Sosiologi Sastra sosiologi sosiologi sosiologi

Sosiologi Sastra

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang
pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi
dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh
masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari
kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat
tertentu dengan masyarakatnya, dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra
dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles
yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat
sebagai 'cermin'. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali
dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles
(384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di
Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam
gambar induk). Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan'

(yang juga hanya tiruan dari kenyataan yang sebenarnya) sehingga tetap jauh dari kebenaran.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia

berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga
menciptakan sesuatu yang haru karena kenyataan itu tergantung pula pada sikap kreatif orang
dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiplakan) atas copy (kenyataan)
melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai universalia (konsep-konsep
umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun
suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran
universal yang berlaku pada segala jaman.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep mimesis itu mulai dihidupkan
kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme
Renaissance sudah berupaya menghilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan
sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan
ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis
ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti
dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan
geografis.
Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni
positivisme ilmiah. Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting

yaitu Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis,
yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin
merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan
metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of
English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut
tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang

ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang
melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang
menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni.
Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi
sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial.
Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan
kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam
buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap
membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku
(strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru
yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama
datang dari Flaubert (1864) dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan
yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari

langit.
Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik,
sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali
mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang
dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu.
Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam
penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran
intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
1.2 Ruang Lingkup
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta,
namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan

sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra
itu mencerminkan kenyataan.
Sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya
sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra
yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian
yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya
kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang

lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem
komunikasi secara keseluruhan.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar rekan atau pembaca dapat mengetahui
beberapa hal dalam menganalisis puisi melalui Pendekatan Sosiologi Sastra, yaitu sebagai
berikut :
1. Mengetahui pengertian Sosiologi Sastra;
2. Mengetahui Sosiologi Sastra sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra; dan
3. Mengetahui berbagai teori tentang pendekatan Sosiologi Sastra.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos
(Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan,
perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan,
memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut,
keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat
sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini

(das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat
evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta,
namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan
sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra
itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan disini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala
sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah,
pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan
suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada
hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa
diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali
menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi,
imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.

Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri
dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat
dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka,
memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama
yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak
digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang

mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkaplengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra
tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu
sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak
langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang
berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas
dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir ditengah-tengah
masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta
pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah
berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial
masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa
sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia, karena sastra sering
mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan
imajinasi, perasaan, dan intuisi (2003 : 79).

Faruk (1994 : 1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan
objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosila.
Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana
masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan

hidup. Sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya
dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme
sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individu-individu dialokasikannya pada
dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu.

2.2 Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra
Menurut Ratna (2003 : 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan
masyarakat, antara lain :
1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.
2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang
terkandung didalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatar
belakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Wellek dan Warren (1956 : 84, 1990 : 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut :
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan disini
adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi
pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang diluar karya sastra, karena setiap


pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi
pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal
dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi
pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan
Warren, 1990 : 112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial
sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan
berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama)
bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para
pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang
dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga
membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan
dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono,
1989 : 3-4) yang meliputi hal-hal berikut :


1. Konteks Sosial Pengarang
Ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan
masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya
sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan :

1) Bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman
masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
2) Profesionalisme dalam kepengaragannya; dan
3) Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian
“cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalah tafsirkan dan disalah gunakan.
Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah :
1) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab
banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia
ditulis;
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan
fakta-fakta sosial dalam karyanya;
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial
seluruh mayarakat;

4) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja
tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan
masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi
tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika
peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi Sosial Sastra
Maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam
hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan
1) Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak;
2) Sastra sebagai penghibur saja;

3) Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi
sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu :
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya dengan kondisi sosial yang direfleksikan didalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981: 178).
Lain halnya dengan Grebsten (dalam Damono, 1989) dalam bukunya mengungkapkan

istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra sebagai berikut :
1. Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang
seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh
timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri merupakan
objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
2. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya,
bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada
karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal, dalam
pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sunggug.
3. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam
hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per
orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan
suatu kode atau tindak tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat didalam
kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah
eksprimen moral.
4. Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau
faktor material, istimewa. Kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang

bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan
perkembangan sosiologi, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak
kultural.
5. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih ia harus
melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan yang terpenting yang harus
mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih
tema tertentu misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi
penciptaan seni besar.
6. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari
sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini.
Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun
kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap
generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak
ada habisnya.
Damono (1989: 14) juga mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya
merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah
meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan.
Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984- 220) mengatakan bahwa dunia
empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis,
penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan
mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful,
berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat
seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.

Menurut Ratna (2003 : 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa
sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam
kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, dan
ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang
dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra
terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap
ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan
citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti
melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai
sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti
menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang
dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis
penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan
bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati
dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan
tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan

cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya,
tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya.
Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin
dilalui, yaitu:
1)
2)
3)
4)

Afirmasi, melupakan norma yang sudah ada;
Restorasi, sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang
Negasi, dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku; dan
Inovasi, dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada.
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15)
mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan
aspirasi manusia, karena disamping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat
dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.

2.3 Teori Pendekatan Sosiologi Sastra
1. Teori Sastra Marxis
Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme.
Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848)
yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa
perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan
mendasar dalam produksi ekonomi. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman
termasuk seni dan kesusastraan merupakan 'ideologi-ideologi' dan 'suprastruktur-suprastruktur'
yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan
kelas dalam jamannya (Abrams, 1981:178).
Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan
ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada didalam masyarakatnya. Oleh karena
itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van

Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar
bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan
strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.
2. Teori George Lukacs: Sastra Sebagai Cermin
George Lukacs adalah seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan
menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31). Lukacs mempergunakan istilah "cermin"
sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun
sebuah struktur mental. Sebuah puisi tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu
memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup,
dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak
hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah
'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan
lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat
mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas
subjektif (Selden, 1991:27).
Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai
karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang
diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas
ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan
imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati untuk membentuk sebuah tatanan
masyarakat yang ideal. Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.
3. Teori Bertold Brecht: Efek Alienasi

Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman yang terbakar jiwanya ketika membaca
buku Marx sekitar tahun 1926. Drama-dramanya bersifat radikal, anarkistik, dan anti borjuis.
Sebagai seorang yang anti terhadap paham-paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai
penentang aliran Aristoteles. Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik dan
identifikasi penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk menghasilkan 'katarsis'
(pelepasan beban) perasaan.
4. Aliran Frankfurt
Aliran Frankfurt adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Horkheimer dan
Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis
Freud dalam mengkritik teori sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra,
estetika Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik" (dimulai tahun
1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan yang juga meliputi unsurunsur aliran Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah Max
Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).
Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena
inilah satu-satunya wilayah dimana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik
pandangan Lukacs bahwa sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang
langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno justru memberi kekuatan kepada seni
untuk mengkritik dan menegasi realitas.
Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas
(paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti (strukturalisme) karena hanya
membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa
individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd,

penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu menimbulkan efek estetik yang
menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang
eksistensi dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.
5. Teori-teori Neomarxisme
Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran Marx (khusus pada
masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin menjadikannya relevan dengan masyarakat
modern. Mereka tidak mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma
politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan ilmu. Kaum
Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam hal studi
kritik sastra Marxis (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:115). Aliran Frankfurt, oleh beberapa
pengamat dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh pentingnya antara
lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Th. Adorno.
Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka menganut paham
"metode dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka sangat luas, lagi pula pandangan mereka
tidak secara khusus diterapkan pada Teori Sastra saja.
Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini
(Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:134-135).
1) Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat.
Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau
masalah. Metode ini merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks
sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni) tertentu, mereka juga harus
menguji objek itu yang ditempatkan sebagai subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat
terfokus pada konteks historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena serta

harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek kajian metode dialektika tidak
terbatas, karena masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika kata.
2) Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah
individual. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. Masa
depan memang terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi
yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu
mengandung aspek teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih jauh.
3) Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak dan
kebenaran esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji
secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. Jadi aspek
teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar
(yang lebih tinggi), tetapi dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah)
tergantung pada konteks yang berbeda-beda.
4) Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan metabahasa, dan
antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus
selalu menyadari posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak diantara dua konsep,
melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara proses berpikir dan realitasnya.
Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson mengungkapkan bahwa
hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian tentang latar belakang historisnya. Kita
tidak hanya sekedar ingin menangkap nilai-nilai yang sempit pada permukaan (seperti dilakukan
kaum New Criticism), melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara Subjek dan
Objek sesuai dengan kedudukannya (Culler, 1981:12-13). Jadi hasil kritik dialektikal itu bukan
hanya sekedar suatu interpretasi sastra, melainkan juga sejarah model interpretasi dan kebutuhan
akan suatu model interpretasi yang khusus.

Dalam bukunya The Political Unconscious: Narrative As a Socially SimhoUc Act (1981),
Jameson mengusulkan interpretasi politik terhadap sastra. Perspektif politik ini tidak merupakan
metode pelengkap atau tambahan pada metode lainnya (seperti: psikoanalisis, kritik mitos,
stilistika, etika, strukturalisme) melainkan suatu pandangan politik yang absolut. Dasar
pandangannya adalah bahwa setiap teks mengandung resonansi sosial, historis, dan polios.
Dengan persepsi bahwa cerita hanyalah permukaan sebuah teks yang menguhur sejarahnya yang
hakiki, maka pentinglah analisis mengenai 'ketaksadaran politis' dalam teks-teks sastra. Dalam
setiap teks tercakup beragam operasi mental sehingga pemahaman dialektikal pun sifatnya tidak
mutlak. Metode dialektika menempatkan karya sastra sebagai subjek yang mengandung totalitas
masyarakatnya.
Menurut Jameson, sebuah karya individual selalu merupakan bagian dari struktur yang
lebih besar. Dengan demikian bentuk dan struktur karya individual harus selalu dipahami dalam
dimensi sejarah, yang secara dominan dilandaskan pada dasar (infrastructure) ekonomi.
Sekalipun faktor-faktor yang memengaruhi pengarang menuangkan gagasannya sangat beragam,
namun kekuatan-kekuatan itu mempunyai satu hasis utama, yakni ekonomi. Ekonomi dan efekefeknya merupakan taktor utama yang melahirkan suprastruktur: budaya, ideologi, filsafat,
agama, hukum, bahkan pemerintah dan negara.
Terry Eagleton juga seorang kritikus Neomarxis yang berusaha meng-hidupkan kembali
kritik Marx di Inggris dan menghasilkan kritik impresif terhadap tradisi kritik Inggris melalui
revolusi radikal perkembangan novel Inggris (Selden, 1991:42). Tugas utama kritik sastra,
menurut dia, adalah mendefinisikan hubungan antara sastra dan ideologi, karena sastra tidak
merupakan cerminan kenyataan melainkan mengandung efek ideologis yang nyata (Selden, 1991
: 43).

Pada bagian penutup bukunya Literary Theory : An Introduction (1985 : 194), Eagleton
menyebut teori-teori sastra modern yang 'murni' sebagai mitos airaftemik yang melarikan diri dari
kondisi buruk sejarah modern. Teori-teori itu, ironisnya, justru menjadi pelarian dari realitas
menuju sejumlah alternatif tanpa batasan. Mereka bukannya terlihat dengan situasi konkret
manusia, tetapi melarikan diri kepada puisi itu sendiri, masyarakat organik (yang bulat dan utuh,
bukannya terpecah-pecah), kebenaran abadi, imajinasi, struktur pemikiran manusia, mitos, bahasa,
dan sebagainya. Bagi Eagleton, alternatif-alteraatif pelarian itu lebih merupakan penipuan. Secara
ironis, Eagleton menilai teori-teori itu sebagai proyek kaum Scrunity (peneliti yang cermat), yang
sudah saatnya ditinggalkan karena sukar, abstrak, dan absurd (Culler, 1988:57-68). Secara umum,
Eagleton merasa kecewa terhadap ideologi borjuis yang telah terbukti menelantarkan kaum miskin
dan lemah ke dalam marginalitas sosial politik.
Sebagaimana Jameson, Eagleton juga mengusulkan kritik politik. Menurut dia, politik
adalah semua cara pengaturan kehidupan bermasyarakat yang melihatkan hubungan kekuasaan
didalamnya. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu terlihat ideologi tertentu. Teori kritik sastra
harus mendefinisikan model ideologi tersebut. Asumsi dasamya adalah sastra secara vital terlihat
dalam kehidupan konkret manusia dan bukan sekedar gambaran abstrak (1985 : 196).
Seorang peneliti sastra harus membongkar gagasan-gagasan kesusastraan dan
menempatkan ideologi yang berperan membentuk subjektivitas pembaca, dan lebih jauh
menghasilkan efek-efek politis tertentu yang harangkali tidak diharapkan (Selden, 1991 : 45).
Dia melinat bahwa kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian
gagal dalam melihat relevansi sosial-politiknya, lebih-lebih karena tidak ada relevansinya sama
sekali dengan ideologi. Kebanyakan kritik sastra justru lebih memperkuat sistem-sistem
kekuasaan daripada menentangnya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan
kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang
didapat didalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut
lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan
bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.
Sosiologi sastra sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena sumbersumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam karya sastra
dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Disamping itu, permasalahan
yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.