Penyakit Paru Obstruktif kronik stabil

TUGAS
PATOLOGI
“ PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF “

OLEH :
NAMA

:

SAKINAH

NIM

:

F1F1 11 023

KELAS

:


FARMASI B

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013

Penyakit Paru Obstruktif

A. Definisi
Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan
ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut antara
lain adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi
pasca Tb (SOPT). Meskipun semuanya memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas,
tetapi mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing penyakit.

Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan WHO, paru
obstruktif kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) sebagai penyakit
yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang progresif yang sepenuhnya dapat pulih

kembali. Keterbatasan jalan udara biasanya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon
inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Kondisi paling umum yang
menyebabkan CPOD adalah broknitis kronik dan emfisema.
Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mucus kronik atau berulang ke
dalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari selama paling tidak 3

bulan dalam setahun dan ini berlangsung paling tidak dalam 2 tahun beturut-turut bila
penyebab batuk yang lain telah dieluarkan.
Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk terhadap penderita karena
menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya. Obstruksi saluran napas
yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain seperti infeksi saluran napas dan
eksaserbasi akut penyakitnya.

B. Patofisiologi


Etiologi yang paling umum adalah paparan terhadap asap rokok di lingkungan, tetapi
paparan kronik lain dapat pula menyebabkan COPD. Menghirup pastikel asing dan gas
menstimulasi aktivasi neutrofil, makrofag, dan limfosit CD 8+, yang melepaskan
sejumlah mediator kimia, termausk tumor nekrosis faktor (TNF) alfa-interleukin-8 (IL8) dan leukotrien B4 (LTB4). Sel inflamasi dan mediator ini menyebabkan perubahan

destruktif meluas pada jalan udara, pembuluh pulmonary, dan parenkim paru-paru.



Proses patofisiologik lainnya termasuk stress oksidatif dan ketidakseimbangan antara
sistem pertahanan agresif dan protektif di paru-paru (protease dan antiprotease).
Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi dengan dan merusak berbagai protein
dan lipid, yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Oksidator juga memudahkan
inflamasi secara langsung dan memperparah ketidakseimbangan protease-antiprotease
dengana menghibisi aktivitas antiprotease.



Antiprotease protektif alfa1- antitrypsin (AAT) menghambat sejumlah enzim protease,
termasuk elastase neutrofil. Dengan adanya aktivitas AAT yang tidak berantagonis,
elastase menyerang elastin, yang merupakan komponen utama dari dinding sel alveolus.

Defisiensi turunan AAT menyebabkan peningkatan resiko perkembangan emfisema
prematur. Pada penyakit yang diturunkan terdapat suau defisiensi AAT absolute. Pada
emfisema yang diakibatkan oleh merokok, ketidakseimbangan ini berhubungan dengan

peningkatan aktivitas protease atau pengurangan aktivitas antiprotease. Sel inflamasi
yang

teraktivasi

membebaskan

protease

yang

lain,

termasuk

katepsin

dan

metaloproteinase (MMP). Selain itu, stress oksidatif juga mengurangi aktifitas

antiprotease.


Suatu eksudat inflamasi dering ditemui pada jalan udara yang menyebabkan suatu
peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mucus. Sekresi mucus
meningkat, dan motilitas siliar mengalami kerusakan. Terdapat penebalan otot polos dan
jaringan ikat pada jalan udara. Inflamasi kronik menyebabkan pembentukan parut dan
fibrosis. Penyempitan jalan udara yang meluas terjadi dan lebih parah pada jalan udara
periferal yang berukuran kecil.



Perubahan parenkimal mempengaruhi unit penukar gas paru-paru (alveoli dan kapiler
pulmonar). Penyakit yang terkait dengan merokok paling umum menyebabkan emfisema
sentrilobar yang terutama mempengaruhi bronkiol respirasi. Emfisema pan-lobular
dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas sampai ke duktus dan kantung alveolus.



Perubahan vascular termasuk penebalan pembuluh pulmonar yang dapat meyebabkan

disfungsi endotel arteri pulmonar. Selanjutnya, perubahan struktural meningkatkan
tekanan pulmonar, terutama selama latihan fisik. Pada CPOD parah,

hipertensi

pulmonar sekunder menyebabkan gagal jantung sebelah kanan (cor pulmonale).

C. Manifestasi Klinik


Gejala awal paru obstruktif kronik termasuk batuk kronik dan produksi sputum; pasien
dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum berkembangnya dispnea.



Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang berada pada tahan paru
obstruktif kronik yang lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah, pasien
dapat mengalami sianosis membrane mukosa, barrel chest karena pengembangan paruparu berlebihan, peningkatan laju respirasi istirahat, nafas dangkal, bibir monyong
selama ekspirasi, dan penggunaan otot respirasi pelengkap.




Pasien dengan paru obstruktif kronik yang memburuk dapat mengalami dispnea yang
parah, peninggkatan volume sputum, atau peningkatan kandungan nanah pada sputum.
Tanda umum lain dari paru obstruktif kronik yang memburuk termasuk dada sempit,
peningkatan kebutuhan brokodilator, tidak enak badan, lelah, dan penuruan toleransi
latihan fisik.

Gambaran Penyakit Paru Obstruktif Kronik

D. Mekanisme Obstruksi Saluran Napas
Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asma terdiri dari empat unsur, yaitu :
1.

Hipertrofi otot polos bronkus

2.

Peningkatan sekresi mukus ke dalam lumen bronkus


3.

Edema mukosa bronkus

4.

Infiltrasi sel inflamasi oleh eosinofil dan netrofil pada dinding saluran napas dan lumen.
Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi pada asma sangat kompleks, tetapi

interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama. Pada bronkitis kronik
obstruksi saluran napas terjadi melalui mekanisme lain. Faktor pencetus penyakit ini adalah
suatu iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok merupakan
campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu
radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu
menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru
yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi
fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi menghambat netrofil.
Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan intersititial
alveolus.


Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang
melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang
melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan
lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditandai dengan gangguan aktifitas silia
menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan
memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini
merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di
saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.
Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini
menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversible.
Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang permanen dan
destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan penyakit paru obstruksi
kronik (PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema sentri-acinar. Pada jenis pan-acinar
kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan
permukaan alveolar. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga
timbul obstruksi saluran napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan
daerah perifer acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit
saluran napas perifer. Pada sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT) mekanisme obstruksi terjadi
oleh karena rusaknya parenkim paru akibat penyakit tuberculosis. Timbulnya fibrosis
mengakibatkan saluran napas yang tidak teratur, serta emfisema kompensasi karena proses

fibrosis dan atelektasis mungkin mempunyai peran dalam terjadinya obstruksi saluran napas
pada penyakit ini.

E. Pemeriksaan
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1.

Gambaran klinis
a. Anamnesis

§ Keluhan
§ Riwayat penyakit, berupa riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja,
riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
§ Faktor predisposisi, di mana terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis
berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara, Batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan
atau tanpa bunyi mengi.

b. Pemeriksaan fisis

§ Inspeksi
-

Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu). Pursed - lips
breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

-

Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

-

Penggunaan otot bantu napas

-

Hipertropi otot bantu napas

-

Pelebaran sela iga

-

Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai

-

Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pink puffer adalah gambaran yang
khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed
- lips breathing, sedangkan blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis
kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di
basal paru, sianosis sentral dan perifer.

§ Palpasi, pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
§ Perkusi, pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
§ Auskultasi, di mana suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi
memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.
2.

Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
§ Faal Paru
-

Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP

-

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %.

-

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

-

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

§ Uji Bronkodilator
-

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.

-

Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awaldan < 200 ml.

-

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

§ Darah rutin, yaitu pemeriksaan pada Hb, Ht, leukosit.
§ Radiologi. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran : Hiperinflasi, Hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung
pendulum/ tear drop/ eye drop appearance). Pada bronkitis kronik : normal,
corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
§ Faal Paru
-

Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat.

-

DLCO menurun pada emfisema.

-

Raw meningkat pada bronkitis kronik.

-

Sgaw meningkat.

-

Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

§ Uji Latih Kardiopulmoner
-

Sepeda statis (ergocycle)

-

Jentera (treadmill)

-

Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

§ Uji provokasi bronkus, untuk ntuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada
sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
§ Uji coba kortikosteroid, menilai perbaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per
hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator >20 % dan
minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid.
§ Analisis gas darah, terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal
napas akut pada gagal napas kronik
§ Radiologi
-

CT Scan resolusi tinggi

-

Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.

-

Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru.

§ Elektrokardiografi, mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
§ Ekokardiografi, menilai fungsi jantung kanan.
§ Bakteriologi. Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

§ Pemeriksaan kadar alfa-1 antitripsin. Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada
emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang
ditemukan di Indonesia.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.

F. Penanganan
Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi
dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan
penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel.
Dasardasar penatalaksanaan ini pada PPOK adalah :
1) Usaha mencegah perburukan penyakit
2) Mobilisasi lendir

3) Mengatasi bronkospasme
4) Memberantas infeksi
5) Penanganan terhadap komplikasi
6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.
Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan
penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin
sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat mungkin. Pada
obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk
memperlambat proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktorfaktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar
dibandingkan orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml
setiap tahunnya. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari:
I. Penatalaksanaan umum
1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga. Mereka hendaklah mengetahui
penyakitnya, yang meliputi berat penyakit, faktor-faktor yang dapat mencetuskan
eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Perlu peranan aktif
penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan.
2) Menghindani rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi. Rokok merupakan
faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti
merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari, karena
zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memperburuk perjalanan penyakit.

3) Menghindari infeksi. Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena
dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.
4) Lingkungan sehat. Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin
dapat meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian
dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada
penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat diperlambat
bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut.
5) Mencukupkan kebutuhan cairan. Hal ini penting untuk mengencerkan sputum
sehingga mudah dikeluarkan. Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian
kortikosteroid dan hiponatremi memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan
cairan.
6) Nutrien yang cukup. Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh
karena penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian
obat-obatan yang menimbulkan rasa mual.
II. Pemberian obat-obatan
1) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi
obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan
bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan
golongan xanthin; ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam
mengatasi obstruksi saluran napas.
Dalam otot saluran napas persarafan langsung simpatometik hanya sedikit;
meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam otot polos bronkus, reseptor ini

terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor
beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi penting yang
menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi.
Golongan antikolinergik digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
Golongan agonis beta -2. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta–2. Kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi
lebih sederhana dan mempermudah penderita.
Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus Pada
asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi;
tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut
adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin adalah zat
antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos
bronkus sehingga timbul bronkodilatasi.
Obat golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui mekanisme yang
belum diketahui dengan jelas. Golongan xantin, dalam bentuk lepas lambat sebagai
pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas) bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. Beberapa mekanisme yang diduga
menyebabkan terjadinya bronkodilator, adalah :


Blokade reseptor adenosine



Rangsangan pelepasan katekolamin endogen



Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor



Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos dan penghambatan
penglepasan mediator dan sel mast.
Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan efedrin selain memberikan

efek bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat
yang selektif terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan agonis
beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol,
orsiprenalin dan salmeterol. Di samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan
secara inhalasi dapat memobilisasi lendir. Pemberian beta-2 dapat menimbulkan
tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala akan berkurang.
Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan. Pada penderita asma
obat ini mungkin bisa mengurangi timbulnya serangan asma malam. Dosis
salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang sama dengan dosis 2 x 8
mg dengan efek samping yang lebih minimal. Antikolinergik seperti ipratropium
bromide merupakan bronkodilator utama pada PPOK, kanena pada PPOK obstruksi
saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal.
Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain seperti agonis

beta-2 dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis
dapat diturunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit.
Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan oleh
karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan agonis beta-2; tetapi
penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Pada asma
kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blockade reseptor
muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi
penambahan obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang
lebih tua. Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi
mronkodilatasi dengan mengihibisi reseptor kolinergik secara kompetiitk pada otot
polos bronkial. Aktivitas ini memblok asetiklokin, yang efek selanjutnya adalah
pengurangan guanosin monofosfat siklik (cGMP) yang umumnya mengkonstriksi otot
polos bronkial.Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain
bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot
diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat golongan
xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung, infeksi bakteri dan
penggunaan obat simetidin dan eitromisin. Oleh karena itu penggunaan obat xanthin
pada PPOK membutuhkan pemantauan yang ketat. Pemberian bronkodilator secara
inhalasi sangat dianjurkan oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan
yaitu:
Obat bekerja langsung pada saluran napas
Onset kerja yang cepat

Dosis obat yang kecil
Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah.
Membantu mobilisasi lendir.
Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur,
alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler, dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang
perlu diperhatikan adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat
mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dan anak-anak serta
pada suatu serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa dihisap dengan baik
sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang optimal pada pemakaian inhalasi
dosis terukur. Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan nebuliser
pada serangan asma memberikan perbaikan faal paru yang sangat bermakna pada 32
penderita asma yang berobat ke poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19 orang
penderita PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan
subjektif sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna.
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba, meskipun
tidak terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 2–3 bulan pemberian obat tidak
terlihat perubahan secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk
meneruskan pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator tetap diindikasikan pada
suatu serangan akut. Pemberian bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya
diberikan dalam bentuk kombinasi, untuk mendapatkan efek yang optimal dengan
efek samping yang minimal.

2) Ekspektoran dan mukolitik
Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada beberapa
keadaan seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat yang
menekan batuk seperti kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu
pembersihan sekret dan menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping itu
obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila batuk sangat mengganggu seperti
batuk yang menetap, iritasi saluran napas dan gangguan tidur obat ini dapat diberikan.
Ekspektorans dan mukolitik lain seperti bromheksin, dan karboksi metil sistein
diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem selain bersifat mukolitik juga
mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran napas dan kerusakan yang
disebabkan oleh oksidan.

3) Antibiotika
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama pada
keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti
oleh infeksi bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin
memburuk.Penanganan infeksi yang

cepat

dan tepat sangat perlu

dalam

penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat mengurangi lama dan
beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan indikasi infeksi
bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin, eritromisin
dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila antibiotika tidak
memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.
Antibiotika, hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
-

Lini I : amoksisilin, makrolid

-

Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat(sefalosporin, kuinolon, makrolid baru).

4) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma maupun
PPOK memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena
selama beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4–7 hari,
kemudian diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari
7 hari dapat dihentikan tanpa turun bertahap. Pada penderita dengan hipereaktivitas
bronkus pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dari
gejala penyakit. Pemberian kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas
penyakit.

III. Terapi oksigen
Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian oksigen
konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan
dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran
napas. Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk
perlunya oksigen tambahan. Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan
dekompensasi kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB)
bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan atelektasis.
IV. Rehabilitasi
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi
bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang
optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan napas,
perkusi dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna
untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat
penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita
melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi
ini bertujuan agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas yang
bermanfaat sesuai dengan kemampuan penderita.

Daftar Pustaka
Irwanto, 2010, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), http://dr-irwanto.blogspot.com, diakses
tanggal 11 Mei 2013.
Yuliana, Prof. Dr. Elin, dkk, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI, Jakarta.
Yunus, Faisal., 1997, Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif, Cermin Dunia Kedokteran No.
114, PT. Kalbe Farma Group, Jakarta.