Perspektif Konstruktivisme dalam Bantuan Luar Negeri Australia ke Otoritas Palestina

  

Perspektif Konstruktivisme dalam Bantuan Luar Negeri

Australia ke Otoritas Palestina

  7 Irza Khurun’in Abstract

  In the end of 2007, Australia through AusAID increased their foreign aid to the

Pelstinian Authority nearly tripled, from $ 15.2 million in 2006-2007 to $ 42 million in

2007-2008. That policy could not be separatedfrom the Australian interest in the

political conflictconstellation betweenIsraeland Palestine. Yet, as a donor country,

Australia didn’t get economically benefit from the aid flow to Palestine. Moreover, the

geographical location between two countries are very far apart. Furthermore,

Australian aid to Palestinian Authority is also inconsistentwith thepolitical support,

such as Australia rejection on the recognition ofPalestinian sovereignty. So, the

research question is ‘why did Australia increaseits foreignaidtothe Palestinian

Authority?’ To analyze this Australia’s behavior, the author uses a constructivist

approach, with emphasize on humanitarian norm and Australian identity as a donor

country. The basic assumption of constructivism focused on ideational structure and it

become the main framework in this paper. Main argument in this paper is international

humanitarian norm and Australian identity as a donor country act as ideational

structure whichconstitutively interplay on the Australian policy toincrease foreign aid

to the Palestinian Authority.

   International humanitarian norm, national identity, foreign aid Keywords: Pendahuluan

  Bantuan luar negeri menjadi fenomena penting dalam kancah perpolitikan dunia. Pada masa perang dingin, bantuan luar negeri menjadi media politik bagi negara-negara besar untuk menyebarkan ideologinya. Kondisi tersebut terus berlanjut seiring fenomena globalisasi. Terdapat berbagai pergeseran kepentingan dalam bantuan luar negeri. Muncul motif kemanusiaan dalam bantuan luar negeri, sekalipun tidak melepas kemungkinan adanya tendensi kepentingan politik di baliknya.

  Australia, misalnya, yang aktif menjadi negara donor sejak sebelum Perang Dunia II, dan terus mengalami perubahan selama 50 tahun terakhir ini (Australian Bureau of Statistic, 2001). Dalam program bantuan luar negeri, Australia juga mengikutsertakan aspek humanitarian aid. Unsur kemanusian menjadi hal yang tidak terlepaskan dari praktik bantuan luar negeri negara

  Penulis adalah Alumni Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya donor. Dalam bantuan luar negeri Australia secara konsisten menyertakan humaniatarian aid disamping delopment aid.

  Australia banyak memberikan asistensi ke negara-negara di Asia dan Afrika, termasuk kawasan Timur Tengah, salah satunya adalah Otoritas Palestina. Australia mulai memberikan bantuan luar negeri ke Otoritas Palestina terhitung sejak tahun 1995 dan terjadi peningkatan drastis pada tahun 2007 di bawah PM Kevin Rudd (Marty Harris, 2012). Bantuan Australia yang yang semula $15,2 juta pada periode tahun 2006-2007 menjadi $42 juta pada periode tahun 2007-2008 (Marty Harris, 2012). Terlihat bahwa terjadi peningkatan hampir tiga kali lipat.

  Sejak periode tahun 1995-1996 hingga periode tahun 2000-2001, rata- rata bantuan luar negeri dari AusAID ke Otoritas Palestina adalah sebesar $5,4 juta. Mengalami peningkatan yang berarti pada periode 2001-2002 yakni sebesar $9 juta .

  Bantuan luar negeri AusAID ke Otoritas Palestina periode tahun 2001- 2002 hingga periode tahun 2005-2006 terus mengalami peningkatan sedikit demi sedikit hingga mencapai $16,1 juta pada periode tahun 2005-2006. Pada periode tahun 2006-2007 menurun menjadi $15,2 juta

  .

  Rata-rata bantuan AusAID ke Otoritas Palestina dari periode tahun 2001-2001 hingga tahun 2006-2007 adalah sebesar $12,25 juta (Marty Harris, 2012).

  Kecenderungan Australia dalam memberikan bantuan luar negeri ke Otoritas Palestina tidak sejalan dengan dukungan politik yang diberikan. Terdapat inkonsistensi dalam Pemerintah Australia untuk mendukung resim politik di Palestina. Pertama, hingga tahun 2012, Australia tidak mengakui Palestina sebagai entitas negara. Kedua, posisi Australia dalam menempatkan diri dalam konflik Palestina dengan Israel, suara Australia cenderung mengekor suara yang diberikan oleh Amerika Serikat. Seperti dalam catatan voting Australia dalam Resolusi PBB

  ‘Peaceful settlement of the question of Palestine’ yang mencatat bahwa Australia 'abstain' pada tahun 2001 dan 2003, 'setuju' pada tahun 2002, dan konsisten 'tidak' sejak tahun 2004. Ketiga, UNGA voting record Australia terhadap resolusi-resolusi DK-PBB tidaklah memberikan dukungan yang signifikan. Pada sidang PBB bulan Desember 2007, suara Australia dalam resolusi self determination of Palestinian People adalah abstain, dan suara menolak untuk resolusi permanent souvereignty of Palestinian people in the Occupied Palestinian teritory (UNDP, 2010).

  Keempat, dalam bidang ekonomi perdagangan seperti yang tercatat dalam annual report Australia’s trade with Africa and the Middle East2010 oleh

  Australian Government Foreign Affair and Trade tahun 2010, tidak tercatat hubungan dagang antara Australia dengan Otoritas Palestina. Dalam bidang politik, hubungan bilateral kedua negara bersifat informal, hanya dalam tataran representatif office, kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik resmi. Australia tidak memiliki kedutaan besar di Palestina, begitupula sebaliknya (Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade, 2012).

  Dengan latar belakang ini, muncul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi Australia meningkatkan bantuan luar negerinya ke Otoritas Palestina pada tahun 2007? Pendekatan konstruktivisme digunakan dalam analisis dengan menekankan pada narasi konstruksi struktur ide di Australia. Guna menjelaskan kebijakan yang diambil Australia melalui perspektif konstruktivisme, penulis membaginya menjadi dua eksplanasi. Eksplanasi yang pertama adalah adanya international humanitarian norms di level internasional sebagai instrumen struktur ide yang mempengaruhi perilaku Australia dalam peningkatan bantuan luar negerinya ke Otoritas Palestina. Eksplanasi yang kedua adalah pengaruh struktur ide terhadap penguatan kembali identitas dan argumentasi kepentingan nasional.

  Perspektif Konstruktivisme

  Di bagian latar belakang telah disebutkan tentang penggunaan konstruktivisme sebagai alat analisis. Penggunaan konstruktivisme digunakan karena penulis ingin melihat ada aspek non-material yang turut mendorong perilaku Australia terkait dengan peningkatan bantuan luar negerinya ke Otoritas Palestina. Tulisan ini fokus terhadap hubungan agen-struktur dalam kerangka struktur ideasional, oleh karenanya penulis menggunakan logika berpikir konstruktivisme.

  Di tahun 1989, konstruktivisme muncul sebagai jalan tengah antara pendekatan positivistik dan non-positivistik. Fokus utama kosntruktivisme adalah hubungan agen-struktur, yang mana keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Konstruktivisme mengajak untuk berpikir bagaimana dunia material-subjektif berinteraksi dengan dunia intersubjektif dalam proses konstruksi realitas soial (Hobson, 2013:147).

  Terdapat berbagai varian dalam konstruktivisme, diantaranya adalah varian konvensional dan linguistik. Konstruktivisme aliran konvensional menitiberaktkan pada konsep agen-struktur dengan fokus pada struktur ide (ideas) sedangkan aliran linguistik menitikberatkan pada deliberasi wacana, misalnya dalam speech act (Abubakar, 2011:123). Dalam tulisan ini, penulis menggunakan aliran konvensional karena ingin melihat bagaimana perilaku Australia dalam hal peningkatan bantuan luar negeri ke Otoritas Palestina tidak lepas dari pengaruh struktur ide, yakni norma internasional dan identitas.

Norma dalam masyarakat internasional mempengaruhi identitas dan kepentingan nasional. Norma ‘mengajari’ negara tentang apa yang seharusnya

  menjadi kepentingan nasionalnya yang kemudian diimplementasikan dalam kebijakan nasional (Abubakar, 2011:123-137). Finnemore menyatakan bahwa norma sebagai bentukan negara-negara besar sehingga bisa menekan negara- negara lain untuk mematuhinya. Di sisi lain, Wendt mengemukakan asumsinya tentang identitas, bahwa aktor mendapatkan atau menciptakan identitas yang kemudian memberikan dasar bagi kepentingan yang didefinisikan dalam proses konseptualisasi sebuah situasi (Maja, 2002:14).

  Identitas adalah hubungan antara apa yang dilakukan aktor dan bagaimana aktor memberikan label pada diri aktor tersebut (Maja, 2002:14). Identintas tidak hanya membangun dan mengatur interaksi dengan aktor lainnya, melainkan juga menentukan bentuk anarki dan strategi untuk keamanan lingkungan (Maja, 2002:14).Sehingga muncul identitas kolektif yang tergantung pada bagaimana menciptakan kepentingan bersama.Aktor dengan identitas kolektif mendefinisikan mereka berdasar pada perasaan solidaritas komunitas dan loyalitas (Maja, 2002:15). Ditambah dengan pernyataan Finnemore tentang norma bahwa norma yang dianggap sebagai bentukan negara-negara besar atas interaksi- interaksi kemudian norma tersebut ‘mengajari’ negara tentang apa yang seharusnya menjadi kepentingan nasionalnya yang kemudian diimplementasikan dalam kebijakan nasional (Maja, 2002:14).

  Konstruktivisme konvensional yang digunakan dalam analisis ini menekankan pada tiga hal, yakni norma, identitas, dan kepentingan. Penjelasan norma dan identitas sebagai struktur ideasional yang mempengaruhi Australia dalam pembentukan kepentingan serta perilakunya. Norma internasional yang dirujuk adalah norma kemanusiaan internasional atau international humanitarian norm. Kondisi kemanusiaan di Palestina merupakan masalah bersama dalam dunia internasional. Bagaimana negara-negara banyak yang memberikan bantuan kemanusiaan ke Palestina dalam rangka membantu para pengungsi serta menciptakan kerangka peace building untuk mengurangi penderitaan masyarakat di Palestina. Konflik Israel Palestina yang belum memiliki ujung serta menyebabkan banyak korban jiwa, traumatik, serta rusaknya insfrastruktur merupakan tantangan kemanusiaan. Di sisi lain, Australia memberikan bantuan luar negeri ke Palestina juga tidak lepas dari program kemanusiaan.

  Poin yang kedua adalah identitas nasional. Wendt mendefinisikan identitas sebagai seperangkat pemahaman yang relatif stabil tentang diri dan perannya dalam hubungan sosial (Wendt dalam Eiki dan Piret, 2009:8). Klaim utama paradigma konstruktivis adalah secara intersubjektifitas ide, norma, dan nilai merupakan suatu kekuatan kausal independen yang saling mempengaruhi (Wendt dalam Eiki dan Piret, 2009:8). Konseptualisasi identitias memaikan peran terhadap ekspektiasi aktor terhadap dirinya sendiri (Wendt dalam Eiki dan Piret, 2009:9). Lebih spesifik lagi, identitas dapat dipahami melalui tiga premis, yang pertama adalah identitas bukan esesnial dan secara sosial terbentuk dalam proses pendeskripsian dan konseptualisasinya (Eiki dan Piret, 2009:9). Kedua identitas adalah relational, akibat dari hubung an dengan berbagai “significant others” (Neumann dalam Eiki dan Piret, 2009:9). Dan yang terakhir adalah identitas memiliki narasi dan diskursi struktur terhadap kondisi historis yang dapat mempengaruhi aktor dalam menentukan aktor memahami siapa dirinya (Ricoeur; A.D. Smith;Wertsch dalam Eiki dan Piret, 2009:9)

  Bagi kosntruktivisme, struktur ideasional dan normatif adalah sama pentingnya dengan struktur material. Menurut Copeland, struktur ideasional dan pembentukan identitas berlaku hubungan saling mempengaruhi atau mutually

  

constituted (Guzzini dan Leander, 2006:26). Adanya hubungan yang saling

membentuk itu kemudian juga mempengaruhi perilaku yang diambil oleh aktor.

  Berdasarkan latar belakang fenomena serta penjelasan teoritis di atas, maka konstruktivisme membantu penulis untuk menunjukkan bahwa norma dan identitas secara konstitutive membentuk perilaku aktor. Dalam hal ini, international humanitarian norms yang memegang prinsip-prinsip kemanusiaan telah terinternalisasi dalam aktivitas politik global. Berbagai organisasi internasional telah mengamini adanya prinsip kemanusiaan yang harus ditaati oleh negara. Termasuk pada aktivitas pemberian bantuan asing yang juga harus menekankan aspek kemanusiaan di dalamnya. Australia, dalam hal ini, bertindak sebagai negara donor. Tergabungnya Australia kedalam negara OECD maupun DAC (Development Assitance Committee)

  ‘menuntut’ –nya untuk merasa perlu berkontribusi dalam bantuan kemanusiaan sebagai bentuk aktualisasi diri dalam dunia internasional dengan cara mematuhi norma.

  Di sisi lain, perilaku peningkatan bantuan luar negeri ke Otoritas Palestina tersebut juga dapat digunakan untuk penguatan kembali identitasnya. Berangkat dari pemahaman mengenai konsep identitas yang telah dijelaskan sebelumnya, maka identitas merupakan kondisi yang terkonstruksi secara sosial. Seperti halnya dengan Australia yang melabeli dirinya sebagai negara donor. Australia termasuk dalam 10 besar negara donor (OECD, 2011). Pemahaman dirinya sebagai negara donor telah terinternalisasi sebagai sebuah identitas bagi Australia. Maka, dalam kerangka bantuan luar negeri, Australia berupaya menunjukkan bahwa dirinya merupakan negara donor yang menjalankan prinsip kemanusiaan dengan langkah meningkatkan bantuan kemanusiaan ke Palestina.

  Palestina menjadi salah satu arena bagi Australia untuk mengeksistensikan diri dalam percaturan politik global. Ditambah dengan konflik di Palestina melawan Israel yang menyebabkan banyak korban jiwa serta kerusakan insfrastruktur. Langkah peningkatan bantuan luar negeri ke Otoritas Palestina menjadi sebuah pengukuhan identitasnya bahwa pemerintah Australia sebagai negara donor yang peduli terhadap kemanusiaan. Dalam pembahasannya, operasionalisasi perspektif konstruktivisme dalam tulisan ini menekankan aspek struktur ide, yakni norma dan identitas dalam mengkonstruksi kepentingan dan perilaku aktor. Internalisasi norma secara ilmiah dapat menjelaskan struktur ide sehingga dapat mempengaruhi aktor secara konstitutif melalui penguatan identitas (Finnemore dan Kathry, 1998:891-893). Eksplanasi konstitutif dalam makalah ini dibagi menjadi dua bagian, yang pertama membahas tentang norma kemanusiaan (international humanitarian norms) dalam mengkonstruksi perilaku Australia terkait dengan peningkatan bantuan luar negerinya ke Otoritas Palestina. Yang kedua, pengaruh struktur ide terhadap penguatan kembali identitas dan argumentasi kepentingan nasional.

Bantuan Luar Negeri Australia ke Otoritas Palestina

  Bantuan luar negeri merupakan salah satu inovasi politik di abad 20 (Jean-Philippe Therien, 2002:449). Konsep bantuan luar negeri tidak memiliki definisi pasti. Secara umum bantuan luar negeri merupakan aliran dana dari negara donor ke negara penerima. Bantuan luar negeri pada praktinya memiliki berbagai sudut pandang. Carol Lancaster mendefinisikan bantuan luar seperti berikut ini:

  Foreign aid is defined here as a voluntary transfer of public resources, from a government to another independent government, to an NGO, or to an international organization such (such as the World Bank or the UN Development Program) with at least a 25% percent grant elemen, one goal of which is to better the human condition in teh country receiving the aid (Carol, n.d:9).

  Sedangkan OECD mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai Official

  Development Assistance (ODA), yakni:

  Provided by officil agencies, including state and local government, or by their executive agencies and each transaction of which is administered with the promotion of the economic development and walfare of developing countries as its main objective and concessional in character and convers a grant elemen of at least 25 per cent (calculated at a rate of discount of 10 per cent).

  Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bantuan luar negeri merupakan aliran dana maupun bantuan teknis dari pemerintah negara donor ke recipient, baik itu secara langsung atau yang bersifat bilateral aid maupun multilateral aid. Bantuan luar negeri juga merupakan salah satu konsep baru dan menjadi alat untuk mencapai kepentingan nasional. Lancaster menyebutnya sebagai konsep yang tricky (OECD, n.d:). Maka, tidak heran jika negara-negara donor menggunakan bantuan luar negeri sebagai alat politiknya. Australia sebagai salah satu negara donor terbesar di dunia secara kontinyu memberikan bantuan luar negeri ke berbagai negara di dunia, termasuk Otoritas Palestina.

  Dalam perkembangannya, bantuan luar negeri Australia mengalami beberapa perubahan, baik perubahan dari segi lembaga, maupun dari segi substansi bantuan dan motif yang mempengaruhinya. Berawal dari Australian Development Assistance Agency (ADAA) di tahun 1976, yang mana saat ini menjadi Australian Agency for International Development (AusAID) sejak tahun 1995 (AusAID). Program bantuan yang diberikan juga beragama, misalnya tahun

  2001 disebut dengan Ausralia’s Overseas Aid Program, dan International Development Assistance Program sejak tahun 2008 dan seterusnya. Pemberian bantuan luar negeri Australia ke Palestina sudah berlangsung sejak dua dekade yang lalu. Dalam perjalanannya, bantuan yang diberikan

  Australia ke Palestina termasuk konstan sebelum akhirnya mengalami kenaikan drastis di tahun 2007. Terlihat hampir tiga kali lipat jumlah dana yang digelontorkan Australia ke Otoritas Palestina. Di bawah ini merupakan tabel bantuan luar negeri Australia ke Palestina dari tahun ke tahun:

  Gambar 1. Bantuan Luar Negeri Australia ke Otoritas Palestina : 1995-96

ke 2012-13

  Sumber : Marty Harris, Foreign Affairs, Defence and Security Section, 2012

  Terlihat jelas kenaikan drastis bantuan yang diberikan oleh Australia ke Otoritas Palestina di tahun 2007. Dari tabel di atas mengindikasikan bahwa bantuan yang diberkan oleh Australia cenderung konstan dengan kenaikan yang tidak terlalu siginifikan. Selama 10 tahun, dari tahun 1995 hingga 2005 bantuan yang diberikan tidak pernah lebih dari $20 juta. Namun pada tahun 2007-2008 menjadi $42 juta.

  Secara umum, Australia juga memberikan perhatian terhadap kondisi kemanusiaan negara-negara di dunia melalui humanitarian aid yang dialokasikan ke berbagai negara. Middle East, yang didalamnya termasuk Palestina, menduduki termasuk kawasan yang mendapatkan alokasi bantuan kemanusiaan cukup besar dari Australia. Berikut ini merupakan grafik penerima bantuan kemanusiaan Australia sejak tahun 2003.

  Gambar 2. Penerima Bantuan Kemanusiaan Australia Tahun 2003-2012

Sumber :

  West Bank dan Jalur Gaza termasuk urutan sepuluh besar negara yang

  mendapatkan bantuan kemanusiaan dari Australia terhitung sejak tahun 2003. Di tahun 2003, bantuan kemanusiaan yang dialokasikan ke West Bank dan Jalur Gaza sebanyak $9,5 juta, dan meningkat cukup banyak di tahun 2007 mencapai angka $14,2 juta. Seperti yang tergambar pada gambar di bawah ini:

  Gambar 3. Sepuluh Besar Negara Penerima Bantuan Kemanusiaan

Australia

  

Sumber : Trend asistensi Australia cenderung meningkat sejak tahun 2004. Tahun 2007, aliran bantuan luar negeri Australia juga mengalami peningkatan namun tidak lebih dari 10%. Tidak terlihat signifikansi peningkatan bantuan luar negeri Australia di tahun 2007. Namun pada tahun tersebut, peningkatan bantuan luar negeri Australia ke Otoritas Palestina hampir 3 kali lipat.

  Gambar 4. Perbandingan Bantuan kemanusian dari Seluruh Total

Bantuan Australia dari tahun 2004-2013

  

Sumber :

  Secara spesifik, alokasi dana bantuan luar negeri dari Australia ke Otoritas Palestina terbagi atas berbagai program, diantaranya program regional negara, bantuan kemanusiaan, serta bantuan untuk NGO. Alokasinya tergambar dalam tabel di bawah ini: Tabel 1.

Australia’s Development Cooperation By Program (dalam $ juta)

  

Program Tahun 2005-2006 2006-2007 2007-2008

Country regional 156 3,105 22,883 program Humanitarain, 10,940 12,200 17,700 emergency and Refugees Program NGO and Volunteer 738 162 243 Programs

  • Development Bank
Program

  • UN and Commonwealth
  • Pro
  • - - Health, Population and -

    Gender Programs
  • Environment and Climate Change Program Other Programs
  • 115 - Other Ausralian
  • Government Agencies

    Total 11,834 15,468 40,942

  Sumber : sebagai Instrumen Struktur Ide

  International Humanitarian Norms dalam Bantuan Luar Negeri Australia

  Dalam skema bantan luar negeri yang diberikan oleh Austrlia juga memuat bantuan kemanusiaan. Jika dilihat lebih lanjut lagi, perilaku Australia ke Palestina dalam kerangka peningkatan aliran bantuan luar negeri di tahun 2007 tidak lepas dari kondisi konstelasi konflik yang berkepanjangan di wilayah tersebut. Konflik antara Israel dan Palestina yang berkepanjangan membuat Australia turut serta mengambil posisi. Australia, sebagai negara donor, merasa memiliki dorongan untuk melakukan tindakan lebih terkait dengan kasus kemanusiaan yang terjadi. Bermainnya Australia di dalam pemberian bantuan luar negeri, menunjukkan dirinya mengambil posisi low politic level dalam konstelasi konflik tersebut.

  Kondisi kemanusiaan yang terjadi di Palestina menjadi sorotan bagi dunia internasional. Ide tentang kemanusiaan muncul untuk menangani korban dalam konflik tersebut. Di tahun 2006 korban jiwa Palestina mengalami peningkatan yang cukup drastis. Dari data yang dikumpulkan oleh UN, setiap satu orang korban jiwa, sekitar tujuh orang luka-luka (UNOCHA, 2007).

  

Gambar 5. Jumlah Korban Jiwa Kubu Israel dan Palestina Sejak Tahun 2000

Sumber :

http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA4579468525734800500272

  Dari bagan diatas, terlihat bahwa terdapat kenaikan korban jiwa dari pihak Palestina. Sedangkan sebaliknya, korban jiwa dari sisi Israel mengalami penurunan. Dari jumlah korban yang terbunuh, justru lebih banyak adalah masyarakat sipil. Di Israel, 69% dari korban jiwa yang terbunuh adalah masyarakat sipil dan 31% adalah kombatan. Korban jiwa di Palestina jauh lebih tinggi, dengan perkiraan 35 orang meninggal setiap bulannya di tahun 2002, dan terhitung sejak tahun 2000 belum diketahui secara tepat angka masyarakat sipil yang menjadi korban jiwa. Namun, ditengarai sekitar 59% korban jiwa Palestina adalah masyarakat sipil, dan selebihnya adalah kombatan yang tergabung dengan tentara Palestina (UNOCHA, 2007).

  Korban jiwa yang berjatuhan, baik di pihak Palestina maupun Israel, karena berbagai serangan. Korban jiwa dari pihak Palestina terbunuh melalui berbagai serangan yang dilancarkan oleh Israel. Serangan yang paling menyebabkan banyaknya korban adalah operasi militer dan perburuan (UNOCHA, 2007). Tidak hanya itu, serangan operasi penyamaran, demonstrasi, serta aspek lainnya seperti target pembunuhan. Di bawah ini merupakan bagan yang menggambarkan jenis serangan dan korban terbunuh melalui kontak senjata dengan pihak lawan.

  Gambar 6. Korban Jiwa Palestina di West Bank selama konflik Israel-

Palestina

  

Sumber :

  Bagan diatas menggambarkan jenis serangan dan korban terbunuh melalui serangan yang dilakukan oleh Israel. Terlihat bahwa pada tahun 2006, korban dari Palestina yang tewas akibat operasi miiter menaik drastis dari tahun 2005. Di West Bank, sebagian besar warga palestina terbunuh akibat serangan dari IDF (Israeli Defence Force). Dari tabel tersebut, didapatkan sekitar 60% warga negara Palestina terbunuh di West bank sejak Januari 2005 yang terkonsentrasi di dua area gubernuran, yakni Nablus dan Jenin.

  Kondisi kemanusiaan di Palestina seperti yang dipaparkan di atas, mendorong negara-negara di dunia untuk memberikan bantuan, tidak terkecuali Australia. Australia mengambil tindakan untuk ikut terlibat dalam kerangka pemberian bantuan luar negeri. Dorongan kemanusiaan menjadi salah satu faktor penting meningkatkanya bantuan Australia ke Palestina. Prinsip kemanusiaan bukan hal baru dalam pemberian bantuan luar negeri. Adanya prinsip kemanusiaan dalam bantuan luar negeri menjadi salah satu instrumen bahwa nilai-nilai kemanusian telah terinternalisasi ke dalam perilaku negara-negara di dunia. Konsepsi humanitarian berawal dari istilah humanity yang muncul di awal abad 20 ketika moral maupun etika menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan negara (Glover, n.d:1).Dalam kaca mata humanisme, ada esensi universal manusia yang mana merupakan atribut dari setiap individu sebagai subyek nyata (Douzinas, 2007).

  Dalam perkembangannya, prinsip kemanusiaan diyakini sebagai sebuah esensi dari manusian itu sendiri. Bagaimana upaya manusia dalam bertindak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sifat kemanusiaan menjadi esensi dasar manusia sebagai manusia itu sendiri. Prinsip kemanusiaan terinternalisasi dalam diri negara- negara dalam kerangka ‘aksi kemanusiaan’ atau humanitarian action. Pada praktiknya, prinsip-prinsip yang diyakini secara universal dalam humanitarianisme adalah humanity, impartiality, neutrality, dan independence (Feris, 2011:11).

  Prinsip humanity bertujuan untuk mencegah dan meringankan penderitaan manusia, tanpa motif yang tersembunyi. Prinsip yang pertama ini menekankan bahwa tujuan dari kemanusia an adalah ‘kewajiban untuk membantu’ dengan meletakkan manusia sebagai subjek bukan sebuah objek, dan menjadikan bantuan kemanusiaan tersebut adalah untuk tujuan kemanusiaan.

  Sedangkan prinsip impartiality memiliki tujuan untuk meringankan penderitaan individu semata-mata atas dasar kebutuhan mereka, tanpa diskriminasi yang berkaitan dengan kebangsaan, ras, agama, atau opini publik. Prinsip Impartiality menegaskan kembali bahwa semua manusia adalah sama dan bahwa semua warga sipil tidak bersalah dalam perang dan semua memiliki hak sama untuk kesetaraan perlakuan. Prinsip neutrality untuk tetap bertindak netral tidak berada di satu sisi dalam permusuhan, serta bertujuan untuk menjamin penghormatan dan kekebalan terhadap pihak yang sedang berkonflik. Yang terakhir adalah prinsip independence untuk mempertahankan otonomi pemerintah (Feris, 2011:11).

  Prinsip-prinsip humanitarianism itu sendiri berada dalam perdebatan. Kemungkinan adanya keberpihakan sangat besar dalam sebuah aksi kemanusiaan. Terlebih lagi, Forsythe (2005) mengatakan bahwa neutral humanism bukanlah hal yang ada dengan sendirinya melainkan atas dasar konstruksi (Forsythe, 2005:181). Negara, sebagai aktor dalam aksi kemanusiaan, selalu memiliki kepentingan politis dalam berbagai kebijakannya. Namun, terlepas dari perdebatan dalam aksi kemanusiaan, prinsip-prinsip kemanusiaan telah diyakini sebagai norma kemanusiaan internasional (international humanitarian norms).

  Dari penjelasan di atas, international humanitarian norms dapat dimaknai sebagai norma tentang kemanusiaan yang memuat prinsip-prinsip

  

humanity, impartiality, neutrality, dan independence. Terlepas dari adanya unsur

  politis dalam kegiatan yang dilakukan, aksi kemanusiaan tetap bertujuan untuk membantu manusia itu sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Australia terkait dengan kebijakan penigakatan bantuan luar negerinya ke Otoritas Palestina, terlepas dari dorongan politis yang ada, dorongan kemanusiaan juga menjadi faktor penting dalam pertimbangannya.

  Dalam perspektif konstruktivisme, international humanitarian norms muncul sebagai struktur ide yang telah terinternalisasi dalam diri Australia. Australia menganggap, untuk berpartisipasi dalam politik global, harus melaksanakan nilai-nilai yang telah diakui secara global, salah satunya adalah nilai kemanusiaan.

  Nilai kemanusiaan, sebagai sebuah norma internasional juga terinternalisasi dalam sebuah lembaga internasional. UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) misalnya, yang secara konsisten mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan. UNHCR merupakan salah satu organisasi yang secara terus menerus menyuarakan prinsip kemanusiaan. UNHCR sebagai salah satu agen internasional yang mempromosikan international humanitarian norms, dan concernmemuat tentang isu perlindungan terhadap pengungsi (Hartigan, 1992:710). Norma proteksi ini melekat pada UN Convention on Refugees tahun 1951 dan UN Protocol on Refugees tahun 1967. Selain UNHCR, OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) juga memiliki perhatian terhadap isu kemanusiaan. OECD merupakan sebuah organisasi yang dirancang untuk mengakomodasi negara- negara untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi, prosperitiy, dan pembangunan berkelanjutan. Misi OECD adalah untuk mempromosikan kebijakan terkait dengan kesejahteraan ekonomi dan sosial dari masyarakat dunia. Organisasi yang berdiri di tahun 1961 itu kini memiliki anggota berjumlah 34 negara dengan anggaran sebanyak EUR 363 juta. OECD secara aktif menjadi organisasi internasional yang mengatur mengenai program bantuan luar negeri.

  OECD, sebagai organisasi yang bergerak di bidang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, termasuk concern di bidang bantuan luar negeri, dalam praktiknya tidak lepas dari isu kemanusiaan. Penetapan program-program bantuan kemanusiaan menjadi salah satu fokus kegiatan dalam OECD. Organisasi internasional tersebut menetapkan bahwa dalam bantuan luar negeri setidaknya memuat aspek-aspek pendidikan, kesehatan, dan populasi; pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi, produksi, multisektor, asistensi program, bantuan hutang, dan bantuan kemanusiaan, serta bantuan lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial.

  Konsep bantuan kemanusiaan bertujuan untuk membantu manusia ketika mendapatkan ancaman. Perasaan ingin membantu merupakan ekspresi naluriah ketika melihat sesama manusia mengalami penderitaan (Alpasha dan Gianni, 2005). Konsep tersebut telah terinternalisasi dalam hukum internasional melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) dan empat Konvensi Jenewa (1949). Proses internalisasi tersebut tidak hadir secara otomatis, namun melalui sejarah suram dalam kemanusiaan, sebuah praktik reflektif dan preseden hukum selama beberapa dekade memunculkan apa yang saat ini disebut sebagai ‘kemanusiaan’. Hal tersebut merupakansebuah perpaduan antara doktrin, solidaritas, aksi dan aspirasi terhadap keadilan yang lebih adil bagi manusia (Alphasa dan Gianni, 2005).

  Lagi-lagi, terlihat bahwa ide tentang kemanusiaan telah terinternalisasi dalam berbagai kegiatan internasional, termasuk dalam aktivitas bantuan luar negeri. Pendekatan yang digunakan dalam pemberian bantuan luar negeri dari negara donor ke negara penerima tidak hanya pendekatan pembangunan, namun juga pendekatan kemanusiaan. Gagasan bahwa negara sebagai kumpulan manusia-manusia seolah bertanggung jawab atas kekerasan kemanusiaan yang terjadi di belahan dunia lainnya.

  Ide tersebut ter-interrnalisasi pula dalam diri Australia. Gagasan tentang kemanusiaan menjadi struktur ide yang mempengaruhi Australia dalam bertindak. Meskipun demikian tidak ada hukum yang mengikat mengenai kewajiban negara-negara donor dalam pemberian bantuan dengan mengikutsertakan aspek kemanusiaan. Namun, Australia, yang menggap dirinya sebagai komunitas global, menggap ide tersebut adalah penting untuk dilakukan.

  Eksistensi sebuah negara dapat diperoleh melalui complying norms dan juga ikut sertanya dalam kondisi politik global. Hal itulah yang dilakukan oleh Australia melalui kebijakan kenaikan bantuan luar negeri. Konstelasi konflik di Timur Tengah, antara Isarel-Palestina, memberikan sudut pandang tersendiri bagi Australia. Langkah yang dilakukan adalah dengan memberikan bantuan uar berlipat ganda kepada pihak yang berkonflik atas nama kemanusiaan. Terlihat jelas bagaimana struktur ide mempengaruhi Australia dalam pengambilan kebijakan. Kondisi kemanusiaan di Palestina, banyaknya korban meninggal dunia, memunculkan rasa empati bagi Australia. Dinaikkannya bantuan luar negeri Australia ke Palestina sebagai salah satu bukti bahwa Australia telah comply dengan norma internasional yang berlaku.

  Banyaknya korban jiwa di Palestina, mendorong Australia untuk ikut berkecimpung dalam kerangka bantuan luar negeri, khususnya untuk mendorong proses rekonsiliasi serta memberikan asistensi kemanusiaan. Tujuan pemerintah Australia dalam program bantuan ke Otoritas Palestina adalah untuk mengurangi human suffering dan kemiskinan serta promosi perdamaian dan pembangunan (Australian Representative Office, n.d). Official statement pemerintah Australia bahwasanya kebijakan bantuan Australia di Otoritas Palestina dibentuk oleh humanitarian concerns of the Australian Community, komitmen Australia untuk mendukung proses perdamaian di kawasan Timur Tengah, dan kedekatan people-to-people dan link lain antara Australia dan kawasan lain (Australian

  

Representative Office, n.d). Australia memberi dukungan untuk proses negosiasi

  two-state solution dengan Israel dan Independent Palestinian State dengan hidup berdampingan dengan damai dan aman.

  Pengaruh Struktur Ide terhadap Penguatan Identitas dan Argumentasi Kepentingan Nasional Australia International humanitarian norms dapat mempengaruhi bagaimana

  negara bertindak. Negara mendapatkan sosialisasi untuk dapat menginternalisasikan norma baru, dan persepsi kepentingan oleh organsiasi internasional (Kurt, 2005:162). Dengan menghormati International humanitarian norms, kepentingan negarabukan suatu hal yang fixed, melainkan dapat terus berubah sesua dengan kondisi yang ada, sebagai hasil dari faktor internal. Kembali pada pendapat Finnemore yang menyatakan bahwa norma dapat membentuk kepentingan nasional dan perilaku. Dalam perilaku, negara bertindak seolah sebagai dari aktor internasional. Eksistensi norma ‘mengajak’ negara untuk menggunakan dan memanipulasinya untuk kepentingan akhir negara itu sendiri, terlepas dari kenyataan bahwa negara mampu menjadikan complying norms sebagai sebuah samara. Hal ini mengindikasikan bahwa norma itu ada dan memiliki efek terhadap skenario internasional (Kurt, 2005:163).

  Australia merupakan sepuluh besar negara donor di dunia. Bersama dengan Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman, Perancis, Jepang, Kanada, Belanda, Swedia, dan Norwegia, Australia masuk dalam kategori negara donor terbesar di dunia. Di bawah ini merupakan gambar sepuluh besar negara donor di dunia.

  

Gambar 7. 10 Besar Negara dengan Bantuan Luar Negeri Terbanyak

Sumber :

  Australia telah dikenal sebagai negara donor. Eksistensinya di dunia internasional terkait dengan pemberian bantuan luar negeri menjadi identitas bagi Australia. Di penjelasan sebelumnya telah disebutkan mengenai keikusertaan Australia dalam bantuan luar negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa Australia merupakan negara donor serta tergabung dalam anggota DAC (Development Assistance Committee) yang mana berarti telah secara konsisten memberikan bantuan-bantuan ke negara-negara di dunia.

  Pemberian bantuan luar negeri ke Palestina, dan juga ke negara-negara lain atas nama bantuan kemanusiaan telah di lakukan sejak lama oleh Australia. Namun, kebijakan yang sedikit kontroversial, dengan menaikkan hampir tiga kali lipat bantuan ke Palestina, menunjukkan bahwa Australia lebih ingin menekankan kembali eksistensinya sebagai negara yang peduli terhadap masalah kemanusiaan internasional. Lebih dari itu, Australia yang selama ini dianggap sebagai negara middle power, ingin menunjukkan bahwa dia mampu terlibat aktif dalam kondisi global. Khususnya kondisi di Timur Tengah yang pada saat itu memanas, mengikuti memanasnya hubungan Israel-Palestina.

  Norma internasional, dalam sudut pandang konstruktivisme, merupakan instrumen dalam struktur ide yang memunculkan sebuah intersubjektifitas. Dalam kasus ini, untuk mengurangi human suffering, negara-negara di dunia, khususnya negara anggota DAC (Development Assistance Committee) diminta untuk bersama-sama melakukan humanitarian action, melalui pemberian bantuan kemanusiaan ke negara-negara yang sedang mengalami konflik atau bencana alam yang berdampak pada kemanusiaan. Dalam merepon tantangan kemanusiaan, anggota DAC berkomitmen, yakni (Brian, 2012:7) : melakukan bantuan pembangunan, pencegahan krisis, atau setidaknya meminimalisir resiko terhadap masyarakat dan pembangunan, memberi bantuan kemanusiaan, merespon krisis, dan menggunakan perpaduan antara bantuan kemanusiaan dan pembangunan untuk mencapai transisi yang lebih daik dari situasi kemanusiaan ke pembangunan jangka yang lebih panjang.

  Humanitarian action merupakan tindakan untuk menyelematkan

  kehidupan, mengurangi penderitaan, dan menjaga martabat manusia selama dan setelah krisis- tetap menjadi prioritas yang jelas untuk negara donor (Brian, 2012:7). Komitmen DAC menegaskan bahwa humanitarian donors atau negara yang memberi bantuan kemanusiaan harus merepon secara luas terhadap tantangan kemanusiaan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan pihak yang menderita krisis dan paska krisis. Oleh karenanya, global humanitarain action menjadi sangat memungkinkan dalam hubungan internasional yang mana telah menyindir kedalam siatuasi politik dan operasional. Faktanya, humanitarian norms telah menjadi sangat penting sebagai diskursus dalam perang dan damai (Kurt, 2005:161). Lebih dari itu, humanitarianism telah menjadi begitu ektrim sebagai alat public relationns.

  Kondisi ini menjadi sebuah panggung arena bagi Australia untuk lebih mengeksistensikan diri dalam politik global. Pengambilan posisi low politic level oleh Australia tercermin dalam konstitusi dan platform Partai Buruh, yang pada saat itu (tahun 2007) menjadi partai yang berkuasa di Australia di bawah pemerintahan PM Kevin Rudd. Platform tersebut berbunyi:

  Labor is convinced that all Australians seek a lasting and equitable solution to the problems that have worked against stability and development in the Middle East. Labor will pursue a sustained Australian engagement in the Arab/Israeli conflict based on the rights of all people in the Middle East to peace and security and livelihood .... Labor believes that urgent attainment of a two-state solution to the Israeli-Palestinian conflict is the best way to reduce violence and conflict across the Middle East (Australian Labor Party, 2007). Dari statemen di atas menunjukkan mengenai bagaimana Australia memaknai Palestina, terkait konflik yang berkepanjangan dengan Israel. Sekalipun dalam United Nation General Assembly, Australia tidak memberikan vote untuk untuk resolusi ‘Penentuan Nasib Sendiri oleh Masyarakat Palestina’, serta menolak te rhadap resolusi ‘Kedaulatan Permanen dari Masyarakat palestina di wilayah okupasi Palestina’. Dari tindakan tersebut jelas mengindikasikan bahwa Australia berada di pihak Israel. Dari segi historis pun, perjalanan panjang hubungan keterlibatan antara Australia dengan Israel dan Palestina lebih condong untuk membela kubu Israel (Marty, n.d).

  Namun, terlepas dari keberpihakannya terhadap Israel, Australia berupaya untuk tetap menjalankan norma kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip humanity, impartiality, neutrality, dan independence. Sekalipun hal tersebut tidak sepenuhnya dapat diamini dalam perilaku Australia. Meskipun demikian, setidaknya norma internasional tentang kemanusiaan telah terinternalisasi dalam diri Australia serta merubah arah kepentingan Australia.

  Di awal, terlihat bahwa Australia cenderung memberikan dukungan kepada Israel, khususnya dalam pengakuan kedaulatan. Namun, setelah norma kemanusiaan terinternalisasi dalam Australia, ditambah dengan idenittias yang dimilikinya sebagai negara donor, maka Australia menggeser arah kepentingan nasionalnya. Kepentingannya menjadi mengarah pada upaya dalam memberikan bantuan kemanusiaan di Otoritas Palestina.

  Dalam penjelasan di atas, tampaknya internalisasi identitas dalam masyarakat telah dilakukan jauh sebelum adanya kebijakan ini. Namun, dalam perkembngannya, terdapat penegasan identitas kembali pada masyarakat dalam negeri ketika dunia internasional dihadapkan dengan tantangan kemanusiaan dan membutuhkan peranan Australia sebagai negara donor untuk terus aktif bergerak dalam humanitarian action. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Australia mengarah pada nilai-nilai struktur ide international humanitarian norms.

  Dalam kenyatannya, Australia telah menunjukkan upaya untuk mematuhi norma kemanusiaan dengan menerapkan berbagai program bantuan kemanusiaan. Salah satu poin penting yang menjadi keunikan dari bantuan kemanusiaan Australia adalah peningkatan bantuan ke Otoritas Palestina. Langkah tersebut diambil karena norma tentang kemanusiaan (international

  

humanitarian norms) telah terinternalisasi ke dalam identitas Australia. Langkah

  tersebut bermanfaat bagi Australia untuk melakukan penegasan kembali akan jati dirinya sebagai sepuluh negara donor terbesar di dunia.

  Di sisi lain, penerapan tersebut secara logis tidak memberikan keuntungan secara materiil. Namun, konstruktivis meyakini bahwa struktur non- materiil memiliki peranan yang sama penting dengan struktur materill terhadap mempengaruhi perilaku aktor. Australia patuh kepada norma internasional karena ingin menunjukkan bahwa negaranya merupakan negara donor, yang mana di dalam negara donor terdapat aturan harus memiliki kepedulian terhadap kemanusiaan.

  Kesimpulan

  Analisis konstruktivisme terhadap kebijakan Australia terkait peningkatan bantuan luar negeri ke Otoritas Palestina dapat disimpulkan menjadi dua hal. Yang pertama, penyebaran nilai serta ide kemanusiaan yang terangkum dalam norma kemanusiaan internasional. Organisasi Internasional seperti

UNHCR dan OECD sebagai agen internasional menyebarkan ide dan nilai tersebut. Kemudian Australia memahaminya sebagai sebuah ‘ajaran’ untuk

  berperilaku. Kepentingan Australia dalam konstelasi konflik Israel-Palestina memeberikan pemahaman baru, bahwasanya ide kemanusiaan tetap harus dijalankan terlepas dari kepentingan politisnya di kawasan tersebut. Konstruksi struktur ide terhadap perilaku aktor terlihat dalam kontroversi kebijakan peningkatan bantuan luar negeri Australia ke Otoritas Palestina.

  Sebagai akibat mutuallu constituted antara norma dan identitas, Australia, sebagai aktor berupaya untuk menegaskan kembali identitas nasionalnya. Pemerintah Australia, yang dikenal sebagai negara donor terbesar, berupaya menegaskan kembali identitasnya tersebut melalui pengambilan peran dalam kondisi kemanusiaan yang sedang terjadi di Palestina. Hal ini menunjukkan bahwa nilai dan norma internasional mengenai kemanusiaan dapat mengubah arah kebijakan Australia serta mempengaruhi perilakunya.

  REFERENSI Buku

Berg, Eiki dan Piret Ehin, Identity and Foreign Policy, MPG Books Ltd, Cornwall,

2009.

Douzinas, C., Human Rights and Empire: The Political Philosophy of

Cosmopolitanism, Routledge, Abingdon, 2007.

Feris, E.G., The Politics of Protection: The Limits of Humanitarian Action. Brookings

Institution Press, Washington D.C., 2011.

Forsythe, D., The Politics of Protection: The Limits of Humanitarian Action. Cambridge

University Press, Cambridge, 2005.

Guzzini dan Leander, et al., Constructivism and International Relations: Alexnader

Wendt and his Critics, Routledge, London, 2006.

Hara, Abubakar Eby, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme sampai