Siaran Pers 21 Oktober 2013 Pengaturan Persyaratan Pemilihan Hakim Konstitusi

SIARAN PERS
PENGATURAN PERSYARATAN, PEMILIHAN, DAN PENGAWASAN HAKIM
KONSTITUSI TIDAK CUKUP MEMENUHI KATEGORI KEGENTINGAN MEMAKSA
Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) akibat dugaan tindak pidana korupsi yang menimpa
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, perlu mendapatkan perhatian serius. Dari
berbagai media, secara garis besar, Presiden menyatakan nantinya terdapat 3 (tiga) poin
utama dalam Perppu tersebut yakni persyaratan hakim konstitusi, penjaringan dan pemilihan
hakim konstitusi, dan pengawasan terhadap MK.
Harus diakui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 memang memberikan hak bagi Presiden
secara konstitusional untuk menerbitkan Perppu (Pasal 22), yaitu dalam konteks adanya ihwal
kegentingan memaksa. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Perppu adalah
sebagai noodverordeningsrecht atau produk hukum yang dikeluarkan berdasarkan hak
subjektif Presiden guna melakukan pengaturan ketika ada keadaaan yang genting dan
memaksa. Hak subjektif Presiden yang diberikan oleh konstitusi ini kemudian diatur lebih
lanjut dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Pasal 1 butir 4, Pasal 7, dan Pasal 11). Sedangkan mekanisme pemberian persetujuan oleh
DPR agar Perppu tersebut dapat atau tidak dapat berlaku sebagai undang-undang diatur
dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011.
Mengenai konteks “ihwal kegentingan memaksa” perlu untuk dibahas lebih lanjut. Keadaan
yang “memaksa” merujuk kepada hal yang berkaitan dengan substansi pengaturan dari suatu

Perppu. Perlu diperjelas apakah ada persoalan substansial yang memaksa untuk
dikeluarkannya Perppu. Hal ini mengingat dalam keadaan normal sekalipun persyaratan
hakim konstitusi, pemilihan hakim konstitusi, dan pengawasan terhadap MK seharusnya
diatur secara normatif dalam undang-undang. Dalam kapasitas Presiden yang memiliki
kewenangan konstitusional untuk membentuk undang-undang bersama dengan DPR,
berdasarkan substansi pengaturannya, lebih tepat ketiga hal tersebut diajukan dalam bentuk
RUU inisiatif oleh Presiden (dapat melalui perubahan UU MK).
Selanjutnya, hal kedua yang patut diperjelas adalah maksud dari keadaan “genting”, yang
merujuk kepada hal yang berkaitan dengan waktu/kondisi pada saat dikeluarkannya Perppu.
Patut diperhatikan apakah ada waktu/kondisi yang mengharuskan Presiden mengeluarkan
Perppu. Hal ini mengingat hingga hari ini persidangan di MK masih berjalan dengan jumlah
hakim konstitusi masih mencapai syarat kuorum. Begitu juga belum ada penarikan perkara
atas dasar ketidakpercayaan kepada MK. Dengan dasar penjelasan di atas, dapat dipahami
bahwa keadaan yang genting dan memaksa belum terpenuhi untuk dikeluarkannya Perppu
oleh Presiden.
Penangkapan terhadap Akil Mochtar tentu saja mengejutkan publik dengan segala
harapannya kepada MK. Proses hukum yang berlangsung juga tidak boleh luput dari
perhatian. Namun, di sisi lain, perlu kejernihan berpikir dalam memandang permasalahan ini,
bahwa secara kelembagaan MK masih penting dan perlu dijaga kewibawaannya. Dukungan
publik kepada MK merupakan dorongan positif untuk membenahi lembaga yang lahir dari

proses panjang reformasi ini. Begitu juga dengan rencana penerbitan Perppu oleh Presiden
yang patut diberi perhatian. Berdasarkan argumentasi diatas, terhadap ketiga materi tersebut
lebih tepat kiranya diatur dalam bentuk undang-undang, lebih tegasnya dapat melalui RUU
inisiatif oleh Presiden.
Miko Susanto Ginting (085722447687)