KAJIAN HERMENEUTIKA INTERPRETASI TERBUKA docx

KAJIAN HERMENEUTIKA: INTERPRETASI TERBUKA TERHADAP
AYAT BIAS GENDER DALAM AL-QUR'AN

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pendekatan
dalam Pengkajian Islam pada Program Studi Agama dan Filsafat
Konsentrasi SKI Semester I
Dosen Pengampu: Dr. Siti Syamsiyatun, Ph. D
Disusun Oleh:
Lisa Aisyiah Rasyid, S.H.I
NIM: 1420510072

PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah
persamaan antara manusia, baik antar laki-laki dan wanita maupun antar bangsa,
suku, dan keturunan. Perbedaan, yang digarisbawahi dan yang kemudian
meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan
ketaqwaannya kepada Allah SWT. Banyak ayat al-Qur'an seperti Q.S. atTaubah/9: 112 dan at-Tahrim/66: 5 yang telah menunjukkan bahwa laki-laki dan
wanita adalah semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual.
Namun demikian, meskipun al-Qur'an adalah kitab suci yang
kebenarannya abadi, penafsirannya tidak bisa dihindari sebagai suatu yang
relative. Perkembangan historis berbagai mazhab kalam, fiqih, dan tasawuf
merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan keagamaan umat Islam.
Oleh karena itu, dalam memahami makna dan kandungan al-Qur'an sudah barang
tentu tidak bisa hanya terfokus kepada pendekatan tekstual semata, karena bahasa
Arab yang digunakan dalam al-Qur'an adalah bahasa yang mempunyai hubungan
dialektis dengan kondisi obyektif ketika dan di mana al-Qur'an diturunkan. Hal ini
sangat jelas dapat dilihat melalui riwayat-riwayat asbabun-nuzul sejumlah ayat.
Seorang mufassir harus mampu masuk ke lorong masa silam, seolah-olah
sezaman dan akrab dengan sang penerima teks, memahami kondisi obyektif
geografis dan latar belakang sosial budayanya, karena setiap penafsir teks adalah
anak zamannya. Si pembaca diharapkan sudah mampu melakukan apa yang
disebut W. Dilthey sebagai verstehen, yaitu memahami dengan penuh

penghayatan terhadap teks, ibarat sang pembaca keluar kembali dari lorong waktu
masa silam, lalu mengambil kesimpulan.
Akhirnya, menurut hemat penulis penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an
secara logis dan wajar dengan pendekatan interdisipliner seperti hermeneutika,

1

kiranya dapat diterapkan untuk menafsirkan ulang ayat-ayat al-Qur'an yang bias
gender, tentunya pendekatan tersebut dilakukan berdasarkan tradisi Islam.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan suatu masalah
yang menjadi permasalahan dalam makalah ini, yaitu tentang Kajian
Hermeneutika: Interpretasi Terbuka Terhadap Ayat-ayat Gender dalam alQur'an.
Untuk lebih memperjelas pokok pembahasan dalam makalah ini maka
penulis perlu mengemukakan beberapa batasan permasalahan yang nantinya akan
menjadi inti pembahasan, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian gender sebagai konstruksi sosial?
2. Bagaimanakah kajian hermeneutika dalam tradisi Islam?
3. Bagaimanakah kajian kritis terhadap ayat-ayat bias gender dengan pendekatan
hermeneutik dan feminis Islam?

C. Metode Pendekatan
Penelitian dalam makalah ini terkait dengan ayat-ayat gender dalam alQur'an yang telah ditafsirkan oleh para mufassir, namun mengalami bias gender.
Karenanya dalam aktualisasinya mengalami ketimpangan gender sehingga
terkesan memihak. Akibatnya, pesan-pesan Tuhan tidak tersampaikan dan
termanifestasi secara proporsional sesuai dengan tujuan Islam sebagai agama
rahmatan lil ‘alamin.
Penelitian dalam makalah ini menggunakan dua model pendekatan, yaitu
pendekatan hermeneutika dan pendekatan feminis (Islam). Pendekatan
hermeneutika digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an khususnya tentang
gender secara lebih terbuka dari berbagai perspektif ilmu sosial dan humaniora
dengan jalan interpretasi kembali ayat-ayat tentang gender yang telah ditafsirkan
oleh para mufassir, namun mengalami bias gender.
Sedangkan pendekatan feminis digunakan untuk menganalisis status
perempuan dengan menggunakan cara pencarian pembenaran-pembenaran dalam
Islam itu sendiri, baik dengan melakukan penafsiran ulang ayat-ayat al-Qur'an

2

yang membicarakan soal hubungan laki-laki dan perempuan maupun dengan
pencarian model-model yang ada dalam tradisi awal Islam.

Dengan demikian, makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang
konsep gender yang dikaji dan dinterpretasikan kembali melalui pendekatan
hermeneutika dan feminis (Islam) agar ayat-ayat tentang gender dalam al-Qur'an,
dapat terlepas dari pemahaman yang bias gender.

BAB II

3

PEMBAHASAN

A. Gender sebagai Konstruksi Sosial
1. Pengertian Gender
Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia pertama kali dipergunakan di
Kantor Menteri Negara Peranan Wanita dengan ejaan “jender”, diartikan sebagai
interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan
perempuan.1
Istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk
memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat
sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis.2 Ann

Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society menuturkan bahwa gender berarti
perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis
merupakan perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan maka secara
permanen berbeda dengan pengertian gender. Gender merupakan behavioral
differences (perbedaan perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi
secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan
oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.3
Dengan demikian, gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan, oleh
karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya lakilaki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata
lain, gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan
bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat,
waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara
ideologi, politik, hukum, dan ekonomi.
1Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Edisi Revisi), Cet. Ke- 3
(Malang: UIN Maliki Press, 2013), hlm. 1
2Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, Cet. Ke- 2
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 3
3Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Cet. Ke- 4 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 71


4

2. Ragam Pemaknaan Gender sebagai Konstruksi Sosial
Ragam pemaknaan gender sebagaimana yang dikemukakan oleh Heddy
Shri Ahimsha putra dapat dikategorikan sebagai berikut: Pertama, gender sebagai
istilah konseptual. Kedua, gender sebagai fenomena sosial. Peran gender (gender
role) dalam pemaknaan ini, diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh
masyarakat diyakini sebagai kodrat. Karenanya oleh masyarakat, konstruk
pembagian peran (kerja) laki-laki dan perempuan didasarkan atas perbedaan jenis
kelamin. Ketiga, gender sebagai kesadaran sosial, di mana peran gender disadari
bukan bersifat kodrati tetapi akibat konstruk sosial di masyarakat. Sehingga jika
masyarakat mengalami perubahan maka peran gender dapat berubah dan
beradaptasi dengan perubahan tersebut.4
Keempat, gender sebagai masalah sosial. Pembagian dan pembakuan
gender pada dasarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan
ketidakadilan. Dalam banyak kajian terbukti bahwa pembakuan peran dan
pandangan yang bias gender yang bersumber dari budaya patriarkhi dan
matriarkhi sangat berpotensi menimbulkan ketidakadilan baik pada perempuan
maupun pada laki-laki. Manifestasi dari ketidakadilan gender yang bersumber dari

budaya tersebut, yaitu: stereotype (pelebelan terhadap jenis kelamin), subordinasi
(pandangan yang menempatkan salah satu jenis kelamin pada status, peran, dan
relasi yang tidak setara dan tidak adil), marginalisasi (proses peminggiran sengaja
atau tidak terhadap laki-laki maupun perempuan secara sistemik sehingga salah
satu di antaranya menjadi tertinggal), beban kerja yang tidak proporsional, dan
kekerasan berbasis gender.5
Kelima, gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, di mana pemahaman
gender dalam ilmu sosial tidak lepas dari asumsi-asumsi dasar yang ada pada
sebuah paradigma, dengan konsep analisis sebagai salah satu komponennya.
Keenam, gender sebagai gerakan sosial. Gender dalam hal ini digunakan sebagai

4Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hlm. 9-10
5Ibid., hlm. 12-14

5

upaya kongkrit untuk mengatasi dan merubah kesenjangangan dalam berbagai hal
yang terjadi di antara laki-laki dan perempuan.6
3. Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender adalah posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan

dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dalam aktifitas
kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat maupun berbangsa dan bernegara.
Sedangkan keadilan gender adalah suatu proses menuju setara, selaras, seimbang,
serasi, tanpa diskrimanasi. Dalam Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, disebutkan
kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondidi yang adil dan setara dalam
hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki.7
Kesetaraan yang berkeadilan gender merupakan kondisi yang dinamis, di
mana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan,
kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati dan
menghargai serta membantu di berbagai sektor kehidupan. Untuk mengetahui
apakah laki-laki dan perempuan telah berkesetaraan dan berkeadilan sebagaimana
capaian pembangunan berwawasan gender adalah seberapa besar akses dan
partisipasi atau keterlibatan perempuan terhadap peran-peran sosial dalam
kehidupan baik dalam keluarga masyarakat, dan dalam pembangunan, dan
seberapa besar kontrol serta penguasaan perempuan dalam berbagai sumber daya
manusia maupun sumber daya alam dan peran pengambilan keputusan dan
memperoleh manfaat dalam kehidupan.
B. Hermeneutika Tradisi Islam
Perdebatan hermeneutika di dunia Islam tidak terlepas dari perkembangan

metodologi ilmu pengetahuan di dunia Barat. Dalam perkembangan sejarah
metodologi ilmu pengetahuan di Barat, terdapat mitos bahwa metode ilmiah yang
benar adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan alam, yaitu
6Ibid., hlm. 14-15
7Ibid., hlm. 15

6

berdasarkan filsafat positivisme yang dikemukakan Auguste Comte (1758-1850).
Pandangan filsafat positivisme yang dianggap sebagai satu-satunya metodologi
untuk ilmu pengetahuan ini mendapatkan tantangan dan penolakan dari kelompok
filsuf Neo-Kantian, seperti Wilhem Dilthey (1833-1911) dan Schleimacher (17681834) yang mengusulkan sekaligus mengembangkan sebuah metode pemahaman
atau interpretasi yang dikenal dengan istilah hermeneutika.
1. Pengertian Hermeneutik
Hermeneutika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menafsirkan.
Hermeneutika menurut bahasa, berasal dari kata kerja hermeneuein (Yunani) yang
berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia “interpretasi”. Kedua kata ini,
diidentikkan dengan kata hermeios (Yunani) mengacu pada seorang pendeta bijak
Delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata
benda hermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.

Tepatnya Hermes diasosiakan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik
pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia.
Bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu
atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia, menjadi
dipahami.8 Nampak, bahwa dari asosiasi etimologis ini tugas hermeneutika adalah
membuat pesan supaya dapat dipahami secara baik oleh audiens.
Pemahaman dari kata “hermeneutics” yang paling tua mengacu pada
prinsip-prinsip interpretasi yang berhubungan dengan injil, yaitu exgesis teks
suci.9 Sehingga masalah penafsiran dapat dikatakan berkembang terutama pada
kelompok agamawan dalam upaya mereka memahami dan menafsirkan ajaranajaran yang ada pada agama mereka masing-masing khususnya yang mempunyai
kitab agama tertulis.
Hermeneutika dalam arti luas, yakni bidang ilmu yang membahas praktik
penafsiran, metode-metode, prinsip-prinsip, dan filsafat penafsiran, adalah bidang
ilmu yang sampai saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat di

8Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Musnur Hery
& Damanhuri Muhammad, Cet. Ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 14-15
9Ibid.

7


dunia Barat. Banyak karya-karya yang telah diterbitkan dalam bidang ini dalam
berbagai bahasa, khususnya Jerman, Perancis, dan Inggris. Bidang ilmu ini secara
logis berkaitan erat dengan Ilmu Tafsir al-Qur'an dan Syarah Hadits. Dengan
demikian, kedua cabang ilmu keislaman ini dapat dikembangkan melalui upaya
integrasi-interkoneksi dengan hermeneutika.
2. Bentuk-bentuk Hermeneutika
Secara sederhana, hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk
menafsirkan teks-teks yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi
yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola
yang harus diikuti oleh seorang penafsir dalam memahami teks keagamaan.10
Selanjutnya, sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya
sebuah bentuk yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian.
Paling tidak ada tiga bentuk atau model hermeneutika yang dapat penulis jelaskan
dalam makalah ini, yaitu:
Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh
hermeneutika, khsususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhem
Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini,
penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya.
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh Paul Ricoeur. Menurut
hermeneutika subyektif, hermeneutika bukan usaha menemukan makna obyektif
yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika obyektif
melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Penekanannya
adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Ketiga,
hermeneutika objektif-cum-subjektif, tokoh hermeneutika yang tergolong dalam
pemikiran model ini adalah Hans Georg Gadamer dan Jorge J.E. Gracia. Model
pemikiran hermeneutika obyektif-cum-subyektif sedkit lebih maju, karena model
ketiga ini berusaha memperluas maksud yang terkandung dari makna sebuah teks

10Abdul Hadi, “Hermeneutika Obyektif dan Subyektif vs Tafsir bil-Ma’tsur dan bilRa’yi”, dalam www.blogspot-abdulhadi.com. Akses tanggal 3 Februari 2014

8

tanpa mengabaikan makna asalnya (makna awal yang dikehendaki oleh pengarang
teks).11
Di antara ketiga kelompok tersebut, tentu tak bisa menghindar dari
perdebatan yang tak kunjung usai dalam usaha mentransfer, menangkap dan
memahami makna teks tersebut, terutama tentang apakah kemudian makna dapat
ditangkap secara utuh, atau makna itu sebenarnya adalah hasil pertemuan
cakrawala dari pembaca sebagai interpretator terhadap teks. Lantas, bagaimana
jika keilmuan ini dikaitkan dengan kajian keislaman (al-dirasah al-islamiyah)
yang oleh beberapa pemikir masih juga dihubungkan dengan interpretasi terhadap
teks.
3. Aplikasi Hermeneutika dalam Kajian al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai kalam Allah diturunkan kepada umat manusia untuk
dijadikan sebagai petunjuk. Di dalamnya, memuat ayat-ayat yang berbahasa Arab
yang perlu diinterpretasikan dalam rangka beribadah kepada Allah. Berbagai
upaya dan cara telah ditempuh oleh para ulama terdahulu dalam rangka menggali
kandungan ayat-ayat dalam al-Qur'an, yang dilakukan dengan berbagai metode
yang dipandang dapat menjangkau sisi-sisi yang dinilai belum terungkap oleh
pendahulunya, atau yang dianggap belum sempurna. Upaya penggalian ini
merupakan upaya hermeneutika (penafsiran) umat Islam terhadap al-Qur'an
sebagai sumber ajaran Islam. Ada dua kelompok umat Islam yang secara khusus
berusaha memahami dan menafsirkan al-Qur'an, yang menghasilkan wacana
pengetahuan Islam yang berbeda walaupun obyek yang ditelitinya sama, yaitu alQur'an.
Pertama, kelompok ahli tafsir yang menghasilkan ilmu tafsir. Kedua, ahli
ushul fiqh yang menghasilkan tradisi ilmu ushul fiqh.12 Metode yang
dikembangkan dalam ilmu-ilmu tafsir adalah metode untuk menyusun penafsiran,
dan metode yang dikembangkan dalam ushul fiqh adalah metode untuk
11Ibid.
12Syaf’atun Almirzanah & Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Qur’an dan Hadits (Teori dan Aplikasi) Buku 1 Tradisi Islam (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 14

9

mengkonstruksi/ memproduksi pemahaman. Penafsiran merupakan proses lebih
lanjut dari pemahaman.13
Salah seorang pengkaji al-Qur'an di era modern yang cukup produktif
adalah Bint al-Syati’ yang memiliki nama lengkap Aisha Abdurrahman (w. 2000
M). Melalui karyanya yang berjudul al-Tafsir al-Bayani li al-Qur'an al-Karim,
Bint al-Syati’ secara konsisten menerapkan metode al-Khuli yang di antaranya,
membiarkan al-Qur'an berbicara tentang dirinya karena dalam teks al-Qur'an
saling menjelaskan satu sama lain. Metode ini, sejalan dengan pemikiran
hermeneutika Betty tentang Auslegungnya yang mengaskan bahwa tugas utama
seorang penafsir adalah merekeonstruksi makna yang dimaksud pengarang teks.
Karenanya seorang penafsir harus melakukan analisis terhadap teks, baik dari sisi
kebahasaan maupun dari sisi konteks.
Demikian pula halnya dengan teori aplikasi (adwendung)-nya Gadamer
yang menekankan adanya pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/
reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ (makna
yang terlintas pertama kali di fikiran penafsir ketika teks tersebut muncul) ini
dengan makna asal sebuah teks, sehingga pesan teks tersebut bisa diaplikasikan
pada saat penafsiran. Teori ini kiranya dapat diterapkan dalam praktik penafsiran
al-Qur'an, yang disebut dengan “intrepertasi ma’na-cum-maghza”, yakni stau
bentuk interpretasi yang memperhatikan baik makna asal (makna historis dan
tersurat) dari teks yang diinterpretasi maupun makna terdalam darinya
(signifikansi teks, makna inti dan biasanya tersirat).
C. Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Bias Gender (Pendekatan Hermeneutik)
1. Urgensi Pendekatan Hermeneutika
Diperlukan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan interdisipliner
seperti hermeneutika, di dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an. Jumhur ulama
yang melahirkan kitab-kitab tafsir Indonesia terlalu condong ke pendekatan
tekstual, karena mereka pada umumnya berangkat dari kaedah “yang dijadikan
pegangan ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab”. Akibatnya, kultul
13Ibid., hlm. 33-34

10

Timur-Tengah yang menjadi latar belakang kultur bahasa Arab menjadi referensi
yang amat dominan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an.14
Sebagai contoh, Allah SWT seolah-olah sangat memihak kepada laki-laki.
Hampir semua pesan-pesan (khithab) perintah dan larangan, Allah SWT
menggunakan bentuk mudzakkar. Perintah menjalankan rukun Islam, seperti
sholat, puasa, zakat, dan haji, semuanya menggunakan khithab mudzkkar, seperti:

‫ اقيمواالصلوة واتواالزكوة‬menggunakan jamak mudzakkar salim.15
Di sinilah maka adalah hal yang sangat penting dan mendesak untuk
dilakukan upaya-upaya menginterpretasikan ulang teks-wahyu keagamaan yang
selama ini telah “diperkosa” oleh penafsiran yang bias gender, sehingga berakibat
munculnya masalah diskriminasi dalam produk tafsir teks-teks agama dan praktik
keagamaan.16 Umat Islam khususnya para mufassir tidak bisa hanya berhenti di
sekitar teks, tetapi perlu dikaji secara mendalam dengan menggunakan analisa
semantik, semiotik, dan hermeneutik. Pendekatan kontekstual akan tampil
menggantikan peranan kitab-kitab tafsir klasik yang bercorak kebahasaan.
Dalam memahami sebuah teks, seorang pengkaji dituntut memiliki
wawasan semantik dan hermeneutika yang memadai, karena jika tidak maka
kekeliruan ganda akan menghadang. Makna sebuah vocab/mufradat yang
diciptakan oleh penciptanya seringkali tidak persis sama dengan maksud sang
pengguna.
2. Identifikasi Ayat-ayat Gender
a. Kata ar-Rijal dan an-Nisa’
Dalam lisan Arab kata ar-rijal diartikan dengan laki-laki,lawan perempuan
dari jenis manusia. Kata ini juga digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa,
sesudah anak-anak. Kata ar-rijal misalnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282 “

‫( “ وشتشهدواشهيدين من رجالكم‬dan persaksikanllah dengan dua orang sakasi
14Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 114
15Ibid.
16Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm. 45

11

dari laki-laki di antaramu). Kata

‫ من رجالكم‬dalam ayat ini ditafsirkan dalam

tafsir al-Jalalin, sebagai laki-laki Muslim yang akil-balig dan merdeka. Jadi,
semua orang yang masuk dalam kategori ar-rijal termasuk juga kategori al-zakar.
Tetapi tidak semua al-zakar masuk dalam kategori ar-rijal.17
Al-Ashfahani mengesankan adanya perbedaan kata ar-rijal dan al-zakar.
Yang pertama kali lebih berkonotasi gender (gender term) dengan menekankan
aspek maskulinitas dan kejantananan seorang. Misalnya lihat Q.S. al-An’am/6: 9,
kata “rajulan” dalam ayat tersebut menunjuk kepada jenis kelamin tetapi lebih
menekankan aspek maskulinitas, karena keberadaan malaikat tidak pernah
diisyaratkan jenis kelaminnya di dalam al-Qur'an. Adapun yang kedua al-zakar
lebih berkonotasi biologis (sex term) dengan menekankan aspek jenis kelamin,
misalnya lihat Q.S Al-‘Imran /3: 36.18
ar-rijal dan an-Nisaa’ digunakan untuk menggambarkan beban budaya
dan kualitas moral seseorang. Kata ar-rijal dalam berbagai bentuknya terulang
sebanyak 55 kali dalam al-Qur'an, dengan kecenderungan penegrtian dan maksud
sebagai berikut:19
- ar-rijal dalam arti gender laki-laki, seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282 dan
228, dan Q.S. an-Nisa/4: 32.
- ar-rijal dalam arti orang, baik laki-laki maupun perempuan: Q.S. al-A’raf/7: 46,
dan Q.S. al-Ahzab/33: 23.
- ar-rijal dalam arti Nabi atau Rasul, seperti: Q.S. al-Anbiya’/21: 7 dan Q.S.
Saba/34: 7.
- ar-rijal dalam arti tokoh masyarakat, seperti: Q.S. Yasin/36: 20 dan Q.S. alA’raf/7: 48.
- ar-rijal dalam arti budak, seperti: Q.S. al-Zumar/39: 29
Berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa kata ar-rijal dalam al-Qur'an
tidak semata-mata berarti laki-laki dalam arti jenis kelamin pria tetapi ssorg yang
dihubungkan dengan atribut sosial budaya tertentu. Ada pula beberapa kata arrijal digunakan dalam al-Qur'an yang seolah-olah menunjukkan arti “jenis
17Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam, hlm. 118
18Ibid., hlm. 119
19Ibid., hlm. 121-131

12

kelamin laki-laki” (al-zakar) karena berbicara dalam konteks reproduksi dan
hubungan seksual, tetapi setelah dikaji kontek (munasabah) dan asbabun nuzul
ayatnya ternyata tetap lebih berat ditekankan kepada gender laki-laki. Contoh:
Q.S. an-Nisa’/4: 1 dan Q.S. al-Naml/27: 55.
Selanjutnya, kata an-Nisa’ adalah bentuk jamak dari kata al-mar’ah
berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa, berbeda dengan al-untsa
berarti jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang
sudah berusia lanjut. Kata an-Nisa’ berarti gender perempuan, sepadan dengan
kata ar-rijal yang berarti gender laki-laki. Kata an-Nisa’ dalam berbagai
bentuknya teulang sebanyak 59 kali dalam al-Qur'an dengan kecenderungan
pengertian dan maksud sebagai berikut:20
- an-Nisa’ dalam arti gender perempuan, seperti: Q.S. an-Nisa’/4: 7 dan Q.S. anNisa’/4: 32.
- an-Nisa’ dalam arti iste an-Nisa’ dalam arti isteri-isteri, seperti: Q.S. alBaqarah/2: 222 dan 223.
Penggunaan kata an-Nisa’ lebih terbatas daripada penggunaan ar-rijal.
Kata ar-rijal sebagaimana telah dijelaskan bisa berarti gender laki-laki, orang,
menunjuk kepada pengertian Nabi atau Rasul, tokoh masyarakat, dan budak.
Sedangkan kata an-Nisa’ hanya digunakan dalam arti gender perempuan dan
isteri-isteri.
b. Kata al-Dzakar dan al-Untsa
Dalam kamus bahasa arab, kata al-zakar berasal dari akar kata zakara,
yang berarti “mengisi, menuangkan”. Kata al-zakar lebih berkonotasi kepada
persoalan biologis (sex), contohnya, lihat Q.S. al-‘Imran/3: 36. Oleh karena itu
kata al-zakar sebagai lawan dari kata al-untsa juga digunakan untuk jenis
(species) lain selain bgs manusia, misalnya dalam Q.S. al-An’am/6: 143. Kata alzakar dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 18 kali dalam al-Qur'an.21
Berbeda dengan kata ar-rijal dan an-Nisa’ yang umumnya digunakan
untuk hal-hal yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender. Memang ada
20Ibid., hlm. 132-236
21Ibid., hlm. 137-138

13

ungkapan yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender menggunakan kata
al-zakar dan al-untsa seperti Q.S. an-Nisa’/4:11 yang menerangkan tentang
warisan. Namun, al-zakar dan al-untsa dalam ayat ini hendak menegaskan bahwa
jenis kelamin apa pun, berhak mendapatkan berbagai hak asasinya, termasuk soal
warisan dan hak-hak kebendaan lainnya.22
Adapun kata al-untsa berasal dari kata anatsa yang berarti “lemas, lembek
(tidak keras), halus. Sebagaimana halnya kata al-zakar kata al-untsa pada
umumnya mengacu kepada faktor biologis. Dilihat dari segi derivasinya dalam
kamus dan konteks penggunaannya dalam al-Qur'an, kata al-untsa lebih konsisten
dibandingkan kata al-zakar. Derivasi yang lahir dari akar kata zakara ditemukan
beberapa macam bentuk dan asti sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.
Demikian pula penggunaannya dalam al-Qur'an, kata untsa yang terulang
sebanyak 30 kali dalam berbagai bentuknya, tidak mempunyai makna lain selain
(jenis kelamin) perempuan.
3. Menafsir Ulang Ayat-ayat Bias Gender
Umat Islam, khususnya dunia Arab yang menganut peradaban teks, di
mana pesan Tuhan pertama kali diturunkan, sangat mepengaruhi para mufasir
dalam mencari pesan Tuhan dari situ pula cara-cara atau metode mencari pesan
Tuhan digali, seperti ushul fiqh, ilmu-ilmu al-Qur'an, dan balaghah. Pendekatan
itu di kemudian hari menjadi pendekatan yang otoritatif dalam pencarian pesan
Tuhan.23 Selain itu, pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi dominan.
Namun pada kurun lainnya, kadar emosionalitas menjadi menonjol. Itulah
sebabnya persepsi tentang wanita, misalnya di kalangan umat Islam khususnya
mufassir juga berubah-ubah dari zaman ke zaman.
Sebagai contoh, ketika Ibnu Arabi, tokoh sufi berbicara tentang wanita, dia
mengatakan bahwa wanita lebih rendah dari laki-laki, karena Siti Hawa diciptakan
dari tulang rusuk Adam. Berikut keterangannya berdasarkan penggalan Q.S. alBaqarah/2: 228: “… untuk laki-laki satu derajat lebih daripada wanita”. Padahal,
22Ibid., hlm. 140
23Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (Kritik atas Nalar Tafsir Gender),
(Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 121-122

14

kalau dilihat secara keseluruhan ayat ini, akan tampak bahwa hal ini tidak
menyangkut hak laki-laki secara umum, tetapi hanya khusus dalam masalah
perceraian.24
Demikian pula halnya bahwa ada sebagian ulama (Syafi’iyah) yang
menjadi firman Allah dalam Q.S. an-Nisa/4: 34: “Kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum wanita…” sebagai bukti tidak bolehnya wanita terlibat
dalam persoalan politik, karena laki-laki diberikan beberapa kelebihan oleh Allah
SWT.25 Mereka menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan konkrit bahwa lakilaki merupakan pemimpin bagi wanita, bukan hanya dalam rumah tangga, tapi
juga dalam lingkup kehidupan yang lebih luas.26
Menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, kepemimpinan laki-laki
dalam rumah tangga bukan menunjukkan derajat wanita lebih rendah dibanding
laki-laki, tapi karena kepemimpinan itu didasarkan kepada kelebihan yang
dimiliki laki-laki surat tanggung jawab yang harus dipikulnya. Di samping itu,
kepemimpinan laki-laki thd rumah tangga harus bersifat demokratis, bukan
kepemimpinan absolute yang membatasi kebebasan wanita. Menurut Asghar,
keunggulan laki-laki adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis
kelamin. Pada masa ayat itu diturunkan, laki-laki bertugas mencari nafkah dan
wanita di rumah menjalankan tugas domestik. Karena kesadaran sosial wanita
waktu itu masih rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai
keunggulan.27
Menurut Sahiron Syamsuddin,28 hanya Q.S. al-Qashash/27: 29-35 yang
berkaitan dengan kepemimpinan publik. Ayat-ayat tersebut merupakan sebagian
dari ayat-ayat al-Qur'an yang mengisahkan Nabi Sulaiman a.s. dan Ratu Balqis.
24Nurjanah Ismail, dkk., Gender dan Islam: Teks dan Konteks, Cet. Ke- 2 (Yogyakarta:
PSW UIN Su-Ka, 2009), hlm. 38
25Ibid., hlm. 39
26Ibid., hlm. 77
27Ibid.
28Syaf’atun Almirzanah & Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Qur’an dan Hadits (Teori dan Aplikasi) Buku 2 Tradisi Barat, Cet. Ke- 2
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011),
hlm. 55-57

15

Meskipun ayat-ayat tersebut berisi tentang Ratu Balqis, namun sebagian ulama
mencoba memahaminya secara implisist dan simbolik sebagai justifikasi Qur’ani
tentang kebolehan seorang wanita memimpin suatu negeri, seperti yang dilakukan
Ratu Balqis. Al-Qur'an sama sekali tidak mencela baik secara eksplisit dan
implisit kepemimpinan. Sebaliknya al-Qur'an justru memaparkan betapa baiknya
dan tepatnya keputusan dan kebijakan Ratu Balqis sebagai pemimpin komunitas
di negeri Saba’. Secara implisit, al-Qur'an ingin menunjukkan bahwa seorang
wanitapun bisa memimpin suatu negeri dengan sangat baik dan bijaksana. Adapun
makna terdalam dari ayat-ayat tersebut terkait dengan karakteristik kepemimpinan
Ratu balqis, antara lain: demokratis, mengutamakan ketentraman rakyat,
menyukai dilpomasi dan perdamaian, serta cerdas dan berhati-hati.
Selanjutnya, pemahaman para ulama terhadap Q.S. an-Nisa;/4: 11 tentang
ketentuan hukum waris. Dalam menyikapi dalil ini para ulama menyimpulkan
bahwa bagian 2:1 adalah mutlak (harus dan pasti), karena dalil tersebut qat’iy
sifatnya, baik tsubut maupun dalalahnya.29 Karena sifatnya yang qat’iy, maka
tidak ada tawar menawar atau ruang ijtihad di dalam masalah ini. Demikian juga
tidak dilihat secara historis-kontekstual bagaimana ayat ini diturunkan. Padahal
ayat al-Qur'an turun tidak dalam masyarakat yang hampa budaya. Untuk itu
kemudian dimunvulkan kaidah “al-Ibrah bi ‘Umumi al-Lafz la bi Khusus alSabab”.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Gender merupakan konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan
bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat,
waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, negara
ideologi, politik, hukum, dan ekonomi. Sejumlah ayat al-Qur'an mebahas tentang
kesetaraan gender, dengan mengangkat isu-isu perempuan yang memang menjadi
29Nurjanah Ismail, dkk., Gender dan Islam: Teks dan Konteks, hlm. 146

16

agenda penting dalam Islam. Hak-hak perempuan dan laki-laki dalam al-Qur'an,
sangat diperhatikan dan pada dasarnya besifat adil, hingga kemudian munculnya
kembali budaya patriarkhi yang merugikan umat Islam khususnya perempuan.
Seperti misalnya kekeliruan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an: Q.S.
al-Baqarah/2: 228 tentang tingginya derajat laki-laki yakni satu derajat melebihi
kaum perempuan; Q.S. an-Nisa/4: 34 tentang laki-laki adalah pemimpin bagi
wanita; dan Q.S. an-Nisa;/4: 11 tentang ketentuan pembagian waris antara lakilaki dan perempuan, yakni 2:1. Semua tafsiran ayat-ayat al-Qur'an tersebut
mengalami bias gender karena ada yang ditafsirkan secara umum saja tanpa
melihat kekhususan turunnya, dan ada juga yang ditafsirkan secara khusus saja
tanpa melihat keumuman lafaznya sehingga bisa termanifestasi dengan baik pada
suatu masa tertentu.
Karena itu, perlu dilakukan peninjauan ulang atas penafsiran terhadap
ayat-ayat al-Qur'an melalui pengkajian dengan menggunakan metode
hermeneutika, di antaranya dengan memperhatikan historisitas apa yang terjadi di
seputar nash, kontekstual, dan mendengar suara perempuan yang memiliki
pengalaman dan kebutuhan yang berbeda akibat konstruksi sosial di masyarakat.
Penafsiran ulang telah menjadi sebuah kebutuhan sejalan dengan perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

DAFTAR PUSTAKA

Almirzanah, Syaf’atun & Sahiron Syamsuddin (Ed.), Upaya Integrasi
Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadits (Teori dan Aplikasi) Buku 1
Tradisi Islam, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadits (Teori
dan Aplikasi) Buku 2 Tradisi Barat, Cet. Ke- 2, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.

17

Dzuhayatin, Siti Ruhaini, dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Cet. Ke- 4, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Hadi, Abdul, “Hermeneutika Obyektif dan Subyektif vs Tafsir bil-Ma’tsur dan bilRa’yi”, dalam www.blogspot-abdulhadi.com. Akses tanggal 3 Februari 2014.
Hidayatullah, Syarif, Teologi Feminisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Ismail, Nurjanah, dkk., Gender dan Islam: Teks dan Konteks, Cet. Ke- 2,
Yogyakarta: PSW UIN Su-Ka, 2009.
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Edisi Revisi), Cet. Ke3, Malang: UIN Maliki Press, 2013.
Nugroho, Riant, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, Cet. Ke2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Palmer, Richard E., Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj.
Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Cet. Ke-2, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Wijaya, Aksin, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (Kritik atas Nalar Tafsir
Gender), Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004.

18

Dokumen yang terkait

EVALUASI MUTU MINYAK KELENTIK DENGAN PENAMBAHAN KAPSUL ANTIOKSIDAN KULIT BUAH KOPI DAN BHT: KAJIAN JENIS KEMASAN

1 27 43

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KAJIAN PSIKOLOGI ANAK DALAM NOVEL SINAR KARYA AGUK IRAWAN MN

4 53 10

KAJIAN RELIGIUS DALAM NOVEL SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN KAJIAN RELIGIUS DALAM NOVEL JANGAN BIARKAN SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY JANGAN BIARKAN SURAU INI ROBOH KARYA TAUFIQURRAHMAN

0 62 12

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERUBAHAN TANAH PERDIKAN MENJADI HAK MILIK DI KELURAHAN TAMAN KECAMATAN TAMAN KOTA MADIUN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

2 44 14

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ADANYA HUBUNGAN NASAB (Studi Putusan No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj) STUDY JURIDICAL TO MARRIAGE ANNUALMENT CONSEQUENCE OF EXISTENCE LINEAGE (Study of Decision No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj)

1 45 18

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN COLONG SUKU ADAT OSING BANYUWANGI

2 77 9

KAJIAN ASPEK HYGIENE SANITASI TERHADAP KONDISI KANTIN MAKANAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DASAR (Studi Kasus di Sekolah Dasar Kota Bandar Lampung)

40 194 64

INTERPRETASI STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN DATA SEISMIK 2D UNTUK PERHITUNGAN MANUAL GROSS ROCK VOLUME RESERVOAR PADA LAPANGA YTS

14 189 75