Memori banding tanpa yahya harahap

Pertanyaan :

Memori Banding dan Jangka Waktu Penyerahannya
Bagaimana pengajuan memori banding dalam praktik hukum acara dan tenggang waktu yang
menyertainya?

Jawaban :
Saudara tidak menyebutkan pengajuan memori banding yang Saudara maksud dalam perkara perdata
atau perkara pidana. Oleh karena itu, kami akan jelaskan satu persatu.
A. Perkara Perdata
Pengertian memori banding tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun,
berdasarkan penjelasan M. Yahya Harahap dalam buku Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses
Pemeriksaan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding (hal. 72) dapat kami sarikan bahwa memori
banding adalah risalah mengenai penjelasaan keberatan (memorie van grieven) atau memory of
objection terhadap pertimbangan dan kesimpulan putusan Pengadilan Negeri berdasarkan faktafakta dan dasar hukum yang sebenarnya.
Di dalam memori banding, pemohon juga dapat meminta agar Pengadilan Tinggi dalam tingkat
banding melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi atau ahli baik pemeriksaan terhadap saksi
atau ahli baru yang belum pernah diajukan, maupun pemeriksaan ulang oleh Pengadilan Tinggi
terhadap saksi atau ahli yang sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri pada tingkat pertama (hal.
74).
Untuk dapat mengajukan banding, Saudara harus mengetahui dahulu bahwa putusan tersebut

merupakan putusan yang tidak terlarang untuk diajukan banding, misalnya putusan perdamaian
(lihatPasal 130 Reglement Indonesia yang Diperbaharui)
Mengenai pengajuan memori banding serta tenggat waktunya, M. Yahya Harahap menjelaskan
(hal. 72-73), pada dasarnya pengajuan banding dengan menyertakan memori banding bukan
merupakan syarat formil. Hal ini diatur dalam Pasal 199 ayat (1) Rechtsreglement
Buitengewesten (“RBG”) yang menyatakan:
“….jika dikehendaki (pemohon banding), dapat disertai dengan surat memori
dan surat lain yang dianggap perlu…”
Selain itu hal yang sama juga diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947 tentang
Pengadilan Peradilan Ulangan
“Kedua belah pihak boleh memasukkan surat-surat keterangan dan
bukti kepadaPanitera Pengadilan Negeri atau kepada Panitera Pengadilan
Tinggi yang akan memutuskan, asal saja turunan dari surat-surat itu diberikan
kepada pihak lawan dengan perantaraan pegawai Pengadilan Negeri yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri itu.”

Yahya Harahap juga menyertakan Putusan Kasasi mengenai pengajuan memori banding
yaituPutusan MA No. 663 K/Sip/1971 yang menyatakan memori banding bukan syarat formil
permohonan banding karena undang-undang tidak mewajibkan pembanding mengajukan memori
atau risalah banding. Putusan MA No. 3135 K/Pdt/1983 juga menyatakan tanpa memori atau

kontra memori banding, permohonan banding sah dan dapat diterima, oleh karena itu perkara tetap
diperiksa ulang secara keseluruhan.

Kemudian mengenai tenggat waktu pengajuan memori banding, menurut Yahya Harahap (hal. 75),
oleh karena memori banding bukan merupakan syarat formil pengajuan banding maka tidak ada
peraturan yang mengatur tenggat waktu apabila pembanding ingin mengajukan. Dia berpendapat
bahwa penyampaian memori banding yang dianggap paling tepat, dilakukan bersamaan dengan
permohonan banding. Dengan cara yang demikian, pada saat pemberitahuan banding kepada
terbanding, juru sita tidak mengalami kendala untuk sekaligus menyerahkan salinan memori
banding kepada terbanding.
Cara yang lain penyerahan memori banding yang lain dapat dilakukan kapan saja asalkan selama
perkara tersebut belum diputus pengadilan tinggi dalam tingkat banding. Pendapat Yahya Harahap
ini didasarkan pada Putusan MA No. 39 K/Sip/1973 yang menyatakan undang-undang tidak
menentukan batas waktu penyampaian memori banding, sehubungan dengan itu, memori banding
dapat diajukan selama pengadilan tinggi dalam tingkat banding belum memutus perkara tersebut.

B. Perkara Pidana
Sama seperti halnya dalam perkara perdata, di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang acara pidana, juga tidak diatur pengertian memori banding.
M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 485),
memberikan pengertian memori banding yaitu uraian atau risalah yang disusun oleh pemohon
banding yang memuat tanggapan terhadap sebagian maupun seluruh pemeriksaan dan putusan
yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Di dalam tanggapan tersebut pemohon
mengemukakan kelemahan dan ketidaktepatan kewenangan mengadili, penerapan, dan penafsiran
hukum yang terdapat dalam putusan. Memori banding juga dapat mengemukakan hal-hal baru atau
fakta dan pembuktian baru, dan meminta supaya hal-hal atau fakta baru itu diperiksa dalam suatu
pemeriksaan tambahan.
Seperti halnya dalam perkara perdata, sebelum mengajukan banding dalam perkara pidana,
pemohon harus mengetahui bahwa putusan tersebut boleh untuk diajukan banding.
Putusan yang tidak dapat diajukan banding adalah putusan bebas, lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan
dalam acara cepat, sebagaimana diatur Pasal 67 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana(“KUHAP”) Selain itu, putusan Praperadilan yang dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP juga
tidak dapat diajukan banding.
Berdasarkan ketentuan Pasal 237 KUHAP ternyata pengajuan memori banding tidak bersifat wajib:
“Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat
banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat
menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan
tinggi.”

Mengenai tenggang waktu pengajuan memori banding dalam perkara pidana, Yahya Harahap
berpendapat (hal. 487):
“Dari ketentuan pasal (237 KUHAP) tersebut, batas jangka waktu
menyerahkan atau menyampaikan memori dan kontra memori banding,

terhitung “sejak tanggal permohonan” banding diajukan, dan selambatlambatnya “sebelum perkara mulai diperiksa”. Berarti pada tanggal hari
pemeriksaan yang ditentukan, masih ada kemungkinan untuk menyerahkan
memori atau kontra memori. Batas waktunya, asal perkaranya belum mulai
diperiksa. Umpamanya, berdasar penetapan, perkara yang bersangkutan akan
diperiksa pada tanggal 30 April jam 9.00. Pada tanggal 30 April jam 8.00 masih
terbuka kesempatan bagi pemohon banding untuk menyerahkan memori
banding.”
Jadi, berdasarkan penjelasan kami sebelumnya, pengajuan memori banding dalam perkara perdata
maupun perkara pidana, bukan merupakan syarat formil ataupun keharusan. Mengenai tenggang waktu
mengajukan memori banding tidak diatur secara tegas, tetapi dalam praktiknya adalah pada saat
pengajuan permohonan banding.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Rechtsreglement Buitengewesten Staatsblad No. 227 Tahun 1927
2. Reglement Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44

Tahun 1941
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Putusan:
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 663 K/Sip/1971
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 K/Sip/1973
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3135 K/Pdt/1983