Hemodiafiltrasi 055 . (1.135Mb)

HEMODIAFILTRASI
Abdurrahim R Lubis, Harun R Lubis, Ricky Rivalino Sitepu
Divisi Nefrologi-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan
Sejak terapi dialisis mulai dikenal, para ahli telah mencoba untuk menggabungkan teknik
difusi dan konveksi dalam upaya untuk menggantikan fungsi ginjal. Teknik difusi sendiri
telah dikenal industri kimia sejak lama yang sebagai teknik pertukaran zat-zat kimia yang
efisien [1]. Pada perkembangan selanjutnya, teknik konveksi mulai diperkenalkan setelah
menunjukkan keuntungan yang potensial dalam mengobati pasien dengan penyakit ginjal
[2]. Pada awalnya, teknik konveksi pada ultrafiltrasi (UF) hanya digunakan untuk
mengobati pasien yang overhidrasi. Pada perkembangan selanjutnya, ultrafiltrasi
kemudian juga digunakan dalam pembersihan zat-zat terlarut pada dialisis. Hal ini terjadi
oleh karena fenomena “solvent drag” yang dihasilkan pada teknik konveksi [3].
Kombinasi difusi dan konveksi dalam mencapai pemurnian darah yang efisien dan
memadai menghasilkan penemuan teknik gabungan yang disebut hemodiafiltration
(HDF) [4]. Reading assignment ini akan meringkas sejarah dan perkembangan teknologi,
evolusi HDF dari seluruh berbagai modalitas, dan akhirnya studi klinis terbaru yang
menunjukkan bahwa HDF dapat menjadi standar emas baru sebagai terapi pengganti
ginjal.


Definisi
HDF adalah teknik penggantian ginjal extrakorporal menggunakan membran yang sangat
permeabel dimana hemodialisis (difusi) dan hemofiltration (konveksi) dikombinasikan
untuk meningkatkan pembersihan zat terlarut pada spektrum berat molekul yang luas.
Modalitas yang berbeda dari HDF saat ini telah diterapkan dalam praktek klinis, namun
pada dasarnya terapi tersebut adalah kombinasi dari difusi dan konveksi untuk mencapai
hasil yang optimal [4].

Gambar 1. Secara definisi, hemodiafiltrasi merupakan terapi pengganti ginjal yang menggabungkan
hemodialysis (difusi) dan hemofiltrasi (konveksi)

Sejarah
Pada masa awal dialisis diperkenalkan, beberapa pelopor mulai menganalisis potensi
penggunaan beberapa proses pemisahan masa untuk mencapai pemurnian darah. Pada
tahun 1967, Henderson [3] menerbitkan artikel pertama tentang penggunaan ultrafiltrasi
dan penggantian cairan (diafiltrasi) sebagai metode pembersihan darah. Pada tahun 1969,
Miller et AL [5] menunjukkan kelayakan diafiltration sebagai terapi penggamti ginjal.
Pada tahun 1977 untuk pertama kalinya, istilah HDF digunakan oleh Leber et al [6].
Metode dialisis yang tergolong baru ini terdiri dari kombinasi hemofiltration (HF) dan

hemodialisis konvensional (HD) menggunakan membran high-flux dengan tekanan
transmembran dari 300 hingga 500 mmHg dan laju aliran dialisat pada 900 mL/menit.
Oleh karena kombinasi perpindahan masa secara konvektif dan difusi, nilai clearance dari
molekul kecil dan besar secara signifikan lebih tinggi daripada HF atau HD saja dengan
menggunakan membran yang sama. Pengurangan air pada pasien overhydrated pun lebih
dapat ditoleransi. Setidaknya terdapat 2 keuntungan dari HDF, diantaranya: (1) dapat
dengan mudah mengurangi kelebihan cairan dari pasien dan (2) pembersihan zat terlarut
dalam spektrum berat molekul yang lebih luas. Pada tahun 1977, Kunitomo et al [7]
menunjukkan kelayakan HDF dengan inovasi teknologi yang lebih lanjut, termasuk
diantaranya sistem laju UF yang dapat dikontrol, hollow fiber dialyzer yang sangat
permeabel, dan kantong cairan pengganti. Kemajuan ini dimungkinkan penyebaran

teknik yang mendapatkan popularitas di Eropa dan membuka jalan untuk teknologi
modern HDF dan aplikasinya sebagai terapi rutin pengganti ginjal [8].

Mekanisme Pembersihan Zat Terlarut pada Hemodiafiltrasi
Sesuai dengan definisi yang telah dijabarkan, HDF menggunakan kombinasi difusi dan
konveksi dalam membersihkan zat-zat terlarut di dalam darah. Pembuangan zat terlarut
pada proses difusi memerlukan adanya cairan dialisate yang mengalir berlawanan dengan
aliran darah. Sedangkan pada proses konveksi, cairan pengganti diperlukan untuk

menggantikan cairan tubuh yang hilang. Besarnya cairan pengganti tubuh yang
diperlukan bergantung oleh ada tidaknya overload cairan pada pasien. Cairan pengganti
dapat dialirkan ke dalam darah sebelum masuk ke filter (predilution), setelah darah
keluar dari filter (postdilution), atau dapat diberikan ke dalam filter. Cairan pengganti
tubuh tersebut nantinya akan bercampur dengan darah, oleh karenanya cairan tersebut
haruslah steril dan mempunyai komposisi yang sesuai dengan plasma darah. Cairan
pengganti tubuh dapat berupa cairan infus seperti NaCl 0.9%, Ringer-Laktat (RL),
Dextrose, dan lain-lain [9].
a. Difusi [10]
Pada HDF maupun HD, terdorongnya zat terlarut melawati membran permeable
pada proses difusi disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut
di dalam darah dengan cairan dialisis. Tingginya laju difusi tergantung pada
ukuran molekul dan adanya resistansi. Resistansi aliran zat terlarut disebabkan
oleh membran permeable itu sendiri. Jarak yang ditempuh oleh darah dan
diameter rongga serat pada filter juga memainkan peranan dalam resistansi
(gambar 2). Oleh karenanya molekul-molekul kecil mempunyai laju difusi yang
tinggi dibandingkan dengan molekul-molekul yang lebih besar. Karakteristik
dialiser dalam proses difusi dapat dinyatakan dalam K0A, disebut dengan
koefisen luas area perpindahan masa, dimana proses pembersihan zat pada laju
aliran tertentu (K0) tergabung dengan luas permukaan (A).


Gambar 2. Proses difusi terjadi dimana perpindahan zat terlarut melewati membran permeable
dari area dengan konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah.

Untuk memaksimalkan transportasi zat terlarut pada proses difusi secara klinis,
diperlukan laju aliran darah dan cairan dialisis yang tinggi untuk mempertahankan
konsentrasi gradien yang besar. Tingginya aliran darah hendaknya dengan sesuai
dengan kondisi vena akses pada pasien. Secara praktis terdapat aturan yang bahwa
aliran darah sebaiknya berbanding 1:2 dengan aliran dialisat. Namun hasil yang
optimal masih dapat diperoleh pada laju aliran yang rendah dengan menggunakan
dialiser modern [11]. Di antara tiga parameter—laju aliran darah, laju aliran
dialisat, dan luas permukaan dialiser—parameter yang berhubungan dengan
pasien sebaiknya dapat diatur oleh pengendali mesin.

b. Konveksi [10]
Proses konvektif pada dialisis ialah pergerakan pasif zat terlarut mengikuti aliran
fluida melintasi membran permeabel yang disebabkan oleh adanya perbedaan
tekanan gradient dari dalam darah (gambar 3). Aliran fluida melintasi membran
permeabel disebut juga dengan ultrafiltrasi. Tingkat ultrafiltrasi dipengaruhi oleh
2 faktor yaitu permeabilitas membran dan tekanan hidrostatik darah, yang

tergantung pada aliran darah. Permeabilitas membran terhadap zat terlarut, atau
sieving properties, ditentukan oleh ukuran pori-pori pada membran yang
menetapkan batas zat terlarut yang dapat diseret (solvent drag) melintasi
membran oleh aliran fluida.

Gambar 3. Pada proses konveksi/ultrafiltrasi, zat terlarut berpindah dari area yang betekanan
tinggi ke area yang bertekanan rendah melalui membran permeabel.

Proses konveksi persis dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam ginjal normal
manusia. Konveksi sangat efektif dalam menurunkan jumlah cairan dalam tubuh
dan molekul berukuran kecil-menengah yang diduga menyebabkan uremia. Selain
itu, proses ini juga dapat memperbaiki kondisi pasien dengan sepsis oleh karena
sebagian besar sitokin yang terlibat dalam sepsis merupakan "molekul berukuran
menengah".

Hemodialisis merupakan contoh yang baik dari terapi difusi. Pada HD, membran lowflux digunakan karena memiliki permeabilitas difusi yang tinggi. Hal ini memungkinkan
zat terlarut bermolekul kecil bergerak bolak-balik melintasi membran dengan mudah
sesuai dengan gradien konsentrasi mereka masing-masing. Namun, transportasi zat
terlarut bermolekul sedang dan besar, dan aliran air yang tinggi tidak dapat dicapai
dengan membran low-flux. Oleh karena itu, jumlah transportasi zat terlarut dan pelarut

yang dicapai oleh transportasi konvektif sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Hasil
yang optimal dapat dicapai dengan meningkatkan laju aliran darah dan laju aliran dialisat
dan juga luas permukaan dialiser. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan penghapusan zat
terlarut kecil seperti urea dan kreatinin, sementara itu memiliki sedikit efek pada zat
terlarut yang lebih besar seperti SS2-mikroglobulin [12]].

Hemofiltrasi adalah terapi di mana pembersihan zat terlarut bergantung sepenuhnya pada
konveksi. Bila diterapkan dengan menggunakan laju aliran darah yang tinggi dan volume
ultrafiltrasi yang besar, terapi ini dapat membersihkan molekul berukuran sedang dan
besar secara signifikan [13]. Konveksi pada hemofiltrasi juga menurunkan jumlah cairan
pada pasien dengan overload cairan. Meskipun demikian sering kali jumlah cairan yang
disaring oleh ultrafiltrasi melebihi batas yang diinginkan, oleh karenanya aliran infus
harus selalu diberikan secara predilution atau postdilution untuk mencegah terjadinya
syok. Untuk meningkatkan efisiensi HF, laju aliran ultrafiltrasi yang lebih tinggi harus
dihasilkan dan ini memerlukan kecepatan aliran darah yang lebih tinggi dan kadangkadang juga luas permukaan membran yang lebih besar. Hasilnya akan terlihat pada
peningkatan clearance berbagai zat terlarut [14].

Gambar 4. Perbedaan mekanism penyaringan pada hemodialisis dan hemofiltrasi. Pada hemodialisis
terjadi perpindahan molekul secara difusi. Sedangkan hemofiltrasi menggunakan proses konveksi untuk
menyeret zat terlarut (solvent drag) ke arah filtrasi.


Pada Hemodiafiltrasi, proses difusi dan konveksi terjadi secara bersamaan, tetapi efek
dari kedua proses tidak hanya bersifat aditif melainkan juga bersifat saling
mengintervensi satu sama lain. Difusi mengurangi konsentrasi molekul-molekul kecil,
menyisakan sedikit yang selanjutnya dibersihkan oleh proses konvektif. Konveksi juga
mengurangi aliran darah sehingga mendorong untuk terjadinya difusi. Proses konveksi

memiliki nilai terbatas dalam pembersihan molekul-molekul kecil, meskipun demikian,
proses ini penting dalam pembersihan molekul-molekul besar (Gambar 5) [13].

Gambar 5. Clearance pada urea (MW = 60), vitamin B12 (MW = 1 355) dan inulin (MW = 5 000)
mengilustrasikan dampak dari meningkatnya proses konveksi (hitam) pada difusi (abu-abu). Proses terjadi
pada HDF dengan tingkat aliran darah 300 ml/min. Terlihat bahwa semakin tinggi tingkat ultrafiltrasi,
semakin tinggi pula proses konveksi dan semakin rendah proses difusi [13].

Statistik menunjukkan bahwa 40-50 % dari tingkat ultrafiltrasi merupakan clearance
konvektif yang dapat digabungkan oleh difusi [15] . Keseimbangan antara difusi dan
konveksi dapat diatur melalui parameter yang dapat dikendalikan. Konveksi biasanya
diprioritaskan, dan ini dicapai dengan mengatur parameter ultrafiltrasi secara maksimal.
Menemukan tingkat UF yang optimal membutuhkan perawat yang berpengalaman, dan

pada kenyataannya, banyak perawatan HDF dioperasikan di bawah kondisi suboptimal
untuk menghindari berbunyinya alarm transmembrane pressure gradient (TMP) dan
menghemat waktu keperawatan. Salah satu cara yang efisien ialah dengan membiarkan
mesin mengendalikan tingkat UF memilih dan menyesuaikan secara TMP otomatis [16].

Membran
Membran permeable pada dializer berfungsi menyaring zat-zat terlarut pada darah dan
menahan darah untuk tetap pada alirannya kembali ke dalam tubuh. Hal ini membuat

membran permeable menjadi faktor terpenting dalam terapi pengganti ginjal
ektrakorporal. Terdapat 2 ukuran pori yang berbeda pada membran dialyzer. Membran
dengan ukuran pori yang lebih kecil disebut dengan "low-flux" dan membran dengan
ukuran pori yang lebih besar disebut dengan "high-flux”. Kedua membran tersebut
memiliki struktur dan penggunaannya yang berbeda dalam modalitas pengganti ginjal
extrakorporal.
Istilah 'flux' mengacu pada permeabilitas membran dialyser yang dapat dilewati oleh
toxin dan cairan. Pada awalnya, membran permeable terbuat dari selulosa alami yang
memiliki pori-pori yang relatif kecil. Membrane selulosa dengan ukuran pori-pori yang
relative kecil atau sering disebut 'low-flux' dapat dengan mudah menghilangkan toxin
yang lebih kecil seperti urea dan kreatinin, tetapi toxin dengan ukuran molekul yang lebih

besar tidak dapat melewati melalui membran tersebut. Saat ini, membran dialyser modern
terbuat dari polimer sintetis atau selulosa yang dimodifikasi secara kimia. Produsen
membran dializer sintetik dapat membentuk ukuran pori-pori sesuai dengan ukuran yang
dibutuhkan.
Pada hemodialisis, membran yang digunakan biasanya bersifat low-flux. Selain itu
dengan ketebalan 10-20 µm, membran low-flux lebih tipis dibandingkan dengan
membran yang digunakan pada HF dan HDF. Hal ini memungkinkan zat terlarut
bermolekul kecil bergerak bolak-balik melintasi membran dengan mudah [17]. Namun,
membran low-flux memiliki sieving coefficient yang lebih rendah untuk molekul
berukuran sedang-besar dibandingkan dengan membran high-flux (gambar 6). Hal ini
menyebabkan clearance molekul berukuran sedang dan besar tidak bisa dicapai sesuai
dengan keinginan. Saat ini, banyak terapi HD yang menggunakan membran high-flux
oleh karena studi yang menunjukkan hasil yang lebih baik dengan menggunakan
membran tersebut [18].

Gambar 6. Sieving coefficient (S) merupakan rasio antara konsentrasi zat terlarut dalam filtrat dan
konsentrasi zat terlarut dalam darah dengan nilai 0 hingga 1. Semakin tinggi “S”, semakin tinggi
pula permeabilitas suatu solute. Kurva diatas menunjukkan bahwa membran high-flux memiliki
permeabilitas lebih tinggi pada molekul yang lebih besar dibandingkan dengan membran low-flux.
Membran glomerulus dipakai sebagai perbandingan.


Pada hemofiltrasi maupun hemodiafiltrasi, membran yang digunakan memiliki pori-pori
yang lebih besar atau bersifat high-flux. Hal ini memungkinkan molekul berukuran
sedang-besar dapat melewati membran dengan mudah sedangkan jumlah molekul kecil
yang tersaring tergolong cukup. Meskipun sama, membran pada hemodiafiltrasi memiliki
ketebalan yang lebih tipis (hampir sama dengan membran low-flux pada HD)
dibandingkan dengan membran hemofiltrasi yang memiliki ketebalan hingga 100 µm.
Ketebalan dinding yang lebih tipis mampu meningkatkan penyaringan molekul kecil
lebih efisien [8, 19, 20]. Ilustrasi perbedaan membran pada HD, HF, dan HDF dapat
dilihat di bawah ini.

Gambar 7. Hemodialisis menggunakan membran low-flux dengan ketebalan 10-20 µm. Hemofiltrasi
menggunakan membran high-flux dengan ketebalan 100 µm. Sedangkan hemodiafiltrasi menggunakan
membran high-flux dengan ketebalan dinding yang tipis.

Cairan Dialysis
Pada terapi pengganti ginjal, cairan memiliki fungsi sebagai cairan dialisate dan juga
sebagai cairan substitusi. Jumlah volume cairan yang diperlukan sangatlah besar untuk
terapi yang efisien, khuksusnya pada HDF. Cairan pengganti serta cairan dialisis secara
fisiologis dan komposisi harus serupa dengan cairan plasma. Pasien HD yang akan

menjalani HDF, dianjurkan untuk memulai dengan komposisi yang sama dari cairan
pengganti seperti yang telah digunakan untuk cairan dialisis. Kualitas cairan yang tinggi
juga dinilai dari segi mikrobiologis.
Penyusunan cairan berkualitas tinggi untuk dialisis, dimulai dengan air keran dan
finishing dengan cairan dialisis ultra murni atau larutan substitusi steril, harus dipandang
sebagai suatu proses yang terintegrasi dimana setiap langkah dalam rantai memenuhi
didefinisikan obyektif dan divalidasi untuk tujuan tersebut (Gambar 8). Berdasarkan
kualitas mikrobiologis, cairan yang digunakan dalam dialisis dapat dibagi menjadi tiga
tingkatan—standar, ultrapure, dan steril—ketiganya memiliki relevansi dengan HDF
(Gambar 8) [21]. Tingkat kontaminan mikrobiologi diukur berdasarkan unit pembentuk
koloni atau colony-forming unit (CFU) dan unit endotoksin (EU)[21]. Semua nilai

mengacu berdasarkan rekomendasi dan standar ISO baru [22]. Dibawah ini dijabarkan
beberapa perbedaan dari tingkatan cairan dialisis.
a) Cairan standar dialisis
Cairan dialisis dengan kualitas standar mempunyai nilai hitung bakteri