Tantangan Pengembangan Ekonomi Kreatif I
Tantangan Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia
Oleh Gustaff H. Iskandar*
Sejak dipimpin oleh Mari Elka Pangestu pada 19 Oktober 2011, genap satu tahun Kementerian Pariwasata
dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berkiprah mengembangkan ekonomi kreatif Indonesia. Meski terasa
masih meraba-raba, pembentukan Kemenparekraf merupakan titik tolak pengembangan ekonomi kreatif
yang langsung ditangani lembaga kementerian. Di tataran strategi dan implementasi, terdapat dua koridor
utama yang terdiri dari ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya; serta yang berbasis media, desain dan
iptek. Selain itu kementerian juga mengembangkan zona kreatif yang berbasis wilayah.
Upaya pengembangan potensi ekonomi kreatif bukanlah kebijakan tanpa dasar. Dalam kajian
Kemenparekraf, pada 2008 perkembangannya memberi kontribusi PDB sebesar 7,28% dan mencipta
lapangan kerja sebesar 7.686.410. Dalam kurun 2009 s/d 2014, Kemenparekraf memproyeksikan kontribusi
sebesar 6 – 10%. Selain kesejahteraan ekonomi, perkembangan ekonomi kreatif juga dianggap mampu
memberi dampak sosial berupa peningkatan kualitas hidup dan toleransi sosial. Dua hal yang dibutuhkan
oleh negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi dan keragaman budaya yang luar biasa.
Dari sisi pelaku sebetulnya ada banyak pencapaian yang membanggakan dari praktisi ekonomi kreatif di
Tanah Air. Meski dengan dukungan terbatas ada banyak sekali pelaku yang mengecap reputasi yang diakui
secara nasional dan bahkan internasional. Diantara banyak nama yang muncul ke permukaan adalah
Christiawan Lie yang terlibat dalam pembuatan film Transformer III, GI Joe, dan Spiderman IV. Selain itu
ada Rini Triyani Sugianto yang terlibat dalam pembuatan film animasi The Adventure of Tintin: Secret of
The Unicorn, dan The Avengers. Di bidang musik internasionalisasi Indonesia diwakili oleh band cadas
Superman Is Dead, Burgerkill, ataupun kelompok Jogja Hip Hop Foundation.
Bila menilik pada sejarah, kiprah Indonesia di kancah internasional sejak lama dirintis oleh para seniman.
Pada sekira tahun 1948 s/d 1950, Otto Djaja melancong ke Eropa dan membawa beberapa karya Sudjojono,
Affandi serta Hendra Gunawan. Pada tahun 1953 – 1954, Kusnadi mencatat bahwa Affandi pernah diundang
berpameran di Sao Paolo dan Venice Biennalle. Di bidang musik, khalayak di Belanda mengenal betul sosok
Andy Tielman yang tergabung dalam kelompok The Tielman Brothers. Aksi mereka menghentak publik
Eropa hingga band ini dianggap sebagai pionir perkembangan musik rock 'n' roll di negara kincir angin pada
tahun 1950-an.
Sayang kiprah ini kurang mendapat perhatian dan apresiasi yang semestinya. Ada banyak musisi, seniman,
sastrawan, desainer, serta para praktisi ekonomi kreatif yang berjuang di jalan senyap. Pemerintah dan
masyarakat seakan abai terhadap karya dan prestasi yang mereka capai. Selain itu, tidak jarang kondisi para
pekerja kreatif di Indonesia begitu memprihatinkan saat mereka berada di ambang usia. Kabar baik datang
dari generasi muda yang mulai menggali sejarah dan mengapresiasi karya para pelaku yang ada di garda
terdepan perkembangan dunia kreativitas Indonesia. Sementara itu, perhatian dari pemerintah seringnya
hanya jadi angin lalu saja.
Meski secara formal baru dikembangkan sejak 2009, bagi masyarakat kita ekonomi kreatif bukan barang
baru. Sebagai contoh geliatnya di kota Bandung sudah terasa sejak lama. Dengan infrastruktur terbatas,
warga kota mengandalkan kreativitas untuk menyambung hidup. Tak heran bila Bandung dikenal sebagai
pusat perkembangan musik, seni rupa, desain, dan fesyen di Tanah Air. Ironisnya potensi ini dipandang
sebelah mata oleh Pemerintah Kota. Insiden 9 Februari 2008 yang menewaskan 11 anak muda selepas konser
musik cadas di Gedung AACC (sekarang Gedung New Mayestik) adalah cermin bahwa energi kreativitas
anak muda kota Bandung belum dapat dikelola melalui serangkaian kebijakan dan infrastruktur kota yang
baik.
Di era otonomi daerah pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan menentukan arah pembangunan daerah.
Hal ini menjadi faktor penghambat bagi proses percepatan pengembangan ekonomi kreatif di pelosok.
Kebijakan pusat belum secara efektif memberi dampak di daerah dan begitupun sebaliknya. Potensi dan
persoalan di daerah tidak dapat langsung direspon pemerintah pusat, sehingga pengembangan ekonomi
kreatif serasa berjalan di tempat. Kompleksitas ini ditambah dengan sulitnya melakukan koordinasi diantara
kementerian terkait, hingga aparatus negara tergagap-gagap saat melaksanakan kebijakan yang ada.
Dalam kajian tim perumus Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat di 5 wilayah BKPP tahun
2011, terungkap bahwa birokrat di daerah sulit melaksanakan Inpres No. 6/ 2009 yang menjadi dasar
kebijakan pengembangan ekonomi kreatif Indonesia. Tim juga menemukan bahwa potensi ekonomi kreatif
berbasis seni dan budaya merupakan modal dasar yang perlu dikembangkan secara sistematis. Persoalan
utama yang dihadapi di daerah adalah masalah modal finasial, infrastruktur, promosi, pemasaran, serta modal
pengetahuan yang minim. Hal ini berbanding terbalik dengan potensi yang dimiliki, yang diantaranya adalah
keberagaman budaya serta pertumbuhan populasi muda yang luar biasa.
Disparitas pemahaman dan minimnya pengetahuan membuat proses implementasi kebijakan tersendat di
tengah jalan meski Inpres No. 6/ 2009 ditujukan kepada segenap lembaga pusat sampai daerah. Provinsi
Jawa Barat merespon kondisi ini dengan menerbitkan SK Gubernur No. 500/Kep. 146-Bapp/2012 tentang
Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat yang bernaung di bawah Bappeda Jabar. Komite terdiri
dari berbagai pemangku kepentingan; mulai dari akademisi, sektor bisnis, pemerintah, serta komunitas.
Walau sudah bekerja hampir satu tahun, perkembangan ekonomi kreatif Jawa Barat belum menunjukan
kemajuan berarti meski gelagatnya di masyarakat begitu menggebu. Apa yang terjadi di Bandung dan
beberapa Kab/Kota Jawa Barat juga terasa di daerah lain walau dengan tekanan yang berbeda.
Dalam menghadapi keterbatasan infrastruktur serta sengkarut birokrasi dan koordinasi kewenangan
pemerintah pusat dan daerah, Kemenparekraf merintis program aktivasi Taman Budaya mulai awal 2012.
Kebijakan ini secara khusus ditujukan untuk menyediakan ruang ekspresi, apresiasi dan eksperimentasi bagi
khalayak, serta merupakan satu dari sekian banyak kebijakan dan program yang telah dikembangkan. Sejak
digagas Prof. Dr. Ida Bagus Mantra pada 1978, saat ini Taman Budaya telah dilihat sebagai instrumen
strategis untuk mendorong percepatan pengembangan ekonomi kreatif di daerah. Ada sekitar 25 Taman
Budaya di 25 Provinsi. Beberapa hampir tak terdengar kiprahnya, meski aktif mengembangkan bermacam
kegiatan lengkap dengan kondisi serta persoalan yang beragam.
Diawali dengan melakukan kajian di Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali, kementerian menggandeng
Pemerintah Provinsi untuk mengembangkan program uji coba. Meski proses implementasi kebijakan ini
tidak berjalan mulus, ada banyak pihak yang berharap upaya ini jadi terobosan yang berarti bagi masa depan
perkembangan ekonomi kreatif yang berbasis kekayaan budaya. Ekonomi kreatif bukan semata soal
ekonomi, tapi juga penciptaan nilai yang memanfaatkan akal budi dan pengetahuan. Selain kebijakan yang
terpadu, di dalamnya ada peran sains, teknologi, teknik, seni, dan rekayasa. Oleh karena itu pengembangan
ekonomi kreatif idealnya adalah sebuah proyek politik dan gerakan kebudayaan yang diharapkan dapat
berperan membangun peradaban Bangsa.
Denpasar, 5 Desember 2012
*Penulis adalah seniman, bekerja untuk Common Room Networks Foundation
Oleh Gustaff H. Iskandar*
Sejak dipimpin oleh Mari Elka Pangestu pada 19 Oktober 2011, genap satu tahun Kementerian Pariwasata
dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berkiprah mengembangkan ekonomi kreatif Indonesia. Meski terasa
masih meraba-raba, pembentukan Kemenparekraf merupakan titik tolak pengembangan ekonomi kreatif
yang langsung ditangani lembaga kementerian. Di tataran strategi dan implementasi, terdapat dua koridor
utama yang terdiri dari ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya; serta yang berbasis media, desain dan
iptek. Selain itu kementerian juga mengembangkan zona kreatif yang berbasis wilayah.
Upaya pengembangan potensi ekonomi kreatif bukanlah kebijakan tanpa dasar. Dalam kajian
Kemenparekraf, pada 2008 perkembangannya memberi kontribusi PDB sebesar 7,28% dan mencipta
lapangan kerja sebesar 7.686.410. Dalam kurun 2009 s/d 2014, Kemenparekraf memproyeksikan kontribusi
sebesar 6 – 10%. Selain kesejahteraan ekonomi, perkembangan ekonomi kreatif juga dianggap mampu
memberi dampak sosial berupa peningkatan kualitas hidup dan toleransi sosial. Dua hal yang dibutuhkan
oleh negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi dan keragaman budaya yang luar biasa.
Dari sisi pelaku sebetulnya ada banyak pencapaian yang membanggakan dari praktisi ekonomi kreatif di
Tanah Air. Meski dengan dukungan terbatas ada banyak sekali pelaku yang mengecap reputasi yang diakui
secara nasional dan bahkan internasional. Diantara banyak nama yang muncul ke permukaan adalah
Christiawan Lie yang terlibat dalam pembuatan film Transformer III, GI Joe, dan Spiderman IV. Selain itu
ada Rini Triyani Sugianto yang terlibat dalam pembuatan film animasi The Adventure of Tintin: Secret of
The Unicorn, dan The Avengers. Di bidang musik internasionalisasi Indonesia diwakili oleh band cadas
Superman Is Dead, Burgerkill, ataupun kelompok Jogja Hip Hop Foundation.
Bila menilik pada sejarah, kiprah Indonesia di kancah internasional sejak lama dirintis oleh para seniman.
Pada sekira tahun 1948 s/d 1950, Otto Djaja melancong ke Eropa dan membawa beberapa karya Sudjojono,
Affandi serta Hendra Gunawan. Pada tahun 1953 – 1954, Kusnadi mencatat bahwa Affandi pernah diundang
berpameran di Sao Paolo dan Venice Biennalle. Di bidang musik, khalayak di Belanda mengenal betul sosok
Andy Tielman yang tergabung dalam kelompok The Tielman Brothers. Aksi mereka menghentak publik
Eropa hingga band ini dianggap sebagai pionir perkembangan musik rock 'n' roll di negara kincir angin pada
tahun 1950-an.
Sayang kiprah ini kurang mendapat perhatian dan apresiasi yang semestinya. Ada banyak musisi, seniman,
sastrawan, desainer, serta para praktisi ekonomi kreatif yang berjuang di jalan senyap. Pemerintah dan
masyarakat seakan abai terhadap karya dan prestasi yang mereka capai. Selain itu, tidak jarang kondisi para
pekerja kreatif di Indonesia begitu memprihatinkan saat mereka berada di ambang usia. Kabar baik datang
dari generasi muda yang mulai menggali sejarah dan mengapresiasi karya para pelaku yang ada di garda
terdepan perkembangan dunia kreativitas Indonesia. Sementara itu, perhatian dari pemerintah seringnya
hanya jadi angin lalu saja.
Meski secara formal baru dikembangkan sejak 2009, bagi masyarakat kita ekonomi kreatif bukan barang
baru. Sebagai contoh geliatnya di kota Bandung sudah terasa sejak lama. Dengan infrastruktur terbatas,
warga kota mengandalkan kreativitas untuk menyambung hidup. Tak heran bila Bandung dikenal sebagai
pusat perkembangan musik, seni rupa, desain, dan fesyen di Tanah Air. Ironisnya potensi ini dipandang
sebelah mata oleh Pemerintah Kota. Insiden 9 Februari 2008 yang menewaskan 11 anak muda selepas konser
musik cadas di Gedung AACC (sekarang Gedung New Mayestik) adalah cermin bahwa energi kreativitas
anak muda kota Bandung belum dapat dikelola melalui serangkaian kebijakan dan infrastruktur kota yang
baik.
Di era otonomi daerah pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan menentukan arah pembangunan daerah.
Hal ini menjadi faktor penghambat bagi proses percepatan pengembangan ekonomi kreatif di pelosok.
Kebijakan pusat belum secara efektif memberi dampak di daerah dan begitupun sebaliknya. Potensi dan
persoalan di daerah tidak dapat langsung direspon pemerintah pusat, sehingga pengembangan ekonomi
kreatif serasa berjalan di tempat. Kompleksitas ini ditambah dengan sulitnya melakukan koordinasi diantara
kementerian terkait, hingga aparatus negara tergagap-gagap saat melaksanakan kebijakan yang ada.
Dalam kajian tim perumus Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat di 5 wilayah BKPP tahun
2011, terungkap bahwa birokrat di daerah sulit melaksanakan Inpres No. 6/ 2009 yang menjadi dasar
kebijakan pengembangan ekonomi kreatif Indonesia. Tim juga menemukan bahwa potensi ekonomi kreatif
berbasis seni dan budaya merupakan modal dasar yang perlu dikembangkan secara sistematis. Persoalan
utama yang dihadapi di daerah adalah masalah modal finasial, infrastruktur, promosi, pemasaran, serta modal
pengetahuan yang minim. Hal ini berbanding terbalik dengan potensi yang dimiliki, yang diantaranya adalah
keberagaman budaya serta pertumbuhan populasi muda yang luar biasa.
Disparitas pemahaman dan minimnya pengetahuan membuat proses implementasi kebijakan tersendat di
tengah jalan meski Inpres No. 6/ 2009 ditujukan kepada segenap lembaga pusat sampai daerah. Provinsi
Jawa Barat merespon kondisi ini dengan menerbitkan SK Gubernur No. 500/Kep. 146-Bapp/2012 tentang
Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat yang bernaung di bawah Bappeda Jabar. Komite terdiri
dari berbagai pemangku kepentingan; mulai dari akademisi, sektor bisnis, pemerintah, serta komunitas.
Walau sudah bekerja hampir satu tahun, perkembangan ekonomi kreatif Jawa Barat belum menunjukan
kemajuan berarti meski gelagatnya di masyarakat begitu menggebu. Apa yang terjadi di Bandung dan
beberapa Kab/Kota Jawa Barat juga terasa di daerah lain walau dengan tekanan yang berbeda.
Dalam menghadapi keterbatasan infrastruktur serta sengkarut birokrasi dan koordinasi kewenangan
pemerintah pusat dan daerah, Kemenparekraf merintis program aktivasi Taman Budaya mulai awal 2012.
Kebijakan ini secara khusus ditujukan untuk menyediakan ruang ekspresi, apresiasi dan eksperimentasi bagi
khalayak, serta merupakan satu dari sekian banyak kebijakan dan program yang telah dikembangkan. Sejak
digagas Prof. Dr. Ida Bagus Mantra pada 1978, saat ini Taman Budaya telah dilihat sebagai instrumen
strategis untuk mendorong percepatan pengembangan ekonomi kreatif di daerah. Ada sekitar 25 Taman
Budaya di 25 Provinsi. Beberapa hampir tak terdengar kiprahnya, meski aktif mengembangkan bermacam
kegiatan lengkap dengan kondisi serta persoalan yang beragam.
Diawali dengan melakukan kajian di Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali, kementerian menggandeng
Pemerintah Provinsi untuk mengembangkan program uji coba. Meski proses implementasi kebijakan ini
tidak berjalan mulus, ada banyak pihak yang berharap upaya ini jadi terobosan yang berarti bagi masa depan
perkembangan ekonomi kreatif yang berbasis kekayaan budaya. Ekonomi kreatif bukan semata soal
ekonomi, tapi juga penciptaan nilai yang memanfaatkan akal budi dan pengetahuan. Selain kebijakan yang
terpadu, di dalamnya ada peran sains, teknologi, teknik, seni, dan rekayasa. Oleh karena itu pengembangan
ekonomi kreatif idealnya adalah sebuah proyek politik dan gerakan kebudayaan yang diharapkan dapat
berperan membangun peradaban Bangsa.
Denpasar, 5 Desember 2012
*Penulis adalah seniman, bekerja untuk Common Room Networks Foundation