218071996 Tesis Bu Sayang. doc

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Geguritan Dharmawisesa merupakan salah satu bentuk karya sastra puisi
Bali tradisional yang dibangun berdasarkan pupuh-pupuh. Geguritan tersebut
dikarang oleh I Gusti Ketut Kontoran ( Almarhum ), yang beralamat di Banjar
Bona Kangin Gianyar, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar Bali. Si pengarang sangat
banyak mentranformasikan ajaran-ajaran dan nilai-nilai luhur agama Hindu yang
patut untuk diamalkan sehari-hari. Ajaran tentang nilai-nilai pendidikan agama
mendapat porsi yang lebih banyak daripada ajaran-ajaran lainnya di dalam karya
sastra tersebut.
Ajaran tentang tujuan hidup dan pandangan hidup merupakan suatu usaha
untuk menjaga keseimbangan kehidupan, karena pada kenyataannya, bahwa tujuan
beragama adalah menuju keseimbangan.

Yang dimaksud tidak saja berwujud

keseimbangan fisik (jasmani) saja, namun juga mencakup keseimbangan yang

bersifat rohani. Di dalam ajaran agama Hindu, moksa dan jagadhta merupakan
wujud dari keseimbangan hidup tersebut dan merupakan tujuan utama dari umat
Hndu.
Dalam kitab Wåhaspatitattwa sloka 25 dinyatakan sebagai salah satu di
antara tujuh bentuk pelaksanaan dharma. Adapun kutipan sloka tersebut sebagai
berikut :
“Sila ngaraning mangraksàcara rahayu, yajña ngaraning manghanakên
homa, tapa ngaraning umatìndriyanya, tan winéh ring wiûayanya, dana
ngaraning
wéwéh, prawrajya ngaraning wiku anasaka bhikûu ngaraning

1

2

dikûita, yoga ngaraning magawé samadhi nahan pratyékaning
ngaranya”(PutraSadia, 1998 : 21 ).

dharma


Terjemahannya:
“ Perbuatan mulia, yajna, tapa, dana punia, meninggalkan keluarga dan
hidup dari sedekah, yoga, inilah secara singkat yang disebut dharma. Úila artinya,
melakukan perbuatan yang baik, yajna artinya melakukan pemujaan api,
tapa artinya menjadi wiku yang melakukan tapa bratha, bhikûu artinya seorang
yang didikûita, yoga berarti melakukan meditasi, itulah beberapa macam ciri
dharma”.
Uraian sloka di atas memberikan penekanan pada dharma, bahwa dharma
dapat berarti kewajiban, kebajikan, dan kebenaran. Secara spesisifik geguritan
dharmawisesa memuat hal-hal yang berkaitan dengan tujuan hidup umat Hindu
yang terkonsep di dalam Catur Purusa Artha.Konsep tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut ini:
1) Asih, yaitu mengasihi dan menyayangi sesama makhluk hidup, sesama ciptaan
Hyang Widhi, Manusia hendaknya saling harga menghargai, cinta mencintai, hornat
menghormati, dan mengamalkan ajaran tat twam asi terhadap semua makhluk, agar
terwujud kerukunan, kedamaian, dan keharmonisan dalam kehidupan serta
terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
2) Punia, yaitu kemauan dan keikhlasan untuk berdana punia dalam bentuk
pemberian sedekah, untuk mewujudkan rasa cinta kasih terhadap sesama hidup
dengan cara saling tolong menolong agar bermanfaat bagi orang lain.

3) Bhakti, yaitu bersujud dengan keiklasan dan kerendahan hati kehadapan Hyang
Widhi dalam bentuk ibadah dan pelaksanaan upacara yajna.

3

4) Menumbuhkan rasa kasih sayang pada sesama dan kepedulian terhadap orang
lain, dengan mengamalkan ajaran catur paramitha, yaitu maitri, karuna, mudita,
upeksa.
(1) Maitri, artinya kasih sayang kepada semua makhluk, dengan mengembangkan
rasa dan sikap persaudaraan untuk menuju kesejahteraan dunia yang disebut
jagadhita.
(2) Karuna, adalah sikap yang selalu berusaha menghilangkan penderitaan semua
makhluk, sehingga setiap perkataan selalu dijaga agar tidak menyakiti orang lain.
(3) Mudita, adalah selalu berpikiran baik dan mau menerima petunjuk orang
lain.Berusaha untuk menjadikan orang lain senang dan bahagia.
(4) Upeksa, dapat mempertimbangka mana yang baik dan mana pula yang tidak
baik, ilhlas dan tidak mengharapakan imbalan berupa harta benda dan juga
menghindari pujian dan sanjungan.
Inti dari ajaran catur paramitha adalah cinta kasih terhadap semua makhluk.
Ajaran cinta kasih dapat mengangkat martabat manusia menjadi makhluk mulia di

dunia ini, oleh karena itu, ajaran Catur Purusa Artha dan Catur Paramitha wajib
hukumnya dan harus dilakukan oleh seluruh umat manusia, lebih-lebih umat yang
beragama Hindu. Kitab sici Manawa Dharmasastra menegaskan kewajiban
manusia yang harus dilakukan menurut tingkatan jaman atau yuga.Tahapan jaman
itu terdiri dari kerta yuga, treta yuga, dwapara yuga dan kali yuga. Mengenai
perbedaan kewajiban tiap yuga tersebut dapat dikutip dari sloka kitab suci Manawa
Dharmasastra seperti di bawah ini:
“ Anye krtayuga dharmastre
tayam dwapare pare

4

Anye kaliyuge nrrnam
yugahrasanu rupatah” ( Manawa Dharmasastra, I.85)
Terjemahannya :
“Kewajiban manusia di jaman kerta yuga berbeda dari kewjiban-kewajiban
yang ditentukan di jaman treta yuga, di jaman dwapara yuga, demikian pula di
jaman kali yuga”
Selanjutnya Manawa Dharmasastra I.86 menjelaskan sebagai berikut:
“ Tapah param krtayuge

tretayam jnanam ucyate
dwapare yajna ewahur
dana ekam kalay yuga”.
Terjemahannya:
“Di jaman krta yuga, tapa adalah sangat mulia,di dalam jaman trta yuga
ilmu pengetahuan yang sangat utama, di jaman dwa para yuga melaksanakan
yajna besar adalah mulia, namun pada jaman kali yuga danalah yang sangat
mulia”.
Dari uraian kitab suci di atas dapat dijelaskan bahwa setiap orang wajib
melaksanakan dharma. Dari uraian di atas peneliti sangat tertarik untuk mengkaji
geguritan tersebut ke dalam karya ilmiah dengan alasan bahwa geguritan
Dharmawisesa merupakan salah satu karya sastra yang mampu mentranformasikan
nilai-nilai luhur ajaran agama Hindu yang masih relevan sampai saat ini, dan ajaran
tersebut perlu diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat menjaga
keseimbangan dan kedamaian hidup. Geguritan Dharmawisesa menggambarkan
secara gamblang dan menguraikan ajaran tentang pegangan hidup dan pandangan
hidup yang perlu dikaji secara mendalam untuk dapat diangkat menjadi karya
ilmiah, dan sepanjang pengetahuan penulis belum ada peneliti lain yang mengkaji
nilai-nilii pendidikan agama Hindu


yang terkandung di dalam geguritan

Dharmawisesa. Dengan terwujudnya penelitian ini diharapkan

geguritan

5

Dharmawisesa mendapat tempat di hati masyarakat Bali seperti geguritan yang
lain.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka hal-hal yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Bagaimakah bentuk geguritan Dharmawisesa ?
2) Bagaimanakah struktur geguritan Dharmawisesa ?
3)

Nilai-nilai

pendidikan


apa

saja

yang

terkandung

dalam

geguritan

Dharmawisesa?
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap aktivitas penelitian senantiasa berorientasi pada tujuan yang jelas dan
terarah sebagai target yang hendak dicapai agar dapat membimbing peneliti dalam
menjawab problema yang dikemukakan dalam rumusan masalah di atas.
Tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam
geguritan Dharmawisesa terutama kajian bentuk, struktur dan nilai-nilai
pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalamnya.

6

1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui bentuk geguritan Dharmawisesa.
2) Untuk mengetahui struktur geguritan Dharmawisesa.
3) Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung di
dalam geguritan Dharmawisesa.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan seperti di bawah ini:
1) Dapat menambah wawasan keilmuan yang berkaitan dengan tranformasi
dana punia dalam geguritan Dharmawisesa.
2) Wawasan keilmuan yang dimaksud terutama mengenai langkah-langkah
dalam mengkaji struktur, tranformasi dana punia dan nilai-nilai pendidikan

agama Hindu yang terkandung di dalam geguritan Dharmawisesa.
3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi
bagi penelitian berikutnya untuk mengkaji lebih mendalam dalam aspek
yang lain dalam geguritan Dharmawisesa, sehingga khasanah kebudayaan
Bali tradisional tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan
jaman.

7

1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai
berikut ini:
1) Sebagai masukan bagi umat Hindu, terutama di dalam memotivasi
generasi muda Hindu untuk mempelajari geguritan sebagai salah satu
upaya untuk menumbuhkembangkan penghayatan terhadap ajaran
agama Hindu.
2) Di samping itu penelitian ini sebagai upaya untuk pelestarian, dan
pengembangan produk seni sastra tradisional supaya tetap ajeg dan
berkesinambungan yang telah diwariskan oleh para leluhur.
3) Bermanfaat bagi para pengarang geguritan pemula, pedoman membuat

padalingsa suatu pupuh dalam geguritan Dharmawisesa dapat dijadikan
acuan pokok untuk membangun geguritan baru.

8

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka
Kajian mengenai teks geguritan Dharmawisesa belum ada akhli yang
mengkaji atau meneliti secara mendalam baik tentang kajian filosopinya ataupun
nilai-nilai pendidikan yang relevan dan masih patut dijadikan pedoman ethika
moral oleh para pendidik di dalam dunia pendidikan khususunya pendidikan agama
Hindu. Namun demikian, terjemahan naskah yang awalnya ditulis di atas daun
lontar, kini sudah ditransliterasi ke dalam huruf latin, sehingga sangat mudah
dibaca. Di samping itu, beberapa hasil penelitian dan referensi yang dijumpai
dipergunakan juga sebagai bahan perbandingan dan sebagai acuan dalam penelitian
ini. Untuk itu, akan dipaparkan beberapa tulisan yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas di dalam penelitian ini sebagai berikut.

Ni Nengah Suparti dalam penelitiannya yang berjudul nilai-nilai pendidikan
ke-Tuhanan dalam Geguritan Kawi Swara, disebutkan tentang ajaran-ajaran keTuhanan yakni ajaran-ajaran yang kongkrit dan abstrak yakni:
Eda suud malajahin/ jani maningkahang awak/ tuture resepresepang/inget-ingetang di manah/ bilih yan sadia-kasadian/ican Ida Sang
Hyang Tuduh/ mangicenin panyupatan//
Terjemahannya:
Janganlah putus asa dalam belajar/dipergunakan untuk memperbaiki diri,
ajaran kebaikan agar selalu diingat, dijadikan pedoman hidup, apabila ada
keberuntungsn, atas rahmat Tuhan memberkati keselamatan.

8

9

Bertolak dari uraian di atas. bahwa ilmu pengtahuan

dapat menuntun

bertingkah laku yang sopan, menghargai dan menghormati orang lain. Geguritan
Dukuh Sukla, oleh I Ketut Suba dalam penelitiannya yang berjdul: Nilai-nilai
Pendidikan Agama Hindu dalam Geguritan Dukuh Sukla telah memaparkan pokokpokok ajaran agama Hindu yaitu tentang Panca Sradha sebagai berikut:
Singgih Wanten Sanghyang Widhi/ madan wariga, Sami marika munggah/
salwiring apa-apane/ yening ala miwah ayu/ yadian mati lawan urip/ sami
wariga pamatute ditu// punika patut nikayang/ mangda titian uning
ngresepang ne mangkin/ patut nimbal tembang durma//
Terjemahannya:
Begini/ ada Tuhan/ wariga namanya/ semua ada di sana/ berbagai macam/
tentang hal yang baik ataupu jelek/ mati maupun hidup// semua wariga/
adalah sebagai ukuran/ itu yang patut diajarkan/ agar saya mengetahui
sekarang/ sampai pada pupuh Durma//
Dari kutipan di atas, digambarkan dengan jelas ke–Esaan Sang Hyang
Widhi dan untuk bagaimana mendekatkan diri kehadapan Beliau. Semua ciptaan
Beliau ada baik dan buruknya, tetapi saling melengkapi.
I Putu Sukarma dalam Geguritan Gunatama, serta nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, telah memaparkan ajaran reinkarnasi atau kelahiran
kembali akibat karma, sebagai berikut:
I Gunatama nunasang/ tingkah awaknyane jani/ tumbuh dumadya manusa/
apang tahu linging tutur/ katuturane ring swarga/ sing ya mati/ niskalannya
apang tatas//
Terjemahannya:
I Gunatama mohon penjelasan/ mengenai hal yang harus dikerjakannya/
lahir menjadi manusia/ hendaknya mengetahui tentang ajaran/ dikisahkan
masih di sorga, jika meninggal kelak/ agar mengetahui dengan jelas alam
akhirat.

10

Dari kutipan tersebut di atas, terjadi dialog yang melukiskan seorang murid
dengan seorang guru spiritual tentang hal-hal yang patut dipelajari kelak setelah
lahir kembali ke dunia. Ni Luh Nyoman Suprapti dalam penelitiannya berjudul :
Nilai-nilai Pendidikan dalam Geguritan Luh Raras sebagai sumber daya pendidikan
tata susila wanita Hindu telah memaparkan konsep ideal seorang wanita yakni
sebagai kutipan berikut ini:
Tuhu teken awak/ murnama tilem mabresih/ lewihte dewasa melah/
mangastu ayu/ batah pra ada pada/ mituutin/ buku tuara ada pada//
Terjemahannya:
Sangat telaten dengan diri/ setiap hari purnama dan bulan mati/
membersikah diri/ lebih-lebih pada hari suci/ senantiasa memelihara
kesucian/ para remaja yang mengikuti/ bagaikan tiada yang menyamai//
Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa Luh Laras
adalah simbul wanita ideal, karena Luh Laras selalu memberikan contoh kepada
kaum remaja di dalam menentukan sikap harus mandiri dan bertanggungjawab.
Dari beberapa referensi hasil penelitian tersebut di atas, maka Geguritan
Dharma Wisesa memiliki relevansi dengan penelitian di atas, karena Geguritan
Dharma Wisesa sarat dengan Nilai-nilai Pendidikan agama Hindu yang relevan
diajarkan sampai pada saat ini. Adapun nilai- nilai yang akan dikaji adalah: 1) Nilai
Pendidikan Tattwa, 2) Nilai Penidikan Tata Susila, 3) Nilai Pendidikan Tat Twam
Asi, dan 4) Nilai Pendidikan Budi Pekerti.

11

2.2 Deskripsi Konsep
2.2.1 Nilai
Kata nilai sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah
maupun di masyarakat. Penggunaan kata nilai dalam suatu disiplin ilmu seperti
ilmu ekonomi, ilmu alam, ilmu sosial dan budaya akan memiliki arti yang berbeda
sesuai dengan penggunaannya. Di sekolah, misalnya dalam proses belajar-mengajar
istilah nilai dipergunakan sebagai ukuran untuk mengetahui proses belajar siswa
yang dinyatakan dalam bentuk angka. Nilai atau angka yang diberikan kepada anak
didik bervariasi sesuai dengan hasil evaluasi yang diperoleh dari hasil penilaian
guru. Nilai dalam hal ini merupakan suatu alat motivasi yang memberikan
rangsangan kepada anak didik untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan
prestasi belajar mereka di masa mendatang.
Penggunaan kata nilai dalam konteks di atas bila diperhatikan mengandung
pengertian sebagai angka kepandaian terhadap kemampuan anak.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan pengertian nilai sebagai
berikut :
1. Harga (dalam arti taksiran harga), misalnya tak ada ukuran yang tentu
untuk menentukan nilai intan.
2. Harga sesuatu (uang ), misalnya jika diukur atau ditukarkan dengan yang
lain misalnya nilai-nilai dolar Amerika mengalami kegoncangan.
3. Angka kepandaian, biji, ponten, misalnya sekurang-kurangnya nilai tujuh
untuk ilmu pasti.
4. Kadar, mutu, banyak sedikitnya isi : misalnya makanan yang tinggi nilai
kalori dan proteinnya ; suatu karangan ilmiah yang tinggi nilainya.
5. Sifat (hal-hal) penting atau berguna bagi kemanusian, misalnya nilai-nilai
agama yang perlu kita indahkan (Poerwadarminta, 1984:677).
Pengertian nilai sebenarnya sangat tekait dengan filsafat, karena filsafat
memiliki cabang ilmu yang menyelidiki tentang hakekat nilai dan valuasi

12

(perkiraan, pandangan tentang nilai) yaitu “aksiologi”. Aksiologi berasal dari
bahasa latin yang berasal dari kata aksios dan logos. Aksios artinya nilai, sedangkan
logos berarti ilmu. Aksiologi berarti ilmu tentang nilai. “Istilah itu kiranya kurang
tepat karena filsafat dengan ilmu berbeda dalam aspek formalnya. Oleh karena itu
istilah aksiologi tersebut di atas lebih tepat disebut filsafat nilai”. (Ghoni,tt:12).
Filsafat nilai berarti ilmu yang mempelajari hakekat nilai. Hakekat nilai
sering dihubungkan dengan kebaikan dan dipandang dua sudut, yaitu dari subyek
yang menilai dan obyek itu sendiri. Dalam kamus Filsafat tentang teori nilai (theori
of Value) diuraikan yakni :
Pada umumnya teori-teori nilai dapat dibagi ke dalam teori yang
menghubungkan nilai dengan “minat” atau “kepentingan” dan mengandaikan
nilai-nilai mempunyai segi obyektif dan dikenal oleh intuisi. Tergantung pada
teori nilai-nilai dipandang sebagai kognitif atau non kognitif, obyektif atau
subyektif, absolute atau relative, natural dan non natural, esensialistik atau
sksistensialistik, dan dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan. (Lorens,
2000:721).
Dalam GBHN diungkapkan tentang pengertian nilai sebagai berikut :
Nilai yang dalam bahasa Inggris value termasuk filsafat menilai berarti :
menimbang yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu.
Untuk selanjutnya mengambil keputusan-keputusan nilai dapat mengatakan ;
berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik,
religius atau tidak religius, hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada
pada manusia yaitu jasmani, yaitu cipta, rasa, karsa dan kepercayaan. (Dardji
Darmodiharjo dkk, 1998:55).
Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, menyebutkan bahwa nilai
sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut :
1. Nilai berkaitan dengan subyek kalau kalau tidak ada subyek yang menilai
maka tidak ada nilai juga.
2. Nilai tampi dalam suatu konteks praktis dimana suatu subyek ingin
membuat sesuatu.
3. Nilai-nilai yang menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada
sifat-sifat yang dimiliki obyek pada dirinya. Rupanya hal itu harus

13

dikatakan karena obyek yang sama bagi berbagai subyek dapat
menimbulkan nilai yang berbeda-beda. (Bartens, 1997:14).
Nilai dapat muncul apabila ada hubungan antara obyek yang dinilai dengan
subyek yang menilai. Meskipun ada obyek yang mengandung nilai tetapi bila tidak
ada subyek yang menilai dan menanggapinya, maka obyek tersebut tidak bernilai.
Suatu obyek akan mengandung nilai setelah adanya hubungan obyek dengan
subyek. Dengan kata lain bahwa obyek tersebut bebas nilai selama obyek tersebut
belum berhubungan dengan subyeknya, belum dapat perhatian dari subyek dan
subyeknya belum memberikan penilaian terhadap obyeknya. “Nilai merupakan
suatu yang bagi kita, sesuatu yang disukai, sesuatu yang dicari, sesuatu yang
diinginkan, yang menyenangkan, singkatnya sesuatu yang baik.” (Bartens,
1997:14).
Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam segala
perbuatannya. Nilai dijabarkan dalam bentuk norma, kaidah atau ukuran di mana
norma itu merupakan aturan atau standar, sehingga segala sesuatu yang mempunyai
nilai kebenaran, keindahan, kebaikan dianjurkan dan sebaliknya bila tidak benar,
tidak indah dan tidak baik akan dicela. Menyimak uraian tersebut

dapat

disimpulkan bahwa, geguritan dharmawisesa memiliki nilai kebenaran, keindahan,
kebajikan, kebaikan yang dijadikan pedoman untuk berperilaku berdasarkan normanorma tata krama dari sudut pandang ajaran agama Hindu.
2.2.2 Pendidikan Agama Hindu
Fungsi pendidikan agama Hindu tertuang dengan jelas dan terarah dalam
buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek - Aspek
agama Hindu I - IV, diterbitkan oleh : Proyek Pengadaan Prasarana dan Sarana

14

Kehidupan Beragama tersebar di 8 (delapan) Kabupaten Dati II, diperbanyak oleh
Pemerintah Kabupaten Badung, adalah sebagai berikut ini :
1) Pendidikan agama Hindu di luar sekolah terdiri dari :
(1) Pengertian pendidikan agama Hindu.
(2) Guna dan tujuan pendidikan agama Hindu.
(3) Materi dan sarana pendidikan agama Hindu.
(4) Pelaksanaan pendidikan agama Hindu.
2) Pendidikan agama Hindu di sekolah, terdiri dari
(1) Pengertian pendidikan agama Hindu.
(2) Guna dan tujuan pendidikan agama Hindu.
(3) Didaktik dan metodik pendidikan agama Hindu.
(4) Materi Pendidikan agama Hindu.
(5) Sarana Pendidikan agama Hindu.(1992-1993:22).
Lebih lanjut dijabarkan sebagai berikut ini :
Pendidikan agama Hindu di luar sekolah merupakan suatu upaya untuk
membina pertumbuhan jiwa masyarakat, dengan ajaran agama Hindu itu sendiri
sebagai pokok materi. Guna dan tujuan pendidikan agama Hindu di luar sekolah
meliputi: (a) menanamkan ajaran agama Hindu menjadi keyakinan dan landasan
segenap kegiatan umat Hindu dalam semua prikehidupannya, (b) ajaran agama
Hindu mengarahkan petumbuhan kemasyarakatan umat Hindu,sehingga serasi
dengan Pancasila dasar Negara Republik Indonesia , (c) menyerasikan dan
menyeimbangkan

pelaksanaan

bagian-bagian

ajaran agama

Hindu dalam

15

masyarakat antara tattwa, susila, dan yajña, (d) untuk mengembangkan hidup rukun
antara umat barbagai agama.
Materi pendidikan agama Hindu bersumber pada Veda Småti dan Itihasa,
yang pelaksanaannya sesuai dengan tempat, waktu, dan tujuan (desa, kala, patra),
sedangkan sarana-sarana dalam pengembangan pendidikan agama Hindu mencakup
hal-hal seperti berikut ini: (a) penyuluhan-penyuluhan, (b) lembaga-lembaga
masyarakat, seperti Desa, Banjar, Subak dan lain-lainnya, (c) perpustakaan, (d)
penerbitan-penerbitan (majalah-majalah, harian-harian, brosure-brosure, dan lainlain), (e) mass media-mass media (radio,wayang, film, TV,dan lain-lain)
3) Pelaksanaan pendidikan agama Hindu di masyarakat ditangani oleh:
(1) Parisada Hindu Dharma.
(2) Departemen Agama.
(3) Eksponen-eksponen agama Hindu dalam masyarakat ( 1992-1993:
24).
Pendidikan Agama Hindu di sekolah ialah suatu upaya untuk membina
pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu. Sedangkan
tujuan pendidikan agama Hindu di sekolah meliputi; 1) membentuk manusia
Pancasilais yang astiti bhakti (bertaqwa) kepada Sang Hyang Widhi Wasa,Tuhan
Ynag Maha Esa, 2) membentuk moral, etika dan spiritual anak didik sesuai dengan
ajaran agama Hindu.
Didaktik dan metodik pendidikan agama Hindu meliputi hal-hal berikut ini;
1) pendidikan agama Hindu di sekolah hendaknya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan jiwa anak didik, 2) pendidikan agama Hindu dikorelasikan dengan

16

bidang-bidang pendidikan lainnya, 3) memberikan contoh-contoh tentang
kehidupan beragama yang baik. Materi pembelajaran pendidikan agama Hindu di
sekolah bersumber pada Veda Sruti, Småti, dan Itihasa, yang pelaksanaannya
disesuaikan dengan kondisi di masing-masing jenjang pendidikan.
Sarana pendidikan agama Hindu meliputi hal-hal seperti berikut ini :
1) Kurikulum.
2) Buku-buku .
3) Perpustakaan.
4) Guru-guru (1992-1993:25).
Menyimak uaraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kata pendidikan
mengAndung makna beragam, bahkan Mudyahardjo(2006:3-10) membagi definisi
pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu : (1) definisi maha luas, (2) definisi sempit,
(3) definisi luas terbatas.
Definisi Maha Luas : Pendidikan adalah hidup, pendidikan adalah segala
lingkungan dan sepanjang hidup, pendidikan adalah segala situasi hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan individu (Mudyahardjo,2006:3).
Definisi Sempit : Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran
yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan
adalah segala pengaruh yang diupayakan di sekolah terhadap anak dan remaja yang
diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran
penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas sosial terhadap hubungan-hubungan
dan tugas sosial mereka (Mudyahardjo,2006:6).

17

Definisi Luas Terbatas : Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh
keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
atau latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk
mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai
lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan datang. Pendidikan adalah
pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam pendidikan formal, non formal,
dan informal di sekolah, dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup yang
bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan individu, agar dikemudian hari
dapat memainkan peranan hidup (Mudyahardjo,2006:10).
2.2.3 Geguritan
Kata geguritan berasal dari kata dasar gurit yang berarti gubah, karang,
sadur. Geguritan berarti saduran cerita yang berbentuk tembang atau pupuh
(Warna,1990 : 254). Dalam sastra Bali Tradisional, geguritan dikelompokkan ke
dalam ranah sekar alit. Sekar dalam bahasa Bali di samping berarti bunga juga
berarti tembang sebagaimana terlihat dalam istilah sekar alit, sekar madya, dan
sekar ageng (Sugriwa, 1977:6;2007:259).

Dengan demikian, geguritan adalah

karya sastra Bali yang dalam proses pembuatan dan pembacaannya ditentukan
menurut kaidah sekar alit yang disebut pada lingsa: pola puisi Bali Tradisional
yang terikat oleh (1) jumlah suku kata dalam satu baris; (2) bunyi akhir dalam satu
baris; dan (3) jumlah baris dalam satu bait. Nama tembangnya cukup banyak, di
antaranya

Sinom,

Ginada,

Pangkur,

Pucung,

Ginanti,

Dangdang,

Kumambang, Semarandana, Magatruh, Durma, dan yang lain-lainnya.

Mas

18

Geguritan dibedakan dengan peparikan walaupun proses pembentukan dan
pembacaannya sama-sama ditentukan menurut pola padalingsa. Akan tetapi,
menurut isinya geguritan lebih bersifat karangan murni, sedangkan paparikan
adalah karya saduran ( Warna, 1990: 501 ). Sebagai karya saduran, paparikan
mengambil sumber langsung dari karya sebelumnya.
Berdasarkan pandangan di atas, geguritan Dharmawisesa dalam penelitian
ini dipahami sebagai geguritan, yakni salah satu puisi Bali tradisional yang
termasuk kelompok ragam sekar alit. Geguritan Dharmawisesa dipahami sebagai
geguritan karena teks yang menjadi bangun geguritan Dharmawisesa dominan
digubah menurut kaidah sekar alit dan isinya secara intertekstualitas tidak
bersumber langsung dari teks-teks sebelumnya. Selanjutnya akan dijelaskan
mengenai kata dharmawisesa, adalah sebagai berikut ini:
2.2.4 Dharmawisesa
Kata Dharmawisesa terdiri dari dua kata, yaitu kata

dharma dan kata

wisesa. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu dijelaskan, kata dharma ( s ) berasal
dari kata (dhr, yang artinya menjinjing, memegang ) 1. kebajikan, kesucian,
kebenaran; 2. kewajiban, hukum.( Pemerintah Propinsi Bali, 2002 : 29 ). Menurut
Mantra dalam Bukunya Tata Susila Hindu Dharma, mengutip sloka-sloka kitab suci
Manawa Dharmasastra yang berkaitan dengan arti dharma dapat diuraikan seperti
di bawah ini :
“Dharma berarti keadilan, melakukan perbuatan dharma adalah sama
dengan melakukan perbuatan yang benar. Perbuatan itu dapat dikatakan mendorong

19

pikiran berbuat adil di dalam masyarakat. Berbuat keadilan adalah mendapatkan
teman yang tidak pernah menjatuhkan orang. Dan apabila semua yang lainnya
mengasingkan dia, teman yang setia ini akan tetap setia sampai mati”.( 1993 : 24 ).
Bantas ( 2007 ) mengutip beberapa pengertiam dharma dalam beberapa
kitab menjelaskan seperti di bawah ini :
1) Dharma berarti agama.
Dalam hubungan kehidupan kerohanian, kata dharma diartikan agama baik
di Indonesia maupun di India. Sebagai contoh dapat dikemukakan maha wakya :”
Moksartham Jagadhitaya ca iti dharma”, yang artinya dharma atau agama itu ialah
alat untuk mencapai moksa dan kesejahteraan hidup mahluk. Dharma atau agama
merupakan jalan untuk pergi ke sorga, bagaikan perahu yang merupakan alat bagi
pedagang untuk menyeberangi lautan, sesuai dengan ucapan sloka Sarasamuscaya
14 yang berbunyi sebagai berikut :
“ikang dharma ngaranya henuning mara ring swarga ika kadi gatining
perahu, an henuning banyaga umentasing tasik “,
Terjemahannya:
“Yang disebut dharma, adalah merupakan jala untuk pergi ke sorga;
sebagai
halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang
dagang untuk mengarungi lautan “ ( Kadjeng, tt.11).
2) Dharma berarti Tuhan
Di dalam kakawin Sutasoma terdapat kata dharma yang berarti sebutan
untuk Tuhan. Kakawin tersebut adalah gubahan dari Mpu Tan Tular, yang bait
kakawinnya dapat diuraikan seperti di bawah ini :
“Rwaneka dhatu winuwus wara budha wiswa,
Bhinneki rakwa ringapan kena parwanosen,
mangkang jinatwa kalawan siwa tattwa tunggal,
bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.

20

Terjemahannya:
“Dua sebutan Tuhan dinyatakan sebagai Adhi Budha dan Siwa, konon itu
berbeda, tetapi sampai kapanpun tidak dapat dibedakan, demikianlah Adhi
Budha dan Siwa adalah tunggal. Berbeda itu tetapi tunggal itu tidaklah ada Tuhan
yang kedua”,( Bantas, 2007 : 4.30 ).
3) Dharma berarti kebenaran
Dalam hubungan ini dapat dikutipkan sloka Bhagawadgita sebagai berikut :
“Atha chet twam imam dharmayam sam gramam na karishast,
tatah swadharmam kirtim chahitwa papam awapsyasi”, ( Bhagawadgita, II.
33 ).
Terjemahannya :
“Jika engkau tidak berperang menegakkan kebenaran ini , meninggalkan
kewajiban dan kehormatanmu, maka dosa papalah bagimu “.
Selanjutnya di dalam kakawin Ramayana Sargah 24, pada 31, dijelaskan
sebagai berikut :
“Prihen temen dharma dhumaranang sarat,
saraga sang sadhu sireka tutana,
tan artha tan kama pidonya tan yasa,
ya sakti sang sajjana dharma raksaka”
Terjemahannya:
“Utamakan dengan benar peraturan-peraturan untuk mengatur negara,
sebagai halnya sang pandita beliaulah itu yang sepatutnya untuk ditauladani, tidak
mengutamaka harta, demikian juga kenikmatan hidup yang tidak di dapat dari
usaha, keutamaan orang bijaksana kebenaran ( dharma ) yang beliau di pegang
teguh “.
4) Dharma berarti kewajiban
“Swadharmam api cha veksya,
na vikampitum arhasi,
dharmyad dhi yuddhach chhreyo nyat
kahatriyasya na wvidyate” ( Bhagawadgita, II. 31).

21

Terjemahannya :
“Apalagi sadar akan kewajibanmu, engkau tidak boleh gentar, bagi ksatria
tidak ada kebahagiaan lebih besar daripada bertempur menegakkan kebenaran”.
5) Dharma berarti hukum atau peraturan
Dharma adalah hukum yang mengatur kehidupan secara alami menurut
peredaran alam semesta. Kata dharma berarti hukum atau peraturan yang mengatur
kehidupan, atau memelihara alam semesta beserta semua makhluk. Dharma yang
berarti hukum atau peraturan dapat dilihat dari kitab Santiparwa, 109. 11 ) seperti
berikut ini :
“Dharanad dharma ityahur, dharmena widhetah prajah“.Terjemahannya,
“Dharma dikatakan datang dari kata darana yang berarti memangku, memikul,
menjunjung, atau mengatur. Dengan dharma seluruh alam diatur dan dipelihara”.
Dari uraian pengertian dharma di atas, dapat disimpulkan betapa luas dan
universalnya pengertian dari dharma, karena seluruh alam semesta dengan segala
isinya di atur oleh dharma, semua tunduk dengan hukum abadi dharma itu. Dalam
kaitannya dengan penelitian ini dharma yang dimaksud adalah kebenaran,
kewajiban, mentaati aturan-aturan, dan swa dharma seseorang di dalam
mengabdikan dirnya sebagai insan Tuhan yang agamais dan bersosialisa dengan
masyarakat lingkungannya untuk menuju keseimbangan jasmani ( jagadhita) dan
kesempurnaan rokhani ( moksa ).
Dalam Kamus Istilah Agama Hindu dijelaskan bahwa kata wisesa ( s )
berarti perbedaan, lain daripada yang lain ( 2002 : 134 ). Sedangkan di dalam
Kamus Jawa - Kuna Indonesia 2 P - Y, kata wisesa berariti : “( Skt. perbedaan;
tanda khas; kekhususan; jenis; macam; jasa yang khas; keunggulan; ) berbeda dari
yang lain, dengan kwalitasnya yang khas; penting, unggul, terkemuka, terbaik,
ulung, yang terpenting, yang tertinggi, menjadi penguasa yang tertinggi”

22

(Zoetmulder, 2000 : 1450 ). Dari beberapa pengertian wisesa tersebut dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wisesa di dalam penelitian ini sebuah
karangan atau karya sastra tradisional yang berbentuk tembang yang mempunyai
kwalitas yang khas, penting dan unggul untuk digali dan dikaji untuk dapat
diungkapkan dalam kajian akademik.
Kata Dharmawisesa berarti sebuah karya sastra tradisional yang berbentuk
geguritan atau tembang yang isinya memuat tentang ajaran - ajaran agama yang
universal terutama ajaran agama Hindu, hukum Hindu, kewajiban-kewajiban yang
harus diimplementasikan oleh umat Hindu dalam kehidupan nyata, seperti
melakukan dana punia, dan ajaran-ajaran tentang filsafat kehidupan menurut
pandangan Hindu.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Struktural Sastra
Kata sastra berasal dari Bahasa Sanskerta, yakni dari akar kata śās-, dalam
kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi.
Sementara itu akhiran kata –tra biasanya menunjukan pada alat atau sarana. Oleh
karena itu, śāstra dapat berarti alat mengajar, kitab suci, sastra, ilmu pengetahuan
(Teeuw, 1984:23; Zoetmulder, 1995:1052; Monier, 1999:1060).
Dalam perkembangannya, ruang lingkup arti istilah

sastra lebih

dipersempit. Sastra hanya mencakup bidang seni, yakni seni yang menggunakan
bahasa sebagai medianya. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi yang
bersifat otonom dengan ciri koherensi (Luxemburg, 1986:5). Pada tahap tertentu

23

karya sastra sama dengan teks agama. Perbedaannya, sastra merupakan kebenaran
imajinatif, sedangkan agama merupakan keyakinan (Ratna, 2004:45).
Dalam kebudayaan Bali, kedua arti sastra tersebut masih digunakan. Dalam
Kamus Bali-Indonesia (Warna, 1990:615) kata sastra diberi arti pengetahuan,
ajaran. Dharma sastra berarti ajaran agama; niti sastra berarti ajaran tentang
ketatanegaraan. Sastra juga berarti huruf: sastra Bali berarti huruf Bali.
Dharma sastra dalam arti ajaran agama juga diistilahkan dengan sastra
agama. Sebagai sebuah subkepustakaan Hindu, dharma sastra adalah kelompok
buku yang berisi tentang tuntunan atau aturan-aturan hidup. Istilah sastra agama
sering disepadankan maknanya dengan frasa rasāgama (Arjuna Wiwaha XII:6)
yang oleh Wiryamartana (1990:141) diberi arti inti sari agama. Istilah sastra agama
dan rasāgama adalah istilah yang dijawakan dari kosakata Sanskerta āgamaśāstra
“karya-karya suci”, āgamarasa “esensi karya-karya atau teks-teks suci (Monier,
1999:129; Zoetmulder, 1990:12).
Dalam tradisi Bali, mereka yang gemar membaca, terutama membaca teks
yang terdapat dalam lontar disebut anak nyastra “orang berilmu”, yakni mereka
yang senang membaca dan berbuat kebajikan kepada sesamanya (Ngurah Bagus,
980;7).Anak nyastra ini memberi perhatian secara khas dan intens, khususnya
kepada lontar. Lontar dipandang bernilai sakral dan dibaca menurut konvensinya.
Termasuk di dalamnya lontar-lontar sastra: kakawin, parwa, kidung, geguritan,
dan lain-lainnya. Bagi mereka, membaca sastra sering berarti belajar agama.
Artinya, mereka belajar kebenaran keyakinan dari olah teks sastra yang termaksud
dalam judul Geguritan Magending Sambilang Malajah, Malajah Sambilang

24

Magending karya Ida Bagus Rai (Agastya, 2006:52) “bernyanyi sambil belajar,
belajar sambil bernyanyi”. Secara didaktis, judul tersebut mengisyaratkan cara
belajar yang sejalan dengan fungsi sastra: menghibur, mengajar, dam sekaligus
mengimbau (Teeuw, 19884:51). Cara belajar yang dianjurkan tersebut oleh Bagus
(Agastya, ed, 2006:51) disebut dengan metode sintesis dalam pendidikan agama.
Dengan memperhatikan kebenaran sastra Bali tradisional tersebut, maka arti
luas dan sempit istilah sastra sama-sama diacu dalam penelitian ini. Sastra dalam
arti sempit karena secara struktural teks geguritan Dharmawisesa adalah salah satu
karya sastra Bali yang tergolong sekar alit yang disebut geguritan. Sebaliknya
dalam arti luas, jika ditinjau dari isi wacananya, geguritan Dharmawisesa dominan
berisi wacana agama yang secara intertekstualitas berasal dari teks-teks suci agama
Hindu. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa geguritan Dharmawisesa
dengan metode sintesis mewacanakan dua kebenaran keyakinan. Konsep-konsep
kebenaran keyakinan inilah yang dipersonifikasikan secara imajinatif menjadi rupa,
karakter, dan laku tokoh dalam geguritan Dharmawisesa.
Menyimak teori tersebut di atas maka, teori struktural sastra sangat tepat
dipergunakan untuk membedah permasalahan yang dirumuskan pada rumusan
permasalahan kedua, yaitu bagaimana struktur teks geguritan Dharmawisesa?
2.3.2 Teori Semiotika
Analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik, karena
karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda dimaksud
mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Karya sastra merupakan
sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahan bahasa sebagai sistem

25

semiotik tingkat pertama (Pradopo, 2003:108). Disebut sebagai sitem semiotik
tingkat kedua atau jenis bahasa sekunder (Segers, 2000:14), karena karya sastra
dengan petandanya seperti metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda
lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang telah sarat
dengan pesan kebudayaannya (Ratna, 2004:111).
Semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi
yang terjadi dengan sarana tanda-tanda dan berdasarkan pada sistem tanda
(Segers,2000:4). Tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu
yang lain daripada dirinya sendiri (Ratna,2004:112). Studi semiotik sastra adalah
usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan arena, itu menentukan
konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti
(Preminger dalam Pradopo,2003:109). Sebagai sebuah ilmu, semiotik mempelajari
sistem tanda dan segala yang berhubungan dengannya ; cara berfungsinya,
hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaanya oleh
mereka yang menggunakannya (Van Zoest,1992:5) berdasarkan kode-kode tertentu.
Kode-kode dimaksud dipilih oleh pengarang dan diketahui oleh pembaca. Oleh
karena itu, kode memungkinkan pembaca untuk mengawasandikan tanda-tanda
tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks (Segers,2000:17). Kode tersebut
tampak pada tindak komunikasi manusia lewat bahasa. Arti bahasa ini ditingkatkan
menjadi makna karua sasta oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan makna karya sastra, haruslah diketahui konvensi-konvensi tambahan
yang memungkinkan diproduksinanya makna. Konvensi dimaksud sesuai dengan

26

sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jenis sastra
(Pradopo,2003:109).
Karya sastra merupakan aktivitas bahasa yang tidak langsung dan bersifat
hypogramik. Aktivitas dimaksud bersifat dialektik antara teks dan pembaca, dan
dialektik

antara

tataran

mimetik

dan

tataran

semiotik.

Sementara

itu,

ketidaklangsungannya diakibatkan oleh tida hal. Pertama, penggantian arti, yaitu
pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih
metafora dan metimini. Dalam penggantian arti ini suatu kata berarti yang lain.
Kedua, penyimpangan arti, yaitu perubahan arti akibat ambiguitas, kontradiksi, atau
nonsense. Ketiga, penciptaan arti akibat ruang teks berlaku sebagai prinsip
pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda ke luar dari hal-hal ketatabahasaan
yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima,
enjabemen, atau equivalensi makna diantara persamaan-persamaan posisi dalam
bait.
Teori semiotik dipergunakan untuk membedah rumusan permasalahan
pertama dalam penelitian ini.
2.3.3 Teori Nilai
Kata nilai sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah
maupun di masyarakat. Penggunaan kata nilai dalam suatu disiplin ilmu seperti
ilmu ekonomi, ilmu alam, ilmu sosial dan budaya akan memiliki arti yang berbeda
sesuai dengan penggunaannya. Di sekolah, misalnya dalam proses belajar-mengajar
istilah nilai dipergunakan sebagai ukuran untuk mengetahui proses belajar siswa
yang dinyatakan dalam bentuk angka. Nilai atau angka yang diberikan kepada anak

27

didik bervariasi sesuai dengan hasil evaluasi yang diperoleh dari hasil penilaian
guru. Nilai dalam hal ini merupakan suatu alat motivasi yang memberikan
rangsangan kepada anak didik untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan
prestasi belajar mereka di masa mendatang.
Penggunaan kata nilai dalam konteks di atas bila diperhatikan mengandung
pengertian sebagai angka kepandaian terhadap kemampuan anak. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia disebutkan pengertian nilai sebagai berikut :
1. Harga (dalam arti taksiran harga), misalnya tak ada ukuran yang tentu
untuk menentukan nilai intan.
2. Harga sesuatu (uang), misalnya jika diukur atau ditukarkan dengan yang
lain misalnya nilai-nilai dolar Amerika mengalami kegoncangan.
3. Angka kepandaian, biji, ponten, misalnya sekurang-kurangnya nilai tujuh
untuk ilmu pasti.
4. Kadar, mutu, banyak sedikitnya isi : misalnya makanan yang tinggi nilai
kalori dan proteinnya ; suatu karangan ilmiah yang tinggi nilainya.
5. Sifat (hal-hal) penting atau berguna bagi kemanusian, misalnya nilai-nilai
agama yang perlu kita indahkan (Poerwadarminta, 1984:677).
Pengertian nilai sebenarnya sangat tekait dengan dengan filsafat, karena
filsafat memiliki cabang ilmu yang menyelidiki tentang hakekat nilai dan valuasi
(perkiraan, pandangan tentang nilai) yaitu “aksiologi”. Aksiologi berasal dari
bahasa latin yang berasal dari kata aksios dan logos. Aksios artinya nilai, sedangkan
logos berarti ilmu. Aksiologi berarti ilmu tentang nilai. “Istilah itu kiranya kurang
tepat karena filsafat dengan ilmu berbeda dalam aspek formalnya. Oleh karena itu
istilah aksiologi tersebut di atas lebih tepat disebut filsafat nilai”. (Ghoni,tt:12).
Filsafat nilai berarti ilmu yang mempelajari hakekat nilai. Hakekat nilai
sering dihubungkan dengan kebaikan dan dipandang dua sudut, yaitu dari subyek
yang menilai dan obyek itu sendiri.
Dalam GBHN diungkapkan tentang pengertian nilai sebagai berikut :

28

“Nilai yang dalam bahasa Inggris value termasuk filsafat menilai berarti :
menimbang yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu.
Untuk selanjutnya mengambil keputusan-keputusan nilai dapat
mengatakan ; berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak
baik, religius atau tidak religius, hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada
pada manusia yaitu jasmani, yaitu cipta, rasa, karsa dan kepercayaan”.(Dardji
Darmodiharjo dkk, 1998:55).
Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, menyebutkan bahwa nilai
sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut :
1. Nilai berkaitan dengan subyek kalau kalau tidak ada subyek yang menilai
maka tidak ada nilai juga.
2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis dimana suatu subyek ingin
membuat sesuatu.
3. Nilai-nilai yang menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada
sifat-sifat yang dimiliki obyek pada dirinya. Rupanya hal itu harus
dikatakan karena obyek yang sama bagi berbagai subyek dapat
menimbulkan nilai yang berbeda-beda. (Bartens, 1997:14).
Nilai dapat muncul apabila ada hubungan antara obyek yang dinilai dengan
subyek yang menilai. Meskipun ada obyek yang mengandung nilai tetapi bila tidak
ada subyek yang menilai dan menanggapinya, maka obyek tersebut tidak bernilai.
Suatu obyek akan mengandung nilai setelah adanya hubungan obyek dengan
subyek. Dengan kata lain bahwa obyek tersebut bebas nilai selama obyek tersebut
belum berhubungan dengan subyeknya, belum dapat perhatian dari subyek dan
subyeknya belum memberikan penilaian terhadap obyeknya. “Nilai merupakan
suatu yang bagi kita, sesuatu yang disukai, sesuatu yang dicari, sesuatu yang
diinginkan, yang menyenangkan, singkatnya sesuatu yang baik.” (Bartens,
1997:14).
Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam segala
perbuatannya. Nilai dijabarkan dalam bentuk norma, kaidah atau ukuran dimana
norma itu merupakan aturan atau standar, sehingga segala sesuatu yang mempunyai

29

nilai kebenaran, keindahan, kebaikan dianjurkan dan sebaiknya bila tidak benar,
tidak indah dan tidak baik akan dicela.
Geguritan Dharmawisesa penuh dengan kandungan nilai, baik nilai agama,
nilai budaya dan nilai pendidikan agama Hindu. Nilai pendidikan akgama Hindu
tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan secara umum .
Pendidikan secara umum adalah usaha yang dilakukan dengan sadar oleh
orang dewasa kepada anak yang belum dewasa. Yang dimaksud dewasa adalah
orang yang bertanggung jawab secara jasmani dan rohani serta berdiri sendiri yang
dapat dari proses pendidikan. Dari proses pendidikan itu sendiri manusia akan dapat
lebih dibudayakan. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas tentang
pengertian pendidikan, berikut akan dikemukakan pendapat para ahli sebagai
berikut :
Menurut Brodjonegoro dalam Suwarno (1992: 1-2) pendidikan berasal dari
beberapa bahasa yaitu :
a. Bahasa Yunani ; Paedagogiek atau teori pendidikan berasal dari perkataan
pats yang berarti anak, dan gogos yang berarti penutur, dengan demikian
paedagogiek berarti ilmu menuntun anak.
b. Bahasa Belanda : Opveoding yang pada permulaannya berarti
“membesarkan” dengan makanan, jadi membesarkan anak dalam arti
jasmaniah. Dalam artian luas, opveoding berarti tindakan untuk
membesarkan anak dalam arti mematangkan perasaan, pikiran, kemauan
dan watak sang anak.
c. Bahasa Jawa : Pangualwentah yang berarti mengolah, jadi mengolah
kejiwaannya, ialah mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak
sang anak.
d. Bahasa Romawi : (termasauk bahasa Inggris) ada istilah “educare” yang
artinya mengeluarkan dan menuntun. Istilah ini menunjukkan untuk
merealisasikan “innerijk anteng” atau potensi anak, yang dibawa waktu
dilahirkan di dunia. Jadi “educare” berarti “membangunkan” kekuatan
terpendam atau mengaktifkan kekuatan potensial yang dimiliki anak.
e. Bahasa Jerman : Erzichung hampir sama artinya dengan “educare”. Jadi
mengeluarkan dan menuntun.

30

Dari pengertian pendidikan tersebut di atas, maka Brodjonegoro dalam
Suwarno (1992: 2) merumuskan pengertian, bahwa pendidikan atau mendidik
adalah tuntunan kepada manusia yang belum dewasa untuk menyiapkan diri agar
dapat memenuhi sendiri tugas hidupnya atau dengan secara singkat pendidikan
adalah tuntunan kepada pertumbuhan manusia mulai lahir sampai tercapainya
kedewasaan, dalam arti jasmaniah dan rohaniah.
Pada dasarnya pendidikan merupakan rangkaian tugas mendidik, yang
berlangsung karena adanya kegiatan proses belajar mengajar antara seseorang
dengan orang lain. Di mana salah satu pihak selaku anak didik atau orang yang di
didik dan dipihak lain di sebut sebagai pendidik atau orang yang di didik dan pihak
lain sebagai pendidik atau orang yang mendidik, orang yang memberikan
bimbingan (tuntunan), atau orang yang memberikan bantuan. Berdasarkan hal itu
muncul definisi, bahwa pendidikan adalah bantuan atau bimbingan yang diberikan
dengan sengaja oleh orang yang dewasa kepada anak dalam pertumbuhan jasmani
maupun rohaninya untuk mencapai tingkat kedewasaan.
Menurut tokoh Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, dalam Suwarno
(1992: 3) menyatakan bahwa :
Pendidikan diartikan sebagai daya upaya untuk memberikan tuntunan pada
segala kelemahan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka menjadi
baik
sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dapatlah
mencapai
keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir dan bathin yang
setinggi-tingginya,
serta mencintai sikap rendah hati terhadap ilmu.
Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut dapat diartikan sebagai
peletak dasar kodrat yang pertama dan utama dalam proses pendidikan. Dimana
orang tua mempunyai kewajiban untuk mengabdikan diri pada anak-anaknya

31

dengan cinta kasih pada sesama mahluk dan memberikan kebebasan untuk
mengembangkan bakat dan minat dalam hal apapun dalam artian yang positif yang
sesuai dengan alam budaya Indonesia.
Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah
daya upaya untuk memajukan budi pakerti, pikiran yang tumbuh dari anak.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat diuraikan secara garis besarnya, yaitu daya
berarti kekuatan, sedangkan upaya adalah usaha. Jadi daya upaya adalah kekuatan
untuk berusaha dan di sebut juga sebagai usaha yang sungguh-sungguh yang
disertai dengan rasa tanggung jawab. Budi pakerti maksudnya adalah sikap/prilaku.
Sedangkan pikiran adalah kemampuan intelektual dan tubuh sama artinya dengan
tingkat kedewasaan secara lahir dan bathin.
Selanjutnya pengertian pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam kaitannya dengan pendidikan agama Hindu, maka di dalam buku
Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu I-IX, menyebutkan bahwa pendidikan agama Hindu dapat dibedakan atas
dua bagian dasar yaitu :
1. Pendidikan agama Hindu di luar Sekolah adalah merupakan suatu upaya untuk
membina pertumbuhan jiwa masyarakat, dengan ajaran agama Hindu itu sebagai
pokok materi.

32

2. Pendidikan agama Hindu di Sekolah adalah suatu upaya membina pertumbuhan
jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu (PHDI Pusat, 2000: 23-24).
Pendidikan agama Hindu memberikan tuntunan dalam menempuh
kehidupan dan mendidik masyarakat, bagaimana hendaknya berpendirian, berbuat
atau bertingkah laku supaya tidak bertentangan dengan dharma, etika dan agama.
Agama dapat menyempurnakan manusia dalam meningkatkan hidup baik secara
material maupun spiritual. Materi pokok pendidikan agama Hindu bersumber dari
kitab suci Weda dan telah dijabarkan dalam pustaka-pustaka Hindu yang lainnya,
dan semua itu mengajarkan tentang dharma yang harus diingat dan dilaksanakan
oleh umat Hindu, seperti yang telah disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya, sloka
40, sebagai berikut :
Kunang kengetakena sassing kajar de sang hyang Sruti dharma
ngaranika,sakajar de sang hyang smerti, kuneng dharma ta ngaranika,
sistecara
kunag, acaranika sang sista, dharma ta ngaranika, cista ngaran
sang hyangsetyawati, sang apta, sang patirtan, sang panadahan upadesa
sangksepa
ikakatiga, dharma ngaranira.
Terjemahannya :
Maka yang patut diingat adalah segala apa yang diajarkan oleh sruti, disebut
dharma, semua yang diajarkan smerti, pun dharma pula namanya itu,
demikian pula tingkah laku yang cista, disebut juga dharma, cista artinya
orang yang berkata jujur yang setia pada kata-katanya, orang yang dapat
memberikan ajaran-ajaran atau nasehat-nasehat, singkatnya ketiga-tiganya itu
disebut dharma (Kadjeng, 2005: 33-34).
Pendidikan agama Hindu merupakan kaidah-kaidah atau norma-norma yang
menuntun manusia selalu berbuat baik demi tercapainya hidup rukun secara damai
dan membentuk manusia yang mulia serta selalu astiti bhakti kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dengan penuh pengabdian dan pengorbanan yang sesuai dengan
ajaran agama Hindu. Jadi pendidikan agama itu tidak lain daripada bimbingan atau

33

tuntunan