Kramanisasi Seks dalam Kehidupan Orang Jawa Melalui Ungkapan Tradisional | Suwardi | Humaniora 971 1751 2 PB
HUMANIORA
VOLUME 21
No. 3 Oktober 2009
-
Halaman274 264
KRAMANISASISEKS DALAM KEHIDUPAN ORANG
JAWA MELALUI UNGKAPAN TRADlSlONAL
Suwardi*
ABSTRACT
Javamse in their daily life, usually used traditional faithfully called krmniasi as expression of
JavanesesexmJii teaching medium. The Javawsenaditional utteance was naturaHy cansidered as
sexuality expresionmedium. The expressionwas also a combination betweensemantic meanings and
culture. Parents, in the etnich of Eastern ethics society &warme), usually gave sexual lessan using
traditional utterancespecificallyto their daughten. The etnich expressionuse inJavawas considered
easier to teach sexual education togirl in society.
The use ofJavanesettadiional utterancewas symbolic expression manifestation. Itwas suitable to
the Javanesesociety principlethat says wongjowcr iku nggone sernu. It means that Javanesepeople are
symbolic. Several Javanesetditional expressionsthat are frequently used as sexual expresionsare:(I)
tembungentar, thatmeans figurative expression, (2) porihsan(proverb) that means expressionto portray one's action symbolically, (3) saloka, that meanstraditional uttemnce wing animalsas objects, (4)
wndhn, that meens u#erancewith sexual objects comparativewith other objects, (5)panyandra. that
means sexualii phenomenadesdpbn, and (6) piwulang, that thatuttemce as sexual d i n g . F m
those uttemnces, there are two types still used by society, ternbung entar and piwulang. TheJavanese
traditional utterances are called krarnanisd of sexual teaching. folk speech as sex hmanisasi. The
uteerances are considered easier and more politeto undemandsex in the life of theJavanese people..
KeyWordr: kt-amanisasi,ungkapantradisional, seks
PENGANTAR
Perludiakui bahwa masyarakatJawa dalam
rnengungkapkanmasalahseks menurut Jatman
(Jawa Pos, 1 Juni 1997) sering menggunakan
istilah kramanisasi (penghalusan). Pernaknaan
semacam ini didasarkan atas analogi makna
kultural bahwa pemakaian bahasa Jawa mgam
krama dipandang lebih halus dan sopan.
Maka kramanisasidiartikan sebagai pengungkapanwks secara halus dan santun. Upaya
ini dirnaksudkan agar orang Jawa tidak berpmbnsi sanr (tabu) dalam ha1seks.
Sesungguhnya banyak cara untuk mengungkapkan seks secara halus, antara lain
dengan menggunakan ungkapan tradisional
(folk speech). Folk speech adalah ungkapan
yang telah menjadi tradisi lisan rakyat Jawa
secara turun-temurun. Carvantes(Danandjaja,
198428) rnendefinisikanungkapantradiiional
adalah kalimat pendek yang disarikan dari
pengalaman panjang. Dalam masyarakatJawa
kalimat pendek yang tersarikan secara kental
dan estetis itu amat banyak ragamnya, antara
lain berbentuk tembungentar, pepindhan, pa&
basan, dan unen-unen satu kata. Sebagai
ungkapan seks, ungkapan tradisional ini disebarkan dari mulut ke mulut, bersifat estetis,
kultural, filosofis, dan erotik. Masyarakat Jawa
* k F m g a j w programStud PendidikanBahasaJawa,Fakular Bahasa dan Ssni. UniveniB. N-ti
Yogyakarta
-
Suwardi fGamanisssi Seks dalarn
biasanya lebih bebas rnenuangkan gagasan
seks secara sirnbolik (tersarnar) rnelalui ungkapan halus tersebut.
Ungkapan tradisional Jawa dipandang
sebagai cara yang santun dalarn rnernbeberkan seks sebab terpengaruh oleh pandangan
hidup bahwa wong Jawa nggone semu. Melalui
ungkapan tradisional itu, rnasyarakat Jawa
lebih leluasa mernbungkus pesanseks. Melalui
ungkapan halus dan daya sugestif, ungkapan
tradisional rnerupakan wahana penanarnan
seks yang efesien dan efektif. Ungkapantradisional tersebut sengaja dimanfaatkan kernungkinan besar karena orang Jawa selalu berhatihati dalarn rnendidik seks kepada anaknya.
Melalui ungkapan tradisional Jaw, pengungkapan seks justnr dapat bejalan semra alarniah
dan tidak vulgar.
Dalarn kenyataannya yang memanfaatkan
ungkapan tradisional Jawa sebagai wahana
pengungkapan seksjuga mashtetbatas. Hanya
orangorangJawa tertentusaja yang memanfaatkan ungkapant r d i temmksud. OrangJawa
yang lain kadang-kadangenggan menanarnkan
seks baik dengan rnernanfaatkan ungkapan
tradisional maupuncara lain, terlebih lagi tertuju
pada anak wanita. Akibatnya, pengungkapan
seks di Jawa belurn berjalan sebagairnana diharapkan oleh banyak pihak. Hal ini penting
dirtirnbangkan karena rnenurut Lukas (1996:
17-18) kenyataan kehidupan, 75% di antara
muda-rnudi Jawa dapat dikatakan tidak rnendapatkan penjelasan sarna sekali dari orang
h n y a tentangseks. S i y a (25%) mudacmudi
Jawa hanya rnendapatkan penerangan seks
yang sarnar-sarnar saja.
Realita dernikian juga diakui oleh Bu Kar
(1981:39), seorang pengasuh rubrikeDariHati
ke Hati" rnajalah Femina bahwa selarna lebih
. dari setengahabad berkenalan ia hidup di burni,
t belum pemah diberi penerangan seks okh
b m n g tuanya. Dia juga rnerasa belurn pernah
mendengar ungkapan tradisional Jawa dari
r a n g tuanya sebagai wahana pengungkapan
W s . Padahal, ia berpendapatrnanakala penm s a n tentang seks ini bisa menyentuh usia
m a j a , terlebih lagi rnenggunakanungkapan
'
tradisional yang tepat, rnungkin akan mindatkan drama tragis kehidupan rumah tar@ga, Di
sinilah pentingnya orang tua untuk lebihtertwka
dan meniadakanpda lama yang menganggap
rnasalah seks sebagai ha1 yang jorok, tidakwajar, dan tabu.
Dari kenyataan itu boleh diduga bahwa
kedudukan orang tua dalam sebagian rnasyarakat Jawa, terlebih lagi rnasyarakatpedesaan,
sarnpai sejauh initidak memilikifungsi sepenuhnya dalarn rnasalah seks. Dalarn kaitan ini,
perasaan enggan dan pandangan mash sernpit rnungkintetap m p a k a n penghalang utama
dari jalannya pengungkapan seks di rumah,
terlebih lagibagiorangbua yang sangat risih(tidak
blak-blakan) dan sangat rnenjunjung etika
ketimumn secara kuat, Padahal, rnelalui ungkapantradisional Jawa itu sebenarnyaorang tua
lebih Huasa menyemaikanpengungkapanssks.
Diakui atau tidak, mungkin rnasyarakat
Jawa pedesaan rnasih ada yang berasurnsi
bahwa pengungkapan seks adalah suatu ha1
yang tabu. Artinya, pengungkapan seks tidak
perlu diajarkan (dijelaskan) kepada anaknya.
Untuk itu, ungkapantradisional sesungguhnya
dapat mengurangikonteks tabu sebab di dalamnya rnernuat tata norma Jawa. Kehadiran
ungkapan tradisonalj u s h pentinguntuk mernbungkus hal-ha1erotik lebih estetik sebab seks
tidak sekedar persoalan nafsu saja tetapi terlingkupi etika moral yang luhur. Sayangnya,
pernaharnan istilah tabu ini sering kebablasan
sehingga rnuncul pendangkalanasumsi sempit
bahwa pengungkapan seks biarlah berjalan
secara instingtif.
Atas dasar realitasyang ironis, di satu sisi
orang Jawa menghendaki persoalan seks dipaharni secara proporsional oleh anak-anaknya, di lain sisi seks tidak perlu diajarkan, maka
ungkapan tradisional rnenjadi ekspresi seks
yang lebih hurnanis. Ungkapan tradisional
rnerupakan wahana penanarnan seks yang
lebih sejalan dengan nilai-nilai kultural Jawa.
Jika demikian, masyarakat Jawa yang kurang
rnernanfaatkan ungkapan tradisional sebagai
sarana pengungkapan seks yang bermoral
tentu kurang beruntung.
Ib b n ini pembarca dapat memana liku-liku keuntunganpendiiikJawa yang menggunakan ungkramanisasi. Kramanisasimerupakan
wafma pengungkapanseks yang lebih sopan,
simbolik, dan komunikatif. Berbagai bentuk
ungkapan tradisional Jawa yang berfungsi
sebagai krarnanisasi seks ada yang masih
sering dfgunakan dan ada pula yang jarang
digunakan. Keluhuran kramanisasi seks termaksud dapat ditafsirkan secara semantik dan
kultural. Untuk itu artikel ini akan membbberkan bagaimana orang Jawa memanfaatkan
krsmanisasiseks baik dalam konteks sosial
maupun kultural. Sejumlah ekspresi benda di
sekelil9ng hidup orang Jawa sesungguhnya
merupakan kekayaan simbolik seks yang
imaknai sebagai wujud kramanisasi.
simbolisme dikotomis (oposisi biner)
tr#rrpslk kramanisasi seksualitas Jawa lebih
.Kesantunan orang Jawa memanfaatkah hmanisasi seks sekatigus menandai
lrrkfirya kepribadian Jawa.
sehari-hari hanya digunakan dalam konteks
tertentu. Menurut Hariwijaya (2004) ada beberapa macam ungkapan tradisional Jawa, yaitu
(a) temibung entar, artinya ungkapan kias, (b)
peribahasa yaitu berupa 'ungkapan yang
rnelukiskan perbuatan seseorang, (c) saloka
adalah ungkapantradisional yang berupa ungkapan menggunakan nama benda dan binatang, (d) pepindhan, a~tinyaperbandingan
obyek seksual dengan obyek lain, (e) panyandm, artinya deskripsisuatu fenomena seks, (9
piwulang, adinya ajaran seks, dan (g) isbat, artinya ungkapan seks yang bernansa mistik.
Macam-macam ungkapantradisionalini biasanya sulit dibedakan secara tegas. Orang Jawa
umumnya tinggal menggunakan saja, tanpa
memperhatikan rincian secara teoritik. Bggi
orang Jawa yang pentingadalah pesanseksualitas dapat tersampaikan.
Kajianterhadap pengungkapanseks &dam
kehidupan orang Jawa yang menggunakan
ungkapan tradisional, selama ini memang
belum banyak dilakukan. Permasailahan seks
memang pernah dibicarakan oleh PadmoISIONAL
puspito dkk. (1995) dengan mengambil objek
EKS
pada rubrik 'Liku-Liku Seksualitas" pada medim
'f%f~manisasiadalah
strategi penghalusan cetak Minggu Pagi. Namuh, perrnasalahan
eks dalam kehidupan orang Jawa. yang dikaji lebih terkait dengan sikap ketern ini, orang Jawa banyak mernain- bukaan masyarakat pembaca dalam mengks secara tersmar mengguna- ungkapkan masalah seks dan belumm y e n n tradisional Jawa. Ungkapan tuh ungkapan tradisional. Dari hasil kajian
amat beragam macamnya. tersebut terbukti bahwa pria lebih terbuka
ional merupakan istilah khas dibanding wanita. Hal yang menarik dad hasil
nilai estetis dan kultural. Ungkap- kajian hiadalah hadimyasejumlah pemrasalahI Jawa termaksud ada yang an yang ditanyakan oleh pembaca, yakni
n sehari-hari dan ada pula ung- tentang keadaan alat kelamin, sexual drive,
dianggap rahasia. Ungkapan keperawanan, penyakit, reproduksi, mimpi
yang banyak digunakandalam basah, KB, homoseks, orgssme, menstnrasi,
n seks biasanya memiliki kono- fungsiseks, dan~ddit9s.H a h ltefsebut Wak
disampaikan mePalui ungkapant r a d i s ' i l Jawa
sional Jawa dapat berupa yang beragam, melainkan s~tcaraterbuka den kata yang membentuk ngan berhgai pertanysan. Dari pertnasalahan
s. Biasanya ada ungkapan yang hadir ini, j e h ada persodan pen* yaw
yang telah populer dan ada dihadapi oleh wanita dalam hat seks. Hanya
onal ciptaan baru. Pema- saja, pemzasalahanyang ditanyakan itu m d h
isional dalam kehidupan tehtas pada eksistensimasyarakatyang ingin
mempejelas atau memang berangkatdari ketidaktahuan mereka tentang masalah seks.
Pembahasantersebutjush menjadibagian
dari salah satu pengungkapanseks masyarakat
modem yang menggunakan wahana media
massa. Pengungkapanseks semacam ini, lebih
terbuka karma alamat penanyajuga dirahasiakan. Sayangnya, pengungkapanseks ini hanya
akan b i dinikmati oleh rnasyarakatyang tidak
buta baca tulis. ltulah sebabnya, perlu dlcari
bagaimana bentuk pengungkapan seks pada
masyarakatyang kurang menguasaibacatulis,
yaitu masyarakatdesa yang rnasih mengandalkan pengungkapan seks secara tradisional.
Dalamkonkks semacam ini k W i r a n ungkapan
tradisional Jawa boleh dikabkan m j a d i sebuah pilihan pengungkapan mks.
Dewasa ini ada lagi model pengungkapan
seks modem yang tetah menjamah masyarakat desa yaitu menggunakan media televisi
dan HP (handphone). Penggunaantelevisi dan
HP secara tidak langsung akan mendewasakan masyarakat Jawa pedesaan dalam ha1
mks. Namun, jika ha1 ini kurang selektif juga
dapat berakibat lain. Sekarang hamsdisadari,
bahwa dalam masyarakat Jawa pedesaan,
istilah pengungkapan seks mungkin belum
popuk. Pengungkapanseks masih dipandang
mhgai tradisi. Sifat pengungkapanseks boleh
dikatakan masih tradisional, yang memanfaath n etika tertentu. Seperti halnya dinyatakan
eleh Soedjito S (1987:68), masyarakat J a w
Hdesaan masih sangat kuat memegang etika
; Imthuran. Karenanya dalam pengungkapan
,- mks pun, seperti halnya pemqiiw KB, tetap
ang pada nilai-nilai k ~ ' Makswlm
pengungkapanseks itu diksanakan
t @eh masyarakat desa, pmmnya tebp berpe
guh pada nilai-nilai susla Jawa. Penan susila Jawa ini antara lain dapat ditwnpuh secara strategis melalui ungkapan
tsdisbnal khas Jawa yang bersifat erotik.
Dalam masyarakatJawa tradis'il, termadii dalamnya rnasyarakatpedesaan, tmmut
dkk. (1993: 1OO), fungsi pengungkapan
ke arah pelestariantradiii serta kesingan dari generasi ke generasi. Permu-
[
k n kdakuan an
istiadat, yang
di satu pihak, dan di pihak lain
mengikutl secara patuh kata orang tua
'aturan emas"yang bemifatmutlak.
demikian mungkinsaja digunakandakm pengungkapan seks pada masyarakat Jawa pedesaan. Akibatnya, anak sebagai penerima pengungkapan ssksjuga dihantui rasa takut kuwalat
jika t i a k menurut petuahorang tuanya.
Padmopuspito (1997: 1) berpendapat bahl a b sek W a i t dengan nafsu
seks. Hal ini seperti dikemukakanjuga daSl R a M j o (1996:259 261) bahwa
iMlseks Wkaii denganciri-dri biologis, sudah
kodrati, sejak lahir sudah tergdongkan jgtnis
laki-laki dan perempuan. Sementara itu seks
lebih dari itu, yaitu konsep konstruksisoskl dan
kultural terhadap nilai potensi, perilaku yaw
berkaitan dengan seks. Pendapat ini mengisyaratkanbahwa pengwrgkapandcs itu W h
bas, mencakupjuga perilakugender yang terkait dengan seks secara lebih has, yakni met
nyangkut etika, moral, lingkunganSWW b&aya, dan lain-lain yang mempengmhthubwngan
seks. Dalam konteks ini, ungkapantrerdblonal
merupakan wahana yang tepat untuk membungkus pengungkapan wks yang kblh arif.
Hal tersebut juga dldasari deh pendapat
Kayam (1982:238-245) bahwa mks rnerupakan masalah kernanusban. Manusia adalah
sehingga membumakhluk yang brb;u-,
tuhkan pemyakm yang letrih bijak dalam ha1
seks. Bertolak dari pendapat ini, ada benzlmya
jih SUPOWJ
(1W : ? 3 ) berpendapat bahwa
metaeEarh mks merupakan satu soal kemanusim
yang dapat 'mengganggu' kehidupan. Pendapat semacrrm ini, sebenarnya
h a m akan terjadi jika pemahaman tentang
wks kefiru. Sebaliknya, jika pennasalahan
seks ikd dipahami sebagai kebutuhan yang
menciasar dantepatd a m penerapmnya, it'rwal
seks jwtsu akan mendatangkan ketenangm
bagi manusia.
ungManakalaorang Jawa meng~gunakan
kapan tradisional secm tepat (empanpapan)
tentu akan memuat nilai luhur. Pendrpat
-
demikian m e n e g a a k m b m pengungkapan
seka mlalui
~ k u penp
thg. Seks se
nafsu maupun kemanusiaan perlu dibingkai dengan
&k,
wartidak tejadi ~ e n ~ i m ~ m yang
gan
Mbadi sosial.Akhlak
-yakan
mbd a ~ t d i r a ~ k ukemdalam u n g k a ~ n
luhur.
'emakin
dan tepat p*
nrakdian 'ngkapan tradisional
berarli
pngung
wmngka, dan kancing-gd~q~
Contoh-M
simbolisme seksual Jawa yang artistik ini
mengandung nilai filos0F1syang ti-.
Perwujudan simbol filosofi seks demikian
sering munwl dalam
aktM& W i s i
orang Jawa. SimboCBimbol filsafati seks itu
mewpalcan wjud k m m m w i mks, seb~gai
endapan pengalaman erotik estetik orang
Jawa, Di anbra simbol seks b m a b u d ada
yang berupa ungkapan tradisional
muml
:1 rdalam
tradisi Jawa sebagai berikut.
(I)
Sesaji kenduri antara lain Eepet-kupat,
KRAMANISASI SEKS DALAM TRADlSl
pssungapevn, wnlJf&@nkakunggunungan
JWW
pud, dan tumpeng-mbeng sebagaisimbol
Kramanisasi seks dalam masyarakat
pria-wanita. Maka, untuk memakan kupat
tidak boleh dilepas bungkusnya, tetapi
Jawa merupakan wujud etika moral seks.
harus dibelah (disigar) tengah. Hal ini
Kramanisasi mengarahkan bahwa seks itu
meiambangkan bagaimma ktpe;t (ling&ta)
sakral sehingga hubungan seks hanya dilakumembelah
kupat (yoni). W i t u pula untuk
kan dafam rangka perkawinan maka apabila
fmkan am*n
~ w m putn;
n C
m
! apem
pria dan wanita ditemukan tidur bersama
harus dibelah tengah terlebih dahulu.
sslcrrra tidak sah, para tetangga akan h e m
Konsep belah tengah menandai simbt
besar. Keadaansemacam ini, rnenurut Magnis
hubungan suami isteri yang akan
t3useno (1984176) rnenunjukkanbahwa orang
mernpwbh kenbatan lahir batin-.
Jawa cenderung bersikap tegas terhadap
(2)
beNpa mperkmasalah seks. Berdasarkan pengamatan
menabuh kapylek
Geertz (1961:103),pengungkapanseks remaja
camp&, dipukulkan
(muda-mudi) terutama yang terkait dengan
di tengahnya sehingga mengeluarkan
suara nyaring. Suwa nyaringadaiahslmbol
hubungan suami isteri, biasanya diperoleh
hasil hubungansekmal pria-wanita (cemmelalui ibu dan ka
-%
secara utuh.
palak~.Kemerduansuaraitumernmjukkan bahwa hubungan seke memqmJ
ncak kenikmgltanymg W bkm.
duniaJrawa,~msmlkatbgyDa
partiwi dan gunung-segara
adalah lambang pria-wanita. Lambang
semacam ini didasarkan pada wawasan
dunia imajinatifbahwa prh berada di atas
wadah. Gambaran
k m sin* bahwa ad%
alam semesta (kosmos)
seks. Di dalamnyajuga
bungan seks secara mistis dalam tradisi
seperti bapa akasa-ibu
tc#npeng-ambeng,
kolong-pelen, pasung-apem,
l ~ h tusuk-kondhe
,
(gelungan),
(4) Bangunanlarsibktur J m , ditemukan
-p
;,
gantj.f&~gIo~
dan 8
h n g w nsmsh p g berbentuk tugu hi,
melukiskanmkmdprkwanb. Ungkapan
ini selafu berbentuk lingga-yoni. Bangunan
-
Swardi Kramanisasi Seks Warn KehMpan O m g Jawd
~rnah
itu rnenjadi kokoh, tahan gernpa, nilai simbolik, ungkapan tradisional Jawa sekarena ada hubungan harmoniantara dua bagai sarana pengungkapanseks bagi wanita
unsur seks. Antara pelen-kolong yang sungguh sulit diremehkan. Apalagi realha yang
saling isi-mengisi,wadah-rnewadahi, rnenjadikan IUrnah kuat, berdirikokohdan rnem- selama ini melingkupi kehidupan seks wanita
Jawa rnemang masih memprihatinkan. Hutomo
bahagiakansi perniliknya.
(5) Busana Jawa, rneliputi tusuk-kondhe (1988: 1) berpendapat bahwa wanita Jawa se(gslungan), curiga-wrangka, dan kancing- cara ideologis dan psikologis terkadang digelung yang rnenandai seks pria-wanita. pandang sebagai objek seks bagi laki-laki. J i
Berbagai unsur busana tradisi Jawa ini demikian yang terjadi, berarti wanita akan
rnerupakan ajaran seksual halus, untuk menjadi 'korban' seks.
rnerajut pernikiran erotik orang Jawa. KeDalam istilahyang lain, Sudewa (199238)
indahan dan kekuatan akan diperoleh
juga
menyebutkan bahwa wanita Jawa dalam
rnelalui kepaduan keduaunsur, yang rnelukerangka
tradisi sekedar didudukkan sebagai
kiskan persenyawaan antara pria-wanita.
Persenyataan itudapat antara lain diibarat- pelampias nafsu seks. Kondisi seperti ini, mekan secara mistik seperti halnya curiga nurut Muttalib (1997:212) terjadi sebagai
manjing rangka wrangka manjing curiga. dampak citra wanita yang selama ini masih
Artinya, kedua unsur itu memadu sehing- sering digambarkan dalam dunia kecantikan,
ga rnenurnbuhkan rasa nikmat yang luar
fashion, dan masak-memasak. Akibat yang
biasa.
lebih dahsyat lagi adalah seperti dinyatakan
Ungkapan tradisional tersebut merujuk Abdullah (1998:6) bahwa wanita masih cendepada metafor alat kelamin pria-wanita maka rung sebagai 'korban' proses sosial sehingga
orang Jawa dalam mengajarkan seks cende- tejadi sepertiadanya pelecehansosial, pemerrung secara visual tersamar agar tidak terkesan kosaan, dan berbagai tindakan kekerasan lain
jorok. Ungkapan semacam ini menjadi sebuah yang merugikan.
kmmanisasiseks, sebagai wujud kepribadian
Kejadian-kejadianseperti itu, menurut Braluhur orang Jawa. Begitu pula ungkapan yang takisawa (1996:5) tidak lain akibat dari eksisdigunakan orang Jawa ketika memanggilanak tensi masyarakat yang masih buts terhadap
laki-laki dan wanita juga memiliki implikasi pengungkapanseks secara halus. ltulah sebabseksual yang tinggi. Anak laki-laki biasa di- nya, setuju atautidak memangdiperlukanpengpanggil dengan sebutan Thole, Le, Gus, Cung, ungkapan seks, agar manusia (wanita) dapat
yang berasaldari kependekan katakonthde(alat menikmati kekuatan seks yang sesungguhnya
kelamin pria) dan anak wanita dengan sebutan dalam kehidupan. Pengungkapan seks yang
f&mkJ Nuk, Wuk, Gawuksebagai representasi lebih terbuka dipandang perlu agar pelaku seks
bntuk kelaminwanita (vagina). P msirnuis- di pedesaantidak keliru arah. Namun, berbagai
me yang menjadikarakteristikJawa inij d sjelas persepsi rnasyarakatJawa terhadap seksjustru
merepresentasikansuatu derajat kultural yang dipandang luhur dan humanis apabila diungkapkansecara santun.
adiluhung.
Pengungkapan seks termaksud akan teDalam tradisi mistik pun orang Jawa menrasa
amat penting ketika seorang wanita mengciptakankarya berjudulGathdoco (anonim), yang
tidak lain merupakan simbol seksual. Gaff101 injak umur remaja. Pada rnasa ini menurut D i i
artinya tiang panjang dan loco berarti licin. gunarsa (1981:30)wanita akan diindai dengan
Untuk meluapkan nafsu seks maka Gatholoco kernatanganseks yang disertsli dorongan seks,
kelak mengambil jodoh bernama dewi Dudul kesenangan sesaat, kepribadian yang belum
Menduf, Lupifwati, Ram Bawuksebagai simbol bertanggungjawab, dm sebagainyayang dapat
kelaminwanita. UngkapantradisionalJawa ini menimbulkan masalah sesksualitas. Ketidakadalah pilihan kata yang banyak memuat aspek- jelasan pengungkapanseks oleh orang tua keaspek simbolik. Meskipun kentaldengan nilai- pada wanita, akan memunwlkangangguan seks
lwrng LetsUlst&mk&W mmkatelah rnemasuki
.Gangguanyang arkupfatal
ngguan orgasmus disfuncdahm rnencapaio!psmus
&in ismu us yak kekejangan otot-otot vagirts - b a g h luar. Melalui ungkzrpaJl fmdbional
berupa simbd pria-wanita maupun
s d a yang sukses, &kit banyak akan
kan p e m h a n pada rrtmaja tentang
wluk Wuk seksual.
Kqpgalanhubungan seks sebagiandapat
d i a k b h n deh adanya latar W a n g keluarga
tnamndang seks sebagai sesuatu yang
koCor, dosa, dan rnemalukan (Djati, 1997:169171).P$as da$ar ha1ini, pengungkapan&rneMuiungkapantradisional bagiorang Jawa p d u
mendapat perhatian berbagai pihak. Pengungkapanseks akan terkait dengan nwma dan
adat sitiadat yang membutuhkan penanganan
mmim arif. Kebeffwsilan pengungkapan seks
yang halus secara =pat atau lambatjelas akan
r n m d p w manuskt Jawa lebih berbudi luhur
(beradab). Oleh sebab itu, seluruh halyang berkaitan dengan pengungkapan seks baik secara
modem maupun tradisional perlu dirancang
seem matang.
Orang Jawa dalam m a i hal, terrnasuk
dalam rangka etika atau moraliinya, sering
bemdadalam kemngkasimbolisme. Dalamkata
lain juga sering dikatakan dengan istilah
sinamun ing samudam yang bermakna 'disarnarkan dalam simbdisme'; atau sesadon
ingadu manis yang berarti 'pembicaraannya
disamarkan dengan manis'. Oleh karenanya
dalam banyak ha1orang yang diajak berbicara
oleh orang Jawa perlu mengerti kontekskonteks simbolik yang terlontar dalam pmbicaraan. Dalam bentuk yang lain ter-t
ungkapan tradisionaljalmcl lhpadiwprapat t a m t
yang berarti 'orang yang pandai mskipun
hmya diijari wperempat w i n pqetahuan
e
n
w
.Hari(disimbolkan), niscaya ia akan m
Wibya (20043) menyatakan ha1senrpa dengan
menyebutkan bahwa diperlukan pengetahuan
y w q linuwih untuk memahami bentuk dan
tW)MkUIsimbol-simbol seks Jawa.
Dalamsuatu wawamra di wbyah Kabupaten Kulon Progo, m n g bapak mngaku
bahwa ia tidak pemah memberikanpengungkapanseks S8Cara brbuka kepadaanak wan&
tanya yang baru mema8ukimaw berpacaran.
Namun, ia pemah berpesan bahwa anaknya
a
w menjadi
hams menjaga din agar jangan s
satru munggwing cangklakan. Ungkapan
tradisional ini berarti 'wanita itu musuh bagi
pundak orang tua'. Arthya, bila anak wanita
tklak bemati-hatidalam bertindak ketika bergaul
denganseorang pria, ia bisatemggut rnahkota
kewanitaannya dan bahkanbisa mengandung
sebslum menikah. Hal inilah yang dimaksudkan menjadi musuh bagi orang tua.
Wanita Jawa sering dianggap terbatas
kemampuannya untuk maju. Hal hi sering diungkapkan dengan urqkapan tradidonal kesrimpet pinjung yang berarti terjeratjarit pakaiannya sendin. PiyuqjmemjJiki komW seksual
yang arnat khas bagi wanita yaitu payudara.
Apalagi jika pinjung itu dierjemahkandengan
keratabasa, pirljung dad tepining munjung.
Munjung artinya menonjol, yaitu bagian payudara (susu)wanita yang sern
ig diurnpamakan,
seperti cengkir gadhing. Yang kurang estetis
dan etis sering mengumpamakan payudara
seperti pepaya. Metafor semacam ini mlukiskan betapa tinggi obsesi orang Jawa bmadap
persoalan seks, terutama yang menyangkut
bentuk fisik (bleger).
Ungkapantradisknal yang lebihjauh
sering ada pesan orang tua agar orang Jawa:
"ajangantisuwekpadkm tergihe, d h a d h a l v
kane, wong lanang @anganti mpalw@mI
mundhrrk nistha." Tapih adabh dmbol seks
seorang wisntta J a m yang teJkait dsngan w
ralitas Jawa. Tapih dan wrangka berkonotad
dmgan lxqyahana wanita mampu menjaga
kamalusm. Whmgka adalrah wadah kerS.6 latau
cur@?.Jika wanita tidak mampu menjaga
kmaluan hrarti sebagai wadah sudah tidak
stsci I@. Jika kedua ungkapan itu sampai dilanggar, berarti wanita Jawa W b u t t&h
dianggap hina (nistha). Begitu pula laki4aki
yang sempalauQane, artinya blahmelakukan
hubungansekkeal di luar pemikahanyangjslas
mlanggar kesusilaan.
mi,
Ungkapanlain yang senada dengan di atas
bahwa wanita Jawa dilarang sampai kendho
tapihe 'tidak terikat kuat atau kendor jaritnya',
artinya harus menjaga kehormatan kewanitaan
dan harga dirinya, jangan sampai dengan
mudah dirayu para pria, kecuali suarninya. Jika
dicermati istilah tersebut, terkandung pesan
kendor saja tidak boleh apalagi sampai sobek
(suwek) jelas amat dilarang. lstilah lain yang
sering dipergunakanadalah wanita tidak boleh
bertindak lemeryang berarti'tidak berpendirian'
atau 'mudah tergoda' atau 'suka -melacur'.
Wanita demikian dalam tradisi Jawa sering
disebut wong wadon cowek gompel, artinya
wanita yang telah melanggar kaidah seks.
Wanita itu akan kehilangan harga diri di tengah
rnasyarakat.
Wanita yang diidamkan oleh pria (Hariwijaya, 2004:77) adalah yang gandhes luwes
dan kewes, yakni wanita yang pandai rnembawakan diri, berpenampilan rnenarik, lincah
bergaultetapi tidak kehilanganjati diri kewanitaannya. Konteks ungkapantradisional sernacam
himerupakan idealismeorang Jawa. Falsafah
kehidupan orang Jawa ternyata juga diungkapkan melalui ungkapan tradisional seks yang
luhur. Ungkapan tradisional tersebut secara
tidak langsung mernbatasi gerak wanita dan
pria dalam ha1 seks. Namun, di balik itu juga
dapat diartikan bahwa wanita dan pria senantiasa hams menyadari kodratnya. Di atas
juga telah disinggung bahwa dalam suatu
wawancara, seorang ibu mengajarkan agar
kelak anak wanitanya jangan hanya sekedar
dijadikan kanca wingking atau ternan di
belakang dalam arti negatif, dan jangan hanya
disuruh suami untuk olah-olah, umbah-umbah,
mengkureb-mlumahdan momong bocah atau
hanya 'rnemasak, mencuci, melayani seks
suami dan mengasuh anak'. Dalam ungkapan
Jawa lain tergambar agar wanita tidak sekedar
rnengurus dapur-sumur-kasur. Ungkapan
b u r ini, sebenamya rnenyimbolkanpersoalan
seks. Ajaran itu temyata disampaikan oleh
ssorang ibu dengan tujuan yang lebih jauh,
yakni agar anak wanitanya lebih terhormat di
mata keluarga terrnasuk suami.
Pendapat yang hampir sama, yakni seorang ibu yang mengajarkan anak wanitanya
untuk meneruskan sekolah yang disampaikan
dalam bentuk ungkapan tradisional lain, yakni
jangan sampai dunrng pecus keselak besus,
yang berarti 'belum berkemampuansudah keburu menikah'. Ungkapan tradisional ini sebenarnya lebih sering diterapkan bagi anak lelaki.
Narnun ternyata juga dapat diterapkan bagi
anak wanita. Kata pecus berarti 'berkemampuan', rnaksudnya adalah berkemampuan dalam
material maupun spiritual atau mental sebagai
persiapandalam berkeluarga.
Suatu cara penyampaian ungkapan tradisional yang menarik dan terkesan lebih
modem adalah seorang bapak yang berpesan
kepada seorang tetua (sesepuh) paguyuban
tertentu untuk memberikan ular-ular (ajaran),
dalam hubungannyadengan kerumah-tanggaan dan seks bagi anaknya yang akan rnenikah.
Ular-ularyang disampaikan antara lain, bahwa
seorang wanita Jawa yang telah menikah itu
berada dalarn kondisiswatga nunut nraka katut
yang berarti 'bila suarni bahagia sejahtera isteri
akan ikut merasakan dan bila suami menderita
maka isteri pun ikut menderita'. Oleh karena
itu, seorang wanita haws berlaku mendukung
suami dengan berlaku momot mengku hamemangkat.
Momot artinya, wanita harus rnenerirna
segala sesuatu yang ada atau diberikan oleh
suami. Segala kebaikan dan kelemahan suami
harus diterima apa adanya jangan terlalu
rnenuntut berlebih, baik dalarn memberi nafkah
lahiriah maupun batiniah. Celakanya momot ini
sering dipelesetkanpada ungkapanseks, bahwa
wanita itu berarti wadon, wadon iku wadhah.
Maksudnya, wanita hanya sekedarwadah yang
dititipi air suci (man0 oleh pria, maka h a m
bersikap momot. Mengku artinya, berbagai
kelemahan dan kekurangan suami harus
dipahami dan dimengerti dengan laperng dada.
lsteri harus banyak memaafkan kekurangan
suami. Hamemangkatartinya, isteri haws menjaga nama baiksuamidanW r g a , rmw@mmd
suami dengan semestinya sebagai kepala
keluarga.
, vol. 21, No. 3 c)kt#Aw2099: 274 - 2w
Ungkapan tradisional momot mengku
dasamya hampir sama merarnbah dunia Jawa,
h a m m a ~ b pada
t
n tradisional mikul dhuwur
yang berrnakna menghargai jelas lagi pada acara pmyaarbpmayaansereatzw mnjunjung tinggi segala kdebihansuami rnonial, biasanya prb dan wanita duduk m r p
&n menerima atau merahasiakan segala terpisah. Wanita juga wring dilarang bsjalagr
han suami'. Dalam bentukyang hampir sendirian karena untuk menghindari supayq
stelma ungkapan tradisional tersebut barbunyi tidak diganggu pria. Masyarakat Jawa, Itsbifir
momang momor Ian momot. M o m artinya, mengutamakan pqawasan&lam kehidupaq
isteri harus mampu mengemban amanat seksual agar Mak terjadi hal-hal p n g tidak
ksbrga, yakni mengasuh, membimbing dan diinginkan.
Sinyalemen demikian tentu saja perlu
m @ g a keluarga secara halus. Momor artibuktikan
pada wilayah lain k a m pcjnckapat twc
nya, isteri hams mampu bergaulsecara l w s
baSk dalam kelumga maupun dalam rangka sebut hanya didasarkan observasi pada saJah
msial. Momorjuga berkonotasisebagaiungkag satu wilayah dalam kduarga Jawa. Jika tidal;,
an seks, artinya wanita h a m pan$ai melayani jelas akan terjadi penyudutan kehidupan s&
seks seorang suami. lsteriharus selalu menarik dalam masyarakat Jawa di mata orang lain,
dmatasuami.
Ahwtartinya, istetihatusmampu Terlebih lagi, Magnis Suseno (1984: 179-180)
rnenampungsqph beban pennasalahansuami juga membuat statemen yang amat gegabah,
yaitu: (1) hubungan seks dalam masyarakat
d m keluarga.
Jawa
tidak ada ha1yang hams dipndang se:
Dalam makna yang juga hampir sama,
I
seorang isteri hams mituhu hamitapni. Mituhu bagai sesuatu yang problematis se~aramoral,
arthya, isteri hams ikhlas mdaksanal
VOLUME 21
No. 3 Oktober 2009
-
Halaman274 264
KRAMANISASISEKS DALAM KEHIDUPAN ORANG
JAWA MELALUI UNGKAPAN TRADlSlONAL
Suwardi*
ABSTRACT
Javamse in their daily life, usually used traditional faithfully called krmniasi as expression of
JavanesesexmJii teaching medium. The Javawsenaditional utteance was naturaHy cansidered as
sexuality expresionmedium. The expressionwas also a combination betweensemantic meanings and
culture. Parents, in the etnich of Eastern ethics society &warme), usually gave sexual lessan using
traditional utterancespecificallyto their daughten. The etnich expressionuse inJavawas considered
easier to teach sexual education togirl in society.
The use ofJavanesettadiional utterancewas symbolic expression manifestation. Itwas suitable to
the Javanesesociety principlethat says wongjowcr iku nggone sernu. It means that Javanesepeople are
symbolic. Several Javanesetditional expressionsthat are frequently used as sexual expresionsare:(I)
tembungentar, thatmeans figurative expression, (2) porihsan(proverb) that means expressionto portray one's action symbolically, (3) saloka, that meanstraditional uttemnce wing animalsas objects, (4)
wndhn, that meens u#erancewith sexual objects comparativewith other objects, (5)panyandra. that
means sexualii phenomenadesdpbn, and (6) piwulang, that thatuttemce as sexual d i n g . F m
those uttemnces, there are two types still used by society, ternbung entar and piwulang. TheJavanese
traditional utterances are called krarnanisd of sexual teaching. folk speech as sex hmanisasi. The
uteerances are considered easier and more politeto undemandsex in the life of theJavanese people..
KeyWordr: kt-amanisasi,ungkapantradisional, seks
PENGANTAR
Perludiakui bahwa masyarakatJawa dalam
rnengungkapkanmasalahseks menurut Jatman
(Jawa Pos, 1 Juni 1997) sering menggunakan
istilah kramanisasi (penghalusan). Pernaknaan
semacam ini didasarkan atas analogi makna
kultural bahwa pemakaian bahasa Jawa mgam
krama dipandang lebih halus dan sopan.
Maka kramanisasidiartikan sebagai pengungkapanwks secara halus dan santun. Upaya
ini dirnaksudkan agar orang Jawa tidak berpmbnsi sanr (tabu) dalam ha1seks.
Sesungguhnya banyak cara untuk mengungkapkan seks secara halus, antara lain
dengan menggunakan ungkapan tradisional
(folk speech). Folk speech adalah ungkapan
yang telah menjadi tradisi lisan rakyat Jawa
secara turun-temurun. Carvantes(Danandjaja,
198428) rnendefinisikanungkapantradiiional
adalah kalimat pendek yang disarikan dari
pengalaman panjang. Dalam masyarakatJawa
kalimat pendek yang tersarikan secara kental
dan estetis itu amat banyak ragamnya, antara
lain berbentuk tembungentar, pepindhan, pa&
basan, dan unen-unen satu kata. Sebagai
ungkapan seks, ungkapan tradisional ini disebarkan dari mulut ke mulut, bersifat estetis,
kultural, filosofis, dan erotik. Masyarakat Jawa
* k F m g a j w programStud PendidikanBahasaJawa,Fakular Bahasa dan Ssni. UniveniB. N-ti
Yogyakarta
-
Suwardi fGamanisssi Seks dalarn
biasanya lebih bebas rnenuangkan gagasan
seks secara sirnbolik (tersarnar) rnelalui ungkapan halus tersebut.
Ungkapan tradisional Jawa dipandang
sebagai cara yang santun dalarn rnernbeberkan seks sebab terpengaruh oleh pandangan
hidup bahwa wong Jawa nggone semu. Melalui
ungkapan tradisional itu, rnasyarakat Jawa
lebih leluasa mernbungkus pesanseks. Melalui
ungkapan halus dan daya sugestif, ungkapan
tradisional rnerupakan wahana penanarnan
seks yang efesien dan efektif. Ungkapantradisional tersebut sengaja dimanfaatkan kernungkinan besar karena orang Jawa selalu berhatihati dalarn rnendidik seks kepada anaknya.
Melalui ungkapan tradisional Jaw, pengungkapan seks justnr dapat bejalan semra alarniah
dan tidak vulgar.
Dalarn kenyataannya yang memanfaatkan
ungkapan tradisional Jawa sebagai wahana
pengungkapan seksjuga mashtetbatas. Hanya
orangorangJawa tertentusaja yang memanfaatkan ungkapant r d i temmksud. OrangJawa
yang lain kadang-kadangenggan menanarnkan
seks baik dengan rnernanfaatkan ungkapan
tradisional maupuncara lain, terlebih lagi tertuju
pada anak wanita. Akibatnya, pengungkapan
seks di Jawa belurn berjalan sebagairnana diharapkan oleh banyak pihak. Hal ini penting
dirtirnbangkan karena rnenurut Lukas (1996:
17-18) kenyataan kehidupan, 75% di antara
muda-rnudi Jawa dapat dikatakan tidak rnendapatkan penjelasan sarna sekali dari orang
h n y a tentangseks. S i y a (25%) mudacmudi
Jawa hanya rnendapatkan penerangan seks
yang sarnar-sarnar saja.
Realita dernikian juga diakui oleh Bu Kar
(1981:39), seorang pengasuh rubrikeDariHati
ke Hati" rnajalah Femina bahwa selarna lebih
. dari setengahabad berkenalan ia hidup di burni,
t belum pemah diberi penerangan seks okh
b m n g tuanya. Dia juga rnerasa belurn pernah
mendengar ungkapan tradisional Jawa dari
r a n g tuanya sebagai wahana pengungkapan
W s . Padahal, ia berpendapatrnanakala penm s a n tentang seks ini bisa menyentuh usia
m a j a , terlebih lagi rnenggunakanungkapan
'
tradisional yang tepat, rnungkin akan mindatkan drama tragis kehidupan rumah tar@ga, Di
sinilah pentingnya orang tua untuk lebihtertwka
dan meniadakanpda lama yang menganggap
rnasalah seks sebagai ha1 yang jorok, tidakwajar, dan tabu.
Dari kenyataan itu boleh diduga bahwa
kedudukan orang tua dalam sebagian rnasyarakat Jawa, terlebih lagi rnasyarakatpedesaan,
sarnpai sejauh initidak memilikifungsi sepenuhnya dalarn rnasalah seks. Dalarn kaitan ini,
perasaan enggan dan pandangan mash sernpit rnungkintetap m p a k a n penghalang utama
dari jalannya pengungkapan seks di rumah,
terlebih lagibagiorangbua yang sangat risih(tidak
blak-blakan) dan sangat rnenjunjung etika
ketimumn secara kuat, Padahal, rnelalui ungkapantradisional Jawa itu sebenarnyaorang tua
lebih Huasa menyemaikanpengungkapanssks.
Diakui atau tidak, mungkin rnasyarakat
Jawa pedesaan rnasih ada yang berasurnsi
bahwa pengungkapan seks adalah suatu ha1
yang tabu. Artinya, pengungkapan seks tidak
perlu diajarkan (dijelaskan) kepada anaknya.
Untuk itu, ungkapantradisional sesungguhnya
dapat mengurangikonteks tabu sebab di dalamnya rnernuat tata norma Jawa. Kehadiran
ungkapan tradisonalj u s h pentinguntuk mernbungkus hal-ha1erotik lebih estetik sebab seks
tidak sekedar persoalan nafsu saja tetapi terlingkupi etika moral yang luhur. Sayangnya,
pernaharnan istilah tabu ini sering kebablasan
sehingga rnuncul pendangkalanasumsi sempit
bahwa pengungkapan seks biarlah berjalan
secara instingtif.
Atas dasar realitasyang ironis, di satu sisi
orang Jawa menghendaki persoalan seks dipaharni secara proporsional oleh anak-anaknya, di lain sisi seks tidak perlu diajarkan, maka
ungkapan tradisional rnenjadi ekspresi seks
yang lebih hurnanis. Ungkapan tradisional
rnerupakan wahana penanarnan seks yang
lebih sejalan dengan nilai-nilai kultural Jawa.
Jika demikian, masyarakat Jawa yang kurang
rnernanfaatkan ungkapan tradisional sebagai
sarana pengungkapan seks yang bermoral
tentu kurang beruntung.
Ib b n ini pembarca dapat memana liku-liku keuntunganpendiiikJawa yang menggunakan ungkramanisasi. Kramanisasimerupakan
wafma pengungkapanseks yang lebih sopan,
simbolik, dan komunikatif. Berbagai bentuk
ungkapan tradisional Jawa yang berfungsi
sebagai krarnanisasi seks ada yang masih
sering dfgunakan dan ada pula yang jarang
digunakan. Keluhuran kramanisasi seks termaksud dapat ditafsirkan secara semantik dan
kultural. Untuk itu artikel ini akan membbberkan bagaimana orang Jawa memanfaatkan
krsmanisasiseks baik dalam konteks sosial
maupun kultural. Sejumlah ekspresi benda di
sekelil9ng hidup orang Jawa sesungguhnya
merupakan kekayaan simbolik seks yang
imaknai sebagai wujud kramanisasi.
simbolisme dikotomis (oposisi biner)
tr#rrpslk kramanisasi seksualitas Jawa lebih
.Kesantunan orang Jawa memanfaatkah hmanisasi seks sekatigus menandai
lrrkfirya kepribadian Jawa.
sehari-hari hanya digunakan dalam konteks
tertentu. Menurut Hariwijaya (2004) ada beberapa macam ungkapan tradisional Jawa, yaitu
(a) temibung entar, artinya ungkapan kias, (b)
peribahasa yaitu berupa 'ungkapan yang
rnelukiskan perbuatan seseorang, (c) saloka
adalah ungkapantradisional yang berupa ungkapan menggunakan nama benda dan binatang, (d) pepindhan, a~tinyaperbandingan
obyek seksual dengan obyek lain, (e) panyandm, artinya deskripsisuatu fenomena seks, (9
piwulang, adinya ajaran seks, dan (g) isbat, artinya ungkapan seks yang bernansa mistik.
Macam-macam ungkapantradisionalini biasanya sulit dibedakan secara tegas. Orang Jawa
umumnya tinggal menggunakan saja, tanpa
memperhatikan rincian secara teoritik. Bggi
orang Jawa yang pentingadalah pesanseksualitas dapat tersampaikan.
Kajianterhadap pengungkapanseks &dam
kehidupan orang Jawa yang menggunakan
ungkapan tradisional, selama ini memang
belum banyak dilakukan. Permasailahan seks
memang pernah dibicarakan oleh PadmoISIONAL
puspito dkk. (1995) dengan mengambil objek
EKS
pada rubrik 'Liku-Liku Seksualitas" pada medim
'f%f~manisasiadalah
strategi penghalusan cetak Minggu Pagi. Namuh, perrnasalahan
eks dalam kehidupan orang Jawa. yang dikaji lebih terkait dengan sikap ketern ini, orang Jawa banyak mernain- bukaan masyarakat pembaca dalam mengks secara tersmar mengguna- ungkapkan masalah seks dan belumm y e n n tradisional Jawa. Ungkapan tuh ungkapan tradisional. Dari hasil kajian
amat beragam macamnya. tersebut terbukti bahwa pria lebih terbuka
ional merupakan istilah khas dibanding wanita. Hal yang menarik dad hasil
nilai estetis dan kultural. Ungkap- kajian hiadalah hadimyasejumlah pemrasalahI Jawa termaksud ada yang an yang ditanyakan oleh pembaca, yakni
n sehari-hari dan ada pula ung- tentang keadaan alat kelamin, sexual drive,
dianggap rahasia. Ungkapan keperawanan, penyakit, reproduksi, mimpi
yang banyak digunakandalam basah, KB, homoseks, orgssme, menstnrasi,
n seks biasanya memiliki kono- fungsiseks, dan~ddit9s.H a h ltefsebut Wak
disampaikan mePalui ungkapant r a d i s ' i l Jawa
sional Jawa dapat berupa yang beragam, melainkan s~tcaraterbuka den kata yang membentuk ngan berhgai pertanysan. Dari pertnasalahan
s. Biasanya ada ungkapan yang hadir ini, j e h ada persodan pen* yaw
yang telah populer dan ada dihadapi oleh wanita dalam hat seks. Hanya
onal ciptaan baru. Pema- saja, pemzasalahanyang ditanyakan itu m d h
isional dalam kehidupan tehtas pada eksistensimasyarakatyang ingin
mempejelas atau memang berangkatdari ketidaktahuan mereka tentang masalah seks.
Pembahasantersebutjush menjadibagian
dari salah satu pengungkapanseks masyarakat
modem yang menggunakan wahana media
massa. Pengungkapanseks semacam ini, lebih
terbuka karma alamat penanyajuga dirahasiakan. Sayangnya, pengungkapanseks ini hanya
akan b i dinikmati oleh rnasyarakatyang tidak
buta baca tulis. ltulah sebabnya, perlu dlcari
bagaimana bentuk pengungkapan seks pada
masyarakatyang kurang menguasaibacatulis,
yaitu masyarakatdesa yang rnasih mengandalkan pengungkapan seks secara tradisional.
Dalamkonkks semacam ini k W i r a n ungkapan
tradisional Jawa boleh dikabkan m j a d i sebuah pilihan pengungkapan mks.
Dewasa ini ada lagi model pengungkapan
seks modem yang tetah menjamah masyarakat desa yaitu menggunakan media televisi
dan HP (handphone). Penggunaantelevisi dan
HP secara tidak langsung akan mendewasakan masyarakat Jawa pedesaan dalam ha1
mks. Namun, jika ha1 ini kurang selektif juga
dapat berakibat lain. Sekarang hamsdisadari,
bahwa dalam masyarakat Jawa pedesaan,
istilah pengungkapan seks mungkin belum
popuk. Pengungkapanseks masih dipandang
mhgai tradisi. Sifat pengungkapanseks boleh
dikatakan masih tradisional, yang memanfaath n etika tertentu. Seperti halnya dinyatakan
eleh Soedjito S (1987:68), masyarakat J a w
Hdesaan masih sangat kuat memegang etika
; Imthuran. Karenanya dalam pengungkapan
,- mks pun, seperti halnya pemqiiw KB, tetap
ang pada nilai-nilai k ~ ' Makswlm
pengungkapanseks itu diksanakan
t @eh masyarakat desa, pmmnya tebp berpe
guh pada nilai-nilai susla Jawa. Penan susila Jawa ini antara lain dapat ditwnpuh secara strategis melalui ungkapan
tsdisbnal khas Jawa yang bersifat erotik.
Dalam masyarakatJawa tradis'il, termadii dalamnya rnasyarakatpedesaan, tmmut
dkk. (1993: 1OO), fungsi pengungkapan
ke arah pelestariantradiii serta kesingan dari generasi ke generasi. Permu-
[
k n kdakuan an
istiadat, yang
di satu pihak, dan di pihak lain
mengikutl secara patuh kata orang tua
'aturan emas"yang bemifatmutlak.
demikian mungkinsaja digunakandakm pengungkapan seks pada masyarakat Jawa pedesaan. Akibatnya, anak sebagai penerima pengungkapan ssksjuga dihantui rasa takut kuwalat
jika t i a k menurut petuahorang tuanya.
Padmopuspito (1997: 1) berpendapat bahl a b sek W a i t dengan nafsu
seks. Hal ini seperti dikemukakanjuga daSl R a M j o (1996:259 261) bahwa
iMlseks Wkaii denganciri-dri biologis, sudah
kodrati, sejak lahir sudah tergdongkan jgtnis
laki-laki dan perempuan. Sementara itu seks
lebih dari itu, yaitu konsep konstruksisoskl dan
kultural terhadap nilai potensi, perilaku yaw
berkaitan dengan seks. Pendapat ini mengisyaratkanbahwa pengwrgkapandcs itu W h
bas, mencakupjuga perilakugender yang terkait dengan seks secara lebih has, yakni met
nyangkut etika, moral, lingkunganSWW b&aya, dan lain-lain yang mempengmhthubwngan
seks. Dalam konteks ini, ungkapantrerdblonal
merupakan wahana yang tepat untuk membungkus pengungkapan wks yang kblh arif.
Hal tersebut juga dldasari deh pendapat
Kayam (1982:238-245) bahwa mks rnerupakan masalah kernanusban. Manusia adalah
sehingga membumakhluk yang brb;u-,
tuhkan pemyakm yang letrih bijak dalam ha1
seks. Bertolak dari pendapat ini, ada benzlmya
jih SUPOWJ
(1W : ? 3 ) berpendapat bahwa
metaeEarh mks merupakan satu soal kemanusim
yang dapat 'mengganggu' kehidupan. Pendapat semacrrm ini, sebenarnya
h a m akan terjadi jika pemahaman tentang
wks kefiru. Sebaliknya, jika pennasalahan
seks ikd dipahami sebagai kebutuhan yang
menciasar dantepatd a m penerapmnya, it'rwal
seks jwtsu akan mendatangkan ketenangm
bagi manusia.
ungManakalaorang Jawa meng~gunakan
kapan tradisional secm tepat (empanpapan)
tentu akan memuat nilai luhur. Pendrpat
-
demikian m e n e g a a k m b m pengungkapan
seka mlalui
~ k u penp
thg. Seks se
nafsu maupun kemanusiaan perlu dibingkai dengan
&k,
wartidak tejadi ~ e n ~ i m ~ m yang
gan
Mbadi sosial.Akhlak
-yakan
mbd a ~ t d i r a ~ k ukemdalam u n g k a ~ n
luhur.
'emakin
dan tepat p*
nrakdian 'ngkapan tradisional
berarli
pngung
wmngka, dan kancing-gd~q~
Contoh-M
simbolisme seksual Jawa yang artistik ini
mengandung nilai filos0F1syang ti-.
Perwujudan simbol filosofi seks demikian
sering munwl dalam
aktM& W i s i
orang Jawa. SimboCBimbol filsafati seks itu
mewpalcan wjud k m m m w i mks, seb~gai
endapan pengalaman erotik estetik orang
Jawa, Di anbra simbol seks b m a b u d ada
yang berupa ungkapan tradisional
muml
:1 rdalam
tradisi Jawa sebagai berikut.
(I)
Sesaji kenduri antara lain Eepet-kupat,
KRAMANISASI SEKS DALAM TRADlSl
pssungapevn, wnlJf&@nkakunggunungan
JWW
pud, dan tumpeng-mbeng sebagaisimbol
Kramanisasi seks dalam masyarakat
pria-wanita. Maka, untuk memakan kupat
tidak boleh dilepas bungkusnya, tetapi
Jawa merupakan wujud etika moral seks.
harus dibelah (disigar) tengah. Hal ini
Kramanisasi mengarahkan bahwa seks itu
meiambangkan bagaimma ktpe;t (ling&ta)
sakral sehingga hubungan seks hanya dilakumembelah
kupat (yoni). W i t u pula untuk
kan dafam rangka perkawinan maka apabila
fmkan am*n
~ w m putn;
n C
m
! apem
pria dan wanita ditemukan tidur bersama
harus dibelah tengah terlebih dahulu.
sslcrrra tidak sah, para tetangga akan h e m
Konsep belah tengah menandai simbt
besar. Keadaansemacam ini, rnenurut Magnis
hubungan suami isteri yang akan
t3useno (1984176) rnenunjukkanbahwa orang
mernpwbh kenbatan lahir batin-.
Jawa cenderung bersikap tegas terhadap
(2)
beNpa mperkmasalah seks. Berdasarkan pengamatan
menabuh kapylek
Geertz (1961:103),pengungkapanseks remaja
camp&, dipukulkan
(muda-mudi) terutama yang terkait dengan
di tengahnya sehingga mengeluarkan
suara nyaring. Suwa nyaringadaiahslmbol
hubungan suami isteri, biasanya diperoleh
hasil hubungansekmal pria-wanita (cemmelalui ibu dan ka
-%
secara utuh.
palak~.Kemerduansuaraitumernmjukkan bahwa hubungan seke memqmJ
ncak kenikmgltanymg W bkm.
duniaJrawa,~msmlkatbgyDa
partiwi dan gunung-segara
adalah lambang pria-wanita. Lambang
semacam ini didasarkan pada wawasan
dunia imajinatifbahwa prh berada di atas
wadah. Gambaran
k m sin* bahwa ad%
alam semesta (kosmos)
seks. Di dalamnyajuga
bungan seks secara mistis dalam tradisi
seperti bapa akasa-ibu
tc#npeng-ambeng,
kolong-pelen, pasung-apem,
l ~ h tusuk-kondhe
,
(gelungan),
(4) Bangunanlarsibktur J m , ditemukan
-p
;,
gantj.f&~gIo~
dan 8
h n g w nsmsh p g berbentuk tugu hi,
melukiskanmkmdprkwanb. Ungkapan
ini selafu berbentuk lingga-yoni. Bangunan
-
Swardi Kramanisasi Seks Warn KehMpan O m g Jawd
~rnah
itu rnenjadi kokoh, tahan gernpa, nilai simbolik, ungkapan tradisional Jawa sekarena ada hubungan harmoniantara dua bagai sarana pengungkapanseks bagi wanita
unsur seks. Antara pelen-kolong yang sungguh sulit diremehkan. Apalagi realha yang
saling isi-mengisi,wadah-rnewadahi, rnenjadikan IUrnah kuat, berdirikokohdan rnem- selama ini melingkupi kehidupan seks wanita
Jawa rnemang masih memprihatinkan. Hutomo
bahagiakansi perniliknya.
(5) Busana Jawa, rneliputi tusuk-kondhe (1988: 1) berpendapat bahwa wanita Jawa se(gslungan), curiga-wrangka, dan kancing- cara ideologis dan psikologis terkadang digelung yang rnenandai seks pria-wanita. pandang sebagai objek seks bagi laki-laki. J i
Berbagai unsur busana tradisi Jawa ini demikian yang terjadi, berarti wanita akan
rnerupakan ajaran seksual halus, untuk menjadi 'korban' seks.
rnerajut pernikiran erotik orang Jawa. KeDalam istilahyang lain, Sudewa (199238)
indahan dan kekuatan akan diperoleh
juga
menyebutkan bahwa wanita Jawa dalam
rnelalui kepaduan keduaunsur, yang rnelukerangka
tradisi sekedar didudukkan sebagai
kiskan persenyawaan antara pria-wanita.
Persenyataan itudapat antara lain diibarat- pelampias nafsu seks. Kondisi seperti ini, mekan secara mistik seperti halnya curiga nurut Muttalib (1997:212) terjadi sebagai
manjing rangka wrangka manjing curiga. dampak citra wanita yang selama ini masih
Artinya, kedua unsur itu memadu sehing- sering digambarkan dalam dunia kecantikan,
ga rnenurnbuhkan rasa nikmat yang luar
fashion, dan masak-memasak. Akibat yang
biasa.
lebih dahsyat lagi adalah seperti dinyatakan
Ungkapan tradisional tersebut merujuk Abdullah (1998:6) bahwa wanita masih cendepada metafor alat kelamin pria-wanita maka rung sebagai 'korban' proses sosial sehingga
orang Jawa dalam mengajarkan seks cende- tejadi sepertiadanya pelecehansosial, pemerrung secara visual tersamar agar tidak terkesan kosaan, dan berbagai tindakan kekerasan lain
jorok. Ungkapan semacam ini menjadi sebuah yang merugikan.
kmmanisasiseks, sebagai wujud kepribadian
Kejadian-kejadianseperti itu, menurut Braluhur orang Jawa. Begitu pula ungkapan yang takisawa (1996:5) tidak lain akibat dari eksisdigunakan orang Jawa ketika memanggilanak tensi masyarakat yang masih buts terhadap
laki-laki dan wanita juga memiliki implikasi pengungkapanseks secara halus. ltulah sebabseksual yang tinggi. Anak laki-laki biasa di- nya, setuju atautidak memangdiperlukanpengpanggil dengan sebutan Thole, Le, Gus, Cung, ungkapan seks, agar manusia (wanita) dapat
yang berasaldari kependekan katakonthde(alat menikmati kekuatan seks yang sesungguhnya
kelamin pria) dan anak wanita dengan sebutan dalam kehidupan. Pengungkapan seks yang
f&mkJ Nuk, Wuk, Gawuksebagai representasi lebih terbuka dipandang perlu agar pelaku seks
bntuk kelaminwanita (vagina). P msirnuis- di pedesaantidak keliru arah. Namun, berbagai
me yang menjadikarakteristikJawa inij d sjelas persepsi rnasyarakatJawa terhadap seksjustru
merepresentasikansuatu derajat kultural yang dipandang luhur dan humanis apabila diungkapkansecara santun.
adiluhung.
Pengungkapan seks termaksud akan teDalam tradisi mistik pun orang Jawa menrasa
amat penting ketika seorang wanita mengciptakankarya berjudulGathdoco (anonim), yang
tidak lain merupakan simbol seksual. Gaff101 injak umur remaja. Pada rnasa ini menurut D i i
artinya tiang panjang dan loco berarti licin. gunarsa (1981:30)wanita akan diindai dengan
Untuk meluapkan nafsu seks maka Gatholoco kernatanganseks yang disertsli dorongan seks,
kelak mengambil jodoh bernama dewi Dudul kesenangan sesaat, kepribadian yang belum
Menduf, Lupifwati, Ram Bawuksebagai simbol bertanggungjawab, dm sebagainyayang dapat
kelaminwanita. UngkapantradisionalJawa ini menimbulkan masalah sesksualitas. Ketidakadalah pilihan kata yang banyak memuat aspek- jelasan pengungkapanseks oleh orang tua keaspek simbolik. Meskipun kentaldengan nilai- pada wanita, akan memunwlkangangguan seks
lwrng LetsUlst&mk&W mmkatelah rnemasuki
.Gangguanyang arkupfatal
ngguan orgasmus disfuncdahm rnencapaio!psmus
&in ismu us yak kekejangan otot-otot vagirts - b a g h luar. Melalui ungkzrpaJl fmdbional
berupa simbd pria-wanita maupun
s d a yang sukses, &kit banyak akan
kan p e m h a n pada rrtmaja tentang
wluk Wuk seksual.
Kqpgalanhubungan seks sebagiandapat
d i a k b h n deh adanya latar W a n g keluarga
tnamndang seks sebagai sesuatu yang
koCor, dosa, dan rnemalukan (Djati, 1997:169171).P$as da$ar ha1ini, pengungkapan&rneMuiungkapantradisional bagiorang Jawa p d u
mendapat perhatian berbagai pihak. Pengungkapanseks akan terkait dengan nwma dan
adat sitiadat yang membutuhkan penanganan
mmim arif. Kebeffwsilan pengungkapan seks
yang halus secara =pat atau lambatjelas akan
r n m d p w manuskt Jawa lebih berbudi luhur
(beradab). Oleh sebab itu, seluruh halyang berkaitan dengan pengungkapan seks baik secara
modem maupun tradisional perlu dirancang
seem matang.
Orang Jawa dalam m a i hal, terrnasuk
dalam rangka etika atau moraliinya, sering
bemdadalam kemngkasimbolisme. Dalamkata
lain juga sering dikatakan dengan istilah
sinamun ing samudam yang bermakna 'disarnarkan dalam simbdisme'; atau sesadon
ingadu manis yang berarti 'pembicaraannya
disamarkan dengan manis'. Oleh karenanya
dalam banyak ha1orang yang diajak berbicara
oleh orang Jawa perlu mengerti kontekskonteks simbolik yang terlontar dalam pmbicaraan. Dalam bentuk yang lain ter-t
ungkapan tradisionaljalmcl lhpadiwprapat t a m t
yang berarti 'orang yang pandai mskipun
hmya diijari wperempat w i n pqetahuan
e
n
w
.Hari(disimbolkan), niscaya ia akan m
Wibya (20043) menyatakan ha1senrpa dengan
menyebutkan bahwa diperlukan pengetahuan
y w q linuwih untuk memahami bentuk dan
tW)MkUIsimbol-simbol seks Jawa.
Dalamsuatu wawamra di wbyah Kabupaten Kulon Progo, m n g bapak mngaku
bahwa ia tidak pemah memberikanpengungkapanseks S8Cara brbuka kepadaanak wan&
tanya yang baru mema8ukimaw berpacaran.
Namun, ia pemah berpesan bahwa anaknya
a
w menjadi
hams menjaga din agar jangan s
satru munggwing cangklakan. Ungkapan
tradisional ini berarti 'wanita itu musuh bagi
pundak orang tua'. Arthya, bila anak wanita
tklak bemati-hatidalam bertindak ketika bergaul
denganseorang pria, ia bisatemggut rnahkota
kewanitaannya dan bahkanbisa mengandung
sebslum menikah. Hal inilah yang dimaksudkan menjadi musuh bagi orang tua.
Wanita Jawa sering dianggap terbatas
kemampuannya untuk maju. Hal hi sering diungkapkan dengan urqkapan tradidonal kesrimpet pinjung yang berarti terjeratjarit pakaiannya sendin. PiyuqjmemjJiki komW seksual
yang arnat khas bagi wanita yaitu payudara.
Apalagi jika pinjung itu dierjemahkandengan
keratabasa, pirljung dad tepining munjung.
Munjung artinya menonjol, yaitu bagian payudara (susu)wanita yang sern
ig diurnpamakan,
seperti cengkir gadhing. Yang kurang estetis
dan etis sering mengumpamakan payudara
seperti pepaya. Metafor semacam ini mlukiskan betapa tinggi obsesi orang Jawa bmadap
persoalan seks, terutama yang menyangkut
bentuk fisik (bleger).
Ungkapantradisknal yang lebihjauh
sering ada pesan orang tua agar orang Jawa:
"ajangantisuwekpadkm tergihe, d h a d h a l v
kane, wong lanang @anganti mpalw@mI
mundhrrk nistha." Tapih adabh dmbol seks
seorang wisntta J a m yang teJkait dsngan w
ralitas Jawa. Tapih dan wrangka berkonotad
dmgan lxqyahana wanita mampu menjaga
kamalusm. Whmgka adalrah wadah kerS.6 latau
cur@?.Jika wanita tidak mampu menjaga
kmaluan hrarti sebagai wadah sudah tidak
stsci I@. Jika kedua ungkapan itu sampai dilanggar, berarti wanita Jawa W b u t t&h
dianggap hina (nistha). Begitu pula laki4aki
yang sempalauQane, artinya blahmelakukan
hubungansekkeal di luar pemikahanyangjslas
mlanggar kesusilaan.
mi,
Ungkapanlain yang senada dengan di atas
bahwa wanita Jawa dilarang sampai kendho
tapihe 'tidak terikat kuat atau kendor jaritnya',
artinya harus menjaga kehormatan kewanitaan
dan harga dirinya, jangan sampai dengan
mudah dirayu para pria, kecuali suarninya. Jika
dicermati istilah tersebut, terkandung pesan
kendor saja tidak boleh apalagi sampai sobek
(suwek) jelas amat dilarang. lstilah lain yang
sering dipergunakanadalah wanita tidak boleh
bertindak lemeryang berarti'tidak berpendirian'
atau 'mudah tergoda' atau 'suka -melacur'.
Wanita demikian dalam tradisi Jawa sering
disebut wong wadon cowek gompel, artinya
wanita yang telah melanggar kaidah seks.
Wanita itu akan kehilangan harga diri di tengah
rnasyarakat.
Wanita yang diidamkan oleh pria (Hariwijaya, 2004:77) adalah yang gandhes luwes
dan kewes, yakni wanita yang pandai rnembawakan diri, berpenampilan rnenarik, lincah
bergaultetapi tidak kehilanganjati diri kewanitaannya. Konteks ungkapantradisional sernacam
himerupakan idealismeorang Jawa. Falsafah
kehidupan orang Jawa ternyata juga diungkapkan melalui ungkapan tradisional seks yang
luhur. Ungkapan tradisional tersebut secara
tidak langsung mernbatasi gerak wanita dan
pria dalam ha1 seks. Namun, di balik itu juga
dapat diartikan bahwa wanita dan pria senantiasa hams menyadari kodratnya. Di atas
juga telah disinggung bahwa dalam suatu
wawancara, seorang ibu mengajarkan agar
kelak anak wanitanya jangan hanya sekedar
dijadikan kanca wingking atau ternan di
belakang dalam arti negatif, dan jangan hanya
disuruh suami untuk olah-olah, umbah-umbah,
mengkureb-mlumahdan momong bocah atau
hanya 'rnemasak, mencuci, melayani seks
suami dan mengasuh anak'. Dalam ungkapan
Jawa lain tergambar agar wanita tidak sekedar
rnengurus dapur-sumur-kasur. Ungkapan
b u r ini, sebenamya rnenyimbolkanpersoalan
seks. Ajaran itu temyata disampaikan oleh
ssorang ibu dengan tujuan yang lebih jauh,
yakni agar anak wanitanya lebih terhormat di
mata keluarga terrnasuk suami.
Pendapat yang hampir sama, yakni seorang ibu yang mengajarkan anak wanitanya
untuk meneruskan sekolah yang disampaikan
dalam bentuk ungkapan tradisional lain, yakni
jangan sampai dunrng pecus keselak besus,
yang berarti 'belum berkemampuansudah keburu menikah'. Ungkapan tradisional ini sebenarnya lebih sering diterapkan bagi anak lelaki.
Narnun ternyata juga dapat diterapkan bagi
anak wanita. Kata pecus berarti 'berkemampuan', rnaksudnya adalah berkemampuan dalam
material maupun spiritual atau mental sebagai
persiapandalam berkeluarga.
Suatu cara penyampaian ungkapan tradisional yang menarik dan terkesan lebih
modem adalah seorang bapak yang berpesan
kepada seorang tetua (sesepuh) paguyuban
tertentu untuk memberikan ular-ular (ajaran),
dalam hubungannyadengan kerumah-tanggaan dan seks bagi anaknya yang akan rnenikah.
Ular-ularyang disampaikan antara lain, bahwa
seorang wanita Jawa yang telah menikah itu
berada dalarn kondisiswatga nunut nraka katut
yang berarti 'bila suarni bahagia sejahtera isteri
akan ikut merasakan dan bila suami menderita
maka isteri pun ikut menderita'. Oleh karena
itu, seorang wanita haws berlaku mendukung
suami dengan berlaku momot mengku hamemangkat.
Momot artinya, wanita harus rnenerirna
segala sesuatu yang ada atau diberikan oleh
suami. Segala kebaikan dan kelemahan suami
harus diterima apa adanya jangan terlalu
rnenuntut berlebih, baik dalarn memberi nafkah
lahiriah maupun batiniah. Celakanya momot ini
sering dipelesetkanpada ungkapanseks, bahwa
wanita itu berarti wadon, wadon iku wadhah.
Maksudnya, wanita hanya sekedarwadah yang
dititipi air suci (man0 oleh pria, maka h a m
bersikap momot. Mengku artinya, berbagai
kelemahan dan kekurangan suami harus
dipahami dan dimengerti dengan laperng dada.
lsteri harus banyak memaafkan kekurangan
suami. Hamemangkatartinya, isteri haws menjaga nama baiksuamidanW r g a , rmw@mmd
suami dengan semestinya sebagai kepala
keluarga.
, vol. 21, No. 3 c)kt#Aw2099: 274 - 2w
Ungkapan tradisional momot mengku
dasamya hampir sama merarnbah dunia Jawa,
h a m m a ~ b pada
t
n tradisional mikul dhuwur
yang berrnakna menghargai jelas lagi pada acara pmyaarbpmayaansereatzw mnjunjung tinggi segala kdebihansuami rnonial, biasanya prb dan wanita duduk m r p
&n menerima atau merahasiakan segala terpisah. Wanita juga wring dilarang bsjalagr
han suami'. Dalam bentukyang hampir sendirian karena untuk menghindari supayq
stelma ungkapan tradisional tersebut barbunyi tidak diganggu pria. Masyarakat Jawa, Itsbifir
momang momor Ian momot. M o m artinya, mengutamakan pqawasan&lam kehidupaq
isteri harus mampu mengemban amanat seksual agar Mak terjadi hal-hal p n g tidak
ksbrga, yakni mengasuh, membimbing dan diinginkan.
Sinyalemen demikian tentu saja perlu
m @ g a keluarga secara halus. Momor artibuktikan
pada wilayah lain k a m pcjnckapat twc
nya, isteri hams mampu bergaulsecara l w s
baSk dalam kelumga maupun dalam rangka sebut hanya didasarkan observasi pada saJah
msial. Momorjuga berkonotasisebagaiungkag satu wilayah dalam kduarga Jawa. Jika tidal;,
an seks, artinya wanita h a m pan$ai melayani jelas akan terjadi penyudutan kehidupan s&
seks seorang suami. lsteriharus selalu menarik dalam masyarakat Jawa di mata orang lain,
dmatasuami.
Ahwtartinya, istetihatusmampu Terlebih lagi, Magnis Suseno (1984: 179-180)
rnenampungsqph beban pennasalahansuami juga membuat statemen yang amat gegabah,
yaitu: (1) hubungan seks dalam masyarakat
d m keluarga.
Jawa
tidak ada ha1yang hams dipndang se:
Dalam makna yang juga hampir sama,
I
seorang isteri hams mituhu hamitapni. Mituhu bagai sesuatu yang problematis se~aramoral,
arthya, isteri hams ikhlas mdaksanal