2.1 Pengertian Citra - Analisis Perbandingan Kompresi Citra Menggunakan Metode Joint Photographic Experts Group (Jpeg) Dan Burrows-Wheeler Transform (Bwt)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas landasan teori yang bersifat ilmiah untuk mendukung penulisan

  penelitian ini. Teori-teori yang dibahas mengenai pengertian citra, jenis-jenis citra digital, metode Joint Photographic Experts Group (JPEG), metode Burrows-Wheeler

  Transform (BWT) , dan beberapa teori pendukung lain dalam penelitian ini.

2.1 Pengertian Citra

  Pengertian citra secara umum adalah merupakan suatu gambar, foto ataupun tampilan dua dimensi lainnya yang menggambarkan suatu visualisasi objek. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpan (Sutoyo, 2009). Citra yang dapat disentuh dan dilihat secara nyata merupakan citra analog. Jenis lain dari citra adalah citra digital. Citra digital merupakan sebuah larik (array) yang berisi nilai- nilai real maupun komplek yang direpresentasikan dengan deretan bit tertentu (Putra, 2010). Citra digital tersusun dalam bentuk raster (grid). Kumpulan titik yang terbentuk dari citra digital dinamakan piksel (pixel atau picture element). Setiap piksel digambarkan sebagai satu kotak kecil dan mempunyai koordinat posisi (x,y) serta memiliki nilai yang menunjukkan intensitas keabuan pada piksel tersebut. Sistem koordinat yang dipakai untuk menyatakan citra digital ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Sistem Koordinat Citra Berukuran M×N (M baris dan N kolom) (Kadir, 2013)

  Pernyataan M×N disebut resolusi pada citra. Istilah resolusi terkadang juga digunakan untuk menunjukkan jumlah piksel per satuan panjang dari citra (Salomon, 2004). Resolusi diukur dengan satuan dpi (dots per inch).

  Dengan sistem koordinat yang mengikuti asas pemindaian pada layar TV standar tersebut, sebuah piksel mempunyai koordinat berupa (x,y). Dalam hal ini, x menyatakan posisi kolom, y menyatakan posisi baris, dan piksel pojok kiri-atas mempunyai koordinat (0,0) dan piksel pada pojok kanan-bawah mempunyai koordinat (N – 1, M – 1) (Kadir, 2013).

  Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matriks seperti berikut: ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

  ( ) [ ]

  ( ) ( ) ( ) Berdasarkan gambaran tersebut, citra digital dapat dituliskan sebagai fungsi intensitas f(x,y), di mana harga x (baris) dan y (kolom) merupakan koordinat posisi dan f(x,y) adalah nilai fungsi pada setiap titik (x,y) yang menyatakan besar intensitas citra atau tingkat keabuan atau warna dari piksel di titik tersebut (Lidya, 2012).

2.2 Jenis-jenis Citra Digital

  Terdapat tiga jenis citra digital yang umum digunakan dalam pemrosesan citra. Jenis pertama adalah citra warna. Citra warna atau citra Red-Green-Blue (RGB) merupakan jenis citra yang menyajikan warna dalam bentuk komponen Red (merah), Green (hijau), dan Blue (Biru). Setiap komponen warna menggunakan delapan bit (nilainya berkisar antara 0 sampai dengan 255) (Kadir, 2013). Citra warna dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Citra RGB (Kadir, 2013)

  Jenis kedua adalah citra grayscale. Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada setiap pikselnya. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukkan tingkat intensitas (Putra, 2010). Intensitas berkisar antara 0 sampai dengan 255. Citra jenis ini menangani gradasi warna hitam dan putih, yang tentu saja menghasilkan efek warna abu-abu. Nilai 0 menyatakan hitam dan nilai 255 menyatakan putih (Kadir, 2013). Citra grayscale dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Citra Grayscale (Kadir, 2013) Jenis ketiga adalah citra biner. Citra biner adalah citra dengan setiap piksel hanya dinyatakan dengan sebuah nilai dari dua kemungkinan, yaitu nilai 0 dan 1. Nilai 0 menyatakan warna hitam dan nilai 1 menyatakan warna putih (Kadir, 2013). Citra biner dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Citra Biner (Kadir, 2013)

2.3 Citra Bitmap Untuk skripsi ini, citra yang digunakan untuk proses kompresi adalah citra bitmap.

  Citra dengan format bitmap (*.bmp) adalah format penyimpanan standar tanpa kompresi yang umum dapat digunakan untuk menyimpan citra biner, citra grayscale, dan citra warna. Format ini terdiri dari beberapa jenis yang setiap jenisnya ditentukan dengan jumlah bit yang digunakan untuk menyimpan sebuah nilai piksel (Putra, 2010).

  Pada umumnya citra bitmap terdiri dari 4 blok data yaitu: BMP header, Bit

  

Information , Color Pallete, dan Bitmap Data. BMP header berisi informasi umum

  dari citra bitmap. Blok ini berada pada bagian awal file citra dan digunakan untuk mengidentifikasi citra. Beberapa aplikasi pengolah citra akan membaca blok ini untuk memastikan bahwa citra tersebut berformat bitmap dan tidak dalam kondisi rusak. Bit

  

information berisi informasi detail dari citra bitmap, yang akan digunakan untuk

  menampilkan citra pada layar. Color pallete berisi informasi warna yang digunakan untuk indeks warna bitmap, dan bitmap data berisi data citra yang sebenarnya, piksel per piksel (Lidya, 2012). Contoh citra bitmap ditunjukkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Contoh Citra Bitmap (*.bmp)

2.4 Kompresi Citra

  Pemampatan citra atau kompresi citra bertujuan untuk meminimalkan kebutuhan memori dalam merepresentasikan citra digital dengan mengurangi duplikasi data di dalam citra sehingga memori yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit daripada representasi citra semula (Sutoyo, 2009). Hal ini bermanfaat untuk mempersingkat waktu pengiriman citra dan juga menghemat penggunaan memori dalam storage dibandingkan dengan citra yang tidak dikompresi.

  Kompresi citra dapat meminimalkan jumlah bit yang diperlukan untuk merepresentasikan citra. Apabila sebuah foto berwarna berukuran 3 inci × 4 inci dengan tingkat resolusi sebesar 500 dot per inch (dpi), maka diperlukan 3 × 4 × 500 × 500 = 3.000.000 dot (piksel). Setiap piksel terdiri dari 3 byte dimana masing-masing

  

byte merepresentasikan warna merah, hijau, dan biru. Sehingga citra digital tersebut

  memerlukan volume penyimpanan sebesar 3.000.000 × 3 byte + 1080 = 9.001.080

  

byte setelah ditambahkan jumlah byte yang diperlukan untuk menyimpan format

  (header) citra. Oleh karena itu diperlukan kompresi citra sehingga ukuran citra tersebut menjadi lebih kecil dan waktu pengiriman citra menjadi lebih cepat (Lidya, 2012).

  Kompresi data lebih populer dikarenakan dua alasan yaitu (Salomon, 2004): 1.

  Orang-orang suka mengumpulkan data dibandingkan membuangnya.

  Tidak peduli seberapa besar media penyimpanan seseorang, cepat atau lambat kapasitas media penyimpanan tersebut akan penuh.

  2. Orang-orang tidak suka menunggu lama untuk perpindahan data. Ketika duduk di depan komputer, menunggu sebuah halaman web terbuka atau untuk mengunduh sebuah file, kita tentu merasa beberapa detik adalah waktu yang lama untuk kita tunggu.

2.4.1 Teknik Kompresi Citra

  Kompresi citra memiliki banyak teknik untuk melakukan pengurangan ukuran kapasitas citra. Teknik kompresi yang berbeda akan mengimplementasikan kombinasi pilihan-pilihan yang berbeda. Metode kompresi citra dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (Putra, 2010):

  1. Kompresi Lossless, pada kompresi jenis ini informasi yang terkandung pada citra hasil sama dengan informasi pada citra asli. Citra hasil proses kompresi dapat dikembalikan secara sempurna menjadi citra asli, tidak terjadi kehilangan informasi, tidak terjadi kesalahan informasi.

  2. Kompresi Lossy, kompresi data yang bersifat lossy mengijinkan terjadinya kehilangan sebagian data tertentu dari pesan tersebut, sehingga dapat menghasilkan rasio kompresi yang tinggi. Apabila citra terkompresi direkonstruksi kembali maka hasilnya tidak sama dengan citra aslinya, tetapi informasi yang terkandung tidak sampai berubah atau hilang.

2.5 Metode Joint Photographic Experts Group (JPEG)

  Metode yang terdapat pada kompresi citra sangat beragam sesuai dengan klasifikasinya. Salah satu metode yang umum digunakan pada saat ini adalah metode

  

Joint Photographic Experts Group (JPEG) . Format JPEG dikembangkan pada tahun

  1982 oleh International Organization for Standardization (ISO). Tujuan utama dari ISO adalah untuk menghasilkan standarisasi dalam pengiriman citra pada jaringan. JPEG berisi beberapa algoritma kompresi citra keabuan dan citra warna dan memuat format pengiriman data (Sianipar, 2013). Salah satu hal yang menarik dari metode JPEG adalah teknik kompresinya yang menggabungkan antara lossy compression dan

  

lossless compression , tetapi pada akhirnya metode JPEG termasuk dalam kategori

lossy compression karena hasil dekompresi dari citra yang terkompresi tidak sama

  dengan citra aslinya.

  Metode JPEG memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode kompresi lainnya, yaitu (Pandit, 2013):

  1. JPEG bekerja baik untuk foto dan citra yang kompleks. JPEG menggunakan metode kompresi yang dapat menghilangkan aspek penglihatan warna manusia dari citra untuk mengurangi ukuran citra.

  2. JPEG menyimpan citra dengan kedalaman piksel antara 6 sampai 24 bit dengan kecepatan yang wajar dan efisien.

  3. JPEG adalah metode lossy yang menghapus data tidak berguna selama proses encoding.

2.5.1 Proses Kompresi Joint Photographic Experts Group (JPEG)

  Proses kompresi dengan metode JPEG adalah sebagai berikut: 1.

  Proses Discrete Cosine Transform (DCT) Transformasi kosinus diskrit atau Discrete Cosine Transform yang disingkat dengan DCT, mirip dengan transformasi Fourier, hanya saja DCT menggunakan komponen kosinus saja. DCT telah menjadi pilihan sebagai dasar algoritma kompresi JPEG dan MPEG (Putra, 2010). Dengan transformasi ini dapat meminimalkan jumlah data citra yang diperlukan untuk mepresentasikan suatu citra. Gambar 2.6 menunjukkan pola basis DCT untuk blok piksel 8×8.

Gambar 2.6 Pola Basis DCT 8×8 (Karlsson, 2010) Rumus DCT dua dimensi untuk citra dengan ukuran 8×8 dapat dinyatakan sebagai berikut (Van, 2009): ( ) ( )

  ( ) ∑ ( ) ( ) ( ) ( ) ∑

  ( ) adalah koefisien DCT yang ditransformasikan dimana variabel dan . Kemudian ( ) adalah nilai piksel dari blok sampel asli (Van, 2009). Efek pembulatan dan pemotongan pada perhitungan 64 koefisien DCT untuk setiap blok sampel adalah implementasi yang saling memiliki ketergantungan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa hasil output dari implementasi yang satu dengan implementasi yang lain dapat sedikit berbeda.

2. Proses Kuantisasi

  Kuantisasi dalam metode JPEG adalah proses pengurangan nilai dari masing- masing koefisien DCT dengan cara membaginya dengan nilai kuantisasi yang sesuai pada tabel kuantisasi yang digunakan oleh quantizer, lalu nilai kuantisasi yang didapat dari hasil tersebut kemudian dibulatkan ke bilangan bulat terdekat. Proses kuantisasi inilah yang menyebabkan metode JPEG sebagai algoritma lossy compression. Rumus untuk menghitung nilai kuantisasi adalah sebagai berikut (Wibisono, 2003):

  ( ) ( )

  ( ) ( ) Nilai dari matriks Quantum (i,j) diambil dari tabel kuantisasi luminance yang ditunjukkan pada Tabel 2.1 berikut (Salomon, 2004).

Tabel 2.1 Kuantisasi Luminance i\j

  35

  22

  29

  51

  87

  80

  62

  4

  18

  22

  37

  56 68 109 103

  77

  5

  24

  55

  14

  64 81 104 113

  92

  6

  49

  64

  78 87 103 121 120 101

  7

  72

  92

  95 98 112 100 103

  99 Nilai kuantisasi yang telah didapat selanjutnya akan dilewatkan dalam bentuk zig-zag seperti pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Proses Zig-zag (Sayood, 2006)

  Elemen (0,0) dari blok 8×8 disebut sebagai Direct Current (DC), yang merupakan rata-rata dari nilai piksel. Sementara 63 elemen lainnya disebut sebagai Alternating Current (AC). Setelah dilakukan proses zig-zag scanning atau pemindaian secara zig-zag, maka tahapan selanjutnya adalah pengkodean entropi.

  Pengkodean entropi adalah tahapan terakhir pada metode JPEG yang merupakan algoritma lossless compression. Sebelum dilakukan pengkodean entropi, hasil pemindaian zig-zag dari matriks dua dimensi yang terkuantisasi

  17

  3

  1

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7

  16

  11

  10

  16

  24

  40

  51

  61

  12

  56

  14

  69

  57

  40

  24

  16

  13

  2

  12

  55

  60

  58

  26

  19

  14

3. Proses Pengkodean Entropi

  akan direpresentasikan dalam bentuk vektor satu dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Matriks Hasil Kuantisasi setelah Dilakukan Proses Zig-zag (Wibisono, 2003)

  Pengkodean entropi yang digunakan pada metode JPEG adalah

  Huffman Encoding . Pada proses ini nilai hasil vektor satu dimensi yaitu

  koefisien Direct Current (DC) dan Alternating Current (AC) akan dikodekan dengan menggunakan metode Huffman dengan tujuan untuk menghasilkan

  codeword yang lebih pendek.

2.5.2 Proses Dekompresi Joint Photographic Experts Group (JPEG)

  Proses dekompresi dengan metode JPEG adalah sebagai berikut: 1.

  Proses Dekode Entropi Untuk menampilkan citra yang telah terkompresi, citra hasil kompresi harus dilakukan proses dekompresi. Langkah awal proses dekompresi pada metode JPEG adalah melakukan proses dekode entropi. Jika pada proses pengkodean entropi sebelumnya menggunakan Huffman Encoding, maka pada proses dekode entropi menggunakan Huffman Decoding dengan tujuan untuk mengembalikan nilai dari hasil proses pengkodean entropi sebelumnya.

  Setelah proses dekode entropi selesai, tahap selanjutnya adalah proses

  unzig-zag scanning atau pemindaian kembali secara zig-zag untuk merubah

  kembali bentuk vektor satu dimensi ke bentuk matriks dua dimensi agar dapat dilakukan tahap selanjutnya yaitu proses dekuantisasi.

  2. Proses Dekuantisasi Dekuantisasi merupakan fungsi invers yang mengembalikan hasil untuk representasi nilai yang dijadikan sebagai masukan ke dalam proses Inverse

  Discrete Cosine Transform (IDCT). Proses dekuantisasi dapat dihitung dengan

  menggunakan rumus (Wibisono, 2003): ( ) ( )

  ( ) ( ) Nilai dari matriks Quantum (i,j) diambil dari tabel kuantisasi luminance seperti pada proses kuantisasi sebelumnya.

  3. Proses Inverse Discrete Cosine Transform (IDCT) Untuk mengambil data dari citra hasil kompresi, tahap selanjutnya adalah melakukan proses Inverse Discrete Cosine Transform (IDCT) untuk setiap blok. Semua blok akan dikombinasikan kembali ke bentuk citra yang sama dimensinya dengan citra aslinya.

  Rumus untuk IDCT adalah (Van, 2009): ( ) ( )

  ( ) ∑ ( ) ( ) ( ) ( ) ∑

  Dimana variabel dan serta ( ) ( ) √ untuk dan ( ) ( ) untuk sebaliknya.

2.6 Metode Burrows-Wheeler Transform (BWT)

  Metode Burrows-Wheeler Transform (BWT) adalah algoritma kompresi data, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 oleh Michael Burrows dan David Wheeler. Gagasan utamanya adalah memperoleh rasio kompresi data yang lebih baik untuk menghemat ruang penyimpanan dan memberikan transmisi data yang lebih cepat melalui jaringan-jaringan yang berbeda. Kompresi berdasarkan BWT adalah salah satu algoritma terkemuka yang mendekati paling baik untuk data teks pada saat sekarang, namun BWT juga dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja kompresi untuk citra (Van, 2009).

2.6.1 Proses Kompresi Burrows-Wheeler Transform (BWT)

  Sebelum melakukan proses kompresi dengan metode Burrows-Wheeler Transform (BWT), terdapat proses yang harus dilewati terlebih dahulu. Proses tersebut adalah data citra yang akan melalui proses kompresi harus diubah dari bentuk piksel dua dimensi ke bentuk piksel satu dimensi berurutan dengan cara pemindaian zig-zag. Setelah bentuk dari data citra diubah lalu dilanjutkan dengan metode BWT. Misalkan sebuah vektor 1 dimensi berurutan p telah didapat seperti berikut:

  Vektor p disalin ke baris pertama, atau disebut sebagai indeks 0. Urutan selanjutnya adalah mengurutkan dengan cara merubah susunan perputaran ke kiri untuk setiap baris selanjutnya. Tahap pertama dari BWT ditampilkan melalui Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Tahap Pertama Forward Transform dari BWT (Van, 2009)

  Tahap selanjutnya adalah setiap baris disusun secara leksikografi (berdasarkan kamus). Tahap terakhir dari proses BWT adalah output yang terdiri dari indeks terakhir pada langkah sebelumnya. Berikut tahap kedua dan ketiga dari BWT ditampilkan melalui Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Tahap Kedua dan Ketiga Forward Transform dari BWT (Van, 2009)

  Vektor p asli muncul di baris kelima pada Gambar 2.10, dan output dari BWT berada pada kolom terakhir, dinyatakan dengan: , dengan indeks = 4. Hasil dapat ditulis sebagai

  , dimana L adalah output dari Burrows-Wheeler Transform dan index menggambarkan lokasi asli dari urutan leksikografi.

2.6.2. Proses Dekompresi Burrows-Wheeler Transform (BWT)

  Metode BWT adalah metode transformasi yang dapat dibalik (reverse) sehingga vektor asli dapat dikembalikan dari output yang dihasilkan oleh BWT tersebut. Di bentuk reverse transform hanya output BWT L dan index yang dibutuhkan untuk mengembalikan vektor urutan aslinya. Tahap reverse BWT ditampilkan pada Gambar 2.11, 2.12, dan 2.13.

  Cara membentuk tabel reverse: a.

  Langkah ( ): Letakkan kolom n di depan kolom .

  b.

  Langkah ( ): Urutkan panjang string yang dihasilkan secara leksikografi.

  c.

  Langkah : Letakkan list yang terurut di kolom pertama pada tabel.

Gambar 2.11 Tahap Pertama Reverse Transform dari BWT (Van, 2009)Gambar 2.12 Tahap Kedua Reverse Transform dari BWT (Van, 2009)Gambar 2.13 Tahap Ketiga Reverse Transform dari BWT (Van, 2009)

  Output dari reverse transform juga berada di indeks 4, itulah mengapa indeks dimanfaatkan untuk merepresentasikan output dari forward transform dan urutannya adalah

  , yang mana memiliki urutan asli dari vektor p. Setelah proses dekompresi dengan metode BWT selesai, data citra diubah kembali dari bentuk piksel satu dimensi berurutan ke bentuk piksel dua dimensi dengan cara pemindaian unzig- zag sehingga citra hasil dekompresi dapat ditampilkan kembali.

2.7 Rasio Kompresi

  Rasio kompresi pada kedua citra akan diukur untuk mengetahui mana yang lebih baik sesuai kinerja proses kompresinya. Citra sebelum dikompresi akan dibandingkan dengan citra hasil kompresi. Rasio kompresi dapat dinyatakan dengan persamaan matematis sebagai berikut (Putra, 2010):

  ( ) Dimana:

   = Rasio kompresi (compression ratio)

   = Ukuran citra asli

   = Ukuran citra kompresi Citra hasil kompresi yang kecil akan memberikan nilai rasio kompresi yang semakin kecil dan sebaliknya, nilai rasio kompresi yang besar akan menjadi target dalam suatu teknik kompresi citra. Namun besarnya nilai rasio kompresi harus diikuti dengan kualitas citra (Napitupulu, 2012).

  2.8 Waktu Kompresi

  Dalam melakukan kompresi citra dengan metode yang berbeda pasti membutuhkan waktu yang berbeda pula. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahapan kompresi citra akan memengaruhi kinerja metode kompresi citra tersebut. Semakin cepat waktu kompresi maka akan menjadi salah satu faktor pendukung terhadap suatu metode kompresi citra untuk menjadikannya sebagai metode kompresi citra yang baik. Tapi metode kompresi citra yang memiliki tahapan cukup banyak dan dalam penyelesaiannya memerlukan proses yang rumit pasti akan memakan waktu yang lama. Hal ini kurang baik jika diterapkan nantinya dalam aplikasi kompresi citra.

  2.9 Waktu Dekompresi

  Tidak hanya waktu kompresi yang berpengaruh pada kinerja metode kompresi citra, waktu dekompresi juga menjadi salah satu faktor pendukung apakah kinerja sebuah metode kompresi citra bisa dikatakan baik atau tidak. Waktu mengembalikan file citra yang telah terkompres akan menjadi penilaian yang sama pentingnya dengan waktu memproses kompresi pada citra.

  2.10 Hasil Penelitian Sebelumnya

  Untuk melengkapi pengetahuan tentang metode Joint Photographic Experts Group

  

(JPEG) dan Burrows-Wheeler Transform (BWT), berikut adalah Tabel 2.2 berisi

tentang hasil penelitian sebelumnya yang telah membahas kedua metode tersebut.

Tabel 2.2 Hasil Penelitian Metode JPEG dan Metode BWT

  No Nama Judul Tahun Hasil Penelitian

  1. Pramitarini, Analisa 2011 Kompresi JPEG yang Y. Pengiriman Citra disimulasikan dengan

  Terkompresi menggunakan tiga citra digital JPEG Dengan memberikan hasil berupa kualitas

  Teknik Spread citra yang baik dan rasio

  Spektrum Direct kompresi yang tinggi jika Sequence (DS- digunakan parameter quality di

  SS) atas 75, Dimana pada parameter ini diperoleh nilai PSNR antara 32,83 sampai 48,23 dan jumlah bit per pixel 3.63 bpp.

  2. Napitupulu, Analisa 2012 Karakteristik citra yang memiliki

  H. S. Perbandingan penyebaran dan variasi nilai Kinerja Teknik derajat keabuan level medium

  Kompresi Citra sangat optimum dikompres baik Menggunakan dengan metode JPEG dan

  Metode JPEG Wavelet. Hasil simulasi yang Dan Wavelet diperoleh adalah Wavelet

  Multi Variable Biorthogonal yang menjadi

  perwakilan Wavelet dikarenakan memiliki hasil yang paling optimum dalam mengkompres citra dibandingkan jenis Wavelet yang lain memiliki tingkat kompresi lebih baik dari JPEG, berkisar antara 65-70 kali pemampatan sementara pada JPEG hanya 20-25 untuk nilai PSNR yang sama yaitu berkisar 35-45 db. No Nama Judul Tahun Hasil Penelitian

  3. Setiawan, Implementasi 2014 Metode Burrows-Wheeler

  A, E. Penggabungan Transform sangat efektif jika Algoritma Run- digabungkan dengan algoritma

  Length Encoding Run-Length Encoding pada dan Metode kompresi citra bitmap 24 bit.

  Burrows- Rasio kompresi yang dihasilkan Wheeler oleh penggabungan Run-Length Transform Pada Encoding dan Burrows-Wheeler

  Pemampatan Transform lebih baik Citra BMP 24- dibandingkan rasio kompresi yang

  Bit dihasilkan oleh Run-Length

  Encoding tanpa Burrows-Wheeler Transform.

  Setelah mengetahui hasil dari beberapa penelitian diatas, penulis akan membandingkan kompresi citra antara metode Joint Photographic Experts Group

  

(JPEG) dengan metode Burrows-Wheeler Transform (BWT) agar dapat diketahui

manakah hasil kompresi yang terbaik.