tugas etika bisnis id. docx

Prinsip Etis Etika Bisnis
Posted: November 28, 2012 in Tugas Etika Bisnis

0
Bisnis dapat diartikan sebagai kegiatan memproduksi dan menjual barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk saling
memenuhi kebutuhan hidup masing-masing manusia, dan masing-masing pihak tentunya
memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya orang
berpendapat bahwa bisnis adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Untuk
memaksimumkan keuntungan tersebut, maka tidak dapat dihindari sikap dan perilaku yang
menghalalkan segala cara yang sering tidak dibenarkan oleh norma moral.
Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya
akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Jika keuntungan menjadi satu-satunya
tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga
karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa
saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis
yang paling mendasar kita selalu harus menghormati martabat manusia. Immanuel Kant, filsuf
Jerman abad ke-18, menurutnya prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai
berikut: “hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak
pernah sebagai sarana belaka”. Mereka tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai
tujuan. Misalnya, mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat dan harus

diberikan gaji yang pantas.
Sejarah mencatat Revolusi Industri yang terjadi dari 1760 sampai 1830 dengan tujuan untuk
memaksimalisasi keuntungan, menyebabkan tenaga buruh dihisap begitu saja, sungguh diperalat.
Upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja panjang sekali, tidak ada jaminan kesehatan. Jika
buruh jatuh sakit ia sering diberhentikan dan dalam keadaan lain pun buruh bisa diberhentikan
dengan semena-mena. Lebih parahnya, banyak dipakai tenaga wanita dan anak dibawah umur,
karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih rendah lagi dan mereka tidak mudah
memberontak. Hal ini menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha
ekonomis bisa membawa akibat kurang etis.
Di satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Di lain pihak keuntungan
tidak boleh dimutlakkan. Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif.
Ronald Duska (1997) dalam Bertens (2000), mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut
dengan menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive.
Maksud bersifat obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif. Keuntungan tidak merupakan
maksud bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk
masyarakat. Keuntungan hanya sekadar motivasi untuk mengadakan bisnis. Oleh karena itu,
bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan.
Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tetapi tidak menjadi tujuan terakhir bisnis itu
sendiri. Oleh karenanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa profit merupakan satu-satunya tujuan


bagi bisnis. Beberapa cara untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, dengan tidak
mengabaikan perlunya (Bertens, 2000), adalah sebagai berikut:


· keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi
manajemen dalam perusahaan;



· keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai
oleh masyarakat;



· keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;



· keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;




· keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.

Dari konsep relativitas keuntungan diatas, mengisyaratkan bahwa keuntungan bukan yang utama
dalam bisnis. Persepsi manfaat dari pencapaian keuntungan harus dirubah, karena bisnis bukan
semata-mata untuk memperoleh keuntungan materiil. Untuk itu prinsip-prinsip etika yang
diterapkan dalam kegiatan bisnis pada perusahaan-perusahaan bisnis, haruslah mengacu pada
stakeholders benefit. Stakeholders adalah semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan
suatu perusahaan. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan:
orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang
saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu
perusahaan: orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan,
seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Kita bisa mengatakan bahwa
tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu
keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Bukan saja
kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan tapi juga kepentingan semua pihak
lain, khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik.
Beberapa prinsip etis dalam bisnis telah dikemukakan oleh Robert C.Solomon (1993) dalam
Bertens (2000), yang memfokuskan pada keutamaan pelaku bisnis individual dan keutamaan

pelaku bisnis pada taraf perusahaan. Berikut dijelaskan keutamaan pelaku bisnis individual,
yaitu:
1. Kejujuran
Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus
dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau
menipu dalam transaksi bisnis. Pepatah kuno caveat emptor yaitu hendaklah pembeli berhatihati. Pepatah ini mengajak pembeli untuk bersikap kritis untuk menghindarkan diri dari pelaku
bisnis yang tidak jujur. Kejujuran memang menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran, namun
dalam dunia bisnis terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap harus menjadi rahasia. Dalam hal ini
perlu dicatat bahwa setiap informasi yang tidak benar belum tentu menyesatkan juga.
2. Fairness

Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan
”wajar” yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu
transaksi.
3. Kepercayaan
Kepercayaan adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus
ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini boleh
mengandaikan bahwa mitranya memiliki keutamaan yang sama. Pebisnis yang memiliki
kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya sebagai orang yang bisa diandalkan. Catatan
penting yang harus dipegang adalah tidak semua orang dapat diberi kepercayaan dan dalam

memberikan kepercayaan kita harus bersikap kritis. Kadang kala juga kita harus selektif memilih
mitra bisnis. Dalam setiap perusahaan hendaknya terdapat sistem pengawasan yang efektif bagi
semua karyawan, tetapi bagaimanapun juga, bisnis tidak akan berjalan tanpa ada kepercayaan.
4. Keuletan
Keutamaan keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis harus bertahan dalam banyak situasi
yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau
transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani mengambil risiko kecil ataupun besar, karena
perkembangan banyak faktor tidak diramalkan sebelumnya. Ada kalanya ia juga tidak luput dari
gejolak besar dalam usahanya. Keuletan dalam bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan
keberanian moral.
Selanjutnya, empat keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:
1. Keramahan
Keramahan tidak merupakan taktik bergitu saja untuk memikat para pelanggan, tapi menyangkut
inti kehidupan bisnis itu sendiri, karena keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antarmanusia. Bagaimanapun juga bisnis mempunyai segi melayani sesama manusia.
2. Loyalitas
Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi juga
mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan. Ia adalah bagian dari perusahaan yang
memiliki rasa ikut memiliki perusahaan tempat ia bekerja.
3. Kehormatan
Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka

serta sukses dan kegagalan perusahaan. Nasib perusahaan dirasakan sebagai sebagian dari
nasibnya sendiri. Ia merasa bangga bila kinerjanya bagus.
4. Rasa Malu

Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan. Walaupun ia sendiri barang
kali tidak salah, ia merasa malu karena perusahaannya salah.
sumber : http://ilmar-education.blogspot.com/2011/01/teori-etika-dan-prinsip-etis-dalam.html
BAB 5
Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan
Kuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab, apa itu bisnis? Frngan cara sederhana atapi cuup
jelas, bisnis sering dilakukan sebagai “to provide product or sevices for profit”. Tidak bisa
dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau
profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai sistem keuntungan. Profit selalu
berkaitan dengan kegiatan ekonomi, dimana kedua belah pihak menggunakan uang.
Karena hubungan dengan uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks
kapitalisme. Keterkeikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alas an khusus mengapa
bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi yang non for profit pun
pasti sewakt waktu berurusan dengan etika.
1.
Maksimalisasi keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal

Profit maximimization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu
manajemen ekonomi. Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan
perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Jika keuntungan menjadi
satu-satunya tujuan itu, semua karyawan dikerahkan dan dimanfatkan demi tercapainya tujuan
itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi memperalat karyawan
karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Studi sejarah
menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomi memang bisa
membawa akibat kurang etis.
2.
Masalah pekerja anak
Tidak perlu diragukan, pekerja yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan topic dengan
banyak implikasi etis, tetai masalah ini sekaligus juga sangat kompleks, karena faktor-faktor
ekonomis di sini dengan dengan aneka macam cara bercampur baur dengan faktor-faktor budaya
dan social.
Dalam Convention on the Right of the Child yang diterima dalam siding umum PBB pada 1989
siserahkan pada masing-masing Negara anggota untuk”menetapkan usia minimum atau usia ratarata minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [Pasal 32,2(a)].
Yang dianggap pekerjaan yang dilakukan anak dianggap tidak etis karena pertama, adalah
pekerjaan itu melanggar hak para anak. Anak itu belum dewasa karena itu harus diperlakukan
begitu pula. Karena belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau sanggup menjalankan
kebebasannya. Lagipula, anak yang bekerja tidak mendapat pendidikan di sekolah dan karena itu

mereka dirugikan untuk seumur hidup. Oleh sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak
melangar juga hak anak, karena mengekploitasi tenaga mereka.
Alasan kedua menegaskan bahwa memperkejakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair.
Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan melibatkan diri
dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga
anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis.
Bagaimana cara kita mengatasi masalah tersebut? Yang pertama: kesadaran dan aksi dari pihak
public konsumen. kedua adalah kode etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan

dimana antara lain ditegaskan bahwa perusahaan tidak akan mengijinkan produknya dibuat
dengan memanfaatkan tenaga anak di bawah umur. Yang ketiha melengkapi garmen atau produk
lain dengan No Sweat Label, yang menjamin produk itu tidak dibuat dengan menggunakan
tenaga anaka atau dengan kondisi kerja yang tidak pantas.
3.
Relativasi keuntungan
Tidak bisa disangkal, pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam
bisnis. Seandainya keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam
bisnis, perdagangan heroin, kokain, atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai good
business, karena sempat membawa untung yang sangat banyak. Bisnis menjadi tidak etis, kalau
perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan. Di satu pihak perlu diakui, bisnis

tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Dengan demikian dan banyak cara lain lagi dapat dijelaskan relativitas keuntungan dalam usaha
bisnis. Tetapi, bagaimanapun juga, keuntungan dalam bisnis tetap perlu. Hanya tidak bisa
dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau profit merupakan
satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan
dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan perlunya adalah sebagai berikut :
a.
Keuntungan merupak tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi
manajemen dalam perusahaan;
b.
Keuntungan adalah pertanda yang menunjukaan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh
masyarakat;
c.
Keuntungan dalah cambuk untuk meningkatkan usaha;
d.
Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;
e.
Keuntungan mengimbangi risiki dalam perusahaan.
4.
Manfaat bagi stakeholder

Yang dimaksud stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis
atau perusahaan. Dalam bahasa Indonesia kini sering dipakai terjemahan “pihak yang
berkepentingan” Stakeholder adalah semua pihak yang berkepntingan yang berkepentingan
dengan kegiatan suatu perusahaan. Stockholder tentu termasuk Stockholders.
Kadang-kadang stakeholders dbagi lagi atas pihak berkepentingan internal dan eksternal. Pihak
berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang
secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan
karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang yang
tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat,
pemerintah lingkungan hidup.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan perusahaan.
Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholder.

Keuntungan termasuk definisi bisnis. Menyediakan suatu produk atau jasa secara percuma tidak
merupakan bisnis. Itulah sebabnya bisnis selalu berbeda dengan karya amal. Menawarkan segala
sesuatu dengan percuma masih bisa dianggap bisnis selama terjadinya dalam rangka promosi

untuk memperkenalkan produk barang atau jasanya untuk publik.
Tetaplah tujuannya adalah untuk mencari calon pembeli karena itu tidak lepas dari pencarian
keuntungan.

Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan.
Keuntungan atau profit dihasilkan dengan kegiatan ekonomis yang memakai sistem keuangan.
Letak perbedaan perdagangan dan bisnis kalau perdagangan mempunya arti yang lebih luas
hingga meliputi juga kegiatan ekonomis seperti barter sedangkan bisnis adalah perdagangan
khusus yang memperoleh keuntungan

PENDAHULUAN
Keuntungan sebagai tujuan perusahaan
Keuntungan termasuk definisi bisnis. Menyediakan suatu produk atau jasa secara percuma tidak
merupakan bisnis. Menawarkan sesuatu dengan percuma masih bisa dianggap bisnis, selama
terjadi dalam rangka promosi, untuk memperkenalkan sebuah produk baru atau untuk
mengiming-iming publik.
Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan.
Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai system keuangan.
Bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus memperoleh keuntungan financial. Robert
Solomon mengatakan, bila ia menekankan bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil
suatu transaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis, di mana kedua belah
pihak menggunakan uang.
Profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat upaya khusus dari orang yang mempergunakan uang.
Untuk sebagian perolehan profit tergantung juga pada factor mujur atau sial. Pebisnis tidak bisa
menguasai semua seluk beluk keadaan ekonomi. karena itu diadakannya transaksi keuangan
yang bisa menghasilkan keuntungan, selalu mengandung juga resiko untuk mengalami kerugian.
Jika disini kita berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu juga
ada kemungkinan kerugian.
Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam
konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang tersebar agak luas, kapitalisme meliputi tiga
unsure pokok: lembaga milik pribadi, prektek pencarian keuntungan, dan kompetisi dalam
system ekonomi pasar bebas.
Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra
rawan dari sudut pandang etika. Perspektif baik atau buruk secara moral selalu muncul, jika
manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja. Tetapi perusahaan sebagai organisasi
for profit menampilkan lebih banyak masalah etis dan bobot moralnya sering kali lebih berat.
Kalau keuntungan menjadi tujuan bisnis, pebisnis mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas

saja, guna mencapai tujuannyadengan lebih cepat dan lebih mudah. Tetapi hal seperti itu tidak
boleh dilakukan dan dengan itu kita menjumpai kenyataan yang disebut etika.

1. Maksimalisasi keuntungan sebagai cita – cita kapitalisme liberal
Memaksimalkan tingkat keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya
akan timbul keadaan yang tidak etis karena dalam keadaan semacam itu karyawan diperalat
begitu saja. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan
dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam
perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati
mereka sebagai manusia. Pada Abad ke-18 filsuf asal Jerman Immanuel Kant telah melihat
bahwa menghormati martabat manusia sama saja dengan memperlakukan dia sebagai tujuan.
Menurut immanuel Kant prinsip etis yang mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut :
”Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah
sebagai sarana belaka.
Halnya dalam suatu perusahaan, semua karyawan dalam perusahaan dipekerjakan untuk
merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi disamping itu juga untuk membantu mewujudkan
tujuan perusahaan, para karyawan harus diperlakukan juga sebagai tujuan sendiri. Mereka tidak
boleh dipergunakan sebagai sarana belaka yang dimanfaatkan hanya untuk mencapai tujuan
semata. Mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman serta sehat dan harus
diberikan gaji yang sesuai dengan apa yang mereka kerjakan dan mempunyai pengaruh besarnya
bagi perusahaan.
Sebuah benda bisa dipakai sebagai sarana belaka. Disini etika tidak diangkat bicara, tetapi
manusia tidak pernah boleh diperalat dan hal itu pasti terjadi, bila keuntungan dijadikan satusatunya tujuan perusahaan. Para ekonom menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai
tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan ditfsirkan sebagai sebuah
pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud sebagai sebagai suatu model
ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa berhasil.
Dalam hal ini juga kita tidak boleh melupakan masa lampau.. Sejarah mencatat bahwa pada awal
era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas dengan cara yang tidak manusiawi. Para
buruh diberi upah yang sangat rendah, hari kerja yang sangat panjang, tidak ada jaminan
keselamatan para pekerja, jika buruh sakit langsung diberhentikan dan semena-mena, banyaknya
tenaga anak dibawah umur dan para wanita.
Studi sejarah menunjukan bahwa memaksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis
memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam kapitalisme
liberal yang menterbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya.
Dalam zaman pasca komunis sekarang hal itu mendesak dengan cara baru. Suatu proses
maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah model ekonomis yang abstrak yang mengakibatkan
ketidakberesan etis yang baru. Bahwa kualitas etisnya disini tidak selalu gampang dinilai dengan
tepat, dapat kita pelajari dengan meninjau masalah buruh anak.

2. Masalah Pekerja Anak

Yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur demi
pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Logisnya, “dibawah umur”
harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Pekerjaan anak menjadi suatu masalah etis
yang serius dalam zaman industrialisasi.
Dalam convention on the rights of the child yang diterima dalam sidang umum PBB pada1989
diserahkan kepada masing-masing Negara anggota untuk “menetapkan usia minimum atau usiausia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [pasal 32,2(a)]. Organisasi
ketenagakerjaan internasional (ILO) pada 1973 mengeluarkan konvensi tentang usia minimum
untuk diperbolehkan bekerja. Disitu negara-negara anggota ILO dianjurkan untuk meningkatkan
usia minimum. Sebagai patokan dikatakan mereka harus mengupayakan usia minimum 18 tahun
untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia baru mensahkan
konvensi tersebut pada 1999 dan menetapkan usia minimum pada 15 tahun.
Dalam etika tidak cukup kita mensinyalir saja sikap negative yang agak umum terhadap anak
pekerja. Kita juga harus mengetahui mengapa pekerjaan yang dilakukan oleh anak perlu
dianggap tidak etis. Pekerjaan anak ditolak terutama karena dua alasan. Yang pertama adalah
bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Kita melanggar hak anak, jika kita menuntut dari
mereka apa yang kita tuntut dari orang dewasa. Karena belum dewasa, seorang anak juga belum
bebas atau belum sanggup menjalankan kebebasanya. Anak yang bekerja tidak mendapatkan
pendidikan disekolah dan karena itu mereka dirugikan seumur hidup. Tidak pernah mereka bisa
keluar dari kehidupan bodoh dan miskin. Seringkali terutama anak perempuan di sini menjadi
korban, karena oleh orang tuanya dinilai tidak membutuhkan pendidikan di sekolah. Anak-anak
dipilih sebagai pekerja karena tenaga mereka murah dan menguntungkan bagi bisnis.oleh sebab
itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melanggar juga hak anak, karena mengeksploitasi tenaga
mereka. Mereka berhak dilindungi terhadap segala upaya eksploitasi, karena mereka belum
mampu membela dirinya sendiri.
Alasan kedua menegaskan bahwa mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair.
Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian
melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau
menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis.
Karena alasan-alasan tadi mempekerjakan anak menjadi tidak etis. Akan tetapi, di sini etika tidak
boleh menjadi rigorus. Seandainya anak tidak bekerja, hal itu tidak berarti ia akan masuk sekolah
dan masa depan lebih baik terjamin baginya. Pekerjaan mereka kadang-kadang mempunyai segi
positif juga, karena dengan bekerja anak bisa belajar dalam arti memperoleh ketrampilan
tertentu. Lagi pula, pekerjaan itu bisa dijalankan dalam keadaan yang tidak sama. Kalau anak
bekerja dalam keadaan sehat dan dengan pembayaran cukup lumayan, nasibnya harus kita nilai
positif, ketimbang anak yang bekerja dalam pertambangan dimana sirkulasi udara sangat buruk,
hari kerja sangat panjang dan pembayaran sangat rendah. Tidak semua kasus pekerja anak boleh
disamakan. Pertimbangan-pertimbangan utilitaristis ini pasti harus diikutsertakan dalam
penilaian etis tentang pekerja anak.
Sekitar pertengahan tahun 1990-an perusahaan multinasional mendapat kritik pedas dari media
komunikasi,karena mempekerjakan anak dibawah umur dalam proses produksinya. Salah satu

perusahaan yang terkena imbasnya adalah perusahaan Nike. Hal tersebut terjadi setelah Nike
dituduh mempekerjakan anak-anak dipabrik asia,yang harus bekerja dalam kondisi buruk dengan
upah rendah.

Cara untuk mengatasi masalah pekerja anak:
1. Kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen.
2. Kode etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan, dimana antara lain
ditegaskan bahwa perusahaan tidak mengijinkan produknya dibuat dengan memanfaatkan
tenaga kerja dibawah umur.
3. Membuat produk dengan no sweet label yang menjamin produk tersebut tidak dibuat
dengan tenaga kerja dibawah umur.
Penelitian 84% masyarakat AS rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli suatu produk
asalkan produk dipastikan dalam kondisi kerja yang baik.
Sedangkan untuk di indonesia sendiri,masalah tenaga kerja dibawah umur sudah sangat
memprihatinkan. Menurut sensus 1990,ada sekitar 2,4 juta anak berumur 10-14 tahun yang
bekerja. Baik dalam instansi formal maupun informal.
Contohnya kasus yang khususnya ada di Sumatra Utara, bocah-bocah tersebut harus bekerja
diataas jermal-jermal di tengah laut. Mereka bekerja sampai 19 jam per hari.”pekerjaan mereka
mengambil ikan teri dari jaring, memasang jaring kembali,memasak, menjemur, memilih jenis
ikan teri yang baik, selama berbulan-bulan. Tanpa istirahat seharipun. Pengusaha hanya memberi
upah sekitar Rp.40.000 sampai dengan Rp.90.000 perbulan (januari 1997).
Untuk mengatasi hal tersebut kembali terulang, pemerintah mengeluarkan undang-undang no. 25
tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (yang sudah beberapa kali ditunda berlakunya) ditentukan
15 tahun sebagai batas minimum pekerja indonesia. Semua perusahaan dilarang mepekerjakan
anak yang berumur kurang dari 15 tahun (pasal 95). Tetapi larangan ini tidak berlaku bagi anak
yang terpaksa bekerja. Disini dijelaskan masalah ekonomi dari keluarga bersangkutan dengan
syarat tidak boleh dipekerjakan lebih dari 4 jam sehari. Mereka tidak boleh diikutkan dalam
pekerjaan yang berbahaya (pasal 96). Jadi,disini diambil alih pikiran dasar dari peraturan Menteri
Tenaga Kerja no. 1 Tahun 1987. intinya bahwa kenaikan dan kesejahteraan anak tidak pernah
boleh dikorbankan kepada keuntungan ekonomis.

3. Relativasi Keuntungan
Tidak bisa disangkal pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam
bisnis. Jika keuntungan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan sukses dalam bisnis,
maka perdagangan narkotika harus dianggap good business, karena dapat mendatangkan
keuntungan yang sangat banyak. Perdagangan narkotika seperti itu justru merupakan bidang

dimana usaha bisnis langsung bentrok dengan pertimbangan etis dan karena itu bisnis narkotika
tidak merupakan good business. Apa yang berlaku pada bisnis narkotika sebenarnya berlaku juga
pada bisnis lain pada umumnya. Bisnis menjadi tidak etis bila perolehan untung dimutlakkan dan
segi moral diabaikan. Manajemen modern sering disebut sebagai management by objectives
sedangkan dalam manajemen ekonomis salah satu unsur penting adalah cost benefit analysis.
Supaya dapat mencapai sukses hasil dalam bisnis harus melebihi dari biaya yang dikeluarkan.
Semua ini bisa diterima asalkan tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjadi tidak etis jika
keuntungan dijadikan satu-satunya objectives atau benefit dengan mengorbankan semua faktor
lain.
Di satu pihak perlu diakui bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Supaya bisa tahan dalam
uji skrining etika, bisnis tidak perlu berubah menjadi karya amal. Bagaimanapun juga
keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha bisnis dan perusahaan mau tidak mau
merupakan organisasi for profit. Pada taraf ekonomi yang lebih luas peran keuntungan tidak
boleh diabaikan. Seluruh sistem ekonomi pasar bebas akan ambruk kalau keuntungan dicopot
dari segala usaha bisnis. Sebagai contoh, kegagalan total sistem ekonomi komunistis di Uni
Soviet yang disebabkan karena sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif
keuntungan.
Perlu ditekankan Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Banyak
pengarang telah mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan cara yang berbeda-beda.
Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose(maksud) dan
motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Sebagai contoh kita
memberi sedekah pada seorang pengemis supaya bisa makan (maksud),sedangkan motivasi kita
adalah belas kasihan. Motivasi menjelaskan mengapa kita melakukan sesuatu dan maksud
membenarkan perbuatan kita itu. Keuntungan bukanlah maksud dari bisnis. Maksud bisnis
adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya
sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis.
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer yang hanya
mengejar keuntungan sama saja dengan pemain tenis yang hanya melihat papan angka tanpa
melihat bola. Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai intrinsik sendiri (misalnya,
memproduksi sesuatu yang berguna bagi masyarakat) dan untuk menjadi bernilai tidak harus
selalu membawa keuntungan.
Max De Pree membandingkan keuntungan dengan bernapas. Kita tidak hidup untuk bernapas,
tetapi tidak mungkin juga kita hidup tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup
terus tapi bukanlah tujuan akhir dari bisnis,
Norman Bowie membandingkan keuntungan dalam bisnis dengan dengan kebahagiaan dalam
hidup. Kita tidak mengejar kebahagiaan demi dirinya sendiri. Kebahagiaan adalah akibat
sampingan, kalau seorang suami hidup dan bekerja untuk istri dan anak-anaknya. Demikian
dengan keuntungan, Keuntungan merupakan akibat sampingan dari bisnis dan bukan tujuan
sebenarnya dari bisnis.

Dengan demikian banyak cara lain yang dapat menjelaskan relativitas keuntungan dalam bisnis.
Tetapi keuntungan dalam bisnis tetap perlu, hanya saja tidak dapat dikatakan lagi bahwa
maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis.
Beberapa cara lain untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa mengabaikan
perlunya keuntungan dalam bisnis:


Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi
manajemen dalam perusahaan



Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh
masyarakat.



Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha



Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan



Keuntungan mengimbangi risiki dalam usaha.

4. Manfaat Bagi Stakeholders
Definisi Stakeholders


Stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis atau
perusahaan.



R. Edward Freeman : “ Individu- individu dan kelompok- kelompok yang dipengaruhi
oleh tercapainya tujuan- tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhi
tercapainya tujuan- tujuan tersebut “.



Kamus bahasa Indonesia : “ pihak yang berkepentingan “ yaitu semua pihak yang
berkepentingan dengan suatu perusahaan.

Manfaat Bagi Stakeholders
Para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan pasti berkepentingan dengan sepak terjang
perusahaan. Kalau perusahaan memeperoleh laba, para pemegang saham mendapat deviden.
Kalau tidak, mereka tidak mendapat apa-apa. Disamping para pemegang saham ada banyak
pihak lain yang berkepentingan juga dengan aktivitas suatu perusahaan. Seperti : manajer,
karyawan, pemasok, konsumen, masyarakat sekitar lokasi perusahaan, masyarakat luas,
pemerintah, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Stakeholders dibagi lagi atas 2 pihak :
1. Pihak berkepentingan internal ( orang dalam dari suatu perusahaan )

Orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang
saham, manajer, dan karyawan.
1. Pihak berkepentingan eksternal ( orang luar dari suatu perusahaan )
orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti
konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup.
Tetapi stakeholders internal dan eksternal tidak bisa dipisahkan. Misalnya, para pemasok pada
umumnya digolongkan kedalam pihak berkepentingan eksternal. Tetapi jika pemasok tersebut
hanya memaok kebutuhan satu perusahaan saja maka ia termasuk pihak
berkepentingan internal juga. Demikian pula dengan warung- warung kecil yang menyediakan
makanan untuk karyawan. Nasib mereka seluruhnya tergantung pada perusahaan.
Jika perusahaan menghentikan kegiatannya, mereka semua kehilangan sumber pendapatannya.
Paham stakeholders ini membuka prespektif baru untuk membahas segi etis dari suatu keputusan
bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para
pemegang saham dipertimbangkan. Seperti keputusan untuk menutup atau memindahkan suatu
unit produksi dalam suatu pabrik.

Senin, 29 Oktober 2012
Keuntungan dan Etika Bisnis

Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan. Keuntungan adalah hal yang pokok bagi kelangsungan
bisnis, walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya, sebagaimana dianut pandangan bisnis yang
ideal. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk. Bahkan secara moral keuntungan
merupakan hal yang baik dan diterima.
Karena :
Keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan dalam usaha bisnisnya.
Tanpa memeperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia menanamkan modalnya, dan
karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang produktif demi memacu pertumbuhan
ekonomi yang menjamin kemakmuran nasional.
Keuntungan memungkinkan perusahaan tidak hanya bertahan melainkan juga dapat menghidupi
karyawan-karyawannya bahkan pada tingkat dan taraf hidup yang lebih baik.
Ada beberapa argumen yang dapat diajukan disini untuk menunjukkan bahwa justru demi memperoleh
keuntungan etika sangat dibutuhkan , sangat relevan, dan mempunyai tempat yang sangat strategis
dalam bisnis dewasa ini.








Pertama, dalam bisnis modern dewasa ini, para pelaku bisnis dituntut menjadi orang-orang profesional
di bidangnya.
Kedua dalam persaingan bisnis yang ketat para pelaku bisnis modern sangat sadar bahwa konsumen
adalah benar-benar raja. Karena itu hal yang paling pokok untuk bisa untung dan bertahan dalam pasar
penuh persaingan adalah sejauh mana suatu perusahaan bisa merebut dan mempertahankan
kepercayaan konsumen.
Ketiga, dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat netral tak berpihak tetapi
efektif menjaga agar kepentingan dan hak semua pemerintah dijamin, para pelaku bisnis berusaha sebisa
mungkin untuk menghindari campur tangan pemerintah, yang baginya akan sangat merugikan
kelangsungan bisnisnya. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menjalankan bisnisnya
bisnisnya secara secara baik dan etis yaitu dengan menjalankan bisnis sedemikian rupa tanpa secara
sengaja merugikan hak dan kepentinga semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.
Keempat, perusahaan-perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga
yang siap untuk eksploitasi demi mengeruk keuntunga yang sebesar-besarnya. Justru sebaliknya,
karyawan semakin dianggap sebagai subjek utama dari bisnis suatu perusahaan yang sangat
menentukan berhasil tidaknya, bertahan tidaknya perusahaan tersebut.
Bisnis sangat berkaitan dengan etika bahkan sangat mengandalkan etika. Dengan kata lain, bisnis
memang punya etika dan karena itu etika bisnis memang relevan untuk dibicarakan. Argumen mengenai
keterkaitan antara tujuan bisnis dan mencari keuntungan dan etika memperlihatkan bahwa dalam iklim
bisnis yang terbuka dan bebas, perusahaan yang menjalankan bisnisnya secara baik dan etis, yaitu
perusahaan yang memperhatikan hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya, akan
berhasil dan bertahan dalam kegiatan bisnisnya.

Pro dan Kontra Etika Dalam Bisnis Perusahaan
Mitos bisnis amoral
Bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampuradukkan dengan etika. Para pelaku bisnis adalah orang-orang
yang bermoral, tetapi moralitas tersebut hanya berlaku dalam dunia pribadi mereka, begitu mereka
terjun dalam dunia bisnis mereka akan masuk dalam permainan yang mempunyai kode etik tersendiri.
Jika suatu permainan judi mempunyai aturan yang sah yang diterima, maka aturan itu juga diterima
secara etis. Jika suatu praktik bisnis berlaku begitu umum di mana-mana, lama-lama praktik itu dianggap
semacam norma dan banyak orang yang akan merasa harus menyesuaikan diri dengan norma itu.
Dengan demikian, norma bisnis berbeda dari norma moral masyarakat pada umumnya, sehingga
pertimbangan moral tidak tepat diberlakukan untuk bisnis dimana “sikap rakus adalah baik”(Ketut
Rindjin, 2004:65).
Belakangan pandangan diatas mendapat kritik yang tajam, terutama dari tokoh etika Amerika Serikat,
Richard T.de George. Ia mengemukakan alasan alasan tentang keniscayaan etika bisnis sebagai berikut.
Pertama, bisnis tidak dapat disamakan dengan permainan judi. Dalam bisnis memang dituntut
keberanian mengambil risiko dan spekulasi, namun yang dipertaruhkan bukan hanya uang, melainkan
juga dimensi kemanusiaan seperti nama bai kpengusaha, nasib karyawan, termasuk nasib-nasib orang

lain pada umumnya.
Kedua, bisnis adalah bagian yang sangat penting dari masyarakat dan menyangkut kepentingan semua
orang. Oleh karena itu, praktik bisnis mensyaratkan etika, disamping hukum positif sebagai acuan
standar dlaam pengambilan keputusan dan kegiatan bisnis.
Ketiga, dilihat dari sudut pandang bisnis itu sendiri, praktik bisnis yang berhasil adalah memperhatikan
norma-norma moral masyarakat, sehingga ia memperoleh kepercayaan dari masyarakat atas produ atau
jasa yang dibuatnya.

Alasan Meningkatnya Perhatian Dunia Usaha Terhadap Etika Bisnis


Krisis publik tentang kepercayaan



Kepedulian terhadap kualitas kehidupan kerja



Hukuman terhadap tindakan yang tidak etis



Kekuatan kelompok pemerhati khusus



Peran media dan publisitas



Perubahan format organisasi dan etika perusahaan

Perubahan nilai-nilai masyarakat dan tuntutan terhadap dunia bisnis mengakibatkan adanya kebutuhan
yang makin meningkat terhadap standar etika sebagai bagian dari kebijakan bisnis.
Sumber: http://andreassetiadi.blogspot.com/2011/10/etika-bisnis-dalam-perusahaan.html