this file 1743 4632 1 PB

international Journal ihya’ ‘ulum Al-din
vol 19 no 1 (2017)
doi: 10.21580/ihya.18.1.1743

Kontroversi PemiKian AntAa imAm mAliK
dengAn imAm syAfi’i tentAng mAslAhAh
mursAlAh sebAgAi sumber huKum

tauiqur rohman
Sekolah Tinggi Agama Islam Walisembilan (SETIA WS)
E-mail : azharqudsiyyah@yahoo.co.id

ABSTACT
his article discusses about argument of maslahah mursalah as a source
of law. he focus of the study in this paper is a controversial idea between
Imam Malik and Imam Shai’i about maslahah mursalah as a source of law.
Controversy thinking between both of them as a source of law. First, Imam
Malik used maslahah mursalah as a source of law, but Imam Malik stressed
the establishment of the law by taking the beneit and using the ratio, it must
not controvert with the rule of law that has been set by nash or ijma ‘. If there
is a controversy then it must precede nash than maslahat. Secondly, Imam

Shai’i did not use maslahah mursalah as a source of law because it did not
have a deinite standard of nash and qiyas, while Imam Shai’i’s establishment
is all of law must be based on nash as qiyas. Imam Shai’i did not mention this
method in his book, al-Risalah. his controversy caused by the absence of a
special argumentation that declare about maslahah accepted by Syar’i either
directly or indirectly.
Key Word: Controversy, Imam Malik, Imam Syai’i, maslahah mursalah, the
source of law

AbstaK
Artikel ini mendiskusikan kehujjahan maslahah mursalah sebagai sumber
hukum. Fokus kajian dalam tulisan ini adalah kontroversi pemikiran Imam
Malik dengan Imam Syai’i tentang maslahah mursalah sebagai sumber
hukum. Kontroversi pemikiran antara keduanya tentang kehujjahan
maslahah mursalah sebagai sumber hukum. Pertama, Imam Malik
menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, tetapi Imam

73

Tauiiur ohman


Malik menekankan bahwa pembentukan hukum dengan mengambil
kemaslahatan yaitu dengan menggunakan rasio tidak boleh bertentangan
dengan tata hukum yang telah ditetapkan nash atau ijma’. Apabila terjadi
pertentangan maka wajib mendahulukan nash dibandingkan maslahat.
Kedua, Imam Syai’i tidak menggunakan maslahah mursalah sebagai
sumber hukum karena mashlahah mursalah tidak memiliki standar yang
pasti dari nash maupun qiyas, sedangkan pendirian Imam Syai’i semua
hukum haruslah didasarkan nash atau disandarkan pada nash sebagaimana
qiyas. Imam Syai’i sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitabnya
al-Risalah. Adanya kontroversi ini karena tidak adanya dalil khusus yang
menyatakan diterimanya maslahah oleh Syar’i baik secara langsung
maupun tidak.
Kata Kunci: Imam Malik; Imam Syai’i; Kontroversi; Maslahah
Mursalah; Sumber Hukum

A. Pendahuluan
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok
bahasan hukum Islam adalah konsep kepentingan umum (maslahah,
public interest) ( oii, 2012: 38). Hal ini karena kepentingan umum

bersifat dinamis dan leksibel (Yasid, 2012: 27). Artinya, perkembangan
kepentingan umum ini seiring dengan perkembangan zaman.
Konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap kepentingan umum pada waktu
yang lalu belum tentu dianggap sebagai kepentingan umum (maslahah)
pada masa sekarang (Abdullah, 2015: 9-10). Maslahah termasuk di
dalamnya mashlahah mursalah merupakan satu tema yang sangat populer
dalam kajian mengenai hukum Islam karena maslahah merupakan tujuan
syara’ dari ditetapkannya hukum Islam.
Konsep maslahah tumbuh berkembang sejalan dengan
berkembangnya hukum Islam. Secara aplikatif keberadaannya telah ada
sejak periode awal Islam (Al-Kafrawi, 2002: 503). Maslahah atau maqashid
as-syari’ah seperti halnya ilmu-ilmu syari’ah yang lain, membutuhkan proses
waktu yang sangat panjang untuk menjadi sebuah ilmu yang mandiri.
Karena sebelumnya merupakan bagian dari Ushul iqh, (Al-Asyiâr, 1998:
7) ada beberapa alasan maqashid as-syari’ah menjadi ilmu yang mandiri,
antara lain: Pertama, Maqashid as-syari’ah selalau berada dibalik nash-nash
al-Qur’an, Sunnah dan fatwa sahabat. Kedua, Qiyas sudah lama menjadi
bahan perdebatan dan iiyas selalu didasarkan pada illat yang sesuai
74


international Journal ihya’ ‘ulum Al-din

Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik...

sebagai dasar hukum maupun sebagai penetapan illat hukum, maka ketika
membicarakan qiyas maka otomatis juga membicarakan maqashid assyari’ah. Ketiga, keberadaan maqashid as-syari’ah sebagai petunjuk hikmah
ditetapkan suatu hukum dalam masalah-masalah iih (Imam Yahya, 2013:
94-95 ).
Menurut Husain Hâmid Hisân, Adanya kontoversi pemikiran di
kalangan ulama klasik termasuk Imam Malik dan Imam Syai’i mengenai
penggunanan maslahah mursalah sebagai sumber hukum adalah karena
tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu
oleh Syar’i baik secara langsung maupun tidak langsung karena menurut
jumhur ulama’ maslahah itu bisa diaplikasikan kalau ada dukungan dari
Syar’i, meskipun secara tidak langsung. Digunakannya maslahah itu bukan
karena maslahah, tetapi karena adanya dalil syar’i yang mendukungnya
(Hisân, 1971:13-14).
Kehujjahan Maslahah sebagai sumber hukum terbagi menjadi tiga
yaitu; yang dibenarkan oleh syara’ yaitu Maslahah Mu’tabarah, ditolak oleh
syara’ yaitu Maslahah Mulghah dan yang diperselisihkan yaitu Maslahah

Mursalah, jumhur Ulama’ telah berkonsensus, maslahah Mu’tabarah
diterima sebagai hujjah dan Maslahah Mulghah ditolak sebagai hujjah.
Sedangkan maslahah Mursalah diperselisihkan karena tidak ada dalil yang
membenarkan maupun yang melarangnya (Al-Syâtibi: 9).

b. Pembahasan
1. Maslahah Mursalah dalam Prespektif hukum islam
Ada beberapa rumusan diinisi oleh para pakar Ushul Fiih
tentang maslahah mursalah (Zein, 2005:148-149), tetapi masing-masing
mempunyai kesamaan dan berdekatan pengertiannya, antara lain:
Dari kalangan ulama Syai’i, Al-Ghazali (w. 505 H), merumuskan
maslahah mursalah dengan maslahah yang tidak ada bukti baginya dari
syara’ dalam bentuk nash tertentu baik yang membatalkannya maupun
tidak ada perhatian baginya(Al-Gazâli, 1997:481).
Dari kalangan ulama Zaidiyyah, Al-Syaukani merumuskannya
dengan maslahah yang tidak diketahui apakah Syari’ menolaknya atau
memperhitungkannya (Asy-Syaukānî, 1999: 990-994)
volume 19, number 1 (2017)

75


Tauiiur ohman

Dari kalangan ulama Hanbali, Ibnu Qudamah yaitu; maslahat yang
tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula
memperhatikannya.
Dari kalangan ulama Hanai, Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi,
yaitu: ketika seorang mujtahid melihat bahwa suatu pekerjaan dapat
mendatangkan manfaat yang lebih diprioritaskan, tetapi dalam Syara’ tidak
ada dalil yang menolaknya (Al-Badawi, 2000: 61).
Yusuf Hamid al-A’lim memberikan rumusan: maslahah yang
tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk
memperhatikannya (Al-A’lim, 1994:124). Abd al-Wahhâb Khallâf,
memberikan rumusan: maslahah yang tidak ada dalil syara’ yang datang
untuk mengakuinya ataupun menolaknya(Khallâf, 1972:173).
Jalâl al-Dîn ‘Abd al- ahmân,yaitu: maslahah yang selaras dengan
tujuan Syar’i (Pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang
membuktikan tentang pengakuannya atau penolaknnya (Al- ahmân,
1983: 27). Muhammad Abu Zahrâh, yaitu: maslahah yang selaras dengan
tujuan syari’at Islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan

tentang pengakuannya atau penolaknya(Zahrâh,1958:280).
Dari berbagai rumusan diinisi marsalah mursalah diatas, dapat
diambil konklusi sebagai berikut: Pertama, marsalah mursalah adalah
sesuatu yang baik menurut akal sehat dengan alasan bahwa untuk
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
Kedua, segala sesuatu yang baik menurut akal yang sehat dan selaras dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.Ketiga, segala sesuatu yang baik
menurut akal yang sehat dan selaras dengan tujuan syara’ tersebut tidak
ada petunjuk dari syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada
petunjuk syara’ yang mengakuinya.
Sedangkan landasan hukum maslahah mursalahdari Al-Qur’an
maupun Hadits, sebagai berikut:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus: 57)
”Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka bergembira. karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS.Yunus: 58)
76


international Journal ihya’ ‘ulum Al-din

Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik...

“Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah:”Mengurus
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan
mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa
yang membuat kerusakan dari yangmengadakan perbaikan. Dan jikalau
Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. AlBaqarah:220) (Depag, 1984: 659).

Sedangkan sumber hukum maslahah mursalah yang diambil dari
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah, asulullah SAW bersabda:

‫ ح��دث �ن��اع �ب��دال��رزاق ان�ب��ٲن��ام�ع�م��رع��ن جابرالجعفى‬, ‫ح��دث�ن��ام�ح�م��د ب��ن ي �ح��ي‬
: ‫ ق��ال رس ��ول ال�ل��ه ص�ل��ى ل�ل��ه ع�ل�ي��ه وس�ل��م‬: ‫ع��ن ع�ك��رم��ة ع��ن اب��ن ع�ب��اس ق��ال‬
‫اضررواضرار‬
“Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq
bercerita kepada kita, dari Jabir al-Juiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas:
Rasulullah SAW bersabda, “ tidak boleh membuat mazdarat (bahaya)

pada dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat pada orang lain”.
(HR. Ibn Majjah) (Al-Qazwini: 784).

Maka atas dasar dari Al-Qur’an maupun al-Sunnah di atas, ‘Izz alDîn ibn ‘Abd al-Salâm, menyatakan bahwa maslahah dalam hukum Islam
hanya dikembalikan kepada dua kaidah induk saja, yaitu: (1) Kaidah
mewujudkan kemaslahatan (jalbul masalih) dan (2) kaidah menghindari
kerusakan (dar’ul mafasid) (Al-Salâm, 1994: 31) Pendapat yang sama juga
dikemukakan Al-Gazâli dalam kitabnya al-Mustasfa min‘Ilm al-Usûl (AlGazâli,1997: 416-417)
2. Kontroversi Maslahah mursalah sebagai sumber hukum antara
Pemikiran imam malik dengan imam syai’i
a. Pemikiran imam malik
Abû Ishâi Ibrâhîm al-Syâtibi,Imam Malik beserta penganut
madzhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas menggunakan
maslahah mursalah (Al-Amidi, 1967: 155) sebagai metode ijtihad (AlSyâtibi: 6). penjelasan yang sama juga dikemukakan Abdul Karim Zaidan,
(Zaidan,1958: 147) dengan alasan yang cukup rasional, antara lain:
Pertama, para sahabat Nabi banyak yang menggunakan maslahah
mursalah sebagai dalil hukum (Huda, 2012: 16), seperti pengkodiikasian
volume 19, number 1 (2017)

77


Tauiiur ohman

Aliuran oleh Abu Bakar ash-Shiddii, penunjukkan Umar bin Khatab
oleh Abu Bakar ash-Shiddii sebagai khalifah sepeninggalnya, pemisahan
dan pembagian harta pejabat dengan wilayah kekuasaannya oleh Umar
bin Khatab (Supriyadi, 2006:90), kebijakan Ali bin Abi halib tentang
tadhmin al-shana’i yaitu kewajiban pembuat barang untuk mengganti
rugi kerusakan atau kekeliruan barang yang dipesan (Al-Syâtibi:119),
para sahabat menetapkan hukuman mati terhadap satu kelompok
yang melekakuakan pembunuhan terhadap satu orang ketika mereka
melakukannya secara bersama-sama (Al-Syâtibi:125). Ijtihad Mu’adz ibn
Jabal ketika tidak menemukan dalil dari Al-Qur’an dan hadis (Ma’mur,
2015: 101).
Kedua, menggunakan maslahah mursalah sama halnya
mengaplikasikan tujuan syar’i (maqashid syari’ah), sebaliknya
membiarkannya berarti membuang maqashid syari’ah, oleh karenanya
maslahah adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri serta
sumber hukum ini tidak keluar dari sumber hukum pokok (ashl), bahkan
terjadi sinkronisasi antara maslahahdan maqashid syari’ah (Zahrah:182).

Ketiga, kontroversi maslahah sebagai sumber hukum bersifat
kondisional, karena mempunyai dampak kemandulan pada prinsip dasar
hukum Islam yang telah disepakati bersama (ijma’), sehingga mukallaf
akan mengalami kesulitan dan kesempitan, padahal Allah Swt tidak
menghendaki akan hal itu (Q.S. Al-Baioroh:185 dan Q.S. al Hajj:76).
Imam Malik memberikan kriteria tersendiri dalam maslahah
mursalah sebagai sumber hukum, antara lain:Pertama, maslahah tersebut
harus bersifat reasonable dan relevan terhadap kasus hukum yang telah
ditetapkan (Al-Syâtibi:129). Kedua, maslahah tersebut dijadikan dasar
untuk memelihara sesuatu yang dharuri dan menghilangkan kesulitan
(raf’ul haraj), dengan cara menghilangkan kepayahan (masyaqat) dan
bahaya (madharat) (Al-Syâtibi:133). Ketiga, maslahah tersebut harus
sesuai dengan maqashid syari’ah, dan tidak bertentangan dengan dalil syara’
yang qat’i. ( okhmadi, 2012: 163)
Selain itu, Imam Malik juga memberikan prinsip-prinsip yang
bersifat universal dalam menggunakan maslahah mursalah (Zuhaili: 8586.), antara lain: Pertama, berlakunya dugaan kuat dalam hukum, artinya
menegakkan kuat kepada sesuatu dapat dijadikan sebagai sesuatu pada
78

international Journal ihya’ ‘ulum Al-din

Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik...

realitasnya, seperti berbaurnya antara lawan jenis yang bukan mahramnya,
larangan ini mengandung unsur kecuriagaan yang kuat untuk berbuat
zina, sehingga kecurigaan itu mengandung hukum tersendiri, Imam Malik
menjadikan prinsip ini sebagai maslahah universal (Zuhaili: 85). Kedua,
kewajiban mendahulukan maslahah secara umum daripada kemaslahatan
secara pribadi (Al-Syalabi, 2000 M: 321). Ketiga, keabsahan menolak
bahaya yang paling berat diantara dua bahaya (emergency), contohnya
seperti perintah berjihad, meskipun efek sampingnya (madharat) beresiko
kehilangan nyawa seseorang, tetapi perintah ini untuk mencegah bahaya
musuh yang menyerang untuk menjaga agama dan negara, sebab eksistensi
agama dan negara jauh lebih besar bila dibandingkan dengan nyawa
seseorang (Zuhaili: 86). Keempat, kewajiban memelihara jiwa, seperti
larangan membunuh seseorang, penegakan hukum dan peradilan dan
sebagainya (Zuhaili: 87).
b. Pemikiran imam syai’i
Sumber hukum Islam madzhab Syai’i ada empat, yaitu: al-Qur’an,
Sunnah, ijma’ dan Qiyas ( oibin, 2008:110). Imam Syai’i (Al-Arabi, 1976:
303.), tidak menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil hukum berijtihad.
Karena Imam Syaf ’i sendiri tidak menyinggungnya dalam karyanya alRisalah. Tetapi ada yang beranggapan bahwa maslahah mursalah berlaku di
kalangan ulama’ Syai’iseperti al-Ghazali (Al-Subki, 1937: 91-92).
Pada prinsipnya Imam Syai’i selalu menggunakan dalil nash
dalam memahami dan menetapkan hukum, baik secara langsung, yaitu alQur’an dan Sunnah atau tidak langsung, yaitu ijma’ dan iiyas. Menurut
Imam Syai’i kemempuan seseorang tentang hukum syara’ tergantung
pemahamannya terhadap nash. Maka pemahaman terhadap dalil hukum
syara’ berarti pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab itu sendiri
karena al-Qur’an dan Sunnah adalah teks yang menggunakan bahasa Arab
(As-Syai’i:142).
Dari pernyataan Imam Syai’i diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa semakin seseorang memahami bahasa Arab dengan baik, maka
semakin baik pula pemahamannya terhadap dalil dan hukum yang
terkandung dalam dalil itu, dengan demikian mereka yang sebahasa
dengan Nabi adalah mereka yang mempunyai kemampuan terbaik dalam
memahami dalil. Bagi Imam Syai’i urut-urutan sumber hukum Islam tidak
volume 19, number 1 (2017)

79

Tauiiur ohman

boleh dibolak-balik, melainkan harus secara mutlak berurutan. Menurut
Imam Syai’i mashlahah mursalah tidak dapat diterima sebagai metode
istinbat karena mashlahah mursalah itu tidak memiliki standar yang pasti
dari nash maupun qiyas (Al-Gazâli, 1997: 286-287), sedangkan pendirian
as-syai’i semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan
pada nash sebagaimana qiyas (Abu Zahra, 1976: 303).
Menurut Imam Syai’i seperti yang telah dinukilkan Husein
Hamid Hasan, menyatakan bahwa maslahah mursalah sama seperti dalam
pengertian qiyas, alasannya karena keduanya memiliki persamaan unsurunsur, syarat qiyas ada tiga, pertama, adanya peristiwa yang tidak ada nash
hukumnya yang jelas, kedua, adanya hukum yang dinashkan oleh syar’i
yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian
ma’nawai, ketiga, peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung
dalam kejadian yang mansus secara implisit. Ketiga sayarat qiyas ini
menurutnya sejalan seperti maslahah mursalah atau maslahah mulaimah
yaitu: pertama, peristiwa yang ingin diketahuinya melalui maslahah adalah
peristiwa yang tidak ada nashnya secara jelas, seperti jaminan atau ganti
rugi para pekerja apabila merusak barang yang dikerjakannya, kedua, ada
hukum-hukum syari’at yang dinashkan oleh syari’ atas suatu peristiwa yang
maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid, ketiga, peristiwa tidak ada
nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung
dalam peristiwa yang ada nashnya (Hasan, 1981: 324-325).
Dari penjelasan diatas dapat ditarik sebuah konklusi bahwa
kontroversi pemikiran antara Imam Malik dengan Imam Syai’i
tentang maslahah mursalah sebagai sumber hukum. Pertama,Imam
Malikmenggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, tetapi
Imam Malikmenekankan bahwa pembentukan hukum dengan mengambil
kemaslahatan yaitu dengan menggunakan rasio tidak boleh bertentangan
dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash atau ijma’. Apabila
terjadi pertentangan maka wajib mendahulukan nash dibandingkan
maslahat. Kedua, Imam Syai’i tidak menggunakan maslahah mursalah
sebagai sumber hukum karena mashlahah mursalah tidak memiliki standar
yang pasti dari nash maupun iiyas, sedangkan pendirian Imam Syai’i
semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash
sebagai mana iiyas. Imam Syai’i sendiri juga tidak menyinggung metode
80

international Journal ihya’ ‘ulum Al-din

Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik...

maslahah mursalah dalam kitabnya al-Risalah. Menurutnya maslahah
mursalah sama seperti dalam pengertian qiyas, alasannya karena keduanya
memiliki persamaan unsur-unsur, syarat qiyas ada tiga, pertama, adanya
peristiwa yang tidak ada nash hukumnya yang jelas, kedua, adanya hukum
yang dinashkan oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa
itu melalui pengertian ma’nawai, ketiga, peristiwa yang tidak ada nash
hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit.
Ketiga sayarat qiyas ini menurutnya sejalan seperti maslahah mursalah.
3. Persamaan dan perbedaan Pemikiran antara imam malik dan
imam syai’i dalam Maslahah Mursalah
Dari uraian pandangan kedua tokoh diatas tentang maslahah
mursalah sebagai sumber hukum, penulis menyimpulkan beberapa
kesamaan keduanya, antara lain:Pertama, Mashlahah mursalah yang selama
ini seakan diperdebatkan relevansinya sebagai metode pengambilan hukum
antara Imam Malik dan Imam Syai’i, pada dasarnya telah disepakati
keduanya meskipun dengan menggunakan bahasa yang berbeda-beda.
Tetapi dalam mengaplikasikan mashlahah mursalah ini tidak selayaknya
dilakukan oleh seseorang yang tidak kompeten dalam ijtihad. Karena
bagaimanapun juga mashlahah mursalah merupakan metode yang tidak
dapat berdiri sendiri dan harus diiringi dengan maqashid syari’ah yang telah
disepakati ulama’.Kedua, kedua tokoh ini sama-sama mengakui keberadaan
maslahah atau kepentingan umum yang secara eksplisit maupun impilsit
dalam nash al-Qur’an maupun Sunnah.
Adapun perbedaan pemikiran antara Imam Malik dengan Imam
Syai’i dalam maslahah mursalah sebagai sumber hukum ini, antara
lain:Pertama, Imam Malik menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber
hukum, tetapi Imam Malik menekankan bahwa pembentukan hukum
dengan mengambil kemaslahatan yaitu dengan menggunakan rasio tidak
boleh bertentangan dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan
nash atau ijma’. Apabila terjadi pertentangan maka wajib mendahulukan
nash dibandingkan maslahat.Sedangkan Imam Syai’i tidak menggunakan
maslahah mursalah sebagai sumber hukum karena mashlahahmursalah itu
tidak memiliki standar yang pasti dari nash maupun qiyas, karena pendirian
Imam Syai’i semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan
volume 19, number 1 (2017)

81

Tauiiur ohman

pada nash sebagai mana qiyas. Imam Syai’i sendiri juga tidak menyinggung
metode maslahah mursalah dalam kitabnya al-Risalah.Kedua, Imam
Malik menyatakan alasan Allah mengutus seorang rasul adalah untuk
membimbing umatnya kepada kemaslahatan. Sedangkan Imam Syai’i
adalah yang paling tegas menentang atas kehujjahan maslahah mursalah
sebagai dalil hukum karena tidak memiliki standar yang pasti dari nash
maupun qiyas, sedangkan pendirian Imam Syai’i semua hukum haruslah
diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagaimana qiyas.Meski
demikian hati-hatinya, Imam Syai’i tidak berarti tidak beranjak sama sekali
dari nash dan iiyas karena Imam Syai’i pernah melakukan penelitian yang
nyata-nyata tidak dijelaskan sama sekali oleh al-Qur’an, sebut saja misalnya
ketika ia ditanya tentang batasan darah haid.Ketiga, Adanya kontroversi
antara Imam Malik dengan Imam Syai’i tentang maslahah mursalah sebagai
sumber hukum ini karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan
diterimanya maslahah itu oleh Syar’i baik secara langsung maupun tidak
langsung karena maslahah itu bisa diaplikasikan kalau ada dukungan dari
Syar’i, meskipun secara tidak langsung. Digunakannya maslahah itu bukan
karena maslahah, tetapi karena adanya dalil syar’i yang mendukungnya.
4. implikasi kontroversi kehujjahan maslahah mursalah
Hukum Islam tidak hanya dilihat sebagai alat untuk mengukur
kebenaran ortodoksi, tetapi juga harus diartikan sebagai alat untuk
membaca realitas sosial untuk kemudian mengambil sikap dan tindakan
tertentu atas realitas sosial tersebut. Sehingga iih atau hukum Islam
memiliki standar ganda, yaitu sebagai alat untuk mengukur realitas sosial
dengan ideal-ideal syari’at yang berujung pada hukum halal atau haram,
boleh dan tidak boleh, dan sekaligus pada saat yang sama menjadi alat
rekayasa sosial. Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi
pokok bahasan hukum Islam adalah konsep kepentingan umum (maslahah,
public interest). Hal ini karena kepentingan umum bersifat dinamis
dan leksibel. Artinya, perkembangan kepentingan umum ini selalu
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Konsekuensinya, bisa
jadi yang dianggap kepentingan umum pada waktu yang lalu belum tentu
dianggap sebagai kepentingan umum (maslahah) pada masa sekarang.
Mashlahah mursalah yang selama ini seakan diperdebatkan relevansinya
82

international Journal ihya’ ‘ulum Al-din

Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik...

sebagai metode pengambilan hukum, pada dasarnya telah disepakati
meskipun dengan menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Tetapi dalam
mengaplikasikan mashlahah mursalah ini tidak selayaknya dilakukan oleh
seseorang yang tidak kompeten dalam ijtihad. Karena bagaimanapun juga
mashlahah mursalah merupakan metode yang tidak dapat berdiri sendiri
dan harus diiringi dengan maqashid syari’ah yang telah disepakati ulama’.

C. simpulan
Maslahah Mursalah adalah salah satu dari bagian bentuk dari
maslahah. Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak ditentukan
nash tetapi juga tidak bertentangan, kepentingan yang ada di dalamnya
seolah-olah diabaikan oleh syari’ah dan dibiarkan tanpa batasan
maupun ketentuan.
Kehujjahan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, terpecah
menjadi dua kelompok, Pertama,menolak maslahah mursalah sebagai
hujjah adalah Syai’iyah, dengan alasan; maslahah mursalah sama seperti
dalam pengertian qiyas, alasannya karena keduanya memiliki persamaan
unsur-unsur, syarat qiyas ada tiga, pertama, adanya peristiwa yang tidak
ada nash hukumnya yang jelas, kedua, adanya hukum yang dinashkan
oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui
pengertian ma’nawai, ketiga, peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu
terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit. Ketiga sayarat
qiyas ini menurutnya sejalan seperti maslahah mursalah.Kedua, Malikiyah
menerima maslahah mursalahsebagai hujjah syariahdan dijadikan metode
pembentukan hukum mengenai kejadian yang hukumnya tidak ada dalam
nash ,ijma, qiyas atau istihsan. Tetapi tetap menggunakan aturan yang sangat
ketat, antara lain: Pertama, maslahah tersebut haruslah yang nyata serta
benar-benar membawa kepada kemanfaatan dan menolak kemadharatan
bukan hanya sekedar berdasarkan prasangka. Kedua, kemaslahatan tersebut
merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus
baik untuk individu maupun kelompok tertentu, artinya kemaslahatan
tersebut harus bisa dimanfaatkan atau menolak kemudaratan terhadap
banyak orang pula. Ketiga, kemaslahatan tersebut tidak bertentangan
dengan kemaslahatan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits baik
secara zahir maupun batin.
volume 19, number 1 (2017)

83

Tauiiur ohman

bibliogafi

‘Abd al-Salâm, ‘Izz al-Dîn ibn, 1994, Juz ke-1,Qawâ‘id al-Ahkâm i Masâlih
al-Anâm, Kairo:Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyah.
‘Atsyûr, Tâhir ibn, 2006, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Tunis: Dâr
Suhnun, Kairo: Dar al-Salâm.
Abd al- ahmân, Jalâl al-Dîn, 1983,‘al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ
i alTasyrî‘ al-Islâmiy, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi‘iy.
Abdullah,M. Amin, 2015, Fiqh dan kalam Sosial Era Kontemporer:
perjumpaan Ulum al-din dan sains Modern Menuju Fresh Ijtihad,
dalam buku Metodologi Fiqh Sosial, dari Qauli Menuju Manhaji,
Pati: Fikih Sosial Institute Staimafa.
Al Qardhawi, Abdur ohman Yusuf Abdullah, 2000, Nazariyyat Maqashid
al-Syar’iyah baina Syaikhul Islam Ibnu Taiymiyyah wa Jumhur
Ushulliyyin,
al- Syalabi, Musthafa, 2000, Ta’lilul ahkam is Syari’atil Islamiyyah, Kairo:
Dar al-Basyir lis Syaiofah wal ‘Ulum,
al-A’lim, Yusuf Hamid, 1994, Juz II,al-Maqasid al-Ammah lis Syari’atil
Islamiyya, iyadh, Al-Ma;had al-Alamiy lil Fikr.
Al-Amidi, Sayf al-Din Abi al-Hasan ‘Ali Ibn 1967, Juz ke-4, ‘Ali Al-Ihkam i
Ushul al-Ahkam, Kairo: Muassasah al-Halabi.
Al-Asyiâr, 1998, al-Wadih i Ushul Fiqh, Mesir: Dar as-salam.
al-Badawi, Yusuf Ahmad Muhammad, 2000, maqashid as-Syari’ah indā Ibnu
Taymiyyah, Yordania; Dar an-Nafa’is.
al-Baiilani, Qodhi Abi Bakar Muhammad bin at-Tib , 1998, Taqrib wal
Irsyad as-Shoghir, karya al-Baiilani, tahiii Dr. Abdul Hamid bin
Ali Abu Zanid, (Lebanon : Mu’assasah ar- isalah.
al-Bashri al-Mu’tazili, Abi al-Husain Muhammad bin Ali bin al-hiyb, 1964
M/1384 H, Kitab al-Mu’tamad i Ushul al-iqh, tahiii Muhammad
Hamidullah, Damaskus: Dar al-Sat al-Arabiyyah.

84

international Journal ihya’ ‘ulum Al-din

Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik...

al-Bugâ, Mustafa Dîb, t.th., Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir alTasyrî‘ al-Taba‘iyyah i al-Fiqh al-Islâmiy, Damaskus: Dâr al-Imâm
al-Bukhâri.
al-Bûti, Muhammad Sa‘îd amadân, 2000, Dawâbit al-Maslahah i alSyarî‘ah alIslâmiyyah, Beirut: Mu’assasat al- isâlah.
al-Gazâli, Abû Hâmid Muhammad,1997, Juz ke-1, al-Mustasfa min ‘Ilm
al-Usûl, tahiîi wa ta‘lîi Muhammad Sulaimân al-Asyiar, Beirut:
Mu’assasat al- isâlah.
al-Gazâli, Abû Hâmid Muhammad,1997, Juz ke-1, al-Mustasfa min ‘Ilm
al-Usûl, tahiîi wa ta‘lîi Muhammad Sulaimân al-Asyiar, Beirut:
Mu’assasat al- isâlah.
al-Ifrîii, Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr, 2003, Juz
ke-2, Lisân al-‘Arab, iyad: Dâr ‘Âlam al-Kutub.
al-Jauhari, Ismâ‘îl ibn Hammâd,1956, al-Sihâh Tâj al-Lugah wa Sihâh al‘Arabiyyah, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn.
al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim 2004 M, Juz ke-3, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an
Rabb al-‘Âlamîn, Kairo: Dâr al-Hadîts.
al-Juwaini,Abul Ma’alli Abdul Malik bin Abdullah,1980, al-Burhan i Ushulil
Fiqh,tahiîi wa ta‘lîi Prof.Dr. Abdul Adhim ad-Dib, Qohiroh:Dar
al-Anshar.
Al-Kafrawi, As’ad Abdul Ghani al-Sayyid, 2002, al-Istidlal indal Ushulliyyin,
Mesir: Dar al-Salam.
al-Kailani, ‘Abd al- ahmân Ibrâhîm ,2000, Qawâ‘id al-Maqâsid ‘inda alImâm alSyâtibi : ‘Aradan wa Dirâsatan wa Tahlîlan, Damaskus: Dâr
al-Fikr
al-Kamâli,‘Abdullah Yahya,2000, Maqâsid al-Syarî‘ah i Dau’ Fiqh alMuwâzanât, Beirut: Dâr Ibn Hazm.
al-Khaif, Ali,1996, AsbabIkhtilaf al-Fuqaha’, (Kairo; Dar Dar al-Fikr al‘Arabiy.
al- Qardâwi, Yûsuf, 2001, Madkhal li Dirâsat al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
Kairo: Maktabah Wahbah.
al-Qarai, Syihâb al-Dîn 2002, Syarh Tanqîh al-Fusûl i Ikhtisâr al-Mahsûl
i al-Usûl, (Mesir: al-Matba‘ah al-Khairiyyah, sebagaimana dikutip
volume 19, number 1 (2017)

85

Tauiiur ohman

dalam ‘Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd al- ahmân ibn ‘Ali ibn abî‘ah, ‘Ilm
Maqâsid al-Syâri‘, iyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah.
al-Qazwini, Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid t.th., Juz 2, Sunan Ibn
Majah, Bairut: Dar al-Fikr.
Al-Qur’an Terjemah, Mushaf al-Kamil, 2002, Editor hoha Husein alHaidz dan Tim Editor Darussunnah, Jakarta: Darussunnah.
al- aisûni, Ahmad dan Muhammad Jamâl Bârût, 2002, al-Ijtihâd : al-Nass,
wa alWâqi‘, wa al-Maslahah, Damaskus: Dâr al-Fikr.
al- aisûniy, Ahmad, t.th., Nazariyyat al-Maqâsid ‘ind al-Imâm al-Syâtibi,
Beirut: alMa’had al-‘Âlamiy li al-Fikr al-Islâmiy
al- âzi, Muhammad ibn Abi Bakr ibn ‘Abd al-Qâdir 1979, Mukhtâr alSihâh, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi.
Al-Subki, Tâj al-Dîn ‘Abd. Al-Wâhhâb Ibn, 1937,Jam’ al-Jawami’, Mesir:
Musthâfâ al-Babî al-hâlâbi.
al-Syâtibi, Abû Ishâi Ibrâhîm, t.th., Jilid I, Juz ke-2, al-Muwâfaqât i Usûl
al-Syarî’ah, Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah.
al- Syâtibi, Abû Ishâi Ibrâhîm, t.th., Juz ke-3, al-‘Itisham, Beirut:Maktabah
at-Tauhid.
Al-hui, Abu Al- abi Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim bin
Sa’id,t.th., Syarh al-Arba‘în al-Nawawiyyah, lampiran dalam Mustafa
Zaid, 1964, al Maslahah i al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn alTûi, t.tp.: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy.
al-Tûi, Najm al-Dîn,1990, juz III,Syarh Mukhtashor oudhoh tahiii
Abdullah bin Abdul Muhsin at-Tarakiy, Beirut: Mu’assasah arisalah.
al-Tûi, Najm al-Dîn,1993 M/1413 H, Risalah i Riayati al-Maslahah, tahiii
Dr. Ahmad Abdul ohim al-Sayih, Libanon : Dar al-Masdariyyah,
al-Zabîdî, Muhammad Murtadâ al-Husaini, 1994, Juz ke-4, Tâj al-‘Arûs min
Jawâhir al-Qâmûs, Beirut: Dâr al-Fikr.
al-Zariâ’, Mustofa Ahmad,1968, al-Fiqh al-Islâmi i Tsaubihi al-Jadid:
Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Beirut: Tab’ah Tasi’ah Muniohah wa
Mazidah.

86

international Journal ihya’ ‘ulum Al-din

Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik...

ar- azi, Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Hussein,1968, al-Mahsul
i Ilm Ushul Fiqh, tahiii Dr. Jabir Fayyad al-alwani, Lebanon :
Mu’assasah ar- isalah.
as-Syai’i, Muhammad bin Idris t.th.,ar-Risalah, tahiîi wa syarh Ahmad
Muhammad Syakir Beirut : Dar al-Kitabah al-Ilmiyyah.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, 1999, Irsyad al-Fuhul
Ila Tahqiqi al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan 10.
Fanani,Muhyar, 2009, Fiqh Madani:Kontruksi Hukum Islam di Dunia
Modern, (Yogyakarta:LkiS),
Hazm, Abi Muhammad bin Ali bin Ahmad bin sa’id bin, 1979, Al-Ihkam
i Ushul al-Ahkam,tahiîi Ahmad Muhammad Syakir, taidim Prof.
Dr. Ihsan Abbas, Beirut : Dar al-Ifai al-Jadidah.
Hissân,Husain Hâmid, 1971, Nazariyyat al-Maslahah i al-Fiqh al-Islâmiy,
Beirut:Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah.
ibn abî‘ah, ‘Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd al- ahmân ibn ‘Ali, 2002,‘Ilm Maqâsid
alSyâri‘, iyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah.
Imâm, Muhammad Kamâl al-Dîn,1998, Nazariyyat al-Fiqh i al-Islâm:
Madkhal Manhajiy, Beirut:al-Mu’assasah al-Jâmi‘iyyah li al-Dirâsât
wa al-Nasyr wa al Tauzî‘.
Jamal Ma’mur, 2015, Rezim Gender di NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb, 1972, Masâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmiy fîmâ lâ Nass
fîh, Kuwait:Dâr al-Qalam.
Mitahul Huda, Manhaj Fikih Islam Kultural: Eksplorasi, Kritik dan
Rekonstruksi, dalam JurnalAl-Manhaj : Jurnal Kajian Hukum Islam
Jurusan Syari’ah STAIN Purwokerto, Vol. VI No. 1, Januari 2012,
ISSN: 1976-6670
Mîiâ, Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad,1985, al-Ra’yu wa Atsaruhu i Madrasat
alMadînah: Dirâsah Manhajiyyah Tatbîqiyyah Tutsbitu Salâhiyyat
alSyarî‘ah li Kulli Zamân wa Makân, Beirut: Mu’assasatal- isâlah,

volume 19, number 1 (2017)

87

Tauiiur ohman

Mu’sâsah, Abu Abdur ohman Sya’id, 1999, al-Muqollidun al-‘Aimmah alArba’ah, Beirut: Dar Ibn Hazm.
Muhammad Bahit al-Muthi’i, 1923, Sullamul Wushul lis Syarhi Nihayat asSul, Qohiroh :Alimul Kutub.
Muslehuddin, Muhammad, 1997, Philosophy of Islamic Law and the
Orientalists, New Delhi: Markazi Maktaba Islami.terj. Yuian
Wahyudi Asmin, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Muslehuddin, Muhammad, t.t., Philoshopy and he Orientalist: A
Comparative Study of Islamic Legal System, (Lahore: Islamic
Publication, LTD)
Mustafa, Ibrâhîm dkk., al-Mu‘jam al-Wasît,t.th., Juz ke-1, Tahrân: alMaktabah al-‘Ilmiyyah.
Philips, Abu Ameenah Bilal, 2005, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh
Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, Nusamedia
dan Nuansa, Bandung.
oii,Ahmad,2012, Fiqh Kontekstual; dari Normatif ke Pemaknaan Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
oibin, 2008, Sosiologi Hukum Islam Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam
Syâi’i, Malang: UIN Malang Press.
okhmadi, Rekonstruksi Ijtihad dalam Ilmu Usūl Fiqh, dalam Jurnal AlAhkam : Jurnal Pemikiran Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang, Vol. 22 No. 2, Oktober 2012, ISSN: 08454603,
Supriyadi, Ahmad, Internalisasi Hukum Islam Dalam Pranata Sosial, dalam
Jurnal Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Jurusan
Syari’ah STAIN Kudus, Edisi IV Januari-Juni 2006.
Syarifuddin, Amir. 2009, Ushul Fiqh Jilid 2.( Jakarta: Kencana).
Tamrin, Dahlan, 2007, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN Malang Press.
Yahya, Imam Eksekusi Hukum Mati: Tinjauan Maqāsid al-Shari’ah dan
Keadilan, dalam Jurnal Al-Ahkam : Jurnal Pemikiran Hukum Islam
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Vol. 23 No. 1, April
2013, ISSN: 0845-4603.

88

international Journal ihya’ ‘ulum Al-din

Kontroversi Pemikiran Antara Imam Malik...

Yasid, A, Hukum Islam Versus Positivisme Barat: Kajian Perbandingan
Madzhab Jurisprudensi Perspektif Hukum Islami, dalam Jurnal AlManhaj : Jurnal Kajian Hukum Islam Jurusan Syari’ah STAIN
Purwokerto, Vol. VI No. 1, Januari 2012, ISSN: 1976-6670
Zahrâh,Muhammad Abu,1958, Ushul Fiqh, Arab: Dar al-Fikr al-A’robiy.
Zaid, Mustafa, 1964, al-Maslahah i al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn alTûi,: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy.
Zaidan, ‘Abd al-Karim,1958, al-Madkhal li Dirasah asy-Syari’ah alIslamiyyah, (Ttp: Muhammad ‘Ali Sabih wa Auladuh)
Zakariyyâ,Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn 1981, Juz ke-3, Mu‘jam
Maqâyîs al-Lugah, Kairo: Maktabah al-Khânjî.
Zarkasyi,Imam, 1992, al-Bahr al-Muhit, tahrir Abdul iodir abdullah
al-Ma’ani, tahiîi wa ta‘lîi Muhammad Sulaimân al-Asyiar,
Kuwait:Wazaratul Auiof Was Syu’unil Islamiyyah.
Zuhaili,Wahbah,1986, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr.

volume 19, number 1 (2017)

89