LUCIA PANCANI ANGGRAENI G.0009121

HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN DENGAN FREKUENSI BANGKITAN PADA PENDERITA EPILEPSI PARSIAL DI RSUD DR. MOEWARDI

SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran LUCIA PANCANI ANGGRAENI G.0009121

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kecemasan dengan Frekuensi Bangkitan pada Penderita Epilepsi Parsial di RSUD Dr. Moewardi

Lucia Pancani Anggraeni, NIM : G.0009121, Tahun: 2012 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Kamis, Tanggal 13 Desember 2012

Pembimbing Utama

Nama : Diah Kurnia M, dr., Sp.S NIP : 19680707 200312 2 001 (………………………)

Pembimbing Pendamping

Nama : Dr. H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes NIP

Penguji Utama

Nama : Agus Soedomo, dr., Sp.S (K) NIP

Anggota Penguji

Nama : Prof. Dr. Kijatno, dr. M.Or., PFK, AIFO NIP

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 13 Desember 2012

Lucia Pancani Anggraeni

NIM.G0009121

Lucia Pancani Anggraeni, G0009121, 2012. Hubungan antara Kecemasan dengan Frekuensi Bangkitan Penderita Epilepsi Parsial di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Kecemasan adalah salah satu gangguan psikologis yang merupakan manifestasi klinis dari gangguan pada sistem saraf, sedangkan sistem saraf adalah suatu sistem tubuh yang berperan penting dalam pengendalian bangkitan pada penderita epilepsi. Oleh karena itu, secara tidak langsung kecemasan mempengaruhi timbulnya bangkitan pada penderita epilepsi. Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya hubungan antara kecemasan dan frekuensi bangkitan penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi.

Metode: Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian adalah penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi yang didiagnosis berdasar gambaran EEG. Sampel yang digunakan sebanyak 31 orang. Sampel diambil secara purposive sampling setelah diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner kecemasan TMAS, wawancara frekuensi bangkitan 1 bulan terakhir, dan rekam medik penderita. Data skor kecemasan dan frekuensi bangkitan yang diperoleh dianalisis dengan model analisis regresi linier menggunakan program SPSS 17.0 for Windows.

Hasil: Hasil analisis variabel menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara kecemasan dan frekuensi bangkitan penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi. Penderita dengan kecemasan lebih tinggi memiliki risiko mengalami frekuensi bangkitan yang lebih sering. Hasil analisis variabel menunjukkan hubungan yang signifikan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi (p = 0.008; CI 95% = 0.06 s/d 0.37).

Simpulan: Terdapat hubungan yang positif antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi. Penderita dengan skor kecemasan lebih tinggi memiliki risiko mengalami frekuensi bangkitan lebih sering.

Kata Kunci: Penderita epilepsi parsial, Kecemasan, Frekuensi bangkitan

Lucia Pancani Anggraeni, G0009121, 2012. The Relation between Anxiety with Frequency of Seizure on Patients with Partial Epilepsy in RSUD Dr. Moewardi. Mini thesis, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Background: Anxiety is a psychological disorder which is the clinical manifestations of disorders of the nervous system, while the nervous system is a system of the body that plays an important role in the control of seizure in patients with epilepsy. Therefore, anxiety affects the onset of seizure in patients with epilepsy indirectly. This study aims to demonstrate an association between anxiety and seizure frequency of partial epileptic patients in hospitals Dr. Moewardi.

Methods: This study was an observational analytic cross-sectional approach. Subjects were patients with partial epilepsy in RSUD Dr. Moewardi diagnosed based EEG picture. Samples used as many as 31 people. Samples were taken by purposive sampling after selected based on specific inclusion and exclusion criteria. Data collection techniques using TMAS anxiety scale, interviews about frequency of seizures in last one month, and the patient's medical record. Scores of anxiety and frequency of seizure were analyzed with linear regression test models using SPSS 17.0 for Windows.

Results: The results of the analysis of the variables showed that there is a positive relationship between anxiety and frequency of seizure on patients with partial epilepsy in RSUD Dr. Moewardi. Patients with higher anxiety had a risk of have more often frequency of seizure. The results of the analysis of the variables showed a statistically significant relationship between anxiety and frequency of seizure on patients with partial epilepsy in RSUD Dr. Moewardi (p = 0.008; CI 95% = 0.06 s/d 0.37).

Conclusion: There is a positive relationship between anxiety and frequency of seizure on patients with partial epilepsy in RSUD Dr. Moewardi. Patients with higher anxiety had a risk of have more often frequency of seizure.

Keywords: Patients with partial epilepsy, anxiety, frequency of seizure

Puji syukur kepada Tuhan Mahakasih atas segala berkat dan kasih yang diberikan, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Kecemasan dengan Frekuensi Bangkitan pada Penderita Epilepsi Parsial di RSUD Dr. Moewardi ”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini adalah hasil dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

3. Diah Kurnia M, dr., Sp.S, selaku pembimbing utama atas bimbingan, motivasi, dan waktu yang telah diluangkan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. H. Endang Sutisna Sulaeman, dr., M.Kes, selaku pembimbing pendamping atas bimbingan, arahan, dan saran yang senantiasa diberikan.

5. Agus Soedomo, dr., Sp.S (K), selaku penguji utama yang telah berkenan

menguji serta memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Prof. Dr. Kijatno, dr., M.Or., PFK, AIFO, selaku anggota penguji yang telah berkenan menguji dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

7. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc., Ph.D, yang telah berkenan memberikan bimbingan tambahan pada penulisan skripsi ini.

8. Bagian SMF Saraf dan Poliklinik Saraf RSUD Dr. Moewardi.

9. Ibu Eny dan Bapak Nardi selaku Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

10. Yohanes S, Maria Magdalena R, FX. Kuncoro H, Victora Putri M, dan seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

11. Nani Isyrofatun, Locoporta Agung, Fitri Prawitasari, Nurrasyidah, Asri Sukawati P, Daniel Pardameian S. Teman-teman terbaik yang senantiasa membantu dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

12. Fillisita Chandramalina Dewayani, teman seperjuangan dalam penyelesaian skripsi, atas semangat yang selalu memotivasi penulis.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian dan

penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Surakarta, 13 Desember 2012 Lucia Pancani Anggraeni

DAFTAR SINGKATAN

TMAS

: Taylor Manifest Anxiety Scale

DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders GABA

: Gamma-Aminobutyric Acid

IPSPs

: Inhibitory Post Synaptic Potentials

ILAE

: International League Against Epilepsy

SSP

: Sistem Saraf Pusat

LMMPI

: Lie Minnesota Multhiphasic Personality Inventory

RTA

: Reality Testing Abillity

SPSS

: Statistic Program for Social Science

WHO

: World Health Organization

Tabel 4.1. Karakteristik Responden .................................................................. 31 Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Kecemasan ............................... 32

Tabel 4.3. Karakteristik Responden menurut Pengelompokkan kecemasan..... 33

Tabel 4.4. Karakteristik Responden menurut Pengelompokan Bangkitan ........ 36

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran ........................................................ 21 Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian ...................................................... 28 Gambar 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Bangkitan 1

Bulan Terakhir n (%) ................................................................... 35

Lampiran 1 Surat Persetujuan (Informed Consent) Lampiran 2 Kuesioner Penelitian Lampiran 3 Kuesioner LMMPI Lampiran 4 Kuesioner TMAS Lampiran 5 Surat Keterangan Ijin Penelitian Lampiran 6 Data Primer Agustus 2012 Lampiran 7 Lembar Analisis Statistik Lampiran 8 Hasil Uji Analisis Regresi Linier Terhadap Hubungan antara Skor

Kecemasan dengan Frekuensi Bangkitan 1 Bulan Terakhir

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart, 2006). (Yates, 2012). Sebuah meta-analisis terhadap 46 studi menemukan bahwa sekitar 17% orang suatu saat pernah mengalami kecemasan (Pinel, 2009).

Epilepsi adalah gangguan kronis yang ditandai dengan kejang, atau disfungsi otak paroksismal akibat impuls saraf yang berlebihan (Titlic, 2008). WHO tahun 2009 menyebutkan bahwa sekitar 50 juta penduduk di seluruh dunia menderita penyakit epilepsi. Insidensi epilepsi terjadi pada 4 sampai 10 per 1000 populasi umum. Tetapi beberapa penelitian menyebutkan bahwa di negara berkembang insidensi epilepsi dapat terjadi hingga 6 sampai 10 per 1000 penduduk. Hampir dari 90 persen penderita epilepsi di seluruh dunia ditemukan di negara-negara berkembang (WHO, 2009). Di Indonesia diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan berkisar antara 1,8 juta penduduk dari 237,6 juta penduduk di Indonesia atau sekitar 0,76 persen dari jumlah penduduk Indonesia (Lumbantobing, 2006).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi bangkitan epilepsi, yaitu antara lain kurang tidur, stres emosional, infeksi, demam, konsumsi obat-obatan tertentu, konsumsi alkohol, perubahan hormonal, terlalu lelah Banyak faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi bangkitan epilepsi, yaitu antara lain kurang tidur, stres emosional, infeksi, demam, konsumsi obat-obatan tertentu, konsumsi alkohol, perubahan hormonal, terlalu lelah

Dengan meneliti hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan epilepsi, maka dapat diperoleh informasi ilmiah dan sumbangan pengetahuan yang berguna dalam menunjang pengobatan penderita epilepsi guna mengurangi dampak negatif epilepsi bagi kehidupan penderitanya. Dampak epilepsi pada kehidupan penderita di antaranya adalah cedera akibat epilepsi, menurunnya kualitas hidup (Disability Adjusted Life Years), stigma sosial, dan risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi umum. Oleh karena itu, bangkitan epilepsi pada penderita harus dicegah sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar pada kehidupan penderitanya (Shafer, 2002).

Kecemasan adalah salah satu gangguan psikologis yang merupakan manifestasi klinis dari gangguan pada sistem saraf akibat berbagai faktor, sedangkan sistem saraf sangat berperan penting dalam pengendalian bangkitan pada penderita epilepsi. Oleh karena itu, secara tidak langsung kecemasan akan mempengaruhi timbulnya bangkitan pada penderita epilepsi.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritis Memberikan sumbangan pengetahuan hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada penderita epilepsi khususnya epilepsi parsial.

2. Aspek Aplikatif Memberikan informasi ilmiah pada masyarakat dan tenaga medis mengenai hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi sehingga dapat memberi masukan informatif untuk menunjang pengobatan penyakit epilepsi.

DASAR TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kecemasan

a. Definisi

Kecemasan merupakan pengalaman takut atau cemas dalam usaha mengantisipasi bahaya yang bersumber dari internal atau eksternal yang disertai oleh beberapa atau semua dari tanda-tanda fisik seperti ketegangan otot, gelisah, hiperaktif simpatik, dan tanda serta gejala kognitif (kewaspadaan yang berlebihan, kebingungan, konsentrasi menurun, atau takut kehilangan kontrol) (Yates, 2012). Definisi lain menyebutkan bahwa kecemasan adalah rasa khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi disertai dengan gejala somatik yang menandakan adanya aktivitas yang berlebihan dari susunan saraf pusat autonomik (Scaphiro, 2003). Kecemasan dapat berupa perasaan gelisah yang subjektif, sejumlah perilaku (tampak khawatir dan gelisah), atau respon fisiologis yang bersumber dari otak dan tercermin dalam bentuk peningkatan denyut jantung dan ketegangan otot (Barlow, 2006).

Kecemasan terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap harga diri yang sangat mendasar bagi keberadaan individu. Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal dan merupakan bagian dari Kecemasan terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap harga diri yang sangat mendasar bagi keberadaan individu. Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal dan merupakan bagian dari

Kecemasan dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan. Penyebab kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak diketahui sedangkan ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman atau bahaya yang sumbernya biasanya dari luar yang dihadapi secara sadar. Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu fungsi sehari-hari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan yang wajar (Maramis, 2005).

Walaupun merupakan hal yang normal dialami namun kecemasan tidak boleh dibiarkan karena lama kelamaan dapat menjadi neurosa cemas melalui mekanisme yang diawali dengan kecemasan akut, yang berkembang menjadi kecemasan menahun akibat represi dan konflik yang tak disadari. Adanya stres pencetus dapat menyebabkan penurunan daya tahan dan mekanisme untuk mengatasinya sehingga mengakibatkan neurosa cemas (Maramis, 2005).

b. Patofisiologi

Dalam Sistem Saraf Pusat (SSP), mediator utama dari gejala gangguan kecemasan adalah norepinefrin, serotonin, dopamin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Neurotransmiter lainnya dan Dalam Sistem Saraf Pusat (SSP), mediator utama dari gejala gangguan kecemasan adalah norepinefrin, serotonin, dopamin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Neurotransmiter lainnya dan

Kecemasan adalah respon dari persepsi terancam yang diterima oeh sistem saraf pusat akibat adanya rangsangan berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsangan tersebut dipersepsikan oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh sistem saraf pusat yang melibatkan cortex cerebri diteruskan ke limbic system lalu ke reticular activating system kemudian ke hypothalamus yang memberikan impuls ke kelenjar adrenal, selanjutnya memacu sistem saraf otonom (Mudjadid, 2007).

c. Klasifikasi dan Derajat

Menurut DSM-IV-TR ( Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi IV Teks Revisi) gangguan kecemasan diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Kecemasan menyeluruh

2) Kecemasan berhubungan dengan kondisi medis

3) Panik adalah serangan tidak terduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut intens sampai sedikit serangan selama satu tahun.

takut berada sendirian di tempat umum dimana terdapat banyak orang/keramaian, berpergian ke luar rumah, atau berpergian sendirian.

5) Agoraphobia dengan atau tanpa riwayat panik

6) Spesifik phobia yaitu kecemasan yang terbatas pada adanya

objek atau situasi tertentu

7) Phobia sosial yaitu rasa takut yang menetap dan kuat akan

situasi yang menimbulkan rasa malu .

8) Obsesif kompulsif adalah pikiran atau sensasi berulang untuk melakukan perilaku yang disadari dan standar secara berulang.

9) Post-traumatic disorder (Sadock, 2010).

Respon seseorang terhadap kecemasan tergantung dari tingkat kecemasan yang dideritanya. Peplau membagi tingkat kecemasan menjadi empat (Videbeck, 2008), yaitu:

1) Kecemasan ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.

3) Kecemasan berat

Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detail yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak perhatian atau arahan untuk terfokus pada area lain.

4) Kecemasan berat sekali atau panik

Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Karena hilangnya kontrol maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah.Terjadi peningkatan aktifitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif. Biasanya disertai disorganisasi kepribadian.

d. Faktor Pencetus

Beberapa faktor yang dapat mencetuskan terjadinya kecemasan adalah sebagai berikut: Beberapa faktor yang dapat mencetuskan terjadinya kecemasan adalah sebagai berikut:

2) Ancaman terhadap sistem diri yang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang terdapat pada suatu individu (Stuart, 2006).

e. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Berikut adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan (Stuart, 2006):

1) faktor psikoanalitis

Cemas merupakan konflik emosional yang terjadi antara id dan superego. Id meliputi dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan superego mencerminkan hati nurani yang dikendalikan norma budaya.

2) faktor interpersonal

Cemas timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal.

3) faktor perilaku

Cemas merupakan suatu bentuk kekhawatiran yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Gangguan cemas seringkali muncul dalam keluarga yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecemasan individu.

5) faktor biologis

khusus terhadap neurotransmiter yang bekerja khusus dalam timbulnya kecemasan. Selain itu kesehatan umum serta fungsi fiologis suatu individu sangat berperan dalam timbulnya perasasan cemas terhadap suatu individu.

f. Manifestasi Cemas

Menurut Stuart dan Sundeen, (1998) manifestasi cemas dapat meliputi respon fisiologi, kognitif, tingkah laku, dan efektif.

1) Respon Fisiologi

Respon fisiologis terhadap stressor merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostasis dalam tubuh. Karena mengakibatkan peningkatan fungsi sistem organ vital secara umum. Seperti pada sistem di bawah ini (Stuart dan Sundeen, 1998):

a) Sistem Kardiovaskuler

Palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah, dan denyut nadi menurun, pingsan.

b) Sistem Pernapasan b) Sistem Pernapasan

c) Sistem Neuromuskuler

Peningkatan reflek, reaksi kejutan, insomnia, ketakutan, gelisah, tegang, kelemahan secara umum, gerakan lambat.

d) Sistem Gastrointestinal

Kehilangan nafsu makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, diare.

e) Sistem Perkemihan

Tidak dapat menahan buang air kecil, sering buang air kecil.

f) Sistem Integumen

Rasa terbakar pada muka, berkeringat pada telapak tangan, gatal-gatal, perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh.

2) Respon Kognitif, Perilaku, dan Efektif

Respon kecemasan pada pasien juga dapat mempengaruhi pada sistem kognitif, seperti: gangguan perhatian, konsentrasi hilang, pelupa, salah tafsir, bloking pada pikiran, lahan persepsi menurun, kreatifitas menurun, bingung, kesadaran diri yang berlebihan, khawatir yang berlebihan, objektivitas hilang, takut. Pada sistem perilaku, seperti: gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, tidak ada koordinasi, menarik diri, Respon kecemasan pada pasien juga dapat mempengaruhi pada sistem kognitif, seperti: gangguan perhatian, konsentrasi hilang, pelupa, salah tafsir, bloking pada pikiran, lahan persepsi menurun, kreatifitas menurun, bingung, kesadaran diri yang berlebihan, khawatir yang berlebihan, objektivitas hilang, takut. Pada sistem perilaku, seperti: gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, tidak ada koordinasi, menarik diri,

2. Epilepsi

a. Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai gejala kronis yang ditandai adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi (Pallgreno, 1996).

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Bangkitan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif, atau psikis (Pedley, 1992).

Otak tersusun atas kurang lebih 15 miliar neuron yang membentuk subtansia alba dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat komplek dan sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas yaitu gerakan motorik, sensasi, berpikir dan emosi. Selain itu, otak merupakan penyimpan memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom. Sel-sel otak bekerja bersama-sama dan berkomunikasi melalui signal-signal listrik. Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari sekelompok sel yang menghasilkan bangkitan atau seizure. Sistem limbik merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap bangkitan. Ekspresi aktivitas otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis (Bate, 1999).

Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak), hipokampus, dan area fronto-temporal sering kali merupakan letak awal munculnya bangkitan epilepsi., Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan korpus striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas bangkitan dan mencetuskan bangkitan epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara korteks dan area otak lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap aktivitas inhibisi eksitasi di area tersebut pada Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak), hipokampus, dan area fronto-temporal sering kali merupakan letak awal munculnya bangkitan epilepsi., Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan korpus striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas bangkitan dan mencetuskan bangkitan epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara korteks dan area otak lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap aktivitas inhibisi eksitasi di area tersebut pada

c. Etiologi

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, strok, tumor otak, infeksi otak, keracunan, pertumbuhan jaringan saraf yang tidak normal, dan pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun strok dan tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (fokus) di otak (Shorvon, 2001).

Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter. Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk masuknya ion kalsium yang berlebihan ke dalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang berdampak pada kualitas otak, yaitu fungsi hipokampus dan korteks, serta

2001; Christensen, 2007).

d. Patofisiologi

Otak terdiri banyak sel neuron yang berhubungan satu sama lain. Sel-sel neuron tersebut saling berhubungan melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yaitu neurotransmiter (Cotman, 1995).

Impuls listrik tersebut bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel yang mudah dilalui oleh ion K dari ruang ektraseluler ke intraseluler. Ruang intraseluler mengandung ion Ca, Na, dan Cl yang rendah, begitu sebaliknya pada ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion – ion tersebut menimbulkan potensial membran. Membran yang terpolarisasi dapat dipertahankan oleh adanya suatu proses metabolik aktif (pompa sodium) yang mengeluarkan ion Ca dan Na dari dalam sel (Harsono, 1996).

Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah Glutamat dan GABA. Glutamat yang merupakan neurotransmiter eksitasi yang memudahkan depolarisasi, sedangkan GABA bersifat sebagai brain’s inhibitory neurotransmiter yang menimbulkan hiperpolarisasi, sehingga sel neuron stabil dan tidak mudah melepaskan muatan listrik.

lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron memiliki peran yang sangat penting dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron (Prasad, 1999).

Bangkitan epilepsi dapat terjadi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari bangkitan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan (Budiarto, 1999).

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA lebih rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs :

Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, yaitu suatu zat yang merupakan neurotransmiter inhibitorik utama pada otak. Penelitian membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponen GABA bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan (Budiarto, 1999).

e. Faktor Pencetus

Berikut ini adalah faktor-faktor pencetus yang dapat meningkatkan risiko bangkitnya bangkitan epilepsi :

1) Kurang tidur: mengganggu aktivitas dari sel-sel otak;

2) Stres emosional: stres dapat meningkatkan frekuensi

bangkitan;

3) Infeksi: biasanya disertai dengan demam. Demam inilah yang mencetuskan perubahan kimiawi otak, sehingga mengaktifkan sel-sel epileptik yang menimbulkan bangkitan. Hal ini sering terjadi pada anak-anak;

4) Obat-obatan tertentu: antidepresan trisiklik, obat tidur/sedatif, atau fenotiasin. Menghentikan obat penenang seperti berbiturat dan valium dapat mencetuskan kejang;

5) Alkohol;

6) Perubahan hormonal;

Akibatnya, kadar CO2 bertambah dan terjadi penciutan pembuluh darah otak;

8) Fotosensitif: ada penderita epilepsi yang fotosensitif pada kilatan sinar pada kisaran antara 10-15 Hz (Harsono, 1996).

f. Klasifikasi

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk sindroma epilepsi (ILAE, 1981).

1) Berkaitan dengan letak fokus (parsial)

Epilepsi parsial adalah epilepsi yang dimulai dari suatu daerah di otak dengan gejala bergantung pada lokasi fokus di otak.

a) Idiopatik (primer)

(1) Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di

sentrotemporal (Rolandik benigna ) (2) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital (3) Primary reading epilepsy

b) Simtomatik (sekunder) (1) Lobus temporalis (2) Lobus frontalis (3) Lobus parietalis (4) Lobus oksipitalis (5) Kronik progresif parsialis kontinua

2) Umum (generalisata)

Epilepsi generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan bangkitan yang bilateral dan simetris yang terjadi di kedua hemisferr tanpa tanda-tanda bahwa bangkitan berasal dari suatu fokus di otak.

a) Idiopatik (primer) (1) Kejang neonatus familial benigna (2) Kejang neonatus benigna (3) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi (4) Epilepsi absans pada anak (5) Epilepsi absans pada remaja (6) Epilepsi mioklonik pada remaja (7) Epilepsi dengan bangkitan tonik klonik pada saat

terjaga (8) Epilepsi tonik kionik dengan bangkitan acak

b) Kriptogenik atau simtomatik

(1) Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia) (2) Sindroma Lennox Gastaut (3) Epilepsi mioklonik astatik (4) Epilepsi absans miokionik

c) Simtomatik (1) Etiologi non spesifik

(b) Sindrom Ohtahara (2) Etiologi/sindrom spesifik (a) Malformasi serebral (b) Gangguan metabolisme

3. Hubungan antara Kecemasan dengan Bangkitan Epilepsi

GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat paling penting dalam SSP. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa fungsi abnormal reseptor GABA bisa menjadi faktor yang sangat berperan dalam patofisiologi gangguan kecemasan dan epilepsi (Chapouthier, 2001).

Ketakutan dan kecemasan sering dikaitkan dengan kejang parsial sederhana (Torta, 1999). Risiko kecemasan lebih tinggi pada pasien epilepsi parsial terutama dengan fokus pada lobus temporal dibandingkan pada epilepsi umum. Trimble (1991) melaporkan bahwa pada 19% pasien dengan epilepsi lobus temporal didiagnosis mengalami gangguan kecemasan dan 11% didiagnosis mengalami gangguan depresi.

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran

keterangan : mencegah

perubahan jumlah

atau struktur

kecemasan

gangguan fungsi

serotonin, norepinefrin dan

transmisi impuls berlebih

sinkronisasi

bangkitan epilepsi

sel neuron stabil dan tidak mudah

melepas muatan listrik

Variabel Luar 1) infeksi

2) obat-obatan tertentu 3) alkohol 4) perubahan hormonal 5) perubahan pembuluh darah otak 6) ambang batas rangsang serangan

Faktor Pencetus Kecemasan

1. ancaman integritas fisik 2. ancaman sistem diri

Faktor Pengaruhi Kecemasan

a. faktor psikoanalitik b. faktor interpersonal

c. faktor perilaku d. faktor keluarga

e. faktor biologis

Terdapat hubungan antara kecemasan dengan frekuensi bangkitan pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi, yaitu bahwa kecemasan meningkatkan terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi parsial di RSUD Dr. Moewardi.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik non-eksperimental dengan pendekatan cross-sectional yaitu, peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (efek) yang diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Taufiqqurohman, 2008).

B. Subjek Penelitian

1. Kriteria Inklusi

a. Penderita epilepsi parsial

Penderita epilepsi dalam penelitian ini adalah penderita epilepsi parsial yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan penunjang electroencephalographic (EEG) dan tercatat pada rekam medik/medical record.

b. Berusia 18-65 tahun

c. Bersedia sebagai responden penelitian

d. Lulus screening Lie-scale Minnesota Multiphasic Personality

Inventory (LMMPI)

2. Kriteria eksklusi

a. Penderita epilepsi parsial mengalami infeksi berat dalam satu bulan

terakhir terakhir

c. Penderita epilepsi parsial yang mengkonsumsi alkohol dalam satu

bulan terakhir

C. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan Juli-Agustus 2012. Penelitian dilakukan di Poliklinik Saraf RSUD Dr. Moewardi.

D. Teknik Penganmbilan Sampel

Pengambilan sampel dangan cara purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi yang telah ditetapkan (Taufiqqurohman, 2008).

E. Perhitungan Jumlah Sampel

Dalam menentukan ukuran/jumlah sampel menggunakan pedoman rules of thumb yang dikemukakan oleh Roscoe dalam Sekaran (2000) yaitu:

1. Jumlah sampel yang paling sesuai untuk hampir semua penelitian adalah

30 < n < 500;

2. Sampel dibagi ke dalam beberapa subsampel (laki-laki/perempuan, senior/junior, dan sebagainya), jumlah sampel minimal untuk kategori adalah 30; 2. Sampel dibagi ke dalam beberapa subsampel (laki-laki/perempuan, senior/junior, dan sebagainya), jumlah sampel minimal untuk kategori adalah 30;

4. Penelitian eksperimen yang sederhana dengan pengendalian eksperimental yang ketat, penelitian yang baik dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah sampel sekitar 10 sampai 20.

Berdasarkan rules of thumb tersebut, penelitian ini membutuhkan sampel dengan jumlah minimal 30.

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas

: Kecemasan

2. Variabel Terikat

: Frekuensi bangkitan

3. Variabel Luar

a. Variabel luar terkendali

: Infeksi, konsumsi obat tertentu (antidepresan trisiklik, obat tidur/sedatif, atau fenotiasin), alkohol

b. Variabel luar tak terkendali

: Perubahan hormonal, kelainan

pembuluh darah otak, ambang batas rangsang serangan

G. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas : kecemasan

a. Definisi

Kecemasan (anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan takut atau khuatir yang Kecemasan (anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan takut atau khuatir yang

b. Cara penilaian

Kecemasan dinilai dengan kuesioner Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Pengisian TMAS diisi sendiri oleh responden. Responden menjawab keadaan ya atau tidak sesuai dengan keadaan dirinya dengan memberi tanda (X) pada kolom jawaban ya atau tidak. Pada pertanyaan favorable jika diisi jawaban “ya” maka diberi nilai 1, sedangkan dalam pertanyaan unfavorable jika diisi jawaban “tidak” maka diberi nilai 1. Tiap nilai dari masing masing pertanyaan kemudian dijumlah. Semakin tinggi skor kecemasan maka semakin tinggi tingkat kecemasannya (Azwar, 2009). Selain itu, hasil dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu nilai berjumlah < 21 dikategorikan menjadi kelompok tidak cemas, sedangkan nilai berjumlah ≥ 21 dapat dikategorikan menjadi kelompok cemas.

c. Skala variabel bebas adalah interval.

2. Variabel terikat : frekuensi bangkitan

a. Definisi a. Definisi

1 bulan terakhir.

b. Cara penilaian

Frekuensi bangkitan dinilai berdasarkan wawancara langsung kepada penderita atau keluarga penderita. Wawancara meliputi beberapa pertanyaan berkaitan dengan riwayat frekuensi bangkitan epilepsi yang terjadi dalam satu bulan terakhir.

c. Skala pengukuran variabel terikat adalah skala rasio.

3. Variabel luar

a. Variabel luar terkendali

1) Infeksi

Infeksi hingga menyebabkan demam mempengaruhi kimiawi otak sehingga mengaktifkan sel-sel epileptik dan mencetuskan terjadinya bangkitan epilepsi.

2) Konsumsi obat tertentu

Golongan obat tertentu yang mempengaruhi fungsi otak dapat mencetuskan terjadinya kejang.

3) Alkohol

Konsumsi alkohol dapat mempengaruhi fungsi otak sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya kejang.

1) Perubahan hormonal

2) Kelainan pembuluh darah otak

3) Ambang batas rangsang serangan

H. Rancangan Penelitian

Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian

I. Instrumen Penelitian

1. Kuesioner Lie Minnesota Mutiphasic Personality Inventory (LMMPI) Instrumen ini digunakan untuk menguji kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan yang ada dalam kuesioner penelitian. Skala LMMPI berisi lima belas butir pertanyaan. R esponden menjawab “ya”

penderita epilepsi

parsial

analisis data Regresi Linier

kuesioner

TMAS

wawancara frekuensi bangkitan

1 bulan terakhir

kuesioner

LMMPI

responden, dan “tidak” bila tidak sesuai dengan perasaan dan keadaan responden. Responden yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan

kejujurannya bila jawaban “tidak” berjumlah sepuluh atau kurang (Semiun, 2010).

2. Kuesioner Kecemasan Angka kecemasan yang digunakan adalah Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS). Kuesioner ini terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak”. Pada

pertanyaan favorable jika diisi jawaban “ya” maka diberi nilai 1, sedangkan dalam pertanyaan unfavorable jika diisi jawaban “tidak” maka diberi nilai 1. Tiap nilai dari masing-masing pertanyaan kemudian dijumlah. Jumlah nilai menentukan derajat kecemasan seseorang (Azwar, 2009). Jawaban dari pernyataan-pernyataan tersebut harus memperhatikan hal- hal berikut :

a. Butir-butir pernyataan yang sesuai untuk kecemasan atau favourable, yaitu nomor 2, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 26,

27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 45, 46, 47, 48, dan

49 (35 butir)

b. Butir-butir pernyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan atau unfavourable , yaitu 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43, 44, dan 45 (15 butir) (Sudiyanto, 2003).

dipengaruhi juga oleh kejujuran dan ketelitian responden dalam mengisinya. Karena itu peneliti menggunakan tes LMMPI untuk menghindari terjadinya perhitungan hasil yang mungkin invalid karena kesalahan atau ketidakjujuran responden.

3. Rekam medik (medical record) pasien epilepsi di RSUD Dr. Moewardi sebagai data sekunder.

J. Cara Pengambilan Data

1. Sampel positif penderita epilepsi parsial berdasarkan data Poliklinik

Saraf RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan berusia 18-65 tahun.

2. Mengisi kuesioner LMMPI dimana yang memenuhi syarat sebagai

subjek penelitian yaitu apabila jawaban “tidak” berjumlah < 10.

3. Mengisi kuesioner TMAS.

4. Wawancara frekuensi bangkitan epilepsi satu bulan terakhir.

K. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis regresi linier. Analisis data menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for windows versi 17.0 dengan tingkat kemaknaan 95%.

HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini, responden diperoleh dari Poliklinik Saraf RSUD Dr. Moewardi. Responden adalah penderita epilepsi parsial berusia 18 sampai

65 tahun.

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Karakteristik Responden

n (%) Umur

- 18-20

7 (22.6) - 21-30

9 (29.0) - 31-40

6 (19.4) - 41-50

6 (19.4) - 51-60

1 (3.2) - 61-65

2 (6.5) Jenis Kelamin - Perempuan

12 (38.7) - Laki-laki

19 (61.3) Tingkat Pendidikan Terakhir

- Tidak mengikuti pendidikan formal

2 (6.5) - Sekolah Dasar

6 (19.4) - Sekolah Menengah Pertama

8 (25.8) - Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah

Kejuruan

15 (48.4) Pekerjaan

- Tidak bekerja

3 (9.7) - Ibu Rumah Tangga

7 (22.6) - Pelajar

4 (12.9) - Petani

3 (9.7) - Buruh

5 (16.1) - Swasta

nilai % dihitung berdasarkan jumlah responden Sumber : Data Primer Agustus 2012 nilai % dihitung berdasarkan jumlah responden Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir didapatkan data 2 orang (6.5%) tidak mengikuti pendidikan formal, 6 orang (19.4%) lulusan Sekolah Dasar, 8 orang (25.8%) lulusan Sekolah Menengah Pertama, 15 orang (48.4%) lulusan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan.

Berdasarkan pekerjaan didapatkan data 3 orang (9.7%) tidak bekerja, 7 orang (22.6%) ibu rumah tangga, 4 orang (12.9%) pelajar, 3 orang (9.7%) petani, 5 orang (16.1%) buruh, 9 orang (29%) pekerja swasta.

B. Kecemasan

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Kecemasan

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Hasil penelitian menunjukkan 31 responden memiliki skor kecemasan bervariasi dengan skor tertinggi adalah 39 dan skor terendah adalah 3. Skor kecemasan hasil kuesioner TMAS dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu skor < 21 dikategorikan menjadi kelompok tid ak cemas dan ≥ 21

Kecemasan

Skor Kecemasan

n (%) Tidak cemas

21 (67.7) Cemas

10 (32.3) Total

Tabel 4.3. Karakteristik Responden menurut Pengelompokan Kecemasan

*uji Kolmogorov-Smirnov perhitungan % berdasarkan jumlah responden

Karakteristik Responden

Pengelompokan

kecemasan Tidak P cemas

n (%)

Cemas n (%)

Umur - 18-20

2 (6.5) - 31-40

1 (3.2) - 41-50

3 (9.7) - 51-60

0 (0.0) - 61-65

0 (0.0) Jenis Kelamin

- Perempuan

4 (12.9) - 1.000* Laki-laki 13 (41.9) 6 (19.4) Tingkat Pendidikan Terakhir

- Tidak mengikuti pendidikan formal

- Sekolah Dasar

2 (6.5) - Sekolah Menengah Pertama

2 (6.5) - Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan

5 (16.1) Pekerjaan

- Tidak bekerja

- Ibu Rumah Tangga

1 (3.2) - Pelajar

2 (6.5) - Petani

0 (0.0) - Buruh

2 (6.5) - Swasta

Berdasarkan jenis kelamin, dapat disimpulkan hanya sepertiga dari jumlah responden perempuan dan laki-laki yang mengalami cemas. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok jenis kelamin (p = 1.000).

Setengah dari jumlah responden pada kelompok tidak mengikuti pendidikan formal mengalami cemas, sedangkan pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan, hanya sepertiga dari jumlah respondennya yang mengalami cemas. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok tingkat pendidikan terakhir (p = 1.000).

Pada pengelompokan responden berdasarkan jenis pekerjaan, pada kelompok responden pelajar didapatkan jumlah responden yang tidak mengalami cemas dan jumlah responden yang mengalami cemas adalah sama, sedangkan pada responden dengan pekerjaan petani tidak didapatkan responden yang mengalami cemas. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok jenis pekerjaan (p = 0.998).

Gambar 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Bangkitan 1 Bulan

Terakhir n (%) Berdasarkan hasil wawancara frekuensi bangkitan epilepsi 1 bulan

terakhir dapat disimpulkan bahwa dari 31 responden, 17 orang (54.8%) di antaranya tidak mengalami bangkitan dalam 1 bulan terakhir, sedangkan 14 orang lainnya (45.2%) masih mengalami bangkitan dengan frekuensi yang bervariasi dalam 1 bulan terakhir, yaitu 3 orang (9.7%) mengalami 2 kali bangkitan, 4 orang (12.9%) mengalami 3 kali bangkitan, 1 orang (3.2%) mengalami 4 kali bangkitan, 2 orang (6.5%) mengalami 6 kali bangkitan, 1 orang (3.2%) mengalami 8 kali bangkitan, 1 orang (3.2%) mengalami 12 kali bangkitan, 1 orang (3.2%) mengalami 15 kali bangkitan.

frekuensi bangkitan 1 bulan terakhir

(n/bulan)

nilai % dihitung berdasarkan jumlah subjek penelitian Sumber : Data Primer Agustus 2012

*uji Kolmogorov-Smirnov perhitungan % berdasarkan jumlah responden

Berdasarkan pengelompokan umur, diketahui pada kelompok umur 51-

60 dan 61-65 tahun tidak didapatkan responden yang masih mengalami bangkitan dalam 1 bulan terakhir (0.0%). Tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada distribusi kelompok umur (p = 0.971).

Karakteristik Responden

Pengelompokan Bangkitan p

Tidak mengalami

bangkitan

n (%)

Masih mengalami bangkitan n (%) Umur - 18-20

4 (12.9) - 31-40

2 (6.5) - 41-50

4 (12.9) - 51-60

0 (0.0) - 61-65

0 (0.0) Jenis Kelamin - Perempuan

4 (12.9) - 0.956* Laki-laki 9 (29.0) 10 (32.3) Tingkat Pendidikan Terakhir

- Tidak mengikuti pendidikan formal

- Sekolah Dasar

2 (6.5) - Sekolah Menengah Pertama

2 (6.5) - Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan

8 (25.8) Pekerjaan

- Tidak bekerja

- Ibu Rumah Tangga

2 (6.5) - Pelajar

3 (9.7) - Petani

1 (3.2) - Buruh

3 (9.7) - Swasta

4 orang (12.9%) lainnya masih mengalami bangkitan. Pada kelompok responden laki-laki, jumlah responden lebih banyak pada kelompok yang masih mengalami bangkitan dibandingkan dengan kelompok tidak mengalami bangkitan, yaitu 9 orang (29.0%) tidak mengalami bangkitan dalam 1 bulan terakhir, sedangkan 10 orang (32.3%) lainnya masih mengalami bangkitan. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada distribusi jenis kelamin (p = 0.956).

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir didapatkan data bahwa pada responden yang tidak mengikuti pendidikan formal, semuanya mengalami bangkitan dalam 1 bulan terakhir, sedangkan pada kelompok responden lulusan Sekolah Dasar dan kelompok responden lulusan Sekolah Menengah Pertama jumlah yang tidak mengalami bangkitan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang masih mengalami bangkitan. Pada kelompok responden lulusan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan didapatkan data bahwa responden yang masih mengalami bangkitan lebih banyak daripada yang tidak mengalami bangkitan. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada distribusi pendidikan terakhir (p = 0.990).

Bila dihubungkan dengan jenis pekerjaan responden, didapatkan data bahwa pada kelompok responden ibu rumah tangga sebagian besar sudah tidak mengalami bangkitan. Pada kelompok pelajar dari 4 orang responden pelajar didapatkan data hanya 1 orang yang tidak mengalami bangkitan, Bila dihubungkan dengan jenis pekerjaan responden, didapatkan data bahwa pada kelompok responden ibu rumah tangga sebagian besar sudah tidak mengalami bangkitan. Pada kelompok pelajar dari 4 orang responden pelajar didapatkan data hanya 1 orang yang tidak mengalami bangkitan,

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 31 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan semuanya digunakan sebagai subjek penelitian. Dari hasil wawancara didapatkan rincian data 17 orang (54.8%) tidak mengalami bangkitan dalam 1 bulan terakhir, sedangkan 14 orang lainnya (45.2%) masih mengalami bangkitan dengan frekuensi yang bervariasi. Frekuensi terbanyak adalah 15 kali bangkitan. Hasil skor kecemasan yang diukur dengan kuesioner TMAS didapatkan data yang bervariasi dengan skor terendah yaitu 3 poin dan skor tertinggi adalah 39 poin.