BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mentimun - Pemanfaatan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Pertumbuhan Curvularia sp. Penyebab Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Mentimun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mentimun

  Mentimun merupakan salah satu jenis sayur yang cukup popular dan diminati oleh masyarakat. Mentimun banyak mengandung mineral seperti kalsium, fosfor, kalium, dan besi, serta vitamin A, B, dan C, dan juga serat, sehingga permintaan terhadap mentimun sangat besar. Dari segi ekonomi, mentimun memiliki prospek yang cukup baik, di bidang teknologi kecantikan mengungkap bahwa mentimun dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetika untuk perawatan kecantikan (Julisaniah, 2008), sedangkan untuk kesehatan menurut Prabowo (2009), mentimun memiliki senyawa kukurbitasin yaitu senyawayang memiliki aktifitas antitumor. Selain itu biji mentimun mengandung senyawayang bersifat antioksidan untukmencegah kerusakan tubuh akibat radikal bebas, sementara kandungan mineral dalam mentimun dapat menurunkan tekanan darah.

  Mentimun merupakan tanaman setahun yang tumbuh menjalar, dengan sistem perakaran dangkal. Batang tanaman mentimun memiliki panjang 1-3 m dengan sulur yang tidak bercabang. Daun mentimun berbentuk bulat segitiga menyerupai bentuk jantung dengan lebar daun 7-25 cm dan panjang tangkai daun 5-15 cm. Permukaan daun kasar karena adanya rambut-rambut di permukaan daun. Bunga berwarna kuning berbentuk lonceng (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Buah mentimun muda berwarna antara hijau, hijau gelap, hijau muda, dan hijau keputihan sampai putih, tergantung kultivar, sementara buah mentimun tua berwarna coklat, coklat tua bersisik, atau kuning tua. Diameter buah mentimun antara 12-25 cm (Sumpena, 2006). Sistematika (taksonomi) tanaman mentimun adalah Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Dicotyledonae, Ordo: Cucurbitales, Famili: Cucurbitaceae, Genus : Cucumis, Spesies: Cucumis sativus L.

2.2 Penyakit Bercak Daun Curvularia

  Salah satu penyakit yang umum menyerang tanaman adalah serangan bercak daun yang disebabkan oleh fungi patogen. Bercak daun banyak terdapat pada bagian daun dewasa, serangannya tidak menimbulkan kerugian yang berarti. Warna bercak bervariasi mulai dari kuning, coklat, hitam, dan ada yang memiliki lingkaran- lingkaran yang memusat (Semangun, 2007). Menurut Parinthawong (2010), penyakit yang dikelompokkan ke dalam bercak daun terutama disebabkan oleh fungi patogen dari genus Curvularia, Alternaria, Helminthosporium, Cercosporadan lain- lain.Curvularia sp. ditemukan sebagai agen bebas penyebab penyakit pada banyak tanaman. Menurut Huang J. (2005), bercak daun Curvularia mempengaruhi banyak spesies rumput di dunia, dan umumnya disebabkan oleh Curvularia eragrostidis, C.

  

geniculata , C. intermedia, C. inaequalis, C. lunata, C. pallescens, C. protuberate, C.

trifolii .

Gambar 2.2.1 Daun mentimun yang terserang bercak (Sumber: http://urbanext.illinois.edu)

  Gejala awal penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Culvularia sp. berupa bercak kuning yang menginfeksi tajuk dan helai daun yang lama kelamaan menjadi bercak kering berwarna coklat abu-abu, sehingga mengkerut dan mati (Daryani, 1995). Menurut Semangun (1996), jamur patogen dapat masuk ke dalam bagian tumbuhan melalui luka, lubang alami, atau dengan langsung menembus permukaan bagian tumbuhan yang utuh. Bagian-bagian tumbuhan tertutup oleh lapisan pelindung seperti epidermis dan kutikula pada daun dan batang hijau, periderm dan sel gabus pada bagian yang berkayu. Jika patogen tidak dapat menembus lapisan-lapisan tersebut, maka patogen akan masuk melalui luka. Infeksi yang berat menyebabkan daun paling tua mengering, mengeriting, dan menjadi rapuh. Pada daun yang mengering ini bercak-bercak Curvularia sp. tetap terlihat jelas sebagai bercak coklat tua. Penyakit ini sangat menghambat pertumbuhan bibit meskipun bukan penyakit yang mematikan tanaman. Siklus hidup Curvularia sp. terutama disebarkan dengan konidiumnya, baik karena terbawa angin maupun karena percikan air hujan dan air siraman, dan juga oleh serangga (Semangun, 2007).

2.3Curvularia sp.

  Koloni Curvularia sp. berwarna coklat kehitaman dengan permukaan koloni menyerupai beludru atau kapas. Konidiosfor Curvularia sp. biasanya tunggal atau berkelompok memiliki cabang, bentuknya lurus atau merunduk, berwarna coklat dengan ujung coklat muda. Konidiofor memiliki ukuran panjang umumnya 650 µm dan lebar 5 – 9 µm. Konidia dari Curvularia sp. bersepta 3, membengkok pada sel ke dua atau ke tiga yang lebih lebar dan berwarna lebih coklat dari pada sel yang lain, berdinding tipis dan berukuran (20-30) x (9-15) µm (Gandjar, 1999), seperti pada gambar Gambar 2.3.1.

Gambar 2.3.1 (a) KoloniCurvularia sp.pada PDA, (b) Hifa Curvulariasp., (c) Konidia Curvularia sp. Sumber: Qureshi S. et al (2006), Pimentel

  J. et al (2005) Curvularia sp. digolongkan ke dalam Kingdom: Myceteae (Fungi), Divisi:

  Ascomycetes, Kelas: Euasomycetes, Ordo: Pleosporales, Famili: Pleosporaceae, Genus: Curvularia, Spesies: Curvularia sp.. Curvularia merupakan jamur imperfecti yang tidak memiliki fase seksual yang dulunya dikelompokkan ke dalam divisi Deuteromycetes, setelah ditemukan fase seksualnya maka Curvularia dikelompokkan ke dalam divisi Ascomycetes dengan genus Cochliobolus. Menurut Moore (1996),

  Deuteromycetes merupakan kelompok jamur yang tidak memiliki fase seksual atau disebut fungi imperfect. Banyak spesies jamur yang tidak memiliki fase reproduksi seksual di siklus hidupnya. Umumnya kebanyakan jamur dari kelompok Deuteromycetes merupakan fase nonseksual atau anomorph dari kelompok jamur yang memiliki fase seksual seperti Ascomycetes dan Basidiomycetes. Setelah fase seksual ditemukan, kedua fase anomorph dan teleomorph, secara taksonomi dikelompokkan ke dalam teleomorph atau fase seksualnya. Curvularia sp. dengan genus Curvularia diklasifikasikan ke dalam kelompok Deuteromycetes karena memiliki konidia yang khas untuk genus Curvularia. Fase teleomorph atau fase seksualnya kemudian ditemukan, sehingga diklasifikasikan ke dalam kelompok Ascomycetes dengan genus Cochliobolus. Sejak itu jamur tersebuttelah dianggap ke dalam kelompok Ascomycetes dengan genus Cochliobolus dengan fase anamorph atau fase konidia dari genus Curvularia.

  Menurut Gilman (1972), berdasarkan bentuk konidianya Curvularia sp.terbagi atas beberapa spesies yaitu Curvularia subulata memiliki konidia berbentukseperti gada yang meruncing, C. tetramera dengan dua ujung konidianya runcing dan simetri berwarna kuning gelap, C. interseminata dengan bagian basal dan apikal sel konidia berwarna coklat transparan dengan ukuran konidia 15-23 X 5,5-7,5 µm, C. maculans denganbagian basal dan apikal konidia coklat gelap dengan ukuran konidia 19-26 X 11-17 µm, C. geniculata dengankonidia melengkung dengan empat sekat, C. lunata dengankonidia melengkung berwarna gelap dengan tiga sekat, dan C. pallescens dengankonidia melengkung berwarna agak terang dengan tiga sekat. Habitat

  

Curvularia sp. banyak ditemukan di daerah tropis terutama pada tumbuh-tumbuhan,

  sawah, tanah hutan, lumpur hutan bakau, serasah, dan bahan organik lainnya yang mengandung keratin dan selulosa. Curvulariasp. hidup dengan suhu pertumbuhan yang optimal antara 24º-30ºC (Gandjar, 1999).

2.4 Senyawa Kitin

  Kitin merupakan polimer terbanyak kedua di alam, setelah selulosa. Secara luas, kitin terdapat sebagai komponen eksoskeleton crustacea (seperti udang dan kepiting), mollusca, serangga, arthropoda, cacing, dan dinding sel fungi (Emmawati et al., 2007).Polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi ini merupakan polimer berantai lurus dengan nama lain β–(1,4)-2-asetamida–2–dioksi-D-glukosa (N-asetil-D- Glukosamin) (Suryanto et al., 2006).

  Kitin (C H O NHCOCH ) merupakan zat padat yang larut dalam asam-

  6

  9 4. 3 n

  asam mineral pekat, tetapi tidak larut dalam air, pelarut organik, alkali pekat, dan asam mineral lemah. Dengan adanya ikatan hidrogen yang sangat kuat pada rantai kitin, membuat kitin tidak dapat larut dalam air dan membentuk fibril (Dewi, 2008). Menurut Prasetyaningrum et al(2007), sifat kitin umumnya tidak memiliki efek racun dan mudah teruraisehingga kitin banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang salah satunya bidang pertanian.

  Kitin pada fungi berbentuk mikrofibril yang memiliki panjang yang berbeda, tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikrofibril merupakan struktur utama dari sel fungi yang terdiri atas jalinan rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Kandungan kitin pada fungi bervariasi dari 4-9% berat kering sel (Rajarathanam et al., 1998). Pada bakteri, enzim kitinase diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, sementara pada tanaman kitinase digunakan untuk melawan jamur patogen maupun parasit. Degradasi kitin menjadi monomer glukosamin memerlukan enzim endokitinase dan eksokitinase yang bekerja sinergistik (Rahayu et al., 2003).

2.5 Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

  Mengingat pentingnya peranan enzim kitinase dalam industri, maka perlu dilakukan berbagai usaha untuk mencariserta mengembangkan mikroorganisme yang memiliki kemampuan memproduksi enzim kitinase serta menyeleksi strain mikroorganisme penghasil kitinase yang tinggi (Muharni, 2009). Salah satunya adalah mikroorganisme kitinolitik yang merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi kitin dengan menggunakan enzim kitinase. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti rizosfer, filosfer, tanah atau lingkungan air seperti laut, danau, kolam, atau limbah udang dan sebagiannya (Herdyastuti et al., 2009).

  Bakteri kitinolitik merupakan jenis bakteri yang mampu memproduksi enzim kitinase. Kitinase dimanfaatkan untuk asimilasi kitin sebagai sumber karbon dan nitrogen (Wu et al.,2001). Bakteri kitinolitik dapat memecah dan mendegradasi kitin penyusun dinding sel fungi sehingga bakteri ini sangat potensial untuk menghambat pertumbuhan fungi patogen pada tanaman. Beberapa bakteri tanah dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik. Kelompok bakteri tanah tersebut adalah Streptomyces,

  Bacillus , Enterobacter, Aeromonas, Serratia, danVibrio (Ferniah et al., 2003).

  Kitinase merupakan hidrolase glikolisis yang mengkatalisis degradasi kitin yaitu senyawa polimer dari N-asetilglukos amin yang membentuk ikatan linier β-1,4.

  Enzim ini ditemukan dalam berbagai organisme, termaksud organisme yang tidak mengandung kitin dan mempunyai peran dalam fisiologi dan ekologi. Kitinase dapat dihasilkan oleh bakteri dan jamur yang diperoleh dari berbagai sumber seperti tanah atau perairan dengan cara menumbuhkan pada media yang mengandung kitin koloidal. Enzim kitinase banyak dimanfaatkan sebagai agen biokontrol terutama bagi tanaman yang terserang infeksi jamur. Hal ini dikarenakan kitin merupakan komponen utama dinding sel fungi yang dapat didegradasi oleh enzim kitinase (Herdyastuti, 2009).

  Mikroba kitinolitik dapat ditapis dengan menggunakan medium mengandung senyawa kitin. Mikroba diisolasi dari sampel dengan menggunakan medium garam koloidal kitin yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dari mana isolat berasal. Pembentukkan halo atau zona bening di sekitar koloni merupakan hasil degradasi kitin (Suryanto & Munir, 2006).

2.6 Potensi Bakteri Kitinolitik Sebagai Pengendali Hayati

  Pengendalian hayati merupakan salah satu upaya dan usaha untuk mengendalikan patogen atau penyakit tanaman dengan memanfaatkan berbagai jenis organisme atau makhluk hidup yang disebut agen hayati. Cara mengendalikan penyakit tanaman dengan menggunakan agen pengendali hayati muncul karena kekhawatiran masyarakat dunia akan penggunaan pestisida atau bahan kimia sintetis yang berdampak buruk bagi lingkungan maupun makhluk hidup (Soesanto, 2008).Beberapa penelitian tentang pengendalian hayati jamur patogen tanaman dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik telah banyak dilakukan, diantaranya melihat kemampuan melisiskan kitin oleh Aeromonas caviae terhadap Penicillium citrinum dan jamur lainnya, kemampuan melisiskan kitin dari Trichoderma koningii dan T. harzianum terhadap Ganoderma boninense, serta T. viride terhadap Fusarium oxysporum (Suryanto, 2011).

  Pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai salah satu agen pengendali hayati perlu diteliti secara intensif dalam rangka mendapatkan suatu sediaan atau formulasi fungisida yang aman terhadap lingkungan karena tidak memberi dampak pencemaran bagi lingkungan. Penyediaan pupuk hayati dan fungisida hayati merupakan bagian dari strategi pengembangan teknologi pertanian berwawasan lingkungan (Ferniah et

  al., 2003). Aktivitas enzim kitinase dari bakteri kitinolitik sangat potensial digunakan

  sebagai agen pengendali hayati terhadap jamur patogen maupun serangga hama, karena kedua organisme ini mempunyai komponen kitin pada dinding selnya (Muharni et al.,2011). Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroorganisme menghasilkan kitinaseyang mampu melisiskan dinding sel jamur (El-Katatany et al, 2000).

Dokumen yang terkait

Uji Kemampuan Bakteri Kitinolitik dari Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis dalam Menghambat Pertumbuhan Beberapa Jamur Patogen Tanaman

5 84 55

Potensi Bakteri Kitinolitik dalam Pengendalian Aspergillus niger Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Akar pada Tanaman Kacang Tanah

2 80 38

Uji Potensi Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Pertumbuhan Rhizoctonia Solani Penyebab Rebah Kecambah pada Kentang Varietas Granola

3 36 44

Pemanfaatan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Pertumbuhan Curvularia sp. Penyebab Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Mentimun

0 78 54

Pemanfaatan Bakteri Kitinolitik Dalam Menghambat Pertumbuhan Curvularia sp. Penyebab Penyakit Bercak Daun Pada Tanaman Mentimun

1 51 54

Isolasi dan Uji Kemampuan Antifungal Bakteri Endofit Tanaman Semangka Terhadap Jamur Colletotrichum sp. Penyebab Penyakit Bercak Daun

3 93 58

Kemampuan Bakteri Kitinolitik Lokal Dalam Menghambat Pertumbuhan Fusarium sp Tanaman Kopi

1 34 36

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jamur Patogen Tanaman - Uji Kemampuan Bakteri Kitinolitik dari Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis dalam Menghambat Pertumbuhan Beberapa Jamur Patogen Tanaman

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fermentasi Pliek u - Potensi Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi dari Pliek u dalam Menghambat Pertumbuhan Beberapa Mikroorganisme Patogen

0 1 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Karet - Kemampuan Isolat Bakteri Kitinolitik dalam Mengendalikan Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus Microporus) Pada Tanaman Karet

0 0 7