Analisis Pelanggaran HAM Etnis Rohingya

BAB 1
1.1 Latar Belakang
Hak asasi manusia ( HAM ) adalah hak yang melekat didalam diri individu, dan hak ini
merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka
dalam komunitas masyarkat. Bangunan – bangunan dasar HAM yang melekat dalam episentrum
otoritas individu yang merdeka, merupakan bawaan semanjak lahir, sehingga tidak bisa digugat
dengan banalitas pragmatisme kepentingan kekuasaan, ambisi dan hasrat.1 Manusia diciptakan
oleh tuhan berbeda secara bentuk fisik, bahasa, budaya, dan lain sebagainya agar manusia dapat
dengan mudah mengenali satu sama lain. Bentuk fisik, budaya, bahasa dapat dikenali dengan
mudah dalam pengelompokan etnis. Etnis adalah suatu populasi yang memiliki identitas
kelompok berdasarkan kebudayaan tertentu dan biasanya memiliki leluhur yang secara pasti atau
dianggap sama.2
Di dunia ini terdapat adanya kelompok etnis mayoritas dan minoritas, dimana klompok
etnis minoritas merupakan suatu kelompok yang jumlah penduduknya kecil serta tidak dominan
dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas
penduduk yang jumlahnya jauh lebih banyak dalam suatu Negara. Etnis minoritas ini tidak selalu
mendapat perlakuan yang baik diwilayah yang didudukinya, pelanggaran – pelanggaran hak
asasi manusia ( HAM ) seringkali dialami etnis minoritas ini.
Salah satu contoh etnis yang mendapat perlakuan yang buruk serta terdapat pelanggaran –
pelanggaran ham didalamnya adalah etnis Rohingya di Myanmar. Konflik etnis rohingya yang
merupakan etnis minoritas ini didasari atas perlakuan diskriminasi karena perbedaan etnis dan

agama yang berbeda dengan etnis mayoritas penduduk di Myanmar. Negara Myanmar juga tidak
mengakui status kewarganegaraan etnis Rohingya, sehingga etnis rohingya terusir dari tanah
kelahirannya. Masih ingat dibenak kita ratusan manusia kapal etnis rohingya yang berbulan –
bulan terombang - ambing ditengah lautan untuk mencari suaka, sebelum akhirnya ditolong oleh
nelayan di Aceh bulan mei 2015 lalu, dalam keadaan yang memperihatinkan. Hal ini

1

Ruslan, Renggong, Hkum Acara Pidana, “memahami perlindungan HAM dalam proses penahanan di Indonesia”,
Jakarta: Preanada Group 2014, hlm. 1
2
Jan, Murdiyatmoko, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, Jakarta: Grafindo Media Pratama 2007,
hlm.8

menunjukkan betapa diskriminasi dan tindak kekerasan itu terjadi dan dialami etnis rohingya di
Myanmar.
Konflik tersebut dibiarkan oleh pemerintah Myanmar dan seakan pemerintah Myanmar
mengusir Etnis Rohingya dari tanah kelahirannya. Masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi
di Myanmar merupakan salah satu masalah yang sangat serius di dunia, karena bukan hanya
berdampak negatif bagi masyarakat yang berada di wilayah Myanmar saja tetapi berdampak pula

pada Negara yang lain. Selain itu penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat ini bukanlah
perkara mudah. Sehingga penulis tertarik mengangkat permasalahan ini.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja pelanggaran HAM yang dilakukan etnis mayoritas terhadap etnis Rohingya di
Myanmar?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum internasional terhadap etnis Rohingya?
3. Bagaimana upaya penyelesaian kasus terhadap etnis rohingya di Myanmar dalam
pelanggaran HAM berdasarkan hukum internasional?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pelangaran – pelanggaran HAM yang dialami oleh etnis Rohingya.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan HAM internasional terhadap etnis Rohingya.
3. Untuk mengetahui penyelasaian kasus terhadap etnis Rohingya.

BAB 2
2.1 Analisa pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingya.
Konsep perlindungan HAM berawal di Negara Inggris, hak – hak manusia itu dimulai
penulisannya dalam tiga naskah, yaitu Magna Charta (1215), Habes Corpus Act (1679), dan Bill
of Rights (1689), sementara revolusi Amerika menghasilkan sebagian hak – hak asasi seperti
tercantum dalam : Virginia Bill of rights (1776), Declarations of Independence (1776), dan


Constitution Of USA (1787). Hak – hak asasi manusia menurut Jhon Locke, Montesque, dan J.J
Roseu meliputi:3
1. Kemerdekaan atas diri sendiri
2. Kemerdekaan beragama
3. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat
4. Hak write of Habeas corpus
5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers
Tindakan – tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya
termasuk dalam pelanggaran HAM kejahatan terhadap kemanusiaan. Bagaimana etnis rohingya
mengalami diskriminasi dan penyiksaan serta tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah
Myanmar karena perbedaan etnis dan agama dengan etnis mayoritas, menunjukkan bahwa ada
beberapa aspek pelanggaran HAM yang dilanggar. Dilihat dari pelaksanaannya dan situasinya
(perang/damai), HAM dapat kita bedakan menjadi dua kategori dan masing-masing memiliki
karekteristik tersendiri, yaitu : HAM yang bersifat “derogale rights”(HAM yang dapat di tunda
pelaksanaannya) dan “non-derogable rights”(HAM yang tidak dapat di tunda pelaksanaannya)4
HAM yang termasuk sebagai “non-derogable rights” diatur dalam pasal 4 (3) ICCPR, yaitu
meliputi :
1. Hak untuk hidup ( pasal 6 )
2. Hak untuk tidak di siksa ( pasal 7 )

3. Hak untuk tidak dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuan untuk memenuhi
suatu kewajiban kontrak ( pasal 11 )
4. Hak untuk tidak di perbudak dan di perhamba ( pasal 8 )
5. Hak untuk tidak di nyatakan bersalah berdasarkan aturan yang berlaku surut ( pasal
15 )
6. Hak untuk diakui di manapun sebagai manusia di hadapan hukum ( pasal 16 )
7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama ( pasal 18 )
3

Ramdlon, Naning, Cita dan Citra Hak – hak asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, 1983, hlm.
15
4
Andrey ,sujatmoko, Hukum ham dan Hukum Humaniter, Jakarta: Raja Grafndo persada,
2015, hlm. 185

Pelangaran – pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Myanmar sebagaimana diatur
didalam Universal Declaration Of Human Rights ( deklarasi umum hak asasi manusia/DUHAM)
pasal – pasal yang dilanggar antara lain: (pasal 2) larangan penganiayaan, (pasal 3) larangan
penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang – wenang, ( pasal 15) hak atas

kewarganegaraan, (pasal 18) hak atas kebebasan berpikir, menyuarakan hati nurani dan
beragama, (pasal 20) hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat serta beberapa pasal lainnya.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh etnis rohingya berupa pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa ( Crimes against humanity of deportation or forcible
transfer of population ). Pengusiran penduduk dengan cara paksa dalam pasal 7 ayat 2 huruf C
statute Roma dijelaskan bahwa pengusiran atau pemindahan orang secara paksa dengan cara
pengusiran atau tindakan pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka tinggal secara sah tanpa
diberikan alasan yang diijinkan oleh hukum internasional. Kata paksa disini tidak hanya terbatas
paksaan fisik saja, namun dapat berupa ancaman kekerasan atau yang dapat memberikan tekanan
psikologis.
Berdasarkan konsep tanggung jawab Negara, suatu Negara bertanggung jawab apabila
melanggar kewajiban menurut hukum internasional. Komisi Hukum Internasional ( International
law commission ) kemudian menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban Negara yang di
golaongkan sebagai “ International work acts” didalamnya mencakup pelanggaran berat HAM,
yang juga di kategorikan sebagai kejahatan internasional.5
Menurut Dinah Selton instrument-instrumen HAM mewajibkan Negara-negara untuk
menyediakan “remedy” yang efektif atas sejumlahnya pelanggaran HAM. Istilah “remedy”
mengacu kepada serangkaian tindakan yang mungkin dilakukan dalam menyikapi pelanggaran
HAM. “remedy” dapat berupa dukungan (declaration relief), perintah-perintah
(injuction/orders), pembayaran untuk upah dan pngeluaran bagi pengacara (attorneys fees and

costs). Adapun untuk menggunakkannya sebagai istilah umum yang menunjuk kepada “sejumlah
cara/metode yang disediakan oleh suatu Negara untuk membebaskan atau melepaskan dirinya
sendiri”6.

5
6

Ibid, hlm. 209
Ibid, hlm. 210

Ketentuan yang mengatur adanya tanggung jawab untuk melakukan “remedy” misalnya
diatur dalam pasal 2 ayat (3) (a) ICCPR. Pasal tersebut pada intinya menyatakan : bahwa Negara
peserta perjanjian untuk menjamin setiap orang yang HAM-nya dilanggar harus (shall have)
mendapatkan “remedy” yang efektif, sekalipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang-orang yang
bertindak dalam kapasitas resmi (kedinasan).7
Dalam hal ini Negara yang harus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yakni pemerintah
Myanmar yang seharusnya melakukan tindakan – tindakan hukum untuk menindak pelaku kasus
pelanggaran HAM tersebut. Akan tetapi pemerintah Myanmar membiarkan pelanggaran HAM
tersebut karena tidak menganggap status kewarganegaraan etnis Rohingya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah Myanmar melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Apabila

ditinjau berdasarkan hukum internasional, jika suatu negara dirasa tidak mau untuk mengadili
para pelaku tindak kejahatan maka kasus tersebut dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan
PBB. Dengan ini kasus yang terjadi di Myanmar dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB
untuk merekomendasikan penyelesaian apa yang digunakan untuk mengakhiri kasus yang terjadi
di Myanmar.

2.1 Alasan Keberlakuan Hukum Internasional Terhadap etnis Rohingya.
Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar kepada etnis ronghingya
adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang pengusiran secara paksa, pengusiran secara paksa
disini dilakukan secara sistematis yakni:
1. Etnis rohingya tidak diakui status kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar
Mengenai kewarganegaraan bahwa pasal 15 (1) Universal Declaration of Human
Right dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraan. Pada kasus ini
yang terjadi bahwa etnis rohingya tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah
Myanmar. hal ini terlihat dari perkataan Presiden Myanmar Thein Sein yang mengatakan
bahwa “rohingya are not our people and we have no duty to protect them” dan presiden
Thein Sein menginginkan agar sebaiknya etnis rohingya ditampung atau dikelola saja
oleh UNHCR atau negara ketiga yang ingin menampungnya8. Sejarah mencatat etnis
7
8


Ibid, hlm. 211
Rohingya 101 Data dan Fakta. Diakses dari www.indonesia4rohingya.org diakses pada tanggal 2 september 2015

rohingya berasal dari pedagagng Arab yang mendiami wilayah Rakhine (perbatasan
Banglades dan Myanmar saat ini) pada abad ke-7. Catatan sejarah tidak menjelaskan
adanaya konflik etnis selama awal kedatangan. Pada tahun 1785 kerajaan birma
(sekarang Myanmar) melakukan invasi militer ke wilayah rakhine dan bershsil
menguasainya, akan tetapi kerajaan birma tidak mau mengakui keberadaan etnis
rohingya.9 Keadaan tersebut berlangsung sampai sekarang dan pada puncaknya pada
tahun 2015, pemerintah Myanmar mencabut status kewarganegaraan etnis rohingya
sehingga etnis rohingya tidak punya kewarga negraan lagi. Hal inilah yang membuat
etnis Rohingya keluar dari Myanmar karena mereka tidak diakui status
kewarganegaraannya dan perlakuan diskriminasi yang di tujukan kepada etnis rohingya.
2. Adanya larangan untuk berpraktek agama.
Pasal 18 Universal Declaration of Human Right dijelaskan bahwa setiap individu
mempunyai hak kebebasan untuk beragama, yang berbunyi sebagai berikut “setiap orang
berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan
berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaan dengan cara mengajarkannya melakukakannya, beribadah dan menaatinya,

baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”.
Namun, pada kasus ini etnis rohingya tidak diberikan kebebasan dalam
menjalankan ibadahnya, ini terlihat bahwa yang terjadi pada awal bulan Juni 2012 hampir
semua masjid di ibu kota Arakan yaitu Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar,
banyak masjid dan madrasah di Muangdaw dan Akyab yang ditutup dan muslim tidak
boleh beribadah di dalamnya. Jika ada yang melanggar atau mencoba untuk sholat akan
ditangkap dan dihukum10.

9

http:www.okezone.com/sekilas-sejarah-imigran-rohingya, diakses pada tanggal 2 oktober 2015
Rohinya 101 data dan fakta, loc, cit

10

3. Adanya perlakuan diskriminatif.
Dalam konvensi-konvensi internasional seperti konvensi internasional tentang
penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965 dan konvensi internasional
tentang hak-hak sipil dan politik tahun 1966 memberikan perlindungan untuk kebebasan
tanpa adanya diskriminasi

Pasal 5 dalam konvensi internasional tentang penghapusan semua bentuk
diskriminasi rasial tahun 1965, yang berbunyi sebagai berikut: Untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban dasar yang dicantumkan dalam pasal 2 Konvensi ini, negara-negara
pihak melarang dan menghapuskan semua bentuk diskriminasi rasial serta menjamin hak
setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal bangsa dan suku bangsa, untuk
diperlukan sama di depan hukum, terutama untuk menikmati hak dibawah ini :
1. Hak untuk diperlakukan dengan sama di depan pengadilan dan badanbadan peradilan
lain.
2. Hak untuk rasa aman dan hak atas perlindungan oleh negara dari kekerasan dan
kerusakan tubuh, baik yang dilakukan aparat pemerintah maupun suatu kelompok atau
lembaga.
3. Hak politik, khususnya hak ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih dan dipilih
atas dasar hak pilih yang universal dan sama, ikut serta dalam pemerintahan maupun
pelaksanaan maslah umum pada tingkat manapun, dan untuk memperoleh kesempatan
yang sama atas pelayanan umum.
4. Hak sipil lainnya, khusunya:
a. Hak untuk bebas berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara yang
bersangkutan.
b. Hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri, dan kembali
ke negaranya sendiri.

c. Hak untuk memiliki kewarganegaraan.
d. Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
e. Hak berkumpul dan berserikat secara bebas dan damai.

5. Hak ekonomi, sosial, dan budaya, khusunya:

a. Hak untuk bekerja, memilih pekerjaan secara bebas, mendapatkan kondisi kerja
yang adil dan memuaskan, memperoleh perlindungan dari pengangguran,
mendapat upah yang layak sesuai pekerjaannya, memperoleh gaji yang adil dan
menguntungkan.
b. Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja.
c. Hak untuk mendapat pelayanan kesehatan, perawatan medis, jaminan sosial dan
pelayanan-pelayanan social.
d. Hak atas pendidikan dan pelatihan.
e. Hak untuk berpartisipasi yang sama dalam kegiatan kebudayaan.

Dan Pasal 27 Kovenan internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik 1966 berbunyi
sebagai berikut:
Di negara-negara di mana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau
bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak dapat
diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota lain dalam kelompoknya, untuk menikmati
budayanya sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk
menggunakan bahasa mereka sendiri.
Pada kasus yang terjadi di Myanmar mengeluarkan kebijakan burmanisasi dan
budhanisme. Walaupun dalam Negara Myanmar terdapat berbgai etnis minoritas yang beragama
selain budha tetapi etnis tersebut masih diakui sebagai warga Negara Myanmar sedangkan etnis
rohingya tidak diakui sebagai warga Negara Myanmar. Hal tersebut dikarenakan adanya alasan
etnis Rohingya adalah umat muslim dan identitas mereka seperti ciri fisik dan bahasa dianggap
berbeda dengan mayoritas penduduk di Myanmar.11 Berdasarkan kasus tersebut maka pemerintah
Myanmar telah tidak menaati prinsip-prinsip larangan diskriminasi dimana prinsip ini adalah
adanya larangan untuk memberikan perbedaan perlakuan yang didasarkan karena perbedaan
perlakuan yang didasarkan karena perbedaan agama, warna kulit, bahasa dan sebagainya.

2.3 Upaya Penyelesaian Kasus Rohingya Berdasarkan Hukum HAM Internasional.
11

Ibid.

Dalam pasal 33 piagam Perserikatan Bangsa-bangsa dijelaskan bahwa untuk
menyelesaikan kasus seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih dahulu sebelum ke ranah
hukum. Hal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Ayat 1. Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung terus-menerus
mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama
harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi,
arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan
regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.
Ayat 2. Bila dianggap perlu, dewan keamanan dapat meminta kepada pihak-pihak yang
bersangkutan untuk menyelesaikan serupa itu.
Adapun bentuk-bentuk mekanisme diplomasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
kasus yang terjadi di Myanmar ialah dengan menggunakan Mediasi. Mediasi adalah cara
penyelesaian dengan melalui perundingan yang diikutsertakan pihak ketiga sebagai penengah.
Pihak ketiga disini disebut sebagai mediator. Mediator disini tidak hanya negara tetapi dapat
individu, organisasi internasional dan lain sebagainya.
Mengenai kasus yang terjadi pada etnis rohingya, PBB dapat sebagai mediator untuk
menengahi para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dengan pemerintah Myanmar dan
penduduk warga negara Myanmar). Serta PBB dapat membantu memberikan usulan-usulan bagi
para pihak untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tanpa adanya salah satu pihak yang
dirugikan. Dalam menyikapi kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis rohingya, PBB
memang telah mengecam keras kepada pemerintah Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan
yang terjadi. Namun, hal tersebut tidak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah Myanmar dan
hingga saat ini masih belum ada upaya penyelesaian.

Mengutip dari keterangan media Replublika, hal tersebut dinyatakan sebagai berikut : 12
12

http://m.republika .co.id/berita/internasional /asean14/02/05/n0hw4-pbb-rohingya-etnisminotitas-yang-saat-ini—paling-teraniaya “PBB: Rohingya Etnis Minoritas yang Saat ini
Paling Teraniaya” dakses pada tanggal 3 oktober 2015

“ Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengatakan bahwa etnis minoritas

Muslim Rohingya di Myanmar merupakan kelompok etnis minoritas yang
saat ini paling merana di dunia. Ini dikarenakan konflik kemanusiaan
dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pengikut Budha radikal
Myanmar”
Jika dalam menggunakan cara mediasi sudah digunakan oleh negara dalam mengakhiri
permasalahan yang terjadi, namun masih belum dapat menyelesaikan masalah yang terjadi
dengan hal ini kasus yang terjadi dapat diambil alih oleh Dewan Keamanan PBB untuk
diselesaikan menggunakan cara melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court). Berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap
etnis Rohingya, sebagaimana tersebut diatas, berdasarkan statuta Roma dapat dikategorikan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ( Crimes Againts Humanity) yang dalam hal ini adalah
persekusi ( persecution).
Pasal 7 ayat 1 (h) satuta Roma merumuskan tindakan Persekusi sebagai berikut:
“ Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national,
ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that universally
recognized impermissible under international law, in connection with any act referred to in
this paragraph or any crime within jurisdiction of the Court. “
“Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasih atau kolektivitas atas dasar
politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas
dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional,
yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan
yang berada yuridiksi mahkamah.”
Pasal ayat 7 (2) (g) Statuta Roma menjelaskan arti persekusi sebagai berikut :
“ Persecution means the international and severe deprivation of fundamental rights
countrary to international law by reason of identity of the group or collectivity “

“ penganiayaan berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang
bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok atau kolektivitas
tersebut.”

Tindakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang tidak mengakui etnis Rohingya
sebagai warga Negara yang dilegalkan melalui perangkat hukum, kemudian pembunuhan oleh
perangkat hukum, kemudian pembunuhan oleh aparat secara masif, perampasan kebebasan, serta
pemindahan secara paksa dapat dikategorikan sebagai persekusi. Mengingat, tindakan dari
Negara dan ditujukan/dilakukan semata-mata terhadap etnis Rohingya.

BAB 3

Penutup

Kesimpulan
1. Terdapat sejumlah pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya, hak atas status
kewarganegaraan merupakan hal yang paling kentara, hal tersebut menimbulkan
pelanggaran atas hak-hak lainnya.
2. Hak-hak etnis Rohingya yang dilanggar antara lain: hak untuk memiliki
kewarganegaraan, hak untuk tidak didiskriminasi, hak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama, hak berkumpul dan berserikat secara bebas dan damai.
3. Berdasarkan pada pasal 33 Piagam PBB, para pihak yang bersengketa (etnis rohingya dan
pemerintah Myanmar serta warga Myanmar) dapat menyelesaikan permasalahan yang
terjadi dengan menggunakan mediasi terlebih dahulu. Apabila cara tersebut tidak
berhasil, Dewan Keamanan PBB dapat mengajukan kasus yang terjadi ke peradilan
internasional seperti International Criminal Court yang diatur dalam statuta roma tahun
1998

Daftar Pustaka
Renggong, Ruslan, 2014, Hukum Acara Pidana, “memahami perlindungan HAM dalam proses
penahanan di Indonesia”, Jakarta: Preanada Group
Murdiyatmoko, Jan, 2007, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, Jakarta: Grafindo
Media Pratama
Naning, Ramdlon, 1983, Cita dan Citra Hak – hak asasi Manusia di Indonesia, Jakarta:
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia
Sujatmoko, Andrey, 2015, Hukum ham dan Hukum Humaniter, Jakarta: Raja Grafindo persada
Rohingya 101 Data dan Fakta. Diakses dari www.indonesia4rohingya.org diakses pada tanggal 2
september 2015
http:www.okezone.com/sekilas-sejarah-imigran-rohingya, diakses pada tanggal 2 oktober 2015
http://m.republika .co.id/berita/internasional /asean14/02/05/n0hw4-pbb-rohingya-etnisminotitas-yang-saat-ini—paling-teraniaya “PBB: Rohingya Etnis Minoritas yang Saat ini Paling
Teraniaya” dakses pada tanggal 3 oktober 2015

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63