PERKEMBANGAN TEORI HUKUM DARI MASA KE MA

PERKEMBANGAN TEORI HUKUM
DARI MASA KLASIK HINGGA PROGRESIF
disajikan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Teori Hukum
Prodi Sistem Peradilan Pidana (SPP)
Oleh
Andy Alvian Indratama
11010114410059

SISTEM PERADILAN PIDANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana
kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih
baik. Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan
masalah yang dibicarakan. Terdapat keragu-raguan dari para akademisi tentang tempat dari
disiplin teori hukum dengan filsafat hukum, ilmu hukum, hukum normatif dan hukum positif.
Ada yang menyamakan antara filsafat hukum dengan teori hukum. Menurut Imre Lakatos,
teori adalah hasil pemikiran yang tidak akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori
lainnya pada dasarnya merupakan keanekaragaman dalam sebuah penelitian.

Menurut B.Arief Sidharta : “Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat
diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan
eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun
dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan
praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan
penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam
kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif
yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap
hokum.1
JJH Bruggink :” Teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan
berkenan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan
sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan2
Teori hukum yang muncul dari abad keabad dan dari generasi ke genari, tidak hanya
memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan
pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. maka di samping kita bertemu
dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, pemikir zaman modern, dan
pemikir kontemporer, tapi serentak itu pula kita berjumpa dengan generasi hukum alam,
generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positivisme, generasi sosio-antropologi,
generasi realisme, dan generasi-generasi lain sesudahnya.


1 Baca B.Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,Semarang 2000,h.122.
2 Baca HR Otje Salman et.al.”Teori Hukum”, 2002,h.60.

1

1.

TEORI HUKUM ZAMAN KLASIK
Teori hukum sejak filsuf Ionia hingga Epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik

yang bersumber pada mistis (pra abad ke-6 Seb. M) maupun yang bersumber pada religi
Olympus (abad ke-5 sampai abad ke-1 Seb. M). dalam kosmologi era sebelum abad ke-6
Seb. M, ‘yang ilahi’ itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mistis.
karenanya alam dipahami sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan berjalan
alamiah. hidup manusia, dengan demikian sepenuhnya tergantung pada nasib. manusia harus
tunduk dan rela menerima nasib sesuai aturan alam, yakni lewat seleksi alam.3
Masuk abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mistis
berganti kosmologi religi Olympus. Dalam kosmologi ini, ‘yang ilahi’ itu (telah) ada dalam
diri manusia, lewat logos (akal). Logos merupakan akal dewa dewi yang mencerahkan dan
menuntun manusia pada pengenalan akan yang ’benar’, ‘baik’, dan ‘patut’. Berkat logos yang

mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang
menjadi petunjuk hidup di duian riil. Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan
maupun wujud aturan yang menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat.4
Hukum Itu Tatanan Kekuatan:
Teori Filsuf Ionia
Teori ini adalah bagian dari para filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 masehi.
Generasi ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales, Heraklitus, dan
Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam(-iah)
dan mistis yang melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam.
Hukum sebagai tatanan kekuatan, merupakan teori dari barisan para filsuf pertama
yunani sebelum abad ke-6 SM. Generasi filsuf ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti
Anaximander, Thales, Heraklitos dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka
sangat lekat dengan kosmologi alam (-iah) dan mitis. Kosmologi alamiah melahirkan
pandangan bahwa kekutan merupakan inti dari tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari
3 Dalam konsep yunani, keadaan terwsebut menunjuk pada konsep psysis, yakni semua orang tidak sederajak
dan olehkarena itu, terdapat orang orang tertentu berada dalam posisi lebih tinggi karena kekuatan /
kekuasaannya. Didalam Surya Prakash Sinha, Jurisprudence Legal Philosophy in Nutshell, Minessota : West
Publishing Co , 1993.
4 Sebagai kebalikan dari psysis, nomos menekankan pada kesederajatan setiap orang depan hukum, yang berarti
memunculkan keharusan setiap orang tunduk pada nomos.


2

alam, tidak lebas dari kodrat yang tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas “ Dionysian “
bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman dan siap menghadapi nasib yang
ditimpakan oleh hidup sebagaimana apa adanya. Sedangkan mitis melahirkan konseposi
tentang kesatuan alam dan manusia. Karena itu, apapun yang dibuat manusia termasuk
hukum, harus mencerminkan dan searah dengan tatanan alam.
Teori para filsuf ionia tentang hukum mencerminkan kosmologi diatas. Pertama , hukum
merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan karena memang berasal dan diperuntukan
bagi manusia-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan nasib. Kedua, tidak
ada perbedaan antara aturan alam dan aturan buatan manusia. Baik aturan alam maupun
aturan manusia dianggap sebagai bagian dari logika alam, yakni logika kekuatan (Heroic
Minded)
Aturan Alam menjiwai aturan hukum, Hukum kodrat yang paling operasional dalam alam
adalah hukum “survival.5” . Artinya hukum tidak lebih dan tidak kurang adalah persoalan
mengenai bagaimana manusia bisa ada dan tetap ada (survive). Hukum adalah “ rumus-rumus
untuk tetap survive “ ( Siapa yang kuat dialah yang menang ! ). Persoalan paling pokok
dalam hidup manusia sebenarnya amat sederhana yaitu “ Ada “ atau “ Lenyap “, dan ini
berlaku untuk semua makhluk hidup.

Hukum Sebagai Tatanan Logos:
Teori Kaum Sofis.6
Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki
jiwa dan raga), filsuf Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama.
Dunia materi bukan segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih utama: Logos yang dimiliki
manusia. Dunia berpusat pada manusia yang punya logos itu, sehingga pun hukum pun juga
berpusat pada manusia yang memiliki logos itu.
Kaum Sofis memulai kegiatannya pada abad V SM, mereka adalah orang terpelajar
yang berkeliling di Polis-polis negeri Yunani untuk megajar pemuda-pemuda yang ingin
5 Dalam catatan Karl Popper, ide ini sesungguhnya diadopsi dari kosmologi timur kuno yang menganggap dunia
sekedar dari unit materi bukan unit moral, lihat : Karl R. Popper, Masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya,
terjemahan (Uzair Faisal), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
6 Sofis (Sophistes) berarti seorang bijaksana atau orang yang memiliki keahlian pada bidang tertentu, meski
pada masa pasca Socrates diartikan menjadi Sophistery yaitu orang-orang yang menipu orang lain dengan
menggunakan keahlian retorikanya)

3

memainkan perannya dalam Politik Kenegaraan. Pada abad V, kebanyakan Polis Yunani
sudah demokratis, artinya sejak abad itu polis bukan lagi kepentingan para sesepuh (res

patricia), melainkan telah menjadi kepentingan umum (res publica), orang-orang yang
mewakili rakyat memperhatikan kepentingan umum.
Dapat dikatakan bahwa polis telah mempunyai aturan yang terang. Keharusan alamiah
yang tadinya gelap dan bersifat membalas dendam secara rahasia, sudah berubah artinya
menjadi hukum ynag terang melalui undang-undnag polis dan praktek hukum yang sesuai.7
Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang telanjang per se.
Mereka mengaitkan hukum dengan ‘moral alam’, yakni logos –semacam roh ilahi yang
memandu manusia pada hidup yang patut. wujudnya adalah nomos –yang dalam tradisi
Yunani menunjuk pada kebiasaan sacral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya
bisa eksis di dalam polis (negara kota di Yunani). Di luar polis hanya ada kekacauan.
Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan. Nomos menjunjung keadilan, menjamin
keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan. Karena nomos mengandung moral logos, maka
pelanggar terhadap nomos perlu dihukum karena dianggap melakukan kesombongan. Nomos
ini menurut Protagoras (salah satu eksponen Sofis), bisa tampil dalam bentuk kebiasaan, dan
juga dalam bentuk undang-undang. Oleh karena itu, dalam tradisi Yunani, hukum (nomos)
dan UU (nomoi) sangatlah penting untuk menata polis.
Hukum Sebagai Tatanan Kebajikan
Teori Socrates
Socrates sama sekali tidak menyetujui pandangan Ionia dan kaum sofis. Terhadap Filsuf
ionia Socrates menampilkan tokoh anti tesis Apollonian yang berwatak rasional, tertib,

ramah, dan bermoral. Sedangkan terhadap kaum sofis, ia memancangkan mascot “pribadi
berintegritas” yaitu manusia yang menjunjung tinggi satunya kata dan tindakan. Manusia
bukanlah

“Binatang Urakan” model Dionysian dan bukalah makhluk opurtunis ala

Protagoras tetapi manusia, hakikat asasinya adalah wujud logos, dank arena itu kehdiupannya
termasuk bidang hukum menerminkan keluhuran logos itu.

7 Theo Huijbers, Loc.Cit.Hlm.20-21

4

Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan
kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. 8 Hukum
bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia),
bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum
sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.
Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam konteks pemikiran etisnya eudaimonia.
Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu

menurut Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan
obyektif yang tidak tergantung pada perasaab subyektif. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia
berarti kesempurnaan jiwa yang oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi
dalam hidup manusia.
Eudaimonia (kesempurnaan jiwa) menjadi inti filsafat kebijaksanaan Socrates. Demi
mempertahankan filsafatnya, dia bersedia mati dengan meminum hemlock. Dari tiga butir
yang menjadi saripati “filsafat kebijaksanaan” Socrates, dua diantaranya relevan diungkapkan
di sini. Butir pertama, peningkatan jiwa, kepedulian terhadap kebijaksanaan dan kebenaran,
merupakan keutamaan tertinggi (primum et summum bonum) dalam hidup manusia. Butir
kedua adalah kebajikan yang tidak lain adalah pengetahuan. Menurut prinsip ini, untuk
mengetahui kebaikan adalah dengan melakukan kebaikan. Kejahatan, kekeliruan atau
semacamnya muncul karena kurangnya pengetahuan, ketidakacuhan, dan ketiadaan lainnya.
Butir kedua ini adalah menyangkut integritas manusia.
Hukum Sebagai Sarana Keadilan:
Teori Plato
Plato mengambil inti ajaran kebijaksanaan Gurunya Socrates dan mengaitkannya
dengan hukum. Perbedaannya adalah jika Socrates menempatkan kebijaksanaan dalam
konteks mutu pribadi individu warga polis, Plato justru mengaitkan kebijaksanaan dengan
tipe ideal Negara polis dibawah pimpinan kaum aristokrat. Perbedaan itu terletak pada
perbedaan asumsi


tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi Socrates secara

individual manusai dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada.
Sedangkan bagi Plato, keempurnaan individu hanya mungkin tercipta dalam konteks Negara
8 Cara pandang Socrates itu mencerminkan ciripemikir Yunani masa itu yang selalu mengaitkan masala Negara
dan hukum dengan aspek moral, yakni keadilan (lih. Dennis Lloyd, The Idea of Law..)

5

dibawah kendali para guru moral, para pemimpin yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum
aristocrat.
Menurut Plato kebaikan hanya dapat diterima oleh kaum aristocrat kaena mereka
dalah orang-orang bijaksana maka dibawah pemerintahan mereka dimungkinkana
danyapartisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Kondisi ini memungkinkan keadilan
tercapai secara sempurna. Apabila ini terjadi maka hukum tidak diperlukan. Keadilan dapat
tercipta tanpa ada hukum karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik pandai dan
bijaksana yang pasti mewujudkan Theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya) ini
diungkapkan Plato dalam bukunya The Republic.


Dengan kata lain aristokrasi sebagai

Negara ideal Plato adalah bentuk Negara yang pemerintahannya dipegang oleh kaum
bijaksana yaitu para filsuf. Pemerintahan dijalankan dengan berpedoma pada keadilan sesuai
dengan ide keadilan orang arif tersebut. Kaum bijak bertindak sebagai guru sekaligus pelayan
kepentingan umum berbasis keadilan.
Secara riil, Plato merumuskan teorinya tentang hukum, demikian:
1. Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh
situasi ketidakadilan,
2. Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul
kekacauan hukum,
3. Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut.
Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati
hukum,
4. Tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada suatu hidup yang
saleh dan sempurna,
5. Orang yang melanggar UU harus dihukum. Tapi itu bukan balas dendam. Karena
pelanggaran adalah suatu penyakit intelektual manusia karena kebodohan. Cara
mendidik itu adalah lewat hukuman yang bertujuan memerbaiki sikap moral para
penjahat. Jika penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.


6

Hukum Itu Rasa Sosial-Etis
Teori Aristoteles
Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis yang
bukanlah bawaan alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan pula mutu ‘kaum
terpilih’ (aristocrat) model Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu sebagai
warga Negara (polis). Berdiri sendiri lepas dari polis, seorang individu tidak saja bakal
menuai ‘bencana’, tetapi juga akan cenderung lard an tak terkendai karena bawaan alamiah
Dionysian-nya.
Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk
mengarahkan manusia ada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral yang rasional
menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan
hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni akal dan
moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara
nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi
hidupnya. Jadi akal memiliki dua fungsi, yaitu teoritis dan praksis. Untuk yang pertama,
Aristoteles menggunakan kata Sophia yang menunjuk pada kearifan. Untuk yang kedua
digunakan akta phronesis yang dalam terminologi Skolatik abad pertengahan disebut
prudentia (prudence). Moral sendiri menurut Aristoteles, memandu manusia untuk memilih
jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan.
Moral memandu pada sikap moderat, sikap yang dalam bahasa sansekerta disebut dengan
purata kencana.
Dalam konstruksi filosofis mahluk moral yang rasional inilah, Aristoteles menyusun
teorinya tentang hukum. Karena hukum menjadi pengarah manusia pada nilai-nilai moral
yang rasional, maka ia harus adil. Keadilan hukum identik dengan keadilan umum, yang
ditandai dengan hubungan yang baik antara satu sama lain, tidak mengutamakan kepentingan
pribadi tapi juga tidak mengutamakan kepentingan pihak lain, serta ada kesamaan. Di sini
tampak kembali apa yang menjadi dasar teori Aristoteles, yakni perasaan ‘sosial-etis’. Tidak
mengherankan jika formulasinya tentang keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam yang
dianggapnya sebagai prinsip keadilan utama, yaitu: Honeste vivere, alterum non laedere,
7

suum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi
kepada tiap orang bagiannya).
Hukum dan Kepentingan Individu
Teori Epicurus
Epicurus membangun teorinya tentang hukum melalui konteks etika epicurunisme di
mana tujuan kehidupan adalah kebahagiaan yang hanya mungkin tercipta jika tiada
penderitaan jiwa-raga. Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa raga harus dihindari
begitu juga kesenangan sensual dan indrawi yang mengakibatkan sakit raga dan penderitaan
jiwa pun harus dijauhi. Gagasan utamanya adalah gagasan atomistik (individu-individu yang
terpisah), yang muncul di tengah peperangan dan pergolakan politik yang melanda polis polis
Yunani kala itu, di mana semua peristiwa tersebut dianggap menderitakan raga dan
menyengsarakan jiwa.
Dari Epicurianisme inilah, hukum (sebagai aturan public), mesti dipandang sebagai
tatanan untuk melindungi kepentingan-kepentingan perorangan. Undang-undang diperlukan
demi mencegah terjadinya kekerasan dan menghindari ketidakadilan akibat konflik
kepentingan individual yang senantiasa muncul. Dengan kata lain, hukum diperlukan untuk
mengatur kepentingan-kepentingan individu secara damai demi terjaganya keamanan raga
dan kedamaian jiwa. Oleh karena itu, tugas hukum adalah sebagai instrument ketertiban dan
keamanan bagi individu-individu yang sama-sama merindukan hidup tenang dan tentram.
Dari Teori Epicurus dapat dipahami 3 hal tentang hukum yaitu :
1. Mengingatkan kita bahwa setiap system hukum dibangun dalam konteks realitas
tertentu yang mencerminkan situasi atau semangat zaman itu, oleh karena itu setiap
analisis terhadap tatanan hukum harus selalu memperhitungkan aspek konteks situasi
dibelakang kelahiran tatanan hukum itu.
2. Persoalan hukum bertali-temali dengan struktur dan susunan masyarakat dimana
hukum itu muncul. Struktur dan susunan masyarkat itu harus menjadi satuan analisis
dalam setiap kajian terhadap hukum.
3. Mendorong untuk melakukan kajian komparasi tentang profil hukum dalam berbagai
jenis masyarakat.9
9 Bernard T, Teori Hukum, loc.cit, hlm 48-53

8

2.

TEORI HUKUM ABAD PERTENGAHAN
Abad pertengahan merupakan suatu era di mana pemikiran serba Ilahiah (utamanya

teologi Kristen) begitu dominan. Manusia dan alam dianggap berada di bawah kendali
Alhalik. Sama seperti logos di era sebelumnya. Tokoh-tokoh dalam teoeri hukum ini adalah
Agustinus (penghujung terakhir zaman klasik/tahun 400 M) dan Thomas Aquinas (paruh
kedua abad pertengahan/Tahun1200 M) tertib manusia, termasuk teori tentang hukum
diletakan dalam tatanan ‘cinta kasih dan hidup damai’ yang merupakan jawaban atas campur
tangan Ilahi dalam hidup manusia.
Hukum Itu Tatanan Hidup Damai:
Teori St. Agustinus
Serupa dengan nuansa hukum alam zaman Yunani dan Romawi Kuno, St. Agustinus
membangun teorinya mengenai hukum di bawah tema keadilan juga. Akan tetapi karena
pengalaman pahit pergolakan menjelang keruntuhan kekaisaran Romawi, menyebabkan ia
memberi poin tambahan pada unsur hukum alam sebelumnya, yaitu mengenal Tuhan dan
hidup saleh, yang merupakan salah satu unsur penting dari keadilan selalin hiudp yang baik,
tidak menyakiti siapa pun dan memberi kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya.
Agustinus mengadopsi zwei zwaarden theorie (teori dua pedang) dari Paus Gelasius
yakni pedang kerohanian dan pedang keduniawian. Pemilahan tersebut berdampak bagi
pembentukan hukum sebagai berikut: (i) Hukum yang mengatur soal keduniawian
(kenegaraan), (ii) Hukum yang mengatur soal keagamaan (kerohanian). Selain itu terdapat
juga dua macam kodifikasi hukum: (i) kodifikasi yang diselenggarakan oleh Raja Theodosius
dan Raja Justianus, yang merupakan kodifikasi oleh Negara dan dinamakan Corpus Iuris, dan
(ii) kodifikasi yang diselenggarakan oleh Paus Innocentius, yang diadakan oleh gereja dan
dinamakan Corpus Iuris Canonici.
Corpus Iuris terdiri atas empat bagian: Instuten, ajaran yang mengikat seperti undangundang, maksudnya bila ada hal-hal yang kurang jelas pengaturannya dapat dicari dalam
Instuten. Pandecten: penafsiran suatu peraturan oleh para sarjana. Codex: Peraturan atau

9

undang-undang yang ditetapkan oleh raja. Novellen: Tambahan dari suatu peraturan atas
undang-undang.
Sebagai tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (lex aeterna) sebagai cita
dan hukum positif yang tidak boleh dilampaui. Jika hukum positif (lex tempralis) melanggar
aturan Ilahi itu, maka ia telah kehilangan kualitas hukumnya.
Hukum Itu Bagian Tatanan Ilahi:
Teori Thomas Aquinas
Tidak berbeda jauh dengan Agustinus, Aquinas pun mendasarkan teorinya tentang
hukum dalam konteks moral agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakan moral di
dunia. Karena zaman ini merupakan era dominasi agama (yang diawali oleh agama Kristen),
maka kehidupan moral dimaksud menunjuk pada ukuran agama tersebut.
Imperatif-impertif moral tersebut berpengaruh pula terhadap hukum. Tata hukum harus
dibangun dalam struktur yang berpuncak pada kehendak Tuhan. Karena itu, sebagaimana
tercerminkan dalam doktrin Thomas Aquinas, konfigurasi tata hukum dimulai dari (i) Lez
Aeterna: Hukum dan kehendak Tuhan, (ii) Lex Naturalis: Prinsip umum (hukum alam), (iii)
Lex Devina: Hukum Tuhan yang dalam Kitab Suci (iv) Lex Humane: hukum buatan manusia
yang sesuai dengan hukum alam.
Hukum pada dasarnya merupakan cerminan tatatan Ilahi. Legislasi hanya memiliki
fungsi untuk mengklarisfikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Tugas hakim adalah untuk
menegakkan keadilan melalui fungsinya menerapkan hukum dalam kaitan dengan
pemberlakuan undang-undang. Pemikiran Aquinas ini hanya bisa dipahami dalam konteks
kosmologi dan ontology Skolatik. Kosmologi dimaksud adalah mengijinkan penalaran
rasional selama batas-batas yang diterapkan oleh wahyu Ilahi tidak dilanggar. Penerapan
hukum positif pada kasus riil, harus dibaca sebagai implementasi hukum Ilahi.
Dalam konteks itulah Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu,
dengan hukum yang dijangkau oleh akal manusia. Hukum yang berasal dari wahyu disebut
ius divinum positivum (hukum Ilahi positif). Sedangkan hukum yang ditemui lewat kegiatan
akal, terdiri dari beberapa jenis, yakni (i) Ius naturale (hukum alam), (ii) Ius gentium (hukum
bangsa-bangsa), dan (iii) Ius positivum humanum (hukum positif buatan manusia).
10

Dalam system Aquinas, akal berada di atas kehendak. Bagi Aquinas, akal berada di atas
kehendak. Akal itu mencerahkan, sedangkan kehendak cenderung naluriah. Itulah sebabnya,
hukum yang berintikan iustum (keadilan), mutlak merupakan produk akal. Tentang keadilan
Aquinas membedakan dalam tiga kategori: (i) Iustitia distributiva (keadilan distributif), yang
menunjuk pada prinsip kepada yang sama diberikan sama, kepada yang tidak sama diberikan
yang tidak sama pula. Ini disebut kesaderajatan geometris. (ii) Iustitia commutative (keadilan
komutatif atau tukar menukar), menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip aritmetis, yaitu
penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.
(iii) Iustitia legalis (keadilan hukum), yang menunjuk pada ketaatan terhadap hukum. Bagi
Aquinas, menaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal (dan
diasumsikan hukum itu berisi kepentingan umum), maka keadilan hukum disebut juga
sebagai keadilan umum (iustitia generalis).

3.

TEORI HUKUM ERA RENAISSANCE
Sebagai filsuf, para pemikir zaman modern, terutama era Renaissance, masih juga

dipengaruhi kosmologi metafisika. Mereka tetap mengakui adanya hukum alam tapi tidak
menjadikanya sebagai perhatian utama. Bagi filsuf-filsuf seperti Jean Bodin (1530-1596),
Hugo Grotius (1583-1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679) hukum positiflah (buatan
manusia) yang menjadi fokus perhatian.
Hukum itu Perintah Penguasa Berdaulat
Teori Jean Bodin
Bagi Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Raja
sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque solute potestas).
Sebab jika raja berada di bawah hukum, maka itu akan menghancurkan makna dasar
kedaulatan (yang satu, bulat, dan superior).
Karena teorinya tentang kedaulatan yang menjurus pada negara, maka Bodin dikenal
sebagai penganut doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum adalah penjelmaan dari
kehendak Negara. Negaralah yang menciptakan hukum, dan Negara adalah satu-satunya

11

sumber hukum yang memiliki kedaulatan. Di luar Negara, tidak ada yang berwenang
menetapkan hukum.
Apakah dengan demikian Bodin menjadi penganjur kekuasaan otoritarian? Dalam
teorinya tentang hukum, Bodin terkesan tidak sepenuhnya memihak kekuasaan mutlak. Ia
masih berpegang pada cita hukum alam. Hukum (jus) adalah baik dan tanpa perintah.
Sedangkan perundang-undangan (leges) dihasilkan dari penerapan kedaulatan orang yang
memerintah. Implisit ia membedakan hukum sebagai perundang-undangan, dengan hukum
yang bersumber dari moral dan keadilan.
Hukum itu Tatanan Keamanan:
Teori Thomas Hobbes
Thomas Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di
tengah orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting
bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil.
Yang ada, hanya nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu, terjadilah bellum omnium
contra omnes di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguhsungguh egoistis. Watak manusia ala Dionisyan ala filsun Ionia dan individu egoistis
Epicurus, seolah hidup kembali dalam teori Hobbes.
Jika tidak ada hukum, maka demi mengejar kepentingan diri, mereka akan terlibat
dalam war all against all (perang semua melawan semua). Tanpa hukum yang ditegakkan
oleh penguasa yang kuat, maka individu-individu akan saling membinasakan (homo homini
lupus). Hukum adalah pilihan sadar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing
terhadap serangan orang lain. Agar efektif, hukum butuh penegak yang kuat, yaitu penguasa
yang punya kekuasaan yang besar.
Thomas Hobbes juga melihat hukum alam (yang intinya keadilan, kesetaraan,
kerendahatian, kemurahatian, dan semua yang sebaiknya dilakukan) sebagai tatanan perilaku
yang terdiri dari aturan-aturan bijak. Keluhuran hukum alam menjadi panduan bagi raja
dalam ‘mengeluarkan perintah’.
Hukum itu Kesadaran Sosialitas:

12

Teori Hugo Grotius
Grotius merupakan penganut humanisme awal zaman modern. Ia memandang manusia
sebagai oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Hal ini berlaku bagi
setiap manusia.
Hukum sangat dibutuhkan agar tiap orang kembali pada kodratnya sebagai ‘manusia’
sosial yang berbudi. Hukum yang demikian, merupakan ‘pengawal’ dalam sosiabilitas
manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip ‘individu sosial’ yang berbudi itu tetap tegak.
Prinsip-prinsip yang dimaksud: (1) milik orang lain harus dihormati; (2) kesetiaan pada janji.
Kontrak yang harus dihormati (pacta sunt servanda); (3) harus ada ganti rugi untuk tiap
kerugian yang diderita; (4) harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran.
Empat prinsip di atas, merupakan inti hukum alam versi Grotius. Menurutnya hukum
ama adalah segala ketentuan yang benar dan baik menurut rasio, tidak mungkin salah,
lagipula adil. Bahkan tidak dapat diganggu gugat. Tuhan sendiri tidak dapat mengubaj
kebenaran hukum itu. Seandainya Tuhan tidak ada pun, atau tidak memperdulikan manusia,
maka hukum alam sebagai hasil akal manusia, dapat memimpin manusia itu sendiri. Tesis ini
sekaligus membantah Aquinas dan Althusius yang mengatakan hukum alam itu berasal dari
Tuhan. Bagi Grotius, hukum alam berasal dari rasio, bukan dari Tuhan.
4.

TEORI HUKUM ERA AUFKLARUNG
Kosmologi era Aufklarung diwarnai “kekuasaan” akal atau rasio manusia. Manusia era

ini adalah individu yang rasional, bebas dan otonom. Disini muncul teori tentang hukum
sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia.
Hukum Itu Perlindungan Hak Kodrat
Teori John Locke
Sebagai penganut hukum alam abad ke-18, locke berpegang pada prinsip hukum alam
zaman itu yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ia juga mengajarkan kontrak sosial,
serupa dengan Hobbes, perbedaannya dengan Hobbes, Locke menyatakan bahwa yang
melakukan kontrak sosial bukanlah orang yang takut dan pasrah melainkan adalah orang-

13

orang yang tertib, elan, dan menghargai kebebasan, hak hidup, dan kepemilikan harta sebagai
hak bawaan setiap manusia.
Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak
sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial
dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Rakyat sendirilah yang harus menjadi
pembuat hukum. Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti bagi kehidupan politik,
sehingga hukum yang dibuat negara pun bertugas untuk melindungi hak-hak dasar tersebut.
Hukum Itu Produk Akal Praktis
Immanuel Kant
Kant dikenal dengan Imperatif kategorisnya di mana ada dua norma yang mendasari
prinsip ini:
1) Tiap manusia diperlakukan sama sesuai martabatnya, harus diperlakukan selaku
subjek, bukan objek;
2) Manusia harus mendasari tindakannya dengan dalil berdasarkan prinsip semesta.
Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung
memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya. Tapi sangat mungkin pelaksanaan
kemerdekaan seseorang bisa merugikan kemerdekaan orang lain sehingga untuk
menghindarinya dibutuhkan hukum
Karena hukum harus berpedoman pada dua prinsip kategoris dimaksud, maka Kant
memasukkan hukum dalam bidang “akal praktis”. Hukum merupakan bidang sollen, bukan
bidang sein. Akal murni merupakan media untuk melihat “yang ada” (sein) yakni alam, fakta
dan semua yang dapat direkam oleh indera. Sedangkan akal praktis merupakan media untuk
menangkap bidang “harus” (sollen), yakni norma-norma. Aturan hukum sebagai norma
hukum positif, bukanlah bidang keharusan yang otonom. Ia merupakan lembaga keharusan
yang heteronom.

14

Hukum Itu Keharusan
Teori Cristian Wolff
Teori dari Cristian Wolff ini berangkat dari pengandaian bahwa hukum alam, seperti
juga hukum lainnya, berbasis kewajiban. Tiada hukum tanpa kewajiban yang mendahului
keberadaannya.
Wolff mengajukan tiga eselon norma yang menjadi pedoman norma hukum. Pertama
norma “tingkat rendah” (mengatur hubungan manusia dengan benda). Prinsip dasar dalam
norma ini adalah : Jangan merugikan orang lain (neminem laedere). Kedua, norma “tingkat
menengah” (mengatur hubungan antar-orang). Prinsip utama disini ialah Berikan setiap orang
menurut haknya (unicuique suum tribuere). Ketiga, norma “tingkat tinggi” (mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan). Disini berlaku hak dan kewajiban orang untuk berbakti
kepada Tuhan (ius pictatis atau ius internum). Prinsip dasar dalam bidang ini ialah bertingkah
laku secara luhur dan terhormat (honeste vivere).
Hukum dan Lingkungan Fisik
Teori Mostesquieu
Mostesquieu berpendapat bahwa hukum adalah soal jenis-jenis hukum. Menurutnya,
semua makhluk termasuk manusia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Pertama, hukum
alam yang jelas tidak dapat di ubah dan dipertetangkan. Kedua, hukum agama yang berasal
dari Tuhan. Ketiga, hukum moral dari ahli filsafat dimana hukum ini dapat dibuat dan diubah.
Keempat, hukum politik dan sipil. “hukum sipil” adalah produk produk civil state yang
bernuansa non-politik.
Montesquieu menganggap bahwa republik sebagai bentuk Negara terbaik karena
diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat yang memegang kedaulatan, memberikan mandat serta
legitimasi kepada orang-orang tertentu untuk memerintah negara. Akan tetapi mandat
tersebut rawan untuk disalahgunakan sehingga untuk mencegahnya maka kekuasaaan Negara
15

tidak boleh dimonopoli dan tersentralisasi oleh penguasa atau lembaga politik tertentu,
kekuasaan negara perlu dibagi-bagi inilah yang kemudian dikenal dengan konsep pemisahan
kekuasaan negara atau trias politica. Pengertian dari trias politica ini adalah pengawasan
(check and balance) dari suatu cabang pada cabang yang lain .
Perwujudan dari konsep Trias Politica Mostesquieu, adalah adanya pembagian
kekuasaan negara kedalam tiga fungsi, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Mostesquieu
berpendapat, kekuasaan negara dipisahkan secara tegas menjadi tiga, kekuasaan perundangundangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan
kehakiman (yudikatif) yang masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan
yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan kemungkinan tindakan yang
sewenang-wenang dari seorang penguasa. Menurut Mostesquieu dengan adanya lembaga
legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik.
Hukum Itu Kehendak Etis Umum
Teori Rousseau
Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi
etis. Menurut Rousseau suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan absah mengikat,
bukan melulu karena diciptakan dengan partisipasi bebas dari manusia yang tunduk padanya.
Lebih dari itu ia harus benar-benar mencerminkan kemauan bersama dari orang-orang bebas
tersebut. Rakyatlah yang berdaulat, bukan badan legislasi itu sendiri. Jelaslah bahwa hukum
merupakan “pribadi moral” dan “pribadi publik” yang berasal dari kontrak sosial dan
melindungi kekuasaan bersama disampin kekuasaan dan milik pribadi.
Hukum Itu Kaidah Menggapai Simpati
Teori David Hume
Menurut Hume, tidaklah manusia ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio. Menurut
Hume, segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan dengan sendirinya
disambut dengan aprobasi (penerimaan baik). Jadi dapat disimpulkan, hukum bagi Hume
merupakan alat pencapaian cita-cita sosial. Cara yang dimaksud Hume adalah melalui
prinsip-prinsip hukum alam, yakni keterjaminan kepemilikan, tidak menguasai barang secara

16

berlebihan, perolehannya harus dilakukan secara halal, pemindahannya harus berdasarkan
kesepakatan dan berusaha setia pada janji.
Hukum Itu Penyokong Kebahagiaan
Teori Jeremy Bentham
Teori dari Jeremy Bentham ini adalah individualisme utilitarian. Katanya, alam telah
menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dua penguasa, yakni suka dan duka.
Doktrin Bentham tentang manusia sebenarnya sudah kita temukan pada pemikiran Hume
sebelumnya bahwa tindakan manusia terkait dengan hasrat.
Pertentangan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan bersama, dilakukan Mill
dengan mengadu domba naluri intelektual dan naluri non-intelektual dalam diri manusia.
Teori Utilitarisme Mill “rata-rata” sesunguhnya lebih berbahaya dari yang disangka orang.
Menurut Rawls, dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utalitarisme ala Mill
itu, orang-orang akan kehilangan harga diri dan lagi pula pelayanan demi perkembangan
bersama akan lenyap. Susunan dasar masyarakat dimanapun, Kata Rawls selalu ditandai oleh
ketimpangan. Ada yang lebih diuntungkan, dan ada yang kurang diuntungkan.
Oleh karena itu, hukum sebagai salah satu unsur susunan dasar masyarakat, harus
berdasarkan sedemikian rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama, menetapkan kebebasan yang
sama bagi setiap orang untuk mendapat akses pada kekayaan, pendapatan, makanan dan
kebebasan. Kedua, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan atau kesempatan. Menurut
Rawls, prinsip yang pertama harus berlaku terlebih dahulu sebelum prinsip yang kedua.
5.

TEORI HUKUM ABAD KE-19
Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama,

terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolui industri. Kedua, munculnya
penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya yang dianggap cenderung
mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Ketiga, hampir bersamaan dengan
historisme, muncul pada pemikiran evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan
kebudayaan manusia dari tradisional ke modern. Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry
Maine dan durkheim.

17

Hukum Itu Kepentingan Orang Berpunya
Teori Karl Marx
Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Faktanya
hukum melayani kepentingan “orang berpunya”. Karl Marx berupaya menganalisis prosesproses ekonomi dalam intern kapitalis sebagai kompleks krisis yang akan menghancurkan
sistem kapitalis itu sendiri yang kemudian akan melahirkan masyarakat sosialis.
Dilingkungan Frankfurter Schule, kritik dipakai sebagai nama teori mazhab ini “teori
kritis”, membidik masalah positivisme ilmu-ilmu sosial sebagai sasaran kritik. Yaitu,
anggapan bahwa bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai terlepas dari praktek sosial dan
moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif dan sebagainya.
Kritik bertolak dari sebuah kebutuhan untuk perubahan menuju yang lebih baik. Ada
situasi negatif, ada kepentingan untuk seluruh mengatasi situasi itu. Menurut Marx, sejarah
manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Dizaman feodal, terjadi pertentangan
antara kelas bangsawan dengan kelas petani. Dizaman perbudakan, muncul pertentangan
antara pemilik budak dengan budaknya. Sedangkan dizaman kapitalisme, kelas pemilik
modal melawan buruhnya.
Pertentangan kelas itu baru berhenti pada saat terciptanya masyarakat komunis, dimana
kelas buruh berkuasa. Semua orang adalah buruh sekaligus majikan. Hasilnya, tidak ada
pertentangan kelas di masyarakat.
Hukum Itu Jiwa Rakyat
Teori Savigny
Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter
suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu “hukum adat” yang
tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan
yang sejati.
Keberatan Savigny terhadap kodifikasi hukum Jerman juga didasarkan pada
pertimbangan yang lebih realistis. Menurutnya, kodifikasi hukum selalu membawa serta
18

suatu efek negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Menurut Savigny sejarah itu
berjalan terus dan berkembang setiap saat.
Memang dalam tesis Savigny, hukum itu sejak awal sejarah melekat ciri nasional.
Seperti halnya bahasa, adat istiadat dan konstitusi, ia khas bagi rakyat. Fenomena hukum
tidak berdiri sendiri ia disatukan dalam watak rakyat berkat adanya kesatuan pendirian dari
rakyat itu sendiri. Roh dari hukum itu adalah Volkgeist.
Diletakkan dalam konteks zamannya, teori Savigny ini dapat dilihat sebagai serangan
terhadap dua kekuatan yang berkuasa pada zaman itu, yakni : (i). Rasionalisme dari abad ke18 dengan kepercayaannya pada kekuasaan dan akal dan prinsip-prinsip absolut yang
universal yang membuahkan teori-teori hukum nasionalistik tanpa memandang fakta historis
lokal, ciri khas nasional, serta kondisi-kondisi sosial setempat, (ii). Kepercayaan dan
semangat revolusi prancis yang cenderung anti tradisi, serta telampau mengandalkan
kekuatan akal dan kehendak manusia dalam mengkonstruksi gejala-gejala hidup di bawah
pesan-pesan kosmopolitannya.
Hukum Itu Produk Adaptasi Sosial
Teori Henry S. Maine
Maine dikenal dengan teorinya Movement from status in contract. Teori evolusi ini
dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia. Dari sana, ia
temukan dua tipe masyarakat, yakni : (i). Statie Sosietis (Cina dan India), (ii). Progressive
Societis (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan antar
status. Sebaliknya, pada mayarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak
antar prestasi.
Teori Maine tidak terlepas dari telaah studi perbandingan mengenai perkembangan
sistem hukum yang bervariasi di berbagai belahan dunia.
Hukum Itu Moral Sosial
Teori Emile Durkheim

19

Teori Durkheim ini, menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri
bukanlah tergolong jajaran filsuf klasik yang melulu berurusan dengan persoalan moral.
Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial
itu sendiri merupakan jenis yang abstrak. Ia merupakan “roh” yang mengikat orang-orang
pada “kerangka keyakinan” bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi.
Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah ekspresi
solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan
solidaritas. Tampaknya, haluan aliran Marx dan Maine yang bernuansa evolusionisme dan
ekonomi itu, tertular pula pada Durkheim yang lahir hampir empat dasa wasa kemudian. Ia
membangun teorinya tentang hukum di karya utamanya “pembagian kerja”.
Baik “hukum yang menindak” maupun “hukum yang memulihkan”, keduanya memiliki
tujuan yang sama yakni integrasi sosial. beda jalan, tapi satu tujuan. “Hukum yang
menindak” merupakan “jalan” (cara dan strategi) yang ditempuh masyarakat tradisional.
Sedangkan masyarakat modern mengambil haluan yang berbeda, yakni lebih memanfaatkan
“hukum yang memulihkan”. Keduanya berbeda karena basis ideologinya berbeda.
Hukum Itu Tata Hukum
Teori Austin
Bagi Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam
kehidupan sosial, bukan pula karena cermin keadilan dan logos, tetapi karena hukum itu
mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. John Austin sebagai analytical
legal positivism-nya, menjadi penganut utama aturan positivisme yuridis. Austin bertolak
pada kenyataan bahwa terdapat suatu kekuaaan yang memberikan perintah-perintah, dan ada
orang yang pada umumnya menaati perintah-perintah tersebut.
Untuk dapat disebut hukum, kata Austin harus memiliki unsur-unsur: (1). Adanya
seorang penguasa (souvereighnity), (2). Suatu perintah (Command), (3). Kewajiban untuk
menaati (duty), (4). Sanksi bagi mereka yang tidak taat (Sanction). Austin menggantikan
ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok utama segala hukum dengan
perintah seorang yang berkuasa. Aturan yang tidak mengandung keutamaan, tidak layak
disebut hukum. Ia lebih tepat dipaksa disebut paksa yang dilegalkan.

20

Memang Hans Kelsen berupaya memberi pendasaran normatif melalui Grundnorm.
Sesuai peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada
jenjang yang lebih tingi berpuncak pada Grundnorm. Tapi apa isi grundnorm itu, tidak
menjelaskannya.

Hukum Itu Ide Umum Aturan Positif
Teori Ernst Bierling
Hukum itu, ide umum tata hukum positif itulah inti dari teori dari ajaran hukum. Ajaran
hukum umum mencari ide-ide hukum yang berlaku dimana-mana karenanya dianggap
universal dan tetap. Tapi ide-ide itu bukan diambil dari isi atau materi hukum positif, tetapi
dari aspek formal yuridisnya. Alasannya sederhana. Materi hukum selain cenderung tidak
tetap dan berubah-ubah juga karena ia berasal dari sumber-sumber non yuridis.

6.

TEORI HUKUM ABAD KE-20
Humanisasi hidup dan berkeadilan sosial tampil sebagai “kekuasaan” baru yang

dihadapi manusia di abad ke-20. Persoalan sekitar dua hal itu, sangat beragam. Pertama,
tragedi sosial dan kemanusiaan akibat perang dunia I dan II. penindasan kejam dari rezim
politik yang totaliter di era Hitler dan Stalin disamping tragedi-tragedi lain tentang
kemanusiaan. Kedua, kian meluasnya struktur-struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi
yang meminggirkan dan menindas kelompok-kelompok periferi.
Ketiga, bersamaan dengan kian kuatnya peran negara dan hukum dalam segala aspek
kehidupan sosial juga memunculkan beragam sikap.
A.

Teori Neo-Kantian

Dimana Letak Sifat Normatif Dari Hukum ?
Ciri khas pemikir Neo-Kantian adalah, mencari suatu pengertian transedental
tentang hukum, yaitu sifat normatifnya.
21

Neo-kantian merupakan reaksi terhadap positivisme. Neo-kantian menolak tredo
positivisme yang terlampau empiristis. Neo kantian sendiri, terbagi dalam dua varian.
Pertama, aliran Marburg yang memberi perhatian pada penalaran logis (menurut logika
ilmu alam) dalam teorisasinya. Kedua, aliran Baden yang cenderung memberi perhatian
pada nilai-nilai, dan atas refleksi tentang ilmu-ilmu kultural.
Hukum Itu Normatif, Karena Kehendak Yuridis
Teori Rudolf Stammler
Mengenai teorinya tentang kemauan, Stammler beranjak dari asumsi “tindakan
bertujuan”. Katanya : “orang mau berbuat sesuatu, pasti untuk mengejar suatu tujuan”.
Jadi tujuan menentukan perbuatan. Bagi Stammler, perbuatan merupakan “materi dari
kemauan”, sedangkan tujuan adalah “bentuk”.
Kata Stammler, apa yang dikehendaki manusia dalam kehidupan sosial adalah
hidup bersama yang teratur. Untuk menjamin hidup (bersama) yang teratur itu,
dibutuhkan “perbuatan”, yakni peraturan segala yang terdapat dalam kehidupan
bersama tersebut.
Dalam teori Stammler, jelas kiranya bahwa hidup bersama yang teratur,
menghendaki adanya hukum sebagai penjamin keteraturan. Kehendak akan hukum
itulah yang oleh Stammler disebut “kehendak yuridis”.
Hukum merupakan kehendak yuridis manusia. Kehendak itu memicu kesadaran
bersama (bukan orang perorang) suatu masyarakat manusia untuk membentuk
peraturan-peraturan hukum.
Kata Stammler tanpa hubungan-hubungan yuridis yang mengikat semua tiap
orang, maka kehidupan akan cenderung ditentukan mau dan caranya orang per orang.
Kehidupan seperti ini, lambat laun akan mengarah kepada kekacauan sehingga
manciderai cita-cita kehidupan berama, yakni hidup damai dan teratur.
Hukum Itu Normatif karena Grundnorm
Teori Hans Kelsen
22

Kelsen bertolak dari dualisme Kant antara “bentuk” dan “materi”. Kelsen
mengamini perbedaan antara bidang “ada” (sein) dan bidang “harus” (sollen) sebagai
suatu unsur dari pengetahuan manusia. Bidang sein berhubungan dengan alam dan
fakta, sedangkan bidang sollen justru berkaitan dengan kehidupan manusia.
Menurut Hart, secara umum pengertian Austin memang tepat, sebab benarlah
bahwa pemerintah yang disebut hukum, dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa dan
bahwa perintah-perintah itu biasanya ditaati.
Hukum Itu Normatif, Karena Nilai Keadilan
Teori Gustav Radbruch
Dalam mengkonstruksi teorinya, Radbruch bertolak dari tesis mashab Baden
yakni kebudayaan. Bagi Radbruch yang mengikuti Lask, kebudayaan itu adalah nilainilai manusia. Baik pengetahuan, seni, moralitas maupun hukum adalah bagian dari
kebudayaan. Menurut Radbruch gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa
formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee yakni keadilan. Tuntutan akan keadilan
dan kepastian menurut Radbruch merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum.
Sedangkan finalitas mengandung unsur raltivitas karena tujuan keadilan untuk
menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai suatu nilai etis dalam hukum.
Bila tujuan hukum adalah kemajuan negara, maka tujuan itu menghasilkan tujuan
hukum kolektif. Wolfgang Friedmann menyebut semboyan-semboyan yang dilekatkan
dalam tiga subjek itu adalah kemerdekaan, bangsa, dan peradaban. Radbruch mengakui
selalu terjadi pertentangan antara tiga aspek tersebut. Dalam negara sistem hukum
kolektif maka kemungkinan timbul pertentangan antara finalitas dan keadilan. Menurut
keadilan, orang itu harus dihukum, tetapi finalitas tidak menginginkannya.
Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu:
(i). Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan didepan pengadilan, (ii).
Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang tidak boleh
dilanggar, dan (iii). Harus ada keseimbangan antara pelanggaran dan hukuman.

23

B.

Teori Dari Kubu Neo-Positivisme

Hukum Itu cermin Rasionalitas dan Otoritas
Weber membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan
hukum. Weber menggunakan ukuran “tingkat rasionalitas” dan “model kekuasaaan”
untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Disini ada tiga tingkat rasionalitas,
yakni : (i). Substantif-irasional, (ii). Subtantif dengan sedikit kandungan rasional, (iii).
Rasional penuh.
Weber juga menggunakan tipe otorites (model kekuasaan), sebagai basis teorinya
mengenai hukum. Tipe pertama adalah tipe kharismatik. Tipe kedua, tipe tradisional
yang bertumpu pada kepercayaan menurut tradisi terhadap orang yang dianggap layak
memimpin masyarakat. Sedangkan tipe ketiga adalah otoritas yang rasional. Masingmasing tipe otoritas itu, menentukan model penyelenggaraan hukum ( baik law-making,
law-finding maupun law-enforcement).
Rheinstein yang mengedit dan menerjemahkan karya Weber menurunkan tipologi
Weber secara singkat, demikian :
a.

Irasional, yaitu tanpa oleh aturan-aturan umum
1.

Formal : dipandu oleh hal-hal yang diluar kontrol/kemampuan akal

2.

Substantif : dipandu oleh reaksi terhadap kasus individual


Substantif dipandu oleh prinsip-prinsip dari suatu sistem ideologi
disamping hukum itu sendiri



Formal :

24

1.

Secara ekstrinsik, yaitu dengan menganggap bahwa suatu
kepentingan itu berasal dari kejadian-kejadian eksternal yang
dapat diamati oleh indera

2.

Secara logis, yaitu dengan mengungkapkan aturan-aturan
dengan penggunaan konsep-konsep abtrak yang diciptakan oleh
pemikiran hukum itu sendiri dari dipahami sebagaimana suatu
sistem yang lengkap.

b.

Rasional, yaitu dengan dipandu oleh aturan-aturan umum :
Menurut Weber, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang

paling rasional ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional dibidang kehakiman dan
kepengacaraan.
Hukum Itu Tatanan Karya Sosial
Teori Leon Dugit
Duguit menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar konstruksi teori tentang
hukum. Solidaritas sosial itu, membangkitkan dua rasa, yaitu : (i). Rasa keharusan
sosial, (ii).Rasa keadilan. Dari dua keharusan itulah hukum lahir. Nama hukum itu
adalah “hukum karya sosial”. Menurut Duguit kekuasaan dalam negara sebenarnya
tidak lain daripada suatu alat yang diciptakan individu-individu atau kelompokkelompok tertentu untuk mempertahankan supremasinya kepada orang lain. “hukum
karya sosial” menurut Duguit (harus) bersifat objektif.
Pemerintah tidak boleh menyisipkan agenda sendiri dalam hukum yang dibuatnya
sekalipun dengan selubung hukum publik. Itulah sebabnya, Duguit menolak secara
radikal penggolongan hukum ke dalam hukum publik dan hukum privat. Baik negara
maupun masyarakat menurut Duguit harus tunduk pada satu hukum, yakni “hukum
karya sosial”.
Duguit m