Ketika Tuhan Ditenggelamkan Lumpur Lapindo

  ________________________________________________________________________ Sumber: Koran Tempo, 29 Maret 2008

  Ketika Tuhan Ditenggelamkan Lumpur Lapindo Oleh: Firdaus Cahyadi

  Gencarnya upaya penyesatan informasi melalui iklan PT Lapindo di berbagai media massa yang kemudian diikuti oleh semakin kuatnya pembelaan lembaga-lembaga negara (dari eksekutif, yudikatif, sampai legislatif) terhadap perusahaan ini telah kembali "berhasil" mengkambinghitamkan Tuhan sebagai penyebab utama bencana ekologi yang menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo.

  Seperti sebuah grup paduan suara, para pejabat publik di negeri ini menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam. Bahkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, sebagai tempat bersemayamnya para ilmuwan, telah merekomendasikan bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam (Koran Tempo, 18 Maret 2008). Negara, yang seharusnya dapat bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang merugikan masyarakat, pun kini hanya berfungsi tak lebih dari sekadar kasir Lapindo. Pasalnya, Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta wilayah yang terkena dampak lumpur Lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta.

  Berdasarkan payung hukum itulah, dalam sidang kabinet terbatas yang diselenggarakan pada awal Maret 2008 lalu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dengan mudah menyanggupi untuk mengucurkan uang sekitar Rp 700 miliar dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk menanggung dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur Lapindo. Uang dari APBN yang seharusnya bisa digunakan untuk membiayai anggaran pendidikan dan kesehatan pun dengan mudah dibobol untuk menanggulangi dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur Lapindo. Padahal, jika saja tidak terjadi semburan lumpur dan Lapindo berhasil mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo, keuntungan dari usaha itu sudah dapat dipastikan tidak mengalir ke kas negara atau andaikata mengalir pun jumlahnya tidak signifikan.

  Kemenangan Lapindo atas negara kini sudah di ambang mata, sementara kekalahan rakyat Indonesia, terutama yang telah menjadi korban semburan lumpur, pun tinggal menunggu waktu saja. Kekuatan uang benar-benar telah sedemikian berkuasanya di negeri yang selalu mengklaim religius ini.

  Ruang-ruang publik yang seharusnya menjadi tempat bagi sebuah perdebatan yang sehat dalam kasus Lapindo kini telah dibajak oleh serbuan iklan. Para ilmuwan independen dan korban lumpur Lapindo yang tidak memiliki uang untuk beriklan di media massa pun tak terdengar suaranya. Akibatnya, Tuhan pun akhirnya menjadi terdakwa tunggal dalam kasus semburan lumpur Lapindo.

  ________________________________________________________________________ Suara pakar pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia yang menilai semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh adanya unsur kelalaian dalam proses pengeboran, seperti mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina Ir Kersam Sumanta, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, dan ahli perminyakan ITB yang juga mantan ketua tim investigasi independen luapan lumpur Lapindo, Rudi Rubiandini, tidak pernah menjadi pertimbangan dalam munculnya hampir setiap kebijakan publik tentang Lapindo. Jika suara para pakar independen saja diabaikan, dapat dipastikan suara korban Lapindo juga akan mengalami hal yang sama.

  Hal itu diperkuat oleh pernyataan Ibu Sumiyati, salah satu warga korban Lapindo, dalam sebuah testimoni yang dipublikasikan di sebuah blog yang mengatakan bahwa selama ini pemerintah tidak mendengar golongan bawah. Mereka hanya memperhatikan golongan atas. Menurut dia, yang diajak bicara oleh pemerintah hanya pemilik perusahaan, sementara para korban tidak diajak bicara. Bahkan sering kali para korban mendapatkan teror dari aparat.

  Kekalahan negara dalam kasus Lapindo itu sebenarnya sudah terlihat sejak awal munculnya kasus lumpur Lapindo. Beberapa keputusan pemerintah yang dianggap merugikan Lapindo sering kali dengan mudah diabaikan. Keputusan-keputusan yang merupakan hasil rapat 28 Desember 2006, misalnya, Presiden memerintahkan Lapindo menuntaskan tanggung jawab penanganan lumpur panas dengan kewajiban menanggung biaya penanggulangan lumpur sebesar Rp 1,3 triliun. Selain itu, Lapindo harus membayar kompensasi berupa ganti rugi lahan sawah dan rumah rakyat mulai awal Maret 2007. Total kerugian rakyat yang diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun pun harus sudah dibayar 20 persen oleh Lapindo (Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo, Ali Azhar Akbar, 2007).

  Namun, jangankan memenuhi keputusan tersebut, Lapindo justru mengklaim telah mengeluarkan dana untuk mengatasi dampak sosial lebih dari US$ 15 juta. Celakanya, pemerintah SBY-JK menuruti saja klaim Lapindo tersebut. Bahkan akhirnya pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yang merupakan payung hukum bagi Lapindo untuk mendapatkan kemenangan-kemenangan berikutnya. Upaya mengkambinghitamkan Tuhan dalam kasus Lapindo tampaknya sebuah langkah yang memang sudah direncanakan sejak awal. Bagaimana tidak, bila lumpur Lapindo ini berhasil dinyatakan sebagai bencana alam, bukan hanya dapat membobol APBN untuk membiayai dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur, tapi juga kerugian yang diderita Lapindo dalam kasus itu dapat diringankan oleh klaim asuransi yang bersedia menanggung kerugian hingga US$ 25 juta.

  Publik pun akhirnya hanya ditempatkan sebagai obyek pelengkap penderita dalam kasus ini. Pintu-pintu masuk untuk memperjuangkan nasib publik secara lebih adil dan terhormat sudah dijaga oleh para pembela Lapindo. Mungkin salah satu cara yang kini bisa dilakukan adalah menjaga memori publik atas peristiwa ini agar tidak begitu saja dilupakan, paling tidak sampai Pemilu 2009 mendatang. Dengan begitu, publik dapat memberikan hukuman politik dengan tidak memilih partai politik dan tokoh politik yang selama ini membela Lapindo.

  ________________________________________________________________________

  http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/lapindo-dan-tanggung- URL Source: jawa Lapindo dan Tanggung Jawab Sosial

  Oleh: Viktor Silaen Akhir Mei silam, bencana yang bernama ”lumpur panas Lapindo” di Sidoarjo itu bermula. Efeknya bagaikan ”bola salju” (snowball effect): mula-mula kecil, tapi karena menggelinding terus-menerus, lama-lama semakin membesar. Hingga kini, ”bola salju” itu sudah bergulir kurang-lebih enam bulan lamanya. Dampak negatifnya sungguh dahsyat, baik secara material maupun non-material. Tapi, baru 23 November lalu ia dinyatakan sebagai bencana nasional. Betapa lambannya pemerintah menyikapi bencana ini.

  Itu pun ”menunggu” dulu setelah terjadinya ledakan pipa gas Pertamina di kawasan berbahaya sekitar lokasi semburan lumpur yang meminta korban jiwa lebih dari 10 orang. Ledakan pipa gas tersebut adalah bencana atau kecelakaan, demikian dinyatakan pemerintah yang diwakili Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Baiklah, kita terima bahwa ini memang bencana. Tapi, mengapa bisa sampai berbulan-bulan lamanya? Kita patut mempersoalkan, dengan kategori sederhana: ini bencana yang tak diundang atau bencana yang diundang? Ada beberapa alasan mengapa pertanyaan itu patut dikemukakan. Pertama, menurut Effendi Siradjudin, Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), sebelum pipa gas Pertamina meledak, Aspermigas sebenarnya sudah memprediksikan bahwa bencana tersebut memang akan terjadi.

  Dalam pembicaraan awal dengan ahli geologi, Dr Andang Bachtiar dan Staf Ahli Menko Perekonomian Ahmad Husein––terkait rencana Aspermigas menyelenggarakan temu ilmiah untuk mengkaji kasus Lapindo pada awal Desember mendatang ––ledakan pipa gas Pertamina di lokasi Lapindo termasuk salah satu masalah yang harus cepat diantisipasi.

  Selain karena penanganan yang lamban, peninggian tanggul penahan lumpur panas yang terus dilakukan telah menimbulkan beban yang melebihi daya tahan pipa. Secara teoretis, jika tanggul terus ditinggikan, pipa saluran gas tersebut akan pecah karena kuatnya tekanan dari dalam dan dari luar pipa.

  Kedua, data Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) menyebutkan bahwa lokasi sumur eksplorasi dan eksploitasi Lapindo semuanya berada di kawasan permukiman padat dan pertanian dengan kualitas kesuburan tanah kelas 1. Dari aspek geologis, lokasi tersebut merupakan zona yang mempunyai struktur bumi yang banyak patahan dan rekahan yang sangat rentan terhadap underground blow out. Artinya, berbagai bentuk kecelakaan industri memang berpeluang besar terjadi di lokasi- lokasi lain di setiap titik sumur eksplorasi dan ekploitasi milik Lapindo yang berjumlah

  ________________________________________________________________________ 49 sumur. Dari 49 sumur tersebut, yang memiliki izin AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) hanya 21 sumur (AMDAL tahun 1997). Sedangkan 17 sumur lainnya baru dalam tahap pengajuan AMDAL (draf), sisanya (11 sumur) tidak memiliki AMDAL. Sejatinya, AMDAL sebagai instrumen pengendali dampak lingkungan dan sebagai prasyarat perizinan seharusnya dimiliki oleh setiap pemrakarsa usaha. Tapi ternyata, Lapindo dapat mengabaikannya begitu saja. Bukankah berdasarkan datadata ini pun sebenarnya bencana yang ditimbulkan Lapindo juga sudah dapat diprediksi jauh sebelumnya? Ketiga, sekaitan itu sebenarnya Lapindo patut disangka telah melakukan beberapa pelanggaran. Antara lain UU Lingkungan Hidup No 4/1982 (terutama Pasal 16 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup) dan Peraturan Pemerintah No. 29/1986 tentang AMDAL. Dengan demikian, seharusnya sudah sejak jauh hari pemerintah memberikan sanksi kepada Lapindo, dengan mengacu pada: 1) Pasal 27 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberi kewenangan bagi instansi pemberi izin usaha untuk mencabut izin usaha bila terjadi pelanggaran tertentu yang dianggap berbobot, mulai pelanggaran syarat administratif, pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan terhadap penduduk setempat, sampai pelanggaran yang menimbulkan korban; 2) UU No. 5/1984 tentang Perindustrian yang memberi dasar yang kuat bagi pemerintah untuk menjatuhkan sanksi bagi kegiatan industri yang menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup Hal senada pernah dikemukakan Dr Suparto Wijoyo, ahli hukum lingkungan Universitas Airlangga, jauh sebelum ledakan pipa gas Pertamina terjadi. Menurut dia, Lapindo telah melakukan setidaknya 10 dosa hukum, antara lain UU Lingkungan Hidup, UU Jalan, UU Migas, UU Pertambangan, dan UU Kesehatan.

  Dari seluruh dosa hukum itu, maka ancaman hukuman yang bisa ditudingkan ke Lapindo adalah di atas 5 tahun. Mestinya, lanjut Suparto, mereka yang mendapatkan ancaman penjara lebih dari 5 tahun layak ditahan. Dengan beberapa alasan di atas, seharusnyalah pemerintah bersikap tegas dan bertindak cepat menangani kasus ini. Mengapa harus ”menunggu” sampai terjadinya ledakan 22 November itu baru kasus ini dinyatakan sebagai bencana nasional? Seandainya pemerintah lebih sigap, setidaknya jatuhnya korban jiwa secara siasia dapat dicegah. Karena itulah ke depan, kita berharap pemerintah mampu memperlihatkan kinerjanya secara lebih serius dan sikap yang lebih berani dalam menangani kasus ini. Maka, berkaitan dengan kabar yang beredar bahwa saham PT Energi Mega Persada (anak usaha Grup Bakrie) di Lapindo telah dijual kepada Freehold Group Limited, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah konkret.

  Pertama, mencegah pelepasan saham oleh kelompok Bakrie itu sebelum beberapa hal penting terkait dengan hal ini menjadi jelas. Kedua, berhubung Lapindo sudah go-public, maka sebelum terjadinya pelepasan saham

  ________________________________________________________________________ itu harus dilakukan audit yang bukan saja terkait bidang finansial, tapi juga tanggung jawab sosial, lingkungan hidup, dan kompetensi para pemimpin perusahaan tersebut. Ketiga, membuat perjanjian secara hukum tentang siapa yang akan meneruskan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan hidup itu selanjutnya. Terkait hal itu, maka ada hal yang mengherankan: bahwa siapa di balik Freehold Group Limited itu tidak pernah dijelaskan secara rinci sampai sekarang.

  Pihak Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) jelas harus konsern dengan urusan alih- saham itu. Sementara Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo harus konsern dengan masalah tanggung jawab Lapindo. Sebab, sebagai perusahaan besar, Lapindo seharusnya menjalankan apa yang disebut social corporate responsibility (CSR). CSR itu haruslah ditunjukkan secara konkret, baik kepada pemerintah, masyarakat sekitar, maupun lingkungan hidup.

  Apalagi, menurut data Walhi, sejak tahun 2001 hingga 2004, pendapatan Pemkab Sidoarjo dari Lapindo terus menurun. Bahkan, antara tahun 2005 hingga pertengahan 2006 ini, Lapindo tidak pernah menyumbangkan pendapatan pada kas daerah. Sementara di sisi lain, sejak terjadinya semburan lumpur panas itu, pertumbuhan investasi di Sidoarjo mencapai nol persen. Penyebabnya, para investor takut tanah di sekitar lokasi semburan menjadi ambles.

  Sehingga, pengusaha kalangan menengah ke atas tak ada yang mau menanam modalnya di sana. Bukankah atas semua dampak negatif itu pihak Lapindo layak dituntut untuk bertanggung jawab? Tapi, siapakah pihak Lapindo itu? Di baliknya ada keluarga Bakrie, dan salah seorang di antaranya adalah Aburizal Bakrie, yang kini menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Kalau ia sungguh-sungguh memahami hakikat jabatannya itu, juga menghayati peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin, maka semua upaya yang berorientasi kesejahteraan rakyat haruslah dilakukan. Untuk itu mungkin akan lebih baik jika ia minta dinonaktifkan dari pemerintahan agar dapat lebih berkonsentrasi dalam menunjukkan tanggung jawabnya dan lebih mendekatkan diri dengan rakyat Sidoarjo yang selama ini sudah sangat menderita. (***)

  ________________________________________________________________________

  http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepemilikan-saham- URL Source: bagi-ko Bencana Lumpur Lapindo Bencana Lumpur Lapindo: Kepemilikan Saham bagi Korban Lumpur Sidoarjo

  Oleh: Mohammad Nuh Hingga saat ini, belum bisa dipastikan kapan semburan lumpur di lokasi sumur eksplorasi Lapindo, Porong, Sidoarjo, bisa teratasi. Tapi yang jelas, korban akibat lumpur Sidoarjo (Lusi) ini, terus bertambah, akibat terus meluasnya daerah yang terendam dan dampak ikutannya.

  Namun, harus tetap diakui dan diberikan apresiasi atas berbagai ikhtiar dan upaya yang telah dilakukan. Sementara itu, penanganan terhadap keputusan kompensasi terhadap korban Lusi masih menjadi berdebatan dan perbincangan yang hingga saat ini belum juga menemui titik terang, dan berakibat terhadap makin tidak jelasnya masa depan para korban Lusi. Memang konsep resettlement atau lainnya sudah digulirkan untuk mencarikan jalan keluar bagi para korban Lusi. Tapi karena pemikirannya sering kali tidak sejalan dengan keinginan warga, konsep itu malah menggulirkan permasalahan baru. Di satu sisi, para korban menginginkan segera adanya penyelesaian terhadap tempat tinggal dan lahan yang saat ini memang sudah terendam lumpur. Tapi di sisi lain, keinginan para warga untuk mendapatkan penggantian, seolah mengesampingkan rasionalitas dalam penentuan harga lahan di lokasi itu. Tulisan ini memang tidak bermaksud untuk memihak kepada kepentingan warga atau pengusaha, tapi lebih pada pemberian pemikiran untuk mencari jalan keluar terbaik terhadap penyelesaian kompensasi yang ideal, karena itu cara pandangnya pun bukan semata pada bagaimana sekadar memikirkan mencarikan pengganti atau tempat tinggal baru dengan lingkungan yang hampir sama, atau memberikan penggantian dengan cara mematok harga lahan dan bangunan di atas nilai ratarata, tapi juga mempertimbangkan pada ikatan emosional dan jaminan rasa aman kepada para korban Lusi.

  Hilangnya Cita-Cita

  Kita dapat memahami, sejak awal masyarakat korban Lusi jelas posisinya terhadap kepemilikan rumah, lahan dan tercatat sebagai warga di sana. Karena itu pun pilihan mereka untuk tinggal di sana pasti telah memiliki dan menyusun cita-cita tentang masa depannya. Tapi akibat kejadian semburan lumpur, seolah cita-cita mereka hilang, berbagai rencana yang telah disiapkan warga sebagai sebuah masa depan bubar. Pada kondisi inilah, entah itu warga nantinya siap menerima model resettlement atau kompensasi pemberian uang langsung (cash compensation), akan memaksa mereka membangun cita-cita baru. Tapi dengan tidak kunjung selesainya persoalan ini, cita- citanya makin tidak jelas, demikian juga dengan masa depan mereka. Memang cita-cita juga mengandung sesuatu unsur yang punya ketidakpastian.

  ________________________________________________________________________ Tapi dengan tidak kunjung selesainya persoalan ini, ketidakpastian warga makin besar, cita-cita baru yang harusnya sudah mereka miliki pun, belum terpikir. Mereka masih berkutat pada persoalan berapa seharusnya kompensasi ideal yang bisa mereka terima untuk menjadikan hidup mereka di tempat baru kelak, lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Karena itulah berkembang pemikiran pada sisi warga untuk menentukan harga lahan yang di luar batas kewajaran.

  Ini artinya, mereka sesungguhnya bukan hanya tidak ingin pindah dari lokasi di mana dia lahir, besar, dan bermasyarakat serta menggantungkan cita-citanya di wilayah itu, tapi juga warga masih dihantui keraguan terhadap masa depan dan cita-cita barunya, setelah pindah atau tidak lagi bermukim di lokasi yang kini sudah terendam lumpur.

  Pada sisi inilah seharusnya dipikirkan, bahwa persoalan kompensasi tidak hanya sebatas pada pemberian harga yang jauh lebih baik, tapi juga ada social cost yang perlu diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan. Pada titik inilah maka sesungguhnya model resettlement atau kompensasi pemberian uang langsung (cash compensation), belum menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Apalagi, banyak pengalaman membuktikan berpindahnya seseorang pada kasus pembebasan lahan atau penggusuran di banyak tempat, tidak menjamin kehidupannya lebih baik dibanding dengan daerah asal mereka.

  Kepemilikan Saham

  Jika kenyataannya seperti itu, pertanyaannya, model dan keputusan yang bagaimana seharusnya bisa diambil dalam upaya sesegera mungkin memberikan kepastian terhadap masa depan dan cita-cita baru warga korban Lusi? Dengan mempertimbangkan berbagai aspek––nilai lahan, bangunan, dan social cat––, rasanya akan sangat ideal dan segera menemukan titik terang jika warga yang berada di lokasi korban Lusi, tidak hanya menerima kompensasi dengan hitungan yang layak, tapi juga mendapatkan insentif berupa kepemilikan saham atas kompensasi tanah, lahan atau aset yang ditinggalkannya. Insentif tersebut lebih merupakan kompensasi sosial dan menjaga ikatan emosional para korban Lusi terhadap daerah yang ditinggalkannya. Pemikiran ini tentu tidak hanya pada bagaimana mencarikan jalan keluar terbaik dalam mencari bentuk kompensasi, tapi juga tetap membina hubungan emosional atau historis warga dengan daerah asalnya, dengan sebuah cita-cita lama yang terpaksa ditinggalkannya akibat luapan Lusi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

  Selama ini, salah satu kendala tidak terselesaikannya dengan segera terhadap proses kompensasi bagi korban Lusi, antara lain adanya anggapan di antara warga, terhadap berbagai kemungkinan masa depan yang menyebabkan lahan di sana memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibanding saat ini.

  Dengan demikian, berkembang pemikiran spekulasi-spekulasi terhadap masa depan kawasan itu, karena itu pilihan untuk memberikan kompensasi tambahan (sebagai akibat

  social cost

  ) sebagai insentif dalam bentuk kepemilikan saham atas tanah, lahan, atau aset

  ________________________________________________________________________ yang ditinggalkan warga, menjadi kata kunci berkembangnya spekulasi dan ke depan tidak terlalu mengecewakan warga atas kemungkinan munculnya ”trik-trik” bisnis, ketika diketahui ternyata bekas tanah dan asetnya, mengalami peningkatan nilai ekonomi yang sangat luar biasa. Cara ini juga merupakan upaya dalam ”memuliakan” warga yang terkena bencana Lusi, berkait dengan pernyataan dan komitmen pemerintah untuk tetap memprioritaskan warga yang ada di sana. Langkah ini tidak lain bagian dari upaya penyelamatan masa depan korban “pembebasan terpaksa” di sana, serta menjawab ketidakpastian warga terhadap cita-cita barunya. Berapa rasionalitas terhadap kepemilikan saham atas tanah, lahan atau aset yang ditinggalkannya? Sangat bergantung dari hasil kesepakatan antara warga dan pengusaha, dalam hal ini bisa diwakili Tim Nasional Lusi. Tentu saja yang lebih penting dari usulan kepemilikan saham bagi warga korban Lusi ini adalah bagaimana hal ini bisa dijadikan sebagai komitmen politik, baik bagi timnas, pemprov, maupun pemkab, untuk melindungi warganya dari spekulasi oleh sekelompok orang yang kini terus berkembang di masyarakat.

  Kita berharap usul ini kiranya akan menghasilkan win-win solution terhadap proses kompensasi korban Lusi yang hingga kini belum menemukan titik temu yang ideal, akibat banyaknya pemikiran, kepentingan, dan spekulasi-spekulasi terhadap masa depan kawasan itu. Lewat insentif kepemilikan saham atas tanah, lahan atau aset yang ditinggalkan, kiranya warga akan sepakat, karena mereka tidak serta-merta putus begitu saja dengan tempat asalnya, tapi juga masih punya kesempatan merasakan atau menikmati, keuntungan manakala di kemudian hari di lokasi itu benar-benar memiliki nilai ekonomi yang sangat luar bisa, sebagaimana spekulasi yang berkembang saat ini. Semoga! (***)

  ________________________________________________________________________

  

http://kompas.com/kompas-cetak/0703/24/Fokus/3402371.htm

URL Source: Bencana Lumpur Lapindo Pembangkangan Rakyat Jenggala

  Oleh: Hotman M Siahaan Tebar pesona boleh saja dilakukan untuk mempertahankan citra kedigdayaan penguasa negeri ini. Namun, lumpur Lapindo di Sidoarjo yang tak mampu dibuntu kemampuan teknologi macam apa pun, yang ternyata juga buntu secara sosial politik, kini justru menyemburkan pesona pembangkangan sipil rakyat Jenggala—kalau boleh disebut demikian. Pembangkangan sebagai puncak kebuntuan dan keputusasaan rakyat atas kemampuan negara melindungi dirinya. Ketika semua upaya dialog, perundingan, serta negosiasi, mulai dari yang paling ramah sampai yang paling amarah sekalipun ternyata tidak mampu mengurai solusi, rakyat Jenggala melontarkan agenda pembangkangan.

  Pesona pembangkangan sipil (civil disobedience) kini marak bukan saja di kalangan rakyat seputar bencana lumpur Lapindo, tapi juga bergayung-sambut dengan sikap para wakil rakyat DPRD Jawa Timur. Pembangkangan ini merupakan pesona politik baru dalam perlawanan rakyat terhadap penguasa.

  Panitia Khusus (Pansus) Lapindo DPRD Jawa Timur melontarkan tekanan politik, merekomendasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur menahan setoran Dana Perimbangan dari Jawa Timur ke pusat sebesar Rp 70 triliun. Wakil Presiden Jusuf Kalla merespons dengan pernyataan, "jangan main gertak" karena pemerintah pusat bisa juga menahan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus untuk Jawa Timur. Sikap "main gertak" ini menambah kian tidak jelasnya sikap negara terhadap rakyat Jenggala yang hak sosial politik, ekonomi, dan budayanya sudah ditenggelamkan lumpur panas. Pembangkangan sipil adalah kulminasi cara yang ditempuh rakyat ketika kekuasaan negara yang mereka amini sebagai institusi yang wajib melindungi hak-hak kehidupannya, ternyata tidak memenuhi kewajibannya. Pesona pembangkangan sipil yang kini marak, apakah melalui upaya menahan Dana Perimbangan, boikot membayar pajak, cap jempol darah, rencana ngeluruk ke pusat negara, membangun koalisi dengan parlemen daerah, mengajak pemerintah daerah menyatukan sikap menekan pemerintah pusat, adalah puncak dari upaya negosiasi amarah itu.

  Bencana lumpur Lapindo ini bukan mustahil dapat membiak menjadi bencana sosial politik. Ketika semua upaya negosiasi rakyat dengan korporat menemui jalan buntu, ketika asumsi negara punya kedigdayaan melindungi rakyat dan bukan melindungi korporat ternyata tidak terbukti, agenda apalagi yang harus dijalankan kecuali pembangkangan sipil? Agenda rakyat Jenggala itu tampaknya diamini para wakil rakyat Jawa Timur.

  ________________________________________________________________________

  "State hidden agenda"

  Semua itu adalah counter rakyat terhadap state hidden agenda (agenda tersembunyi negara) dalam kasus lumpur panas ini. Rakyat menyusun agenda tersendiri mengimbangi agenda tersembunyi negara yang hingga kini tidak bisa diurai oleh kekuatan politik macam apa pun. Bahkan tak peduli apakah itu sesuai prosedur atau tidak.

  Pansus DPRD memberikan memo politik atau memo kebijakan kepada pemerintah pusat, adakah itu sesuai prosedur? Bukankah keputusan pansus selayaknya disahkan dalam sidang pleno, dan hasilnya merupakan keputusan resmi DPRD sebagai wakil rakyat kepada pemerintah? Tapi tampaknya, itu tidak menjadi perkara bagi para wakil rakyat itu. Tekanan politik harus dilakukan, bahkan tuntutan cash and carry sebagaimana dituntut warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1 menjadi satu-satunya agenda yang ditawarkan untuk menolak tawaran pemerintah pusat dan Lapindo, relokasi plus.

  Gubernur yang secara konstitusional adalah wakil pemerintah pusat juga diminta menolak tawaran relokasi plus, dan memaksa Lapindo dan pemerintah pusat menyetujui cash and carry untuk warga Perumtas 1, sama dengan kebijakan yang sudah disepakati untuk warga Desa Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo.

  Sebagai bentuk pembangkangan sipil, rekomendasi menahan Dana Perimbangan, menolak membayar pajak, cap jempol darah, rencana ngeluruk ke Istana Presiden, boleh jadi akan mengalami kebuntuan juga bila hidden agenda negara tidak mampu di- jelentreh -kan.

  Tapi itulah pesona pembangkangan rakyat Jenggala yang kini kian marak. Sempurnalah semuanya, kebuntuan membuntu luapan lumpur panas, buntu bernegosiasi dengan Lapindo, kini kebuntuan menghadang tuntutan atas kewajiban negara melindungi rakyat. Pesona negara dan pemerintah macam apakah gerangan ini? Puluhan ribu rakyat tercerabut dari kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budayanya.

  Terlunta-lunta secara fisik dan batiniah, didera ketidakpastian nasib, dipecundangi kebijakan ekonomi politik bahkan hukum, dicederai korporat raksasa, dan… masya Allah, mereka tidak bisa berpaling ke mana pun untuk membela nasib yang terpuruk, termasuk kepada negara. Adakah kenistaan rakyat yang lebih daripada itu di suatu negeri yang penuh tebar pesona?

  Anomali

  Inilah panggung adu tanding agenda negara versus agenda rakyat, yang sudah berlangsung sepuluh bulan, dan tidak tahu kapan dan bagaimana harus diselesaikan. Pesona pembangkangan sipil yang kini ditebarkan rakyat Jenggala, cap jempol darah, boikot membayar pajak, menahan Dana Perimbangan daerah, "gertak" dilawan "gertak", alangkah sempurnanya anomali itu.

  ________________________________________________________________________ Bukankah merekomendasi menahan Dana Perimbangan daerah ke pusat adalah suatu anomali? Bagaimana pula caranya? Kiat administrasi negara macam apa yang harus ditempuh? Bukankah itu juga anomali ketika rekomendasi itu direspons sebagai gertakan, dan dibalas gertak pula dengan menahan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pusat ke Jawa Timur? Bukankah anomali pula ketika Pansus DPRD tanpa melalui sidang pleno mengajukan memo kebijakan ke pemerintah pusat? Bukankah juga anomali, boikot membayar pajak? Pajak mana yang harus diboikot? Pajak rakyat ke pusat atau pajak rakyat ke kas daerah? Bukankah lagi-lagi anomali dengan berkilah mengatakan kesepakatan membayar ganti rugi/ganti untung oleh Lapindo hanya sebagai tanggung jawab moral, karena Lapindo belum ditetapkan secara hukum sebagai penyebab melubernya lumpur? Bukankah anomali, keputusan melakukan pembangkangan sipil di suatu negara hasil reformasi yang menebah dada mengagulkan (membanggakan) transparansi, akuntabilitas, demokrasi, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)? Sungguh, lumpur panas Lapindo di Bumi Jenggala ini sedang memercikkan api sosial politik, yang boleh jadi kian membara.

  Di mana kesulitan negara mengambil kebijakan guna melindungi rakyatnya dari ulah suatu korporat besar? Bukankah presiden—kalau mau—bisa mendelegasikan otoritas kepada pemerintah daerah untuk mengambil alih perkara, dan dengan otoritas penuh atas nama presiden, gubernur ditugaskan memimpin institusi pengganti Tim Nasional? Dengan otoritas penuh dari presiden sebagai kepala pemerintahan, gubernur, kalau perlu dapat melikuidasi semua aset korporat Lapindo untuk diperhitungkan guna membayar semua kerugian ekonomi, sosial politik, serta budaya yang makin hari makin besar di Jawa Timur. Bukankah masih banyak sumur pengeboran Lapindo di Sidoarjo di luar sumur Banjar Panji 1 yang bermasalah itu? Seandainya keuntungan dari berbagai sumur itu, diaudit secara transparan, bukankah semua bencana kehidupan sosial ekonomi politik dan budaya yang menimpa rakyat Sidoarjo dan Jawa Timur ini bisa diurai? Tapi semua itu butuh komitmen pemerintah pusat, butuh komitmen negara memenuhi kewajibannya melindungi rakyat bukannya melindungi korporat, sebesar apa pun keuntungan negara yang diperoleh dari korporat itu, termasuk sedekat apa pun hubungan penguasa dengan pemilik korporat itu.

  Tanpa ketegasan komitmen negara, tanpa ketegasan pengambil keputusan tertinggi pemerintahan, lumpur panas ini akan kian membakar semangat pembangkangan sipil rakyat Jenggala, yang bukan mustahil dapat membiak ke seluruh rakyat Jawa Timur. Apabila hal itu terjadi, sikap penuh keraguan dan kemampuan tebar pesona, tidak akan mungkin bisa meredamnya. (***)

  ________________________________________________________________________

  

http://kompas.com/kompas-cetak/0612/02/Fokus/3134959.htm

URL Source: Bencana Lumpur Lapindo, Lapindo Tak Bisa Lari

  Oleh: Harry Ponto Upaya kelompok usaha Bakrie menjual kepemilikan PT Energi Mega Persada Tbk di Lapindo Brantas Inc kandas untuk kedua kalinya.

  Upaya pertama dilakukan pertengahan September lalu kepada Lyte Limited, perusahaan Kepulauan Jersey, Inggris, yang masih terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie. Yang kedua masih hangat karena terjadi di bulan November kepada Freehold Group Limited, perusahaan British Virgin Island. Jika yang pertama harga jualnya 2 dollar AS (sekitar Rp 18.000), yang kedua seharga 1 juta dollar AS (sekitar Rp 9,1 miliar).

  Polemik atas rencana penjualan tersebut tentu tidak terhindarkan karena tanggung jawab Lapindo yang sangat besar akibat lumpur panas di Sidoarjo. Menurut pemberitaan, lumpur sudah merendam tiga kecamatan, dan luas luberan lumpur mencapai 400 hektar.

  Dalam waktu sekitar enam bulan, lebih dari 15.000 warga harus mengungsi dan kehilangan tempat tinggal (Kompas, 30/11). Biaya penanggulangan, konon, bisa mencapai 170 juta dollar AS (sekitar Rp 1,6 triliun), ditambah dengan biaya relokasi sebesar Rp 1 triliun-Rp 2 triliun.

  Pertanyaannya, mengapa kelompok usaha Bakrie begitu gigih hendak menjual Lapindo? Apakah penjualan itu semata-mata untuk melindungi pemegang saham minoritas? Atau, seperti ungkapan dalam bahasa Latin, in cauda venenum (racun ada di buntut/ekor), adakah maksud lain yang tersembunyi, semisal, pengalihan tanggung jawab? Tentu patut juga dipertanyakan peran yang seharusnya dilakukan negara sehubungan dengan penanggulangan masalah ini.

  Dari pemberitaan diketahui, alasan penjualan Lapindo adalah untuk melindungi pemegang saham minoritas di Energi Mega yang sekitar 30 persen. Sekitar 70 persen saham Energi Mega terkait dengan kelompok usaha Bakrie. Keberadaan Lapindo, katanya, hanya akan menggerogoti Energi Mega.

  Disebutkan juga, penjualan Lapindo adalah penjualan peluang usaha (baca: memperoleh keuntungan) karena Blok Brantas masih menjanjikan. Risiko tetap akan menjadi tanggung jawab kelompok usaha Bakrie. Jika alasan penjualan itu adalah yang sesungguhnya, penjualan Lapindo tidak diperlukan. Jika benar kelompok usaha Bakrie akan menanggung seluruh beban biaya, kelompok usaha Bakrie cukup membuat perjanjian penjaminan yang menegaskan bahwa seluruh biaya penanggulangan menjadi beban dan tanggung jawabnya. Jika perlu, para pengendali kelompok usaha Bakrie memberikan jaminan pribadi untuk menanggung biaya tersebut. Dengan melakukan ini, akan tercapai maksud baik kelompok usaha Bakrie agar Energi Mega, dan para pemegang saham minoritasnya, tidak

  ________________________________________________________________________ digerogoti oleh Lapindo. Akibat kegagalan pengeboran sumur Banjar 1 yang dituding menjadi biang semburan lumpur panas, pemegang saham minoritas Energi Mega telah kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan. Jika Lapindo dijual, Energi Mega dan pemegang saham minoritas akan selamanya kehilangan Lapindo sebagai sumber pendapatan potensial. Padahal, kata kelompok usaha Bakrie, Lapindo memiliki sejumlah sumur yang masih menjanjikan untuk dikembangkan sebagai ladang minyak dan gas. Dengan memberikan penjaminan, maksud melindungi kepentingan pemegang saham minoritas, sekali lagi, tentu akan tercapai karena mereka tidak perlu kehilangan Lapindo.

  Tanggung jawab Bakrie

  Karena ada dugaan terjadinya kesalahan atau penyalahgunaan perseroan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, tidak mustahil tuntutan kepada pemegang saham Lapindo akan sangat besar jumlahnya. Mungkin terjadi pengeboran yang lupa memasang pengaman (casing) merupakan akibat penyalahgunaan perseroan untuk kepentingan pribadi pemegang saham. Jika terbukti, sesuai prinsip piercing the corporate veil dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, tanggung jawab pemegang saham bisa menjadi tidak terbatas lagi.

  Walau mungkin sudah berdamai, gugatan PT Medco E&P Brantas ke arbitrase adalah bukti awal adanya kecerobohan atau kesalahan. Medco bersama Santos Brantas Pty Ltd adalah rekan Lapindo dalam pengembangan Blok Brantas di Sidoarjo. Jika pemegang saham sebenarnya (ultimate beneficiary) adalah kelompok usaha Bakrie (sekitar 70 persen di Energi Mega), pertanggungjawaban tidak terbatas itu mungkin saja menembus sampai ke kelompok usaha Bakrie. Dari prinsip piercing the corporate veil yang juga berlaku di banyak negara lain, patut diduga bahwa tujuan pelepasan kepemilikan di Lapindo mungkin tidak semata karena alasan perlindungan pada pemegang saham minoritas Energi Mega selaku pemilik Lapindo. Karena, seperti ungkapan terkenal dari ekonom terkemuka Amerika, Milton Friedman, peraih Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1976, there is no such as a free lunch, tidak ada yang gratis dalam kehidupan ini. Lagi pula, memang sudah menjadi sifat pebisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dari uraian di atas, tindakan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang dua kali melarang terjadinya penjualan Lapindo patut diacungi jempol. Bapepam selaku regulator pasar modal tidak hanya melindungi kepentingan pemegang saham publik, tetapi juga kepentingan masyarakat luas karena belum jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas dampak lumpur Sidoarjo.

  ________________________________________________________________________

  Keppres No 13/2006

  Secara berulang dikesankan di media massa bahwa Lapindo tetap bertanggung jawab atas semua biaya penanganan dampak semburan lumpur panas di Sidoarjo sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13 Tahun 2006. Akibatnya, banyak yang bertanya tentang nasib korban setelah berakhirnya keppres.

  Sesungguhnya Keppres itu tidak mengatur tentang tanggung jawab biaya penanganan semburan lumpur Sidoarjo. Yang diatur adalah pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dengan masa kerja sampai enam bulan (7 Maret 2007) dan dapat diperpanjang.

  Dalam Butir 5 Keppres memang disebutkan, pembentukan Tim Nasional tidak mengurangi tanggung jawab Lapindo untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya. Namun, ketentuan itu hanya merupakan penegasan atas tanggung jawab Lapindo, dan bukan dasar hukum pertanggungjawaban Lapindo. Karena itu, Lapindo demi hukum tetap bertanggung jawab atas dampak semburan lumpur sekalipun masa tugas Tim Nasional telah berakhir.

  Tugas negara

  Sudah menjadi tugas negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menjamin adanya kehidupan yang nyaman, aman, dan tenteram serta memajukan kesejahteraan rakyatnya. Yang terjadi sekarang ini adalah tercerabutnya hak asasi masyarakat Sidoarjo secara besar-besaran.

  Yang terjadi tidak hanya hilangnya hak untuk memiliki (harta benda) dan kebebasan untuk mencari nafkah, tetapi juga hak hidup karena lumpur Sidoarjo itu sudah memakan korban nyawa sedikitnya 12 orang. Dengan segala kewenangan dan perlengkapan yang dimilikinya, pemerintah tentu dapat mempercepat penanggulangan dampak lumpur panas. Selain itu, jika pemerintah serius, Bapepam jangan dibiarkan sendiri. Bagaimana dengan hasil penyidikan pihak kepolisian yang sampai saat ini nyaris tak terdengar? Bagaimana pula dengan Badan Pelaksana Migas yang mestinya lebih aktif agar masyarakat mengetahui secara jelas duduk persoalannya? Tentu tidak diharapkan jika pembentukan Tim Nasional hanya menjadi konsumsi politik yang akhirnya hanya mengaburkan tentang siapa yang sesungguhnya harus bertanggung jawab. (***)

  ________________________________________________________________________ URL Source:

  http://www.korantempo.com/korantempo/2007/03/01/Opini/krn,20070301,65.id.html Lumpur Lapindo Menjelang 8 Maret

  Oleh: Bambang Widjojanto Sembilan bulan berlalu, dan hingga kini masih belum jelas ujung derita yang timbul akibat dahsyatnya semburan lumpur di ladang pengeboran Lapindo Brantas Inc. Aneka upaya yang diambil pun sejauh ini tampaknya belum memenuhi harapan. Di tengah itu semua, masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 akan selesai pada 8 Maret mendatang. Pertanyaannya kemudian, siapa atau lembaga apa yang kelak harus diberi tugas menghentikan semburan Lumpur. Ada beberapa isu utama menyangkut lembaga baru ini. Pertama, sejauh mana lingkup tugasnya dalam mengelola dampak yang muncul serta apa kewenangannya guna mengambil langkah-langkah strategis meminimalisasi kerusakan yang lebih masif, baik di berbagai sektor kehidupan masyarakat maupun lingkungan hidup. Dan kedua, seberapa besar lembaga ini memiliki sumber-sumber pembiayaan untuk mengoptimalkan tugas dan kewenangannya.

  Jawaban tegas untuk soal ini tentu tak mungkin kita berikan di sini. Yang ingin kita bahas justru masalah krusial dan sensitif, yang mestinya bisa dijawab lebih dulu sebelum pertanyaan di atas tadi, yakni tentang siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab, serta seberapa besar dia harus bertanggung jawab dalam mengelola keseluruhan dampak yang muncul dari lumpur Lapindo. Jika kita mendekati masalah ini melalui pendekatan pidana, ada prinsip dasar yang harus ditegakkan di sini: "tiada pertanggungan jawab tanpa kesalahan serta tiada pidana tanpa kesalahan". Berpijak pada kaidah ini, tidaklah mungkin Lapindo Brantas Inc. dapat dimintai pertanggungjawaban menyeluruh untuk memikul segenap akibat yang muncul dari semburan lumpur jika tidak pernah dibuktikan bahwa ada kesalahan atau tindakan melawan hukum yang secara nyata telah dilakukannya sehingga menyebabkan terjadinya semburan lumpur. De facto hingga kini, Lapindo Brantas Inc. belum dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan.

  Untuk itu, tidak pula berlebihan jika harus dikaji, bahkan dilakukan penyelidikan dan penyidikan, untuk menentukan apakah ada elemen-elemen yang dapat bersifat deceit (kecurangan), concealment of facts (penyembunyian kenyataan), illegal circumvention (pengelakan peraturan), atau subterfuge (akal-akalan) dalam proses operasi pengeboran. Semua itu untuk menentukan sifat melawan hukum guna mengkualifikasi ada-tidaknya kesalahan yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc.

  Jikapun hari ini, setidaknya per akhir Januari lalu, telah dikeluarkan dana US$ 85,9 juta atau setara dengan Rp 773 miliar sebagai bagian dari iktikad baik Lapindo Brantas Inc. mengatasi dampak yang muncul, itu tidak dapat diartikan sebagai bentuk tanggung jawab hukum dari korporasi. Karena itu, tidak mengherankan bila kemudian Lapindo Brantas

  ________________________________________________________________________ Inc. pernah membuat pernyataan yang menegaskan bahwa total dana yang dianggarkan perusahaan untuk penanggulangan lumpur sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah hanya US$ 170-180 juta.

  Salah satu media mengutip pendapat sebuah lembaga keuangan, UBS AG, yang menaksir biaya yang harus dikeluarkan untuk penanggulangan bencana lumpur US$ 750 juta atau sekitar Rp 6,8 triliun. Bandingkan juga dengan jumlah kerugian yang dituntut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam gugatannya yang mencapai angka Rp 33 triliun. Belum lagi beberapa taksiran lembaga lain yang mencoba merumuskan nilai kerugian yang muncul akibat semburan lumpur. Uraian mengenai besarnya kerugian ini hendak menegaskan: pertama, belum ada yang dapat memastikan jumlah kerugian; dan kedua, apa mungkin Lapindo Brantas Inc. dapat dimintai pertanggungjawaban. Juga apakah mereka mau bertanggung jawab atas semua biaya dan kerugian yang muncul untuk menanggulangi semburan lumpur jika tidak dapat dibuktikan adanya kesalahan mereka dalam kasus ini. Itu sebabnya, tidaklah mengherankan bila ada sinyalemen yang menyatakan adanya suatu usaha yang kian sistematis untuk mengkualifikasi semburan lumpur Lapindo sebagai bencana alam semata, dan bukan karena kesalahan prosedur pengeboran. Sinyalemen ini berimpitan dengan kecenderungan yang memperlihatkan adanya satu upaya menutupi kesalahan pihak yang bertanggung jawab, atau setidak-tidaknya meminimalisasi derajat kesalahannya. Indikasinya bisa didapatkan dari ketidakjelasan dan akuntabilitas proses penyidikan atas dugaan kelalaian dalam proses pengeboran yang menjadi penyebab utama munculnya bencana semburan lumpur.

  Tanpa bermaksud menyamakan kasus lumpur Lapindo dengan modus kejahatan yang dilakukan Enron Corp., ternyata kejahatan itu ditopang oleh perusahaan auditor Arthur Andersen yang mengaudit laporan keuangan Enron Corp. Hal serupa juga terjadi pada kasus WorldCom Inc., yang melakukan accounting scandal. Pada kasus ini, seorang

  controller WorldCom mengakui kesalahannya karena memalsukan laporan keuangan;

  dan yang mengejutkan, dia juga membuat pernyataan bahwa tindakan yang dilakukannya itu atas perintah atasannya untuk membuat markup pendapatan perusahaan hingga mencapai US$ 5 miliar selama 18 bulan. Fakta ini hendak menegaskan, pada kejahatan bisnis, otoritas asosiasi dan para atasan mempunyai potensi dan peran penting untuk melegalisasikan suatu kejahatan dan sekaligus menjadi pelaku intelektual kejahatan. Hal lain yang juga terjadi, ada upaya sistematis lainnya untuk mengalihkan kepemilikan Lapindo Brantas Inc. yang semula berinduk pada PT Energi Mega Persada Tbk. ke pihak lain. Di satu sisi, penjualan Lapindo Brantas Inc. dapat saja dilakukan agar tidak mengganggu keseluruhan perusahaan bisnis dari holding company yang membawahkan Lapindo Brantas Inc. Tapi penjualan itu juga dapat dimaksudkan untuk mengingkari tanggung jawab.

  Belum jelas betul apakah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tetap menolak penjualan Lapindo kepada Freehold Group Ltd. karena tetap belum mendapat persetujuan. Ada silang sengketa mengenai persetujuan itu, tapi Bapepam memang harus memeriksa agar pengalihan ini tidak sekadar modus untuk mengingkari tanggung jawab

  ________________________________________________________________________ yang seharusnya dipikul bila kelak terbukti ada kesalahan yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc. Perdebatan di atas juga dapat diimbuhi dengan diskursus mengenai batas tanggung jawab perseroan sesuai dengan ketentuan korporasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 3 ayat 1 UU Perseroan Terbatas menegaskan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas nilai saham yang dimilikinya. Pendeknya, persero tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas kerugian yang melebihi nilai saham atau kekayaan korporasi. Meski perlu dicatat, undang-udang itu pun mengenal doktrin piercing the corporate veil, yang memberi peluang menuntut pertanggungjawaban dari pemegang saham. Bahkan harta kekayaan direktur dan komisaris dapat ditanggungkan bila terbukti terjadi tindakan yang dilakukan direktur dan komisaris melebihi batas kewenangan yang dimiliki.

  Selain itu, bukan tidak mungkin Lapindo Brantas Inc. akan mengambil tindakan untuk mempailitkan dirinya sendiri (voluntary bankruptcy) atau pihak lain yang mempailitkannya, sehingga dia tidak bisa dituntut lagi untuk menanggung kerugian yang muncul. Keseluruhan tindakan itu dapat berpucuk pada suatu maksud yang ditujukan untuk meminimalisasi, mengalihkan, dan/atau mengingkari tanggung jawab yang harus dipikul atas semburan lumpur Lapido. Itu sebabnya, tak mengherankan bila Lapindo menolak memberikan ganti rugi kepada warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera. Dan kondisi ini dapat menyebabkan potensi konflik yang serius dan sangat mengkhawatirkan.

  Dari uraian itu, kita menemukan suatu keadaan ketika potensi kerugian akibat semburan lumpur akan kian meluas, tapi Lapindo Brantas Inc. akan menolak bertanggung jawab memberikan ganti kerugian. Sementara itu, alasan dan dasar hukum yang dapat memaksa Lapindo Brantas Inc. belum ada, karena proses hukumnya tidak jelas--kecuali gugatan yang diajukan Walhi. Dan jika tak ada kesalahan yang bisa dibuktikan, tidaklah mungkin dituntut suatu pertanggungjawaban secara penuh dari Lapindo. Dalam situasi begini, upaya pembuktian mengenai siapa sesungguhnya penyebab timbulnya semburan lumpur itu menjadi tak bisa ditawar. Benarkah akibat kelalaian teknis dalam pengeboran yang dilakukan Lapindo atau memang bencana alam seperti akhir-akhir ini dicoba "dikampanyekan".

  Tanpa ketegasan dalam hal ini, perdebatan selanjutnya tentang siapa yang mesti bertugas menggantikan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, termasuk lingkup kewenangan dan sumber dananya, pasti tak akan pernah bisa tuntas dan terasa adil bagi semua pihak. Inilah pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum 8 Maret nanti. (***)

  ________________________________________________________________________

  http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/negara-dan- URL Source: lumpur- Kasus Lumpur Lapindo , Negara dan Lumpur Sidoarjo

  Oleh: Muhammad Qodari APAKAH Anda sudah pernah merasakan dampak semburan lumpur di Sidoarjo? Saya sudah, ketika harus pergi ke Kota Batu, Malang, beberapa bulan lalu. Gara-gara Lusi (Lumpur Sidoarjo) menggenangi jalan tol Porong–Gempol di Sidoarjo, perjalanan saya ke Malang harus memutar sehingga lebih lambat 3–4 jam.