakan untuk skrining
dan diagnosis. Kebijakan skrining sebaiknya ditargetkan untuk kelompok risioko
tinggi (Bilous dan Richard, 2014).
Pasien risiko tinggi yang sebaiknya di skrining per tahun untuk diabetes
tipe 2 yaitu:

a. Sindrom metabolik
b. Pasien berusia lebih dari 45 tahun, terutama pasien obesitas
c. Pasien yang memiliki orang tua atau saudara kandung yang menderita
diabetes tipe 2
d. Pasien yang mempunyai faktor risiko kardiovaskuler, seperti hipertensi
atau dislipedemia, dan pasien penyakit aterosklerosis
e. Wanita yang pernah menderita diabetes gestasional
f. Wanita yang menderita sindrom ovarium polikistik
g. Pasien IFG (Impaired Fasting Glicaemia) atau IGT (Impaired Glucose
Tolerance)
2.2.5

Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan

komplikasi

akut

hiperglikemia,


dan

kronis.

Ketoasidosis

Komplikasi

Diabetik

akut

(KAD)

dan

termasuk
Status


hipoglikemia,
Hiperglikemik

Hiperosmolar (HHS). Terjadinya hipoglikemia menunjukkan ketidaksesuaian
pemberian insulin terhadap konsumsi makanan dan pemakaian energi.
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah 2 cm, infeksi subcutan. Tidak ada infeksi sistemik
4 : Infeksi sistemik
S : Sensasi
1. Tak ada gangguan sensasi
2. Ada gangguan sensasi
Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih
dominan, vaskular, infeksi, atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat
tertuju dengan lebih baik (Waspadji, 2009).
2.3.4

Diagnosis Ulkus Kaki Diabetik
Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti. Diagnosis kaki

diabetik ditegakkan oleh riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang (Sari, 2012).

a.

Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi : lama diabetes; managemen
diabetes dan kepatuhan terhadap diet, olahraga dan obat-obatan; evaluasi dari
jantung, ginjal dan mata; alergi; pola hidup, medikasi terakhir; kebiasaan
merokok dan minum alkohol. Selain itu, yang perlu diwawancara adalah
tentang pemakaian alas kaki, pernah terekspos dengan zat kimia, adanya
kallus dan deformitas, gejala neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau
ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi,
ukuran, dan kedalaman, penampakan ulkus, temperatur dan bau.

Universitas Sumatera Utara

23

b.

Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status kulit
seperti warna, turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan
ulserasi; ada kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki.
Inspeksi pada otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas
pada kaki membentuk clawtoe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi;
tendon; cara berjalan; kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen ditambah
dengan tunningfork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki untuk
mengukur getaran, tekanan dan sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada
arteri kaki, capillary refilingl time, perubahan warna, atropi kuit dan kuku
dan pengukuran ankle-brankhial index
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman,
tipe sepatu dan ukurannya.

c.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis pasien,

yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau sewaktu,
glycohemoglobin (HbA1c), Complete blood Count (CBC), urinalisis, dan lainlain.

Universitas Sumatera Utara

24

d.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi X-ray, EMG dan pemeriksaan laboratorium

untuk mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan menentukan kuman
penyebabnya.
2.3.5

Gejala Ulkus Kaki Diabetik
Tanda dan gejala ulkus kaki diabetika yaitu sering kesemutan, nyeri kaki

saat istirahat, sensasi rasa berkurang. kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan
denyut nadi arteri dorsalis pedis/tibialis/poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan
kuku menebal serta kulit kering (Hastuti, 2008).
2.4 Epidemiologi Ulkus Kaki Diabetik
2.4.1
a.

Distribusi dan Frekuensi

Menurut Orang
Hasil laporan lembaga penelitian kesehatan dan kualitas dunia pada

penderita DM yang menerima pelayanan medis prevalensi penderita ulkus kaki
diabetik berdasarkan usia pada tahun 2008 paling banyak pada interval usia >95
tahun (15,0%), berdasarkan jenis kelamin paling banyak diderita laki-laki (8,2%)
dibandingkan dengan perempuan (7,2%), sedangkan berdasarkan etnik, yang
paling banyak terdapat pada etnik Indian Amerika/Alaska (9,6%) (AHRQ, 2011).
Berdasarkan penelitian Kambuaya di RSUD Dok II Jayapura pada tahun
2012, didapatkan jumlah penderita ulkus kaki diabetik berusia di bawah 50 tahun
sebanyak 37,5%, usia 50-59 tahun sebanyak 41,7% dan sisanya sebanyak 20,8%
berusia di atas 60 tahun, berdasarkan jenis kelamin jumlah penderita dengan jenis

Universitas Sumatera Utara

25

kelamin perempuan memiliki persentase lebih tinggi, yaitu 58,3% dibandingkan
dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 41,7%.
Berdasarkan penelitian Purwanti (2013) responden yang mengalami ulkus
kaki diabetik sebanyak 35,3% berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan
sebanyak (64,7%). Berdasarkan lama menderita DM, responden yang menderita
DM lebih atau sama dengan 5 tahun mengalami ulkus lebih banyak sebanyak
(70,6%) sedangkan yang tidak mengalami ulkus hanya 55,9%.
b. Menurut Tempat
Prevalensi penderita ulkus kaki diabetik berdasarkan studi berbasis
populasi di United Kingdom sebanyak 5,5% pada penduduk Eropa kulit putih,
penduduk Asia Selatan 1,8% dan penduduk Afrika Caribia sebanyak 2,7%.
Sedangkan di USA prevalensi penderitanya sebanayak 11,8% (Zubair, et al,
2015).
Penderita DM lebih berisiko amputasi 15 kali dibandingkan non DM.
Diperkirakan 65 amputasi kaki disebabkan oleh diabetes setiap minggu di
Australia, selain itu penyakit kaki diabetik adalah penyebab paling umum
penderita diabetes masuk rumah sakit. Kemungkinan 38 kali lebih berisiko pada
orang Aborigin dibandingkan non-orang Aborigin (umur 25-49 tahun). Hingga 85
persen dari semua komplikasi kaki diabetik dapat dicegah dengan pendidikan dan
peningkatan kesadaran perawatan kaki diabetes (NDSS, 2011).
Berdasarkan Studi Global Amputasi Ekstremitas Bawah melaporkan tingkat
amputasi di tungkai bawah pada pasien diabetes tingkat terendah 2,8 per 100.000
orang per tahun di Madrid, sedangkan Spanyol tertinggi tingkat amputasi

Universitas Sumatera Utara

26

sebanyak 43,9 per 100.000 per tahun. Salah satu faktor risiko yang menyebabkan
kejadian amputasi adalah hiperglikemia kronis (Zubair, et al, 2015).
c.

Menurut Waktu
Prevalensi penderita ulkus kaki diabetik menurut lembaga penelitian

kesehatan dan kualitas pada pasien diabetes penerima pelayanan kesehatan pada
tahun 2006 dan 2007 sebanyak 8,1% sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 8,0%.
Prevalensi penderita yang mengalami amputasi ekstremitas bawah pada tahun
2006-2008 sebanyak 1,8% (AHRQ, 2011).
Berdasarkan laporan American Diabetes Association pada tahun 2010 di
Amerika, sekitar 60% dari 73.000 penderita diabetes non-traumatik mengalami
amputasi tungkai bawah pada usia >20 tahun.
2.4.2

Faktor Risiko Ulkus Kaki Diabetik
Faktor risiko terjadinya kaki diabetik terdiri atas:

a.

Usia
Umur ≥ 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus diabetika karena pada

usia tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi
penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh
terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal (Hastuti, 2008).
b.

Durasi penyakit Diabetes Melitus yang lama
Lamanya durasi DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang lama.

Keadaan hiperglikemia yang terus menerus menginisiasi terjadinya hiperglisolia
yaitu keadaan sel yang kebanjiran glukosa. Hiperglosia kronik akan mengubah
homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya

Universitas Sumatera Utara

27

perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik DM. Seratus pasien penyakit
DM dengan ulkus diabetikum, ditemukan 58% adalah pasien penyakit DM yang
telah menderita penyakit DM lebih dari 10 tahun (Roza, dkk, 2015).
c.

Neuropati
Neuropati menyebabkan gangguan saraf motorik, sensorik dan otonom.

Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan
biomekanika kaki dan distribusi tekanan kaki terganggu sehingga menyebabkan
kejadian ulkus meningkat. Gangguan sensorik disadari saat pasien mengeluhkan
kaki kehilangan sensasi atau merasa kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma yang
terjadi pada pasien penyakit DM sering kali tidak diketahui. Gangguan otonom
menyebabkan bagian kaki mengalami penurunan ekskresi keringat sehingga kulit
kaki menjadi kering dan mudah terbentuk fissura. Saat terjadi mikrotrauma
keadaan kaki yang mudah retak meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum.
Menurut Boulton AJ pasien penyakit DM dengan neuropati meningkatkan risiko
terjadinya ulkus diabetikum tujuh kali dibanding dengan pasien penyakit DM
tidak neuropati (Roza, dkk, 2015).
d.

Penyakit arteri perifer
Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di ektremitas

bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis yang sering ditemui
pada pasien PAD adalah klaudikasio intermitten yang disebabkan oleh iskemia
otot dan iskemia yang menimbulkan nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan
mencapai klimaks sebagai ulserasi dan gangren. Pemeriksaan sederhana yang
dapat dilakukan untuk deteksi PAD adalah dengan menilai Ankle Brachial Indeks

Universitas Sumatera Utara

28

(ABI) yaitu pemeriksaan sistolik brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai
sistolik yang paling tinggi dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di
tungkai. Nilai normalnya dalah O,9 - 1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan
bawah pasien penderita DM memiliki penyakit arteri perifer (Roza, dkk, 2015).
e.

Kontrol glikemik buruk
Kadar glukosa darah tidak terkontrol ( GDP > 100 mg/dl dan GD2JPP >

144 mg/dl) akan mengakibatkan komplikasi kronik jangka panjang, baik
makrovaskuler maupun mikrovaskuler salah satunya yaitu ulkus diabetika
(Hastuti, 2008).
f.

Perawatan kaki
Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua orang

dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral Artery disease (PAD).
Menurut penelitian Purwanti OK perawatan kaki terdiri dari perawatan perawatan
kaki setiap hari, perawatan kaki reguler, mencegah injuri pada kaki, dan
meningkatkan sirkulasi (Roza, dkk, 2015).
g.

Penggunaan alas kaki yang tidak tepat
Penderita diabetes tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena tanpa

menggunakan alas kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma yang
mengakibatkan ulkus diabetika, terutama apabila terjadi neuropati yang
mengakibatkan sensasi rasa berkurang atau hilang (Hastuti, 2008).

Universitas Sumatera Utara

29

2.5 Pencegahan Ulkus Diabetik
2.5.1

Pencegahan Primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabtes sangat penting untuk

pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan pada setiap
kesempatan pertemuan dengan penyandang DM, dan harus ditingatkan kembali
tanpa bosan. Berbagai kejadian/tindakan kecil yang tampak sepele dapat
mengakibatkan kejadian yang fatal. Demikian pula pemeriksaan yang tampaknya
sepele dapat memberikan manfaat yang sangat besar (Waspadji, 2009).
Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan berdasarkan risiko
terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki
diabetes berdasar risiko terjadinya masalah (Freyberg): 1)sensasi normal tanpa
deformitas; 2)sensasi normal dengan deformitasatau tekanan plantar tinggi;
3)insensitivitas

tanpa

5)kombinasi/complicated;

deformitas;

4)iskemia

tanpa

(a)kombinasi

insensitivitas,

iskemia

deformitas;
dan/atau

deformitas, (b)riwayat adanya tukak, deformitas Charchot (Waspadji, 2009).
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut: Untuk kaki
yang kurang merasa/insentif (kategori 3 dan 4), alas kaki perlu diperhatikan benar,
untuk melindungi kaki yang insentif tersebut. Kalau sudah ada deformitas
(kategori risiko 2 dan 5), perlu perhatian khusus mengenai sepatu/alas kaki yang
dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan
kategori risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki perlu diperhatikan benar
untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated, tentu saja

Universitas Sumatera Utara

30

semua usaha dana seyogyanya perlu dikerahkan untuk mencoba menyelamatkan
kaki (Waspadji, 2009).
2.5.2

Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerja sama multidisipliner sangat

diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil
pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semua harus
dikelola bersama:
a.

Metabolic Control (Kontro Metabolik)
Pengendalian keadaan metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian

kadar glukosa darah, lipid dan sebagainya (PERKENI, 2011). Konsentrasi glukosa
darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai
faktor terkait hiperglikemia yang dapat mengahambat penyembuhan luka.
Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentrasi glukosa darah.
Status nutrisi juga harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik jelas
membantu kesembuhan luka (Waspadji, 2009).
b.

Vascular Control (Kontrol Vaskular)
Perbaikan suplai vaskular (dengan operasi atau angioplasti), biasanya

dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik (PERKENI, 2011). Keadaan vaskular
yang buruk akan menghambat kesembuhan luka.
c.

Infection Control-Microbiological Control
Pengobatan infeksi secara agresif, jika terlihat tanda klinis infeksi (indikasi

adanya kolonisasi dari pertumbuhan organisme pada hasil usap bukan merupakan
infeksi, jika tidak terdapat tanda klinis) (PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

31

Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap
daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan
hasil biakan kuman dan resistensinya. Pemberian antibiotik harus diberikan
antibiotik dengan spectrum luas, mencakup kuman gram positif dan negatif
(seperti misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang
bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol) (Waspadjl,
2009).
Berbagai bakteri yang sering menjadi penyebab terjadinya infeksi pada
ulkus kaki diabetik adalah gabungan antara bakteri gram positip dan gram negatif.
Menurut Leicter dkk dalam Aulia (2008) penyebab ulkus kaki diabetik 72%
adalah gram positif (Staphylococcus aureus 45%, Streptococcus sp 27%) dan 49%
adalah disebabkan oleh bakteri gram negatif (Proteus sp 23%, Pseudomonas sp
26%).
Sedangkan menurut Manchester UK dalam Aulia (2008) menjumpai 56,7%
infeksi

gangren

diabetik

disebabkan

oleh

kuman

gram

positif

aerob

(Staphylococcus sp 30,4%, Streptococcus sp 23,65%), kuman gram negatip aerob
29,8% (Pseudomonas sp 20,8%, Proteus sp 9%) dan 13,5% disebabkan oleh
kuman anaerob (Bakterioides fragilis)
d.

Wound Control
Pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara teratur. Perawatan

luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan
dengan baik dan teliti. Debridement yang baik dan adekuat tentu akan sangat
membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan

Universitas Sumatera Utara

32

demikian tentu akan sangat mengurangi produksi pus/cairan dari ulkus/gangren.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer dan senyawa silver
sebagai bagian dari dressing (Waspadjl, 2009).
Berdasarkan pembagian kaki diabetik oleh Wagner, maka tindakan
pengobatan atau pembedahan luka dapat ditentukan sebagai berikut:
1) Derajat 0

: perawatan lokal secara khusus tidak ada

2) Derajat I-IV

: pengelolaan medik dan tindakan bedah minor

3) Derajat V

: tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan
tindakan bedah mayor seperti amputasi diatas lutut atau
amputasi bawah lutut.

Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki
diabetik ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :
1) Insisi : abses atau selullitis yang luas
2) Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
3) Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan V
4) Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
5) Amputasi : pada kaki diabetik derajat V
e.

Pressure Control (Mengurangi Tekanan)
Tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus

dihindari. Hal itu sangat penting dilakukan pada ulkus neuropatik dan diperlukan
pembuangan kalus dan memakai sepatu yang pas yang berfungsi untuk
mengurangi tekanan (PERKENI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

33

f.

Educational Control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes.

Dengan penyuluhan yang baik. Penyandang DM dan ulkus/ganggren diabetik
maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai
tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.
2.5.3

Pencegahan Tersier
Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting yang harus

dilaksanakan untuk pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak pencegahan
terjadinya ulkus diabetik dan kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli
rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk mengurangi kecacatan yang mungkin
timbul pada pasien. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh
sesudah amputasi, untuk memberikan bantuan bagi para amputee menghindari
terjadinya ulkus baru. Pemakaian alas kaki/sepatu khusus untuk mengurangi
tekanan plantar akan sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus
yang terjadi berikutnya akan memberikan prognosis yang jauh lebih buruk
daripada ulkus yang pertama (Waspadji, 2009).

Universitas Sumatera Utara

34

2.6 Kerangka Konsep
Karakteristik Penderita DM Tipe 2 dengan Ulkus Kaki Diabetik
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis kelamin
Suku
Agama
Pekerjaan
Pendidikan
Daerah asal
2. Derajat ulkus kaki diabetik
3. Pemeriksaan bakteriologis
4. Jenis bakteri
5. Kadar glukosa darah sewaktu
6. Terapi pengobatan
7. Sumber biaya
8. Lama rawatan rata-rata
9. Keadaan sewaktu pulang

Universitas Sumatera Utara