Analisis Teori Strukturasi dalam Relasi

KEMENTERIAN RISET,TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
KAMPUS TAMALANREA
JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN KM.10 MAKASSAR, 90245
TELEPON/FAX. (0411) 585024

BUKTI PENERIMAAN NASKAH ARTIKEL ILMIAH
JURNAL KRITIS

Diberitahukan bahwa, Naskah artikel ilmiah dengan judul :
Analisis Teori Strukturasi dalam Relasi Sosial Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4
Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Jawa Timur
Yang diserahkan oleh :
Nama

: Abdul Kodir

Program Studi : Ilmu Sosiologi
Universitas


: Universitas Negeri Malang

Telah diterima untuk dipublikasikan pada KRITIS : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Volume 2 No. 1. Juni 2016. ISSN - P : 2460-3848. ISSN - E: 2527-5887.

Demikian surat ini dibuat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Makassar, 30 September 2016

Muhammad Nasir Badu, Ph.D
Managing Editor

Analisis Teori Strukturasi dalam Relasi Sosial Implementasi Peraturan Daerah Nomor
4 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Jawa Timur
Abdul Kodir
Dosen Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
abdul.kodir.fis@um.ac.id

Abstrak

Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007
yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia.
Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab
dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility
(CSR). Hal tersebut muncul karena saat ini masyarakat dunia telah sadar
bahwasanya adanya proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi
MNC/TNC hingga hari ini masih banyak menimbulkan permasalahan, seperti :
perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik dan permasalahan sosial lainya
yang segera harus ditangani. Oleh sebab itu masyarakat dunia mendorong
korporasi untuk berkontribusi aktif dalam melaksanakan program pembangunan
dimana mereka tinggal. Akhirnya negara lah yang memfasilitasi mereka melalui
undang-undang yang mengatur tentang CSR itu sendiri. Di Indonesia regulasi
mengenai CSR itu sendiri dijelaskan dalam UU PT No 40 tahun 2007, dan bahkan
hal tersebut di respon hingga pemerintah daerah melalui peraturan daerah. Khusus
di provinsi Jawa Timur, regulasi mengenai CSR tersebut dijelaskan dalam
Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011. Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana
relasi yang terjadi antara agen dan struktur yang ada dalam peraturan daerah
tersebut.
Fokus penelitian tersebut dianalisa dengan menggunakan teori strukturasi giddens
mengenai dualitas agen – struktur (strukturasi) dalam peraturan daerah mengenai

CSR sebagai strategi alternatif dalam upaya pembangunan. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif untuk melihat relasi sosial sebagai objek
penelitian. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa peraturan daerah tersebut
merupakan merupakan kompromi politik dalam upaya mengakomodasi kelompok
kepentingan yang ada. Adanya peraturan tersebut juga ingin mensinergiskan
antara program CSR yang dilakukan perusahaan dengan program pemerintah
provinsi daerah sebagai upaya percepatan pembangunan di wilayah Jawa Timur.
Kata kunci: CSR, Korporasi, Strukturasi, Pembangunan

Pendahuluan
Fenomena munculnya tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lazim disebut dengan
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu perkembangan dari sistem
ekonomi politik global. Dan juga merupakan kewajiban untuk perusahaan multinasional
untuk menunjukkan tanggung jawab lebih besar dalam hal transparansi dan akuntabilitas
terhadap lingkungan sekitar perusahaannya (Levy & Newell 2006:56; Sell & Prakash,
2004;143, Doh & Guay, 2006: 147). Kelahiran CSR yang merupakan sebuah respon

msyarakat global terhadap proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC
yang secara nyata menyebabkan masalah ekologi, HAM, dan permasalahan sosial lainya
yang perlu untuk segera ditangani. Fakta-fakta kerusakan ekologi pada tingkat planet a.l

dapat dilihat dari lahan pertanian, hutan hujan dan berhutan daerah, padang rumput dan
sumber air tawar semua berisiko. Pada tingkat global, lautan, sungai dan ekosistem air
lainnya mengalami kerusakan. Seiring dengan perkembangannya, CSR ini dianggap sebagai
bentuk invisible hand dari korporasi untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah
masyarakat global, sehingga bisa melakukan proses produksi secara berkelanjutan (Bierman,
2001:45).
CSR dinilai sebagai produk internasional, yang dalam tujuan awalnya merupakan kerangka
besar agenda pembangunan dunia yang ingin mengentaskan permasalahan yang ada di dunia
khususnya di negara-negara berkembang terutama bertujuan mengentaskan kemiskinan
(Fajar, 2010:6; Prayogo, 2011:34). Oleh karena itu diambilah kebijakan oleh PBB
bahwasanya pihak korporasi/ non-state harus membantu dalam permasalahan pembangunan
yakni melalui program CSR (Vogel, 2005: 13, Utting, 2000:27, Levy, 1997:126, Keck &
Sikking, 1998: 57, Jepperson, 1991: 143).
Salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyikapi isu
mengenai CSR ialah dengan disahkannya UU No. 40 tahun 2007. Dalam hal ini sempat
terjadi perdebatan terutama dari pihak pengusaha karena adanya CSR tersebut semakin
menjadi beban baru bagi perusahaan untuk mengeluarkan laba diluar pajak pemerintah yang
sudah di tetapkan. Akan tetapi keputusan tersebut sudah final dengan dikuatkan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam putusannya 15 April 2009 menolak gugatan uji
material oleh Kadin terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam.
Tidak hanya itu respon mengenai CSR tersebut hingga pada pemerintahan daerah, dalam hal
ini ialah pemerintahan provinsi Jawa Timur yang mengeluarkan Perda No 4/2011 sebagai
salah satu bentu upaya untuk mensinergiskan hubungan antara pemerintah, pengusaha dan
masyarakat melalui pengaturan CSR yang sudah ditetapkan dalam Perda tersebut. Latar
belakang mengenai munculnya Perda tersebut karena dinilai Jawa Timur mempunyai potensi
besar berupa dana triliunan rupiah yang bisa digalang dari perusahaan-perusahaan khususnya
BUMN yang ada di Jawa Timur guna membantu peran pemerintah dalam mengatasi
permasalahan masyarakat Jawa Timur melalui program CSR perusahaan tersebut.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu metode
berganda dalam fokus, yang melibatkan pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap
pokok permasalahan yang dikajianya. Ini berarti bahwa penelitian kualitatif bekerja dalam
setting yang alamiah dan berupaya memahami dan memberi tafsiran pada fenomena yang
dilihat dari makna yang diberikan orang-orang kepada fenomena tersebut (Salim, 2006: 34).
Selain itu penelitian kualitatif yang berusaha menekankan sifat realitas yang terbangun secara
sosial, yang memiliki hubungan eratantara peneliti dengan subjek yang diteliti (Denzin &
Lincoln, 2009). Peneliti menggunakan metode kualitatif karena sangat sesuai untuk

mengamati objek penelitian yakni mengenai relasi-relasi sosial yang terbangun dalam
implikasi Perda No 4 Tahun 2011 antara agen-agen yang mempunyai andil dalam
terbentuknya struktur tersebut.

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu penentuan
informan tidak didasarkan atas strata, kedudukan, pedoman atau wilayah tetapi didasarkan
adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan dengan permasalahan penelitian, maka
peneliti dalam hal ini menggunakan 9 informan yang masing-masing diwakili oleh agen-agen
yang yang terlibat ataupun memeliki dampak dengan disahkannya Peraturan Daerah No 4
Tahun 2011 yang mengatur pelaksanaan Tanggung Jawab Perusahaan. Proses dalam
pengumpulan data dan informasi di lakukan dengan observasi, wawancara mendalam
(indepth interview) dan data-data sekunder.sedangkan proses analisis data menggunakan 3
tahap, yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan
Giddens konsisten melihat struktur dalam kehidupan masyarakat sebagai sesuatu yang
tidak lepas dari tindakan manusia yang berada di dalamnya, begitu pula sebaliknya.
Mengenai hubungan antara struktur dan tindakan Gidden selanjutnya menyatakan sebagai
berikut:
“The social environments in which we exist to do not just consist of random assortments of events or actions – the are structured. There are underlying regularities in how people behave and in the relationships in which they stand with

one another. To some degree it is helpful to picture the structural characteristics
of societies as resembling the structure of a building. A building has walls, a floor
and a roof, which together give it a particular “shape” of form. But the
metaphore can be very misleading if applied too strictly. Social system are made
up of human actions and relationships: what gives these their patterning is their
repetition across periods of time and distances of space. Thus the ideas of social
reproduction and structure are very closely related to one another in sociological
analysis. We should understand human societies to be like buildings that are at
every moment being reconstructed by the very bricks that compose them. The
actions of all of us are influenced by the structural characteristics of the societies
in which we are brought up and live; at the same time, we recreate (and also to
some extent alter) those structural characteristics in our action” (Giddens, 1993:
18).
Dapat disimpulkan bahwa lingkungan sosial dimana manusia berada tidak hanya
terdiri dari aneka peristiwa atau tindakan yang kebetulan, namun merupakan sesuatu yang
terstruktur. Ada keteraturan yang mendasari dalam cara orang berperilaku dan dalam
hubungan dimana mereka berdiri satu sama lain. Untuk tingkat tertentu akan sangat membantu untuk membayangkan karakteristik struktural dari masyarakat sebagai menyerupai
struktur bangunan. Sebuah bangunan memiliki dinding, lantai dan atap, yang bersama-sama
memberikan “bentuk” tertentu atas format bagunan itu. Tapi metafora bisa sangat
menyesatkan jika diterapkan terlalu ketat. Sistem sosial terdiri dari tindakan manusia dan

berbagai hubungan tentang apa yang memberi pola dan bagaimana pengulangannya di
seluruh periode waktu dan jarak ruang. Dengan demikian ide-ide reproduksi dan struktur
sosial itu sangat erat terkait satu sama lain dalam analisis sosiologis. Kita harus memahami
masyarakat manusia menjadi seperti bangunan yang setiap saat sedang direkonstruksi oleh
susunan batu bata yang membentuk bangunan itu. Tindakan orang itu semua dipengaruhi
oleh karakteristik struktural dari masyarakat dimana orang itu dibesarkan dan hidup, pada
saat yang sama manusia menciptakan (dan juga sampai batas tertentu mengubah)
karakteristik struktural dalam tindakan mereka.

Dalam teori strukturasinya Gidden mengaitkan struktur dan tindakan sosial itu dalam
relasi agensi, yang melahirkan praktik-praktek sosial dalam kehidupan masyarakat yang
terjadi secara tersusun atau terstruktur yang berpola dan bukan sebagai suatu kebetulan.
Fokus yang penting dari teori strukturasi adalah hubungan antara agensi dengan struktur
(agency and structure), yakni untuk menjelaskan dualitas dan hubungan dialektis antara
agensi dengan struktur. Bahwa antara agensi dan struktur tidak dapat dipahami terpisah satu
sama lain, keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama. Semua tindakan sosial
melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial. Agensi dan struktur
terjalin erat dalam aktivitas atau praktik yang terus menerus dijalankan manusia. Menurut
Giddens, aktivitas “tidak dilakukan oleh aktor sosial namun secara berkelanjutan diciptakan
ulang melalui sarana yang mereka gunakan untuk mengekspresikan diri mereka sebagai

aktor. Di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas mereka, agen menghasilkan sejumlah kondisi
yang memungkinkan aktvitas-aktivitas ini” (Ritzer & Goodman, 2008: 569).
Agen adalah aktor, sedangkan agensi menurut Giddens terdiri atas peristiwa yang di
dalamnya individu bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, dan peristiwa itu tidak akan
terjadi jika saja individu tidak melakukan intervensi. Agen, menurut Giddens “memiliki
kemampuan menciptakan perbedaan sosial di dunia sosial. Lebih kuat lagi, agen tidak
mungkin ada tanpa kekuasaan; jadi, aktor tidak lagi menjadi agen jika ia kehilangan kapasitas
untuk menciptakan perbedaan. Giddens jelas mengakui adanya sejumlah hambatan terhdap
aktor, namun tidak berarti bahwa aktor tidak memiliki pilihan dan tidak menciptakan
perbedaan. Bagi Giddens, secara logis kekuasaan mendahului subjektivitas karena tindakan
melibatkan kekuasaan, atau kemampuan mengubah situasi. Jadi teori strukturasi Giddens
menempatkan kekuasaan pada aktor dan tindakan yang bertolak belakang dengan teori-teori
yang cenderung mengabaikan orientasi tersebut dan justru mementingkan niat aktor
(fenomenologi) atau struktur eksternal (fungsionalisme struktural)” (Ritzer & Goodman,
2008: 571).
Menurut teori strukturasi Giddens, hubungan antara agen dan struktur bersifat
dualitas, bukan hubungan dualisme. Dalam pandangan Giddens, merupakan sesuatu yang
sudah jelas jika dikatakan ada perbedaan antara pelaku (agen, aktor) dan struktur,
sebagaimana dikatakan ada keterkaitan antara struktur dan pelaku atau sebaliknya.
Persoalannya adalah, apakah perbedaan dan hubungan antara pelaku dan struktur itu bersifat

dualisme (tegangan atau pertentangan) atau dualitas (timbal-balik)? Giddens melihatnya
sebagai dualitas (duality) dan bukan dualisme sebagaimana yang telah menjadi pandangan
umum ilmu-ilmu sosial yang mempertentangkan pelaku (agen) versus struktur (Priyono,
2002: 18).
Dualitas antara struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana struktur sosial
merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik sosial. Struktur analog
dengan langue (yang mengatasi ruang dan waktu), sedangkan praktik sosial analog dengan
parole (dalam waktu dan ruang). Berdasarkan prinsip dualitas tersebut itulah dibangun teori
strukturasi (Priyono, 2002: 19). Adapun ruang dan waktu menurut Giddens, bukanlah arena
atau panggung tindakan, tetapi merupakan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian
masyarakat. Artinya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan, karena itu waktu dan ruang
harus menjadi unsur integral dalam teori ilmu-ilmu sosial (Priyono, 2002: 20). Mengenai
relasi antara agen dan kekuasaan dalam struktur sosial, Giddens mengajukan pertanyaan
penting: apakah watak hubungan logis antara tindakan dan kekuasaan? Berikut penjelasan
Giddens tentang agen dan kekuasaan:
“...Meskipun penjelesan tentang isu ini sangatlah kompleks, relasi mendasar yang
ada bisa dengan mudah ditunjukkan. Mampu ‘bertindak lain’ berarti mengin-

tervensi dunia, atau menjaga diri dari intervensi semacam itu, dengan dampak
mempengaruhi suatu proses atau keadaan khusus dari urusan-urusan. Hubungan

ini mengandaikan bahwa menjadi seorang agen harus mampu menggunakan
(secara terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari) sederet kekuasaan kausal,
termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain.
Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk ‘memengaruhi’ keadaan
urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak
lagi mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk ‘memengaruhi’, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi
analisis sosial bepusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang
sebagai tindakan, saat ketika kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan
tertentu. Akan tetapi, yang pertama penting untuk diketahui adalah bahwa
keadaan-keadaan dari pembatas sosial yang membuat para individu ‘tidak
memiliki pilihan’ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan seperti itu.
‘Tidak memiliki pilihan’ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh
reaksi (seperti kedipan seseorang ketika ada gerakan cepat di dekat matanya).
Mungkin kondisi ini tampak begitu jelas sehingga tidak diperlukan lagi. Tetapi,
sejumlah mazhab sosial terkemuka, terutama yang bersinggungan dengan objektivisme dan ‘sosiologi struktural’ belum mengakui pembedaan itu. Mazhabmazhab sosial itu menganggap bahwa pembatas-pembatas sosial bekerja mirip
seperti kekuatan-kekuatan alam, seolah-olah ‘tidak memiliki pilihan’ sama ketika
tidak kuasa menahan doro dorongan dari tekanan-tekanan mekanis” (Giddens,
2010: 22-23).

Giddens mengakui adanya konsep kekuasaan sebagai kemampuan transformatif, yang
mendahului subjektivitas atau terbentuknya kemampuan introspeksi dan mawas diri, yang
dalam ilmu sosial pada umumnya bersifat dualisme antara subjek dan objek. Dalam konsepsi
tersebut kekuasaan-kekuasaan kerap kali didefinisikan dalam kaitan dengan maksud atau
kehendak, yakni sebabagai “kemampuan untuk menggapai hasil-hasil yang diinginkan dan
dimaksudkan”. Para ahli lain seperti Parsons dan Foucault memahami kekuasaan sebagai
suatu “kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial”. Dalam kaitan ini, sebagaimana
pendapat Bachrach dan Baratz, Giddens juga memahami makna kekuasaan dalam dua sisi,
yakni di satu pihak sebagai “kemampuan para aktor dalam melaksanakan keputusankeputusan yang disukai”, di pihak lain kekuasaan sebagai “mobilisasi bias yang dilekatkan ke
dalam institusi-institusi”. Namun Giddens melihat kekuasaan dalam kaitan dualitas struktur.
Dalam memaknai kekuasaan yang dipahaminya, Gidden memberikan penjelasan sebagai
berikut:
“Sarana atau sumber daya (yang terpusat melalui siginifasi dan legitimasi)
merupakan kelengkapan-kelengkapan terstruktur dari sistem-sistem sosial, yang
diproduksi dan direproduksi oleh para agen pintar selama terjadinya interaksi.
Kekuasaan tidak terkait secara intrinsik dengan pencapaian kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam konsepsi ini, penggunaan kekuasaan menyifati bukan jenis
perilaku, namun seluruh tindakan, dan kekuasaan itu sendiri bukanlah sumber
daya. Sumber daya-sumber daya merupakan sarana penggunaan kekuasaan,
sebagai unsur rutin instansiasi perilaku dalam reproduksi sosial. Kita tidak boleh
memandang struktur-struktur dominasi yang melekat dalam institusi-institusi
sosial mirip seperti memerin tah ‘tubuh-tubuh patuh’ yang bertindak laksana
benda-benda mekanis sebagaimana dalam pandangan ilmu sosial objektivis.
Kekuasaan dalam sistem-sistem sosial yang memilki suatu kontinuitas di
sepanjang ruang dan waktu mengandaikan rutinisasi relasi-relasi kemandirian

dan ketergantuangan di antara para aktor atau kelompok dalam konteks-konteks
interaksi sosial. Akan tetapi, semua bentuk ketergantungan menawarkan sejumlah
sumber daya yang memberikan kemampuan bagi para bawahan untuk bisa
memengaruhi aktivitas-aktivitas para atasan mereka. Inilah yang saya sebut
dengan dielaktika kendali (dialectic of control) dalam sistem-sistem sosial”
(Giddens, 2010: 24-25).

Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualism (pertentangan) dan mencoba
mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional
dengan konstruksionismefenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang
dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan
naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah
dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi
Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya
disebut sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaimklaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang
bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang
menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia Menurut Giddens, struktur bukan bersifat
eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal.
Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang
subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur
itu sendiri.
Giddens memaparkan, struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun
selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifatsifat struktur system sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali
actor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem
sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa
merealisasikan sistem-sistem itu.
Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan
mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended consequences
(konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan
manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki
alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara
berulangulang.
Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulangulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada
dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak
jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya.
Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas
sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku social tetapi diciptakan untuk
mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan
mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitasaktivitasnya, agen-agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya
aktivitas-aktivitas itu.
Tindakan manusia diibaratkan sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus seperti
kognisi, mendukung atau bahkan mematahkan selama akal masih dianugerahkan padanya
(Giddens, 2010:4). Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama ,

pemahaman (interpretation / understanding ), yaitu menyatakan cara agen memahami
sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana
seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara
agen mencapai suatu keinginan. Pada penjelasan sebelumnya, sudah dipaparkan secara jelas
mengenai klarifikasi agen itu sendiri dan pendangan struktur dalam bingkai teori strukturasi.
Mengenai dualitas struktur tersebut akan coba dijelaskan dalam penjelasan gambar di bawah
ini :
STRUKTUR =

Signifikan

Dominasi

Legitimasi

(Struktur)

(Struktur)

(Struktur)

fasilitas

norma

(sarana-antara) = Bingkai
interpretasi

INTERAKSI

=
Komunikas

Kekuasaan

Sangsi

(Agen)

(Agen)

(Agen)

Gambar: Skema Strukturasi Perda TSP

Pada bagan tersebut dijelaskan dualitas antara struktur dan agensi berlangsung
sebagai berikut. Dalam kontek ini sudah di jelaskan bahwasanya yang disebut struktur ialah
aturan atau sumberdaya dalam hal ini yang dimaksud Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur
mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau lazimnya disebut CSR.
Sedangkan yang dimaksud agensi ialah para pelaku yang terlibat dalam pertautan tersebut
yakni negara, perusahaan dan civil society.
Pada proses awalnya Perda tersebut bermula pada ranah dominasi, karena
pembahasan awal sebelum Perda tersebut tersebentuk ialah berada pada ruang politik dalam
koridor legislatif yang membuat kebijakan tersebut yang pada pembahasan awalnya juga
melibatkan dari beberapa aktor. Dan juga pada tahapan pembahasan dan pembentukan Perda
tersebut terjadi juga tarik menarik sebuah kepentingan mengenai aturan yang nantinya
bahwasanya Perda tersebut dibentuk sebagai aturan yang mengikat atauhanya sebagai
pendorong agar terbangunya perusahaan dalam pelaksanaan program CSR itu sendiri.
Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen
memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitasaktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual, melainkan terusmenerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri
sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang

memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person
oleh sejumlah harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar
dan menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-aturan
itu, mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut kembali menjadikan
masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan walaupun pada akhirnya munculnya
kuasa mampu menembus peraturan yang mereka buat sendiri.
Setelah terjadi tarik ulur beberapa kepentingan dalam perumusan Perda tersebut,
akhirnya Perda tersebut dapat disahkan dengan sebagai sumber hukum sehingga Perda
tersebut mempunyai legitimasi untuk dijalankan dan dipraktekan kepada seluruh pihak yang
terlibat. Meskipun pada prakteknya legitimasi mengenai Perda tersebut masih belum
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap sangsi yang nanti diberikan kepada
pihak perusahaan jika perusahaan tersebut tidak mentaati isi Perda untuk melaksanakan
program CSR karena Perda tersebut lahir dalam proses kompromi politik.
Dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kompromi politik ialah karena masing-masing
agen itu sendiri juga mempunyai kekuasaan tersendiri. Pemerintah provinsi Jawa Timur dan
DPRD Jatim sebagai agen yang mewakili negara mempunyai kekuasaan dan kewenangan
dalam membuat Perda tersebut yang nantinya harus dipatuhi bersama terutama oleh pihakpihak yang terkait dalam hal ini ialah dunia usaha yang ada di Jawa Timur. Dan juga
Perusahaan yang berposisi sebagi agen juga mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk
menentukan sampai berapa lama dia akan menginvestasikan modalnya di Jawa Timur, sejauh
ini bisa diamati bahwasanya jika perusahaan terbebani dengan adanya turan yang mengikat
terhadap kewajiban pelaksanaan CSR maka bisa saja para investor tersebut tidak akan
menginvestasikan modalnya sehingga dampak yang terjadi proses pembangunan yang ada di
Jawa Timur akan mengalami masalah terutama dalam penurunan kehidupan yang layak dan
meningkatnya pengangguran. Sedangkan civil society sendiri mempunyai kewenangan juga
bahwasanya dalam proses pelaksanaan CSR tersebut juga melibatkan masyarakat sebagai
salah satu aktor dalam partisipasi pembangunan.
Untuk itu adanya masing-masing kepentingan dan kekuasaan untuk mengakomodasi
tersebut ialah dengan cara dikomunikasikan melalui Perda yang mengatur pelaksaan CSR dan
secara teknis diatur dalam Tim Fasilitasi. Bentuk komunikasi yang ada dalam Tim Fasilitasi
tersebut ialah mengatur bagaimana pelaksanaan program CSR itu dengan cara memberikan
peta sosial wilayah Jawa Timur yang masyarakatnya sangat membutuhkan. Dengan demikian
signifikansi mengenai Perda TSP tersebut ialah bisa terlaksana dengan baik dan tepat sasaran
kepada masyarakat yang berada di wilayah keselurahan Jawa Timur tidak hanya terfokus
pada masyarakat Ring I disekitar perusahaan. Sehingga dalam hal ini peran serta dari dunia
usaha turut terlibat secara aktif dalam membantu pembangunan pemerintah provinsi di Jawa
Timur.
Kesimpulan
Peraturan Daerah tersebut dikatakan sebagai sebuah produk hukum yang sangat kompromis,
dikarenakan dalam Peraturan Daerah tersebut ingin mengakomodasi semua stakeholders
maupun shareholders yang ada di provinsi Jawa Timur. Kompromi kepentingan tersebut bisa
dilihat dalam ketentuan Peraturan Daerah tersebut tidak diatur mengenai prosentase laba
bersih yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan program CSRnya, semuanya
diberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk mengeluarkan jumlah dana untuk program
CSR.
Tidak hanya itu juga, kompromi kepentingan yang ada dalam Peraturan Daerah tersebut ialah
tidak diberlakukannya sanksi yang sangat tegas kepada perusahaan yang tidak menjalankan

program CSR sehingga bisa dikatakan kekuatan hukum pada Peraturan Daerah tersebut tidak
mengikat. Hal ini dikarenakan bahwa nantinya Peraturan Daerah tersebut tidak menjadi
beban kepada perusahaan-perusahaan yang ada. Dan ketika Peraturan Daerah ini menjadi
beban tersendiri bagi perusahaan maka akan ditakutkan perusahaan-perusahaan tersebut tidak
mau menginvestasikan dan lari dari Jawa Timur dikarenakan perusahaan sendiri sudah
terbebankan dengan pajak yang berlaku.
Tujuan akhir dengan diberlakukannya Peraturan Daerah tersebut ingin mensinergiskan
mengenai peran serta keterlibatan dunia usaha dengan pihak pemerintah daerah untuk
mewujudkan pembangunan melalui progrm pemerintah yang sampai hari ini tidak semuanya
program pemerintah tersebut dapat ter-cover jika hanya mengandalkan dana Anggaran
Pembiayaan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pembiayaan Belanja Nasional (APBN)
untuk membiayai program tersebut. Hal ini diharapkan dengan adanya Peraturan Daerah
tersebut dapat mengakomodasi program CSR yang dilakukan oleh perusahaan agar dapat
disesuaikan dengan rencana pembangunan program pemerintah daerah untuk mewujudkan
percepatan pembangunan yang ada di wilayah provinsi Jawa Timur itu sendiri.

Daftar Pustaka
Bierman, F. The emerging debate on the need for a World Environment Organization. Global
Environmental Politics, 2001, 1(1).
Denzin, Norman. K & Yoanna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Doh, P. J & T. R Guay, Corporate social responsibility, public policy, and NGO activism in
Europe and the United States: An institutional-stakeholder perspective. Journal of
Management Studies, 2006,43(1).
Fajar, Mukti. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Studi tentang
Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nsional &
BUMN di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Giddens, Anthony. 1993. Sociology. Second Edition. Cambridge-UK: Polity Press
Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi: Dasa-dasar Pembentukan Struktur Sosial
Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jepperson, L.R. 1991. Institutions, institutional effects, and institutionalism. In W. W.
Powell, & P. J. DiMaggio (Eds.), The new institutionalism in organizational
analysis. Chicago: University of Chicago Press
Keck, M.E & K. Sikkink. 1998. Transnational advocacy networks in international politics:
introduction In M. E. Keck, & K. Sikkink (Eds.), Activists beyond borders:
Advocacy networks in international politics, Cornell University Press: Ithaca.
Levy, L. D. Environmental management as political sustainability. Organization and
Environment, 1997, 10(2).
Levy, D. L., & Newell, P, Multinationals in global governance. In S. Vachani (Ed.),
Transformations in global governance: Implications for multinationals and other
stakeholders, Edward Elgar: London, 2006. Hal 56.
Prayogo, Dody. 2011. Socially Responsible Corporation: Peta Masalah, Tanggung Jawab
Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri Tambang dan Migas di
Indonesia. Depok: UI-Press
Priyono, B. Herry. 2002. Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial : Buku Sumber Untuk Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta : Tiara Kencana
Sell, S. K., & Prakash, A, Using ideas strategically: The contest between business and NGO
networks in intellectual property rights. International Studies Quarterly, 2004,
48(1).
Utting, P. 2000. Business responsibility for sustainable development. United Nations
Research Institute for Social Development: Geneva.
Vogel, D. J. 2005. The market for virtue: the potential and limits of corporate social
responsibility, Brookings Institution Press: Washington DC.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15