Uji Performansi dan Keseimbangan Massa Evaporator Vakum Double Jacket Tipe Water Jet dalam Proses Pengolahan Gula Merah Tebu (Saccharum officinarum L.)

  

Uji Performansi dan Keseimbangan Massa Evaporator

Vakum Double Jacket Tipe Water Jet dalam Proses

  • *

    Pengolahan Gula Merah Tebu (Saccharum officinarum L.)

  Ahmad Muhlisin , Yusuf Hendrawan dan Rini Yulianingsih Jurusan Keteknikan Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Brawijaya

  Jl. Veteran, Malang 65145

  • Penulis Korespondensi, Email: ahmadmuhlisin@gmail.com

  ABSTRAK Gula merah tebu dihasilkan dari proses pengentalan nira tebu dengan cara pemanasan. Pemanasan ini penting karena dapat menentukan kualitas dari gula merah. Pembuatan gula merah secara tradisional memiliki kelemahan dalam proses pemanasan, sehingga menghasilkan kualitas gula merah yang tidak baik. Evaporator vakum double jacket tipe water jet adalah mesin yang mampu membuat gula merah yang lebih baik di banding pengolahan secara tradisional. Pengoperasinya evaporator vakum membutuhkan energi untuk menghasikan panas. Sehingga diperlukan evaluasi terhadap performansi atau kinerja mesin evaporator vakum double jacket tipe water jet. Hasil penelitian menunjukan antara lain nilai kebutuhan energi panas terbesar evaporator didapatkan pada suhu 600C yaitu sebesar 11.597,04 kJ dan yang terendah pada suhu 700C sebesar 7.190,82 kJ. Rerata Kebutuhan energi listrik terbesar di dapatkan pada suhu 600 C sebesar 11.140,00 kJ dan terendah di dapatkan pada suhu 700C sebesar 9.065,33 kJ . Rerata kadar air tertinggi dicapai pada perlakuan dengan suhu 600 C sebesar 10,60 % dan rerata kadar air terendah dicapai pada suhu 800 C sebesar 9,38 %. Kehilangan massa terbesar pada proses penguapan di dapatkan pada suhu 800C sebesar 84,34 % dan kehilangan massa terendah pada suhu 600C sebesar 80,81 %. Nilai rerata rendemen terbesar di dapatkan pada suhu 600C sebesar 18,84 % dan rendemen terendah di dapatkan pada suhu 800C sebesar 11,46. Nilai rerata massa gula merah terbesar di dapatkan pada suhu 600C sebesar 526 gram rerata massa gula merah terendah didapatkan pada suhu 800C sebesar 448,3. Efesiensi energi terbesar di dapatkan pada suhu 700C sebesar 74,94 % dan terendah di dapatkan pada suhu 800C sebesar 54,62%. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuaan perbedaan suhu pada proses pengupan nira tebu hingga menjadi gula merah berpengaruh pada sifat fisik dan lama waktu pemasakan serta massa gula merah yang dihasilkan. Sedangkan berdasarkan nilai efesiensi yang diperoleh, mesin Evaporator double jacket tipe water jet ini sudah cukup layak untuk proses pengentalan nira tebu. Kata kunci : Kebutuhan Energi, keseimbangan massa, efesiensi evaporator

  

Performance Analysis and Mass Balance of Water Jet Vacuum

Evaporator With Double Jacket System in Brown Sugar Cane

Process Production (Saccharum officinarum L.).

  

ABSTRACT

Cane brown sugar was produced by thickening thewater of sugarcane by way of warming up so

that the moisture content in the molasses can be evaporated. This warming is important because

it determines the quality of the brown sugar. Making brown sugar traditionally has its

disadvantages in the process of heating, resulting in quality of brown sugar which is not good.

Water jet vacuum evaporator with double jacket system is a machine capable of making brown

sugar which is better in processing appeals traditionally. The processing water jet vacuum

evaporator with double jacket system requires energy to produce heat. So the necessary

evaluation of performance or engine performance evaporator vacuum double jacket type water

  

jet. The results of research shows among others, the value of energy needs heat largest

evaporator obtained at a temperature of 600C that is equal11.597,04 kJ andthe lowest at the

temperature 700C that is equal 7.190,82 kJ. AverageLargest electrical energy needs in get at

the temperature of 600C that is equal 11.140,00 kJ and the lowest temperature at the 700C that

is equal 9.065,33 kJ. Avarage the moisture content of the highest attainable on treatment with

the temperature 600C that is equal 10,60 % and the lowest the lowest at the temperature 800 C

that is equal 9,38 %. Losing mass largest in the process of evaporation in get at the temperature

of 600C that is equal 84,34 % dan the lowest at the temperature 800C that is equal 80,81 %.

Average value of rendemen largest in get at the temperature of 800C that is equal 18,84 % dan

the lowest at the temperature 600C that is equal 11,46 %. The value of rerata mass brown sugar

largest in get at the temperature of 800C that is equal 526 grams dan the lowest temperature of

600C that is equal 448,3 grams. A long time cooking the highest obtained at a temperature of

600C that is equal 135,67 minute and the lowest at the temperature 700C sebesar 85,33 minute.

For energy biggest in get at the temperature of 700C that is equal 74,94 % and the lowest at

the temperature 800C that equal 54,62%. Based on this research can be concluded that

treatment differences of temperature to the process evaporation water of sugar cane up to be

brown sugar matter to the physical properties and old time cooking and heavy mass brown

sugar produced. While based on value efesiensi obtained, machine evaporator double jacket

type water jet this is quite feasible to the process of thickening thewater of sugar cane .

  Keyword(s) : Energy needs, balance mass, the efficient use of evaporator

PENDAHULUAN

  Produk pangan yang cukup potensial untuk dipasarkan di dalam negeri maupun di ekspor, salah satunya yaitu gula merah. Keberadaan komoditas gula merah sebagai kebutuhan pokok di kalangan masyarakat setiap tahun mengalami peningkatan sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan penganekaragaman industri pangan. Bahan baku gula merah dapat menggunakan nira aren, nira kelapa, nira siwalan dan nira tebu. Gula merah tebu adalah gula asli yang masih mengandung bahan alami tebu yang membuatnya tetap bergizi dan memiliki nutrisi yang lebih baik dari pada gula merah yang lain jika ditinjau dari segi kesehatan.

  Proses pengolahan nira tebu untuk menjadi gula merah tebu umumnya membutuhkan proses pemanasan untuk mengurangi kadar air agar mencapai kekentalan tertentu, sehingga siap untuk dicetak menjadi gula merah. Proses pemanasan ini sangat penting karena proses pemanasan memengaruhi sifat fisik maupun sifat kimia gula merah yang dihasilkan sehingga memengaruhi kualitas dari gula merah.

  Pengolahan nira tebu menjadi gula merah secara tradisional memiliki kelemahan dalam proses pemanasan, sehingga menghasilkan kulaitas gula merah yang tidak baik. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi dalam pemasakan nira tebu sehingga didapatkan kualitas gula merah yang lebih baik. Mesin evaporator double jacket tipe water jet adalah mesin yang mampu membuat gula merah yang lebih baik dibanding pengolahan secara tradisional. Prinsip kerja dari mesin ini pada kondisi vacum pada tekanan vakum yang digunakan yaitu dibawah 1 atm dalam harapannya adalah agar proses penguapan dapat berlangsung pada kondisi suhu rendah, sehingga kerusakan yang disebabkan oleh suhu dapat dikurangi. Keunggulan lain dari evaporator vakum double jacket tipe water jet yaitu dapat mepertahankan kualitas bahan pertanian yang sensitiv terhadap panas.

  Pengoperasinya evaporator vakum double jacket tipe water jet membutuhkan energi untuk menghasikan panas dalam memanaskan bahan. Sehingga diperlukan evaluasi terhadap performansi atau kinerja mesin evaporator vakum double jacket tipe water jet. Pengevaluasian mesin evaporator vakum double jacket tipe water jet meliputi input energi panas, input energi litrik, output energi dan kehilangan massa bahan baku selama proses pembuatan gula merah (keseimbangan massa).

METODE PENELITIAN

  Alat dan Bahan

  Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Mesin penguap vakum tipe water jet, kompor LPG, gelas ukur, termometer air raksa, timbangan digital, stopwatch, oven, cawan, kertas lakmus pH, penyaring, Stopkontak, KWH meter, penampung kondensat, gelas ukur, termokontrol, termokopel, dan barometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah nira tebu, air, metabisulfit dan pengawet.

  Metode Penelitian

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental atau percobaan dengan menggunakan faktor perlakuan suhu yang terdiri dari tiga level perlakuan, yaitu suhu o o o 600

  C, suhu 700

  C, dan suhu 800

  C. Pada masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali ulangan dengan jumlah nira tebu sebesar 3 liter pada semua level perlakuan suhu. Data hasil penelitian dianalisa secara matematis dan disajikan dalam bentuk grafik kemudian di bandingkan perlakuan terhadap massa gula, keseimbangan massa pada proses pemasakan nira serta kebutuhan energi evaporator.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Hubungan Suhu Evaporator dengan Lama Pemasakan

  160.00 135,67

  140.00 120.00

  97,33 100.00

  85,33

  it) n e

  80.00

  (M

  60.00

  tu

  40.00 Wak

  20.00

  0.00

  60

  70

  80 Suhu (

  C)

Gambar 1. Grafik hubungan waktu pemasakan dengan suhu evaporator

o

  Pada Gambar 1 diatas dapat diketahui bahwa suhu 60 C mempunyai waktu pemasakan yang lama yaitu membutuhkan waktu selama 135,67 menit untuk menguapkan kandungan air yang terdapat pada 3 liter nira menjadi gula merah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin rendah suhu yang digunakan, waktu yang dibutuhkan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat pada nira tebu hingga mengental menjadi gula merah semakin tinggi. Hal ini dikarenakan semakin rendah suhu evaporator semakin sedikit partikel air yang dapat diuapkan, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk menguapkan seluruh o o kandungan air yang terdapat pada nira. Pada Suhu 70 C dan 80 C lama waktu pemasakan nya o lebih singkat di bandingkan dengan suhu 60

  C. Hal ini disebabkan karena jumlah energi panas yang di berikan lebih besar sehingga fase perubahan air menjadi gas menjadi lebih cepat sehinga kandungan air pada nira banyak yang hilang. Pada grafik diatas menjelaskan hubungan antara suhu dan waktu, dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa semakin tinggi suhu maka semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk mengentalkan nira hal ini disebabkan karena laju perpindahan kalor semakin cepat sehingga kenaikan titik didih bahan semakin cepat pula. Dengan kenaikan titik didih maka laju penguapan bahan semakin cepat sehingga proses pengentalan nira membutuhkan waktu yang lebih singkat.

  Hubungan Suhu, Waktu dan Tekanan

  135.67

  60

  70

  97.33 150

  Perlakuan 1

  10

  80 85,33 100 Perlakuan 2

  Perlakuan 1

  10 Perlakuan 3

  50 Perlakuan 2

  12 Perlakuan 3 Suhu

  Waktu Tekanan o

  Gambar 2. Hubungan Antara Waktu (menit), Suhu (

  C) dan Tekanan Absolut (kPa) Pada grafik diatas pada garis berwarna merah dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi o suhu maka tekanannya semakin tinggi pula. Tekanan absolut tertinggi diperoleh pada suhu 80 o o o C yaitu sebesar 12 kPa dan untuk tekanan absolut terendah diperoleh pada suhu 60 C dan 70

  C yaitu 10 kPa. Pada suhu 70 C seharusnya tekanan absolutnya lebih besar dari pada 60

  C, hal ini terjadi karena faktor teknis dimana pada saat penutupan tabung evaporator kurang rapat. Hal ini berbanding terbalik dengan waktu dimana semakin suhu meningkat dan tekan meningkat o maka waktu akan semakin rendah atau pendek. Waktu tertinggi diperoleh pada suhu 60 C dan o waktu terendah diperoleh pada suhu 80

  C.

  Hubungan Suhu, Waktu dan Kosumsi Energi

  15000 9500.4

  10876.32 7190.82

  10000 Perlakuan 1

  5000 135.67

  60 Perlakuan 2

  97.33

  70 Perlakuan 1 Perlakuan 3

  85.33 Perlakuan 2

  80 Energi Perlakuan 3

  Waktu Suhu o

  Gambar 3. Hubungan antara Suhu(

  C), Waktu (menit), dan Kosumsi Energi (kJ) Pada gambar diatas dapat dijelaskan bahwa kosumsi energi (kJ) tertinggi diperoleh o pada suhu 80 C yaitu sebesar 10.810,8 kJ. Kosumsi energi (kJ) terendah diperoleh pada suhu o o o

  70 C yaitu 7.190,82 kJ. Pada suhu 70 C kosumsi energi (kJ) lebih tinggi dari pada 60 o

  C, hal ini di karenakan waktu pemasakan yang dibutuhkan pada suhu 60 C lebih lama sehingga kosumsi energinya tinggi juga karena semakin banyak kalor panas yang dibutuhkan. Hal ini berbanding terbalik dengan waktu dimana semakin suhu meningkat dan tekan meningkat maka o waktu akan semakin rendah atau pendek. Waktu tertinggi diperoleh pada suhu 60 C dan waktu o terendah diperoleh pada suhu 80

  C.

  Pengaruh Suhu Evaporator Terhadap Kadar Air

  15 10,60

  10.38

  9.83

  ) %

  10

   ( ir A r

  5

  ada K

  60

  70

  80 Suhu (

  C)

Gambar 4. Grafik Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Air Gula Merah

  Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa kadar air gula merah tertinggi yaitu sebesar o 10,60% didapatkan pada penggunaan suhu evaporator 60 o

  C. Saat digunakan suhu evaporator yang lebih tinggi yaitu 70 C, kadar air gula merah menjadi lebih rendah yaitu sebesar 10,17%. Adapun kadar air terendah pada gula merah yaitu sebesar 9,24% didapatkan pada penggunaan suhu evaporator 80

  C. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu evaporator yang digunakan, maka kandungan air pada gula merah yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu yang digunakan, semakin banyak kandungan air yang diuapkan dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Taib (1998) yang menyatakan kadar air bahan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya lama waktu pemanasan, luas permukaan, porositas bahan dan suhu pemanasan. Semakin tinggi suhu pemanasan yang digunakan maka kadar air pada suatu bahan yang dikeringkan atau dipanaskan akan semakin rendah.

  Pengaruh Suhu Terhadap Rendemen

  20.00

  17.49

  16.01

  14.80

  )

  15.00

  % ( en

  10.00

  em d en

  5.00 R

  0.00

  60

  70

  80 Suhu (

  C)

Gambar 5. Grafik Pengaruh Suhu terhadap Rendemen

  Perhitungan rendemen dilakukan dengan membandingkan antara berat produk yang dihasilkan dengan berat bahan baku. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai o persentase rendemen tertinggi yaitu pada perlakuan suhu 60 C. Hal ini dikarenakan semakin rendah suhu penguapan maka laju penguapan akan turun sehingga presentase bahan tertinggal o akan menjadi lebih besar. Sedangkan nilai presentase rendemen terendah yaitu pada suhu 80

  C. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu maka semakin banyak kandungan air yang diuapkan dan semakin tinggi suhu penguapan maka akan meningkatkan laju penguapan sehingga presentase bahan tertinggal menjadi lebih sedikit.

  Massa Kondensat

  31

g) K

  30

   ( sat

  29

  en d n

  28

  o K Suhu 60 C

  27

  sa as Suhu 70 C

  26 M

  Suhu 80 C

  25

  24

  10

  30

  50

  70 90 110 130

  Waktu (menit)

Gambar 6. Grafik antara Massa Kondesat dengan Waktu

  Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa pada awal evaporasi berlangsung volume kondensat yang dihasilkan cenderung meningkat, hal ini terjadi karena terjadi peningkatan suhu operasi. Sedangkan pada saat suhu telah konstan disebabkan karena suhu perlakuan telah di kontrol dengan termokopel yang dapat mengontrol suhu volume kondensat yang dihasilkan cenderung stabil dan tidak berbeda jauh pada berbagai perlakuan. Volume kondensat juga dipengaruhi oleh tekanan operasi, semakin rendah tekanannya maka akan semakin cepat diperoleh titik didih cairan sehingga uap yang dihasilkan juga semakin banyak. o

  Massa kondensat tertinggi diperoleh pada suhu 70 C yaitu sebesar 2,486 kg dan massa o kondesat terendah diperoleh pada suhu 60 C yaitu sebesar 2,223. Hal ini disebakan karena semakin tinggi suhu maka semakin banyak kandungan air yang diuapkan dan semakin tinggi suhu penguapan maka akan meningkatkan laju penguapan sehingga presentase bahan bahan o hilang semakin besar. Pada penelitian ini suhu tertinggi yaitu 80 C dengan massa kondensat o o

  2,368 kg, dimana massa kondesat pada suhu 80 C lebih rendah dari pada suhu 70

  C, seharusnya lebih besar. Hal ini disebabkan karena faktor teknis dimana pada saat pengambilan kondensat dari gelas ukur masih adanya kondensat yang tertinggal pada gelas ukur, sehingga terjadi penurunan massa.

  Suhu Kondensat

  31

   ) C

  30

   ( sat

  29

  en d

  28

  n o Suhu 60 C K

  27

  u h Suhu 70 C u

  26 S

  Suhu 80 C

  25

  24

  10

  30

  50

  70 90 110 130

  Waktu (menit )

Gambar 7. Grafik Hubungan Rerata Suhu Kondensat dengan Waktu

  Berdasarkan Gambar 4.8 dapat dijelaskan bahwa semakin lama proses maka suhu kondensat akan mengalami kenaikan. Hal ini berhubungan dengan beban kondensasi yang ditanggung oleh air kondensasi yang bersirkulasi. Dengan bertambahnya waktu proses yang diikuti oleh kenaikan suhu kondensat, maka akan berakibat pada penurunan densitas dan kelembaban air pendingin, sehingga akan menurunkan effisiensi dari mesin penguap vakum.

  Tekanan

  Berdasarkan Gambar 4.9 tekanan yang diperoleh pada penelitian ini relatif konstan yaitu berkisar antara 10,00 kPa-12,00 kPa absolut. Selama penguapan terjadi penambahan tekanan yang disebabkan oleh perubahan suhu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan tekanan merupakan fungsi dari kenaikan suhu. Tekanan dari suatu sistem adalah gaya yang dihasilkan oleh sistem tersebut pada satuan luas dari batas-batasnya.

  14.00

  12.00

   ) a

  10.00

  kP t( lu

  8.00

  so b Suhu 60 C A

  6.00

  n a Suhu 70 C n

  4.00

  eka Suhu 80 C T

  2.00

  0.00 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140

  waktu (menit)

Gambar 9. Grafik hubungan Rerata Tekanan Absolut dengan Suhu.

  Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa tekanan absolut (kPa) pada perlakuan suhu mengalami perbedaan, dimana semakin tinggi suhu maka tekanan semakin mengalami o peningkatan juga. Tekanan absolut tertinggi diperoleh pada suhu 80 C yaitu sebesar 12 kPa o o dan untuk tekanan absolut terendah diperoleh pada suhu 60 C dan 70 C yaitu 10 kPa. Pada o o suhu 70 C seharusnya tekanan absolutnya lebih besar dari pada 60 C, hal ini terjadi karena faktor teknis dimana pada saat penutupan tabung evaporato kurang rapat. Hal ini berbanding terbalik dengan waktu dimana semakin suhu meningkat dan tekan meningkat maka waktu akan semakin rendah atau pendek.

  Kebutuhan Energi

Gambar 10. Pengaruh Suhu Terhadap Kebutuhan LPG

  2,000.00

  J) (k

  1,500.00

  as an Suhu 60 C p

  1,000.00

  gi Suhu 70 C er

  Suhu 80 C n E

  500.00

  0.00

  10

  30

  50

  70 90 110 130

  Waktu (menit

  )

  

Gambar 11. Grafik Hubungan Rerata Energi panas dengan Waktu

  0.04

  ) r u

  0.03

  o h - t

  0.03

  at w

  0.02

  lo Suhu 60 Suhu 60 C C il K

  0.02 Suhu 70 Suhu 70 C C

   ( h w

  0.01 Suhu 80 Suhu 80 C C

  K

  0.01

  0.00

  10

  30

  50

  70 90 110 130

  Waktu (menit )

Gambar 12. Grafik Hubungan antara Rerata Kwh dengan Waktu

  1400.0 1200.0

  J) k (

  1000.0

  ik tr

  800.0

  Suhu 60 C is L

  600.0

  Suhu 70 C gi er n

  400.0

  E Suhu 80 C

  200.0

  0.0

  10

  30

  50

  70 90 110 130

  Waktu (menit )

Gambar 13. Grafik Hubungan Rerata Energi Listrik dengan Waktu

  1,200.00

  J) k 1,000.00 ( an

  800.00

  ap gu en

  600.00

   P gi Suhu 60 C er

  400.00

  n Suhu 70 C E

  200.00

  Suhu 80 C

  0.00

  10

  30

  50

  70 90 110 130

  

Waktu (menit)

Gambar 14. Grafik Hubungan Rerata Energi Penguapan dengan Waktu

Effisiensi mesin penguap vakum

  

Gambar 15. Grafik nilai Effisiensi Energi Total pada masing-masing perlakuan

  Pada Gambar 4.15 dapat dilihat bahwa nilai efisiensi energi panas terendah terdapat o o pada suhu 80 C sebesar 54,62% sedangkan nilai tertinggi terletak pada suhu 70 C sebesar o 74,94 %. Efisiensi suhu 70 C tertinggi jika dibandingkan dengan yang lain terjadi karena input energi yang diberikan adalah paling sedikit dari yang lain. Efisiensi adalah perbandingan energi output dengan energi input, karena energi input yang diberikan lebih kecil maka efisiensinya akan lebih tinggi.

  Efisiensi energi panas dipengaruhi oleh konsumsi LPG untuk memanaskan bahan dan mengubahnya menjadi uap air. Pada saat penelitian dilakukan penyetelan keluaran LPG pada kontrol panel sehingga antara berbagai perlakuan dan ulangan terjadi perbedaan konsumsi bahan bakar. Efisiensi juga dipengaruhi oleh suhu operasi yang digunakan, tekanan operasi, dan bahan yang digunakan untuk membuat alat.

  Besarnya nilai efisiensi suatu mesin sangat erat kaitannya dengan waktu yang digunakan untuk melakukan proses. Dimana semakin lama waktu maka nilai effisiensinya akan semakin kecil karena jumlah energi yang dibutuhkan akan semakin besar. Salah satu faktor yang menentukan besar kecilnya effisiensi adalah keadaan bahan yang diproses dalam hal ini adalah kadar air, dimana semakin tinggi nilai kadar air maka jumlah energi untuk menguapkan bahan persatuan waktu akan semakin besar sehingga akan menurunkan effisiensi.

  

KESIMPULAN

  Berdasarkan uraian yang telah disampaikan maka dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain kebutuhan energi dalam proses penguapan nira dengan keadaan vakum serta suhu yang terkontrol membutuhkan 2 energi input yaitu energi panas dan energi listrik. Rerata energi panas pada perlakuan suhu 60

  C, 70 C dan 80 C yang masuk pada proses penguapan nira yaitu sebesar 11.597,04 kJ, 7.190,82 kJ, dan 10.876,32 kJ. Dari nilai energi tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan kecenderungan bahwa semakin meningkat suhu yang diberikan maka semakin kecil energi, tapi jika suhu terlalu besar maka kebutuhan energi masukan semakin meningkat. Kosumsi energi panas terendah yaitu pada perlakuan suhu 70 C. Performansi mesin evaporator vakum double jacket tipe water jet pada masing- masing suhu perlakuan 60

  C, 70

  C, dalam 80

  C, mempunyai efesiensi sebesar 57,93%, 74,94 %, dan 54,62%. Dari nilai efeseiensi tersebut dapat disimpulkan bahwa Semakin besar suhu maka semakin besar pula efesiensi dari mesin tapi jika suhu terlalu besar maka efesiensi semakin kecil. Efesiensi energi terbesar yaitu pada perlakuan suhu 70 C.

  Keseimbangan massa dari masing-masing suhu perlakuan 60 C, 70

  C, dalam 80 C mempunyai kehilangan massa

bahan terbesar yaitu pada saat proses pengupaan didalam evaporator yaitu dengan nilai

kehilangan massa bahan 84,34 %, 83,62 %, dan 80,81%. Dari data tersebut didapat

disimpulakan bahwa semakin besar suhu maka nilai persentase kehilangan massa bahan

semakin kecil. Kehilangan massa terbesar pada proses pada saat proses pengupaan

didalam evaporator yaitu 60 C

  

DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K. A., Edwards, R. A., and Wootton, M. 1987. Food Sciense. London: Arnold.

  Christie, J. G.1993. Transport Processes and Unit Operations. Cambridge: 3rd edition: Prentice Hall PTR. Dachlan, M. A. 1984. Proses Pembuatan Gula merah. Bogor: Balai penelitian dan Pengembangan Industri, BBHIP. De Padua, D.B. 1979. Pengeringan. Bogor: Insitut Pertanian Bogor Press. Dwi, A., Sudarminto, B., Lastriyanto, A. 2002. Rekayasa Mesin Penggoreng Hampa Semi

  Kontinyu dan Penerapannya pada Industri Keripik Buah Daerah Malang . Jurnal Ilmu- ilmu Teknik, 30 (1): 1 —12.

  Dyanti, R. 2002. Studi Komparatif Gula Merah Kelapa dan Gula Merah Aren [Skripsi]. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

  Bogor. Erwinda, M.D. 2014. Pengaruh pH Nira Tebu (Saccharum officinarum) Dan Konsentrasi

  Penambahan Kapur Terhadap Kualitas Gula Merah . Jurnal Pangan dan Agroindustri

  Vol. 2 No. 3 p. 54-64, Juli 2014. Universitas Brawijaya. Malang Eskin, N., Henderson, M., dan Tonsend, R. J. 1971. Biochemistry of Food Academic Peerr. New York: Mc Graw Hill Books Company. Fitri, F.D. 2008. Pengaruh Penambahan Susu Kapur (CaOH)2 Dan Gas So2 Terhadap pH Nira Mentah Dalam Pemurnian Nira Di Pabrik Gula Kwala Madu PTP Nusantara ll Langkat .

  Universitas Sumatra Utara. Medan Fellow, P. J. 1995. Food Processing Ellis Howard Limited. England: Penguin Book. Geankoplis, C. J. 1983. Transport Processes and Unit Operation. USA: Massachusets. Goutara dan Wijandi, S. 1985. Dasar pengolahan Gula Agroindustri Jurusan Teknologi hasil pertanian . Bogor: FATEMETA, IPB. Hall, P.E.C.W., 1979. Drying and Storage of Agricultral Crops. The AVI Publ. Westport. USA. Huda, S. 2008. Analisa Proses Pengentalan Susu Evaporasi pada Berbagai Perlakuan Suhu

  dengan Menggunakan Evaporator Vakum Tipe Water jet [Skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya.

  Indeswari, S.N.1986. Penetuan Dosis Kapur dan Belerang pada Proses Pemurnian Nira Tebu

  di Pabrik Gula Mini Lawang . Laporan Penelitian. Padang: Universitas Andalas James, C.P., dan M. Chen. 1985. Cane Sugar Handbook. John Wiley and Son York.

  Joharman, T. 2006. Studi Pengaruh Suhu dan Lam Evaporasi pada Proses Pemekatan Glatin [Skipsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lastriyanto, A. 1999. Peralatan Pasca Panen dan Industri Pengolahan Holtikultura (Kajian

  Khusus: Peralatan Industri Pengolahan Holtikultural dengan Tekanan Rendah berbasis Teknologi Jet Air/Water jet). Makalah Seminar Nasional Pengembangan Usaha

  Agroindustri Peluang dan Tantangan. Jakarta: BPPT. Lestari, P. A. 2006. Pengaruh Waktu Tunda Giling Tebu dan Penambahan Natrium Metabisulfit

  Terhadap Mutu Gula Merah Tebu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

  Muchtadi, T. R., dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahiuan Bahan Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Nubatonis, L. M. 2004. Kajian Aplikasi Teknologi Membran pada Proses Pemurnian Nira Tebu [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Nurlela, E. 2002. Kajian Faktor -faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Warna gula Merah [Skipsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Paryanto, I., Fachruddin, A., dan Sumaryono, W. 1999. Diversifikasi Sukrosa Menjadi Produk Lain.

  Serpong: P3GI. Pertamina. 2003. Mengenal Elpiji: Lebih Dalam Tentang Elpiji , (Online),

  , diakses pada 7 Januari 2013. Puri, B.A. 2005. Kajian Pemurnian Nira Tebu dengan Membran Filtrasi dengan Sistem Aliran

  Silang (Crossflow) [Skripsi]. Departemen Teknologi industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

  Reece, N. N. 2003. Optimizing Aconitate Removal During Clarification [Tesis]. USA: Lousiana State University. Sagala, Hardian, P, Sukhamdiyah, N. 1978. Penyempurnaan Cara Pembuatan dan Penelitian Mutu Gula Aren Sumatera Utara . Komunikasi BPK Medan. Santoso, H. B. 1993. Pembuatan Gula Kelapa. Jakarta: Kanisius. Sardjono. 1986. Pengembangan Peralatan untuk Pengembangan Serbuk Gula Merah. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian , Bogor. Sholikah, N. I. 2009. Studi Proses Pembuatan Petis Udang dengan Evaporator Vakum Tipe Jet Air [Skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya. Soejardi. 1979. Peranan Komponen Batang Tebu dalam Pabrikasi Gula. Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Perkebunan Yogyakarta. Soekarto, P. 2010. Gula Sebagai Bahan Baku Industri Pangan. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Sudarmadji, S, Amir, R dan Suhendri, L. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi I.

  Cetakan Pertama. Yogyakarta: Liberty. Suharto. 2009. Program Studi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Portfolio Bahan Bakar Cair. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

  Supriatna, A. 2008. Uji Perfomansi Dan Analisa Teknik Alat Evaporator Vakum [Skripsi].

  Bogor: Institut Pertanian Bogor Suyitno. 1998. Satuan Operasi. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajahmada. Yogyakarta. Syakir, M. dan Indrawanto, C. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. ESKA Media. Jakarta. Taib, G. G. Said dan Wiradmadja. 1998. Operasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil

  Pertanian . Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa Toledo, R. T. 1981. Fundanmental of Food Process Engenering. New York: AVI Publishing Co. Walas, Stanley M. 1988. Chemical Process Equipment. United States of America : Butterworth Publisher. Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wikantyoso, B. 1989. Satuan Operasi dalam Proses Pangan [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Wirakartakusumah, M.A., Rizal Syarief, Dahrul Syah. 1989. Pemanfaatan Teknologi Pangan Dalam Pengolahan Singkong . Buletin Pusbangtepa, 7 : 18. IPB. Bogor. Yustiningsih, F. 2006. Perbaikan Proses Penjernihan Nira Tebu pada Industri Gula Merah

  Tebu [Skipsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.