IMPLIKASI YURIDIS HUBUNGAN KERJA DENGAN SISTEM OUTSOURCING SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011 - Repository UNRAM

JURNAL KARYA ILMIAH

  

IMPLIKASI YURIDIS HUBUNGAN KERJA DENGAN SISTEM

OUTSOURCING SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 27/PUU-IX/2011

  

OLEH

  

I PUTU ANDRE WIJAYA

D1A 010 069

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2014

JURNAL KARYA ILMIAH

  

IMPLIKASI YURIDIS HUBUNGAN KERJA DENGAN SISTEM

OUTSOURCING SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 27/PUU-IX/2011

  

OLEH :

  

I PUTU ANDRE WIJAYA

D1A 010 069

MENYETUJUI :

PEMBIMBING PERTAMA

  

Prof. Dr. H. Lalu Husni, S.H., M.Hum.

   NIP. 19621231 198803 1 010

I. PENDAHULUAN

  Hubungan kerja sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan hubungan antara pekerja/ buruh dengan pengusaha yang memuat unsur perintah, upah dan pekerjaan.

  Hubungan kerja dapat terjadi jika dua pihak yaitu pekerja/buruh dan pengusaha telah ada kesepakatan dan memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal diatas.

  Menurut Rajaguguk outsourcing adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja,

  

  Dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan :

  “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.

  Dari ketentuan pasal di atas hubungan kerja dengan sistem outsourcing ini terdapat tiga pihak yaitu pekerja/buruh, perusahaan outsourcing, dan perusahaan pemberi kerja. Jika dicermati lebih lanjut mengenai hubungan kerja pekerja/buruh (pekerja outsourcing) mengandung kekaburan dimana perusahaan dapat menyerahkan pekerja kepada perusahaan lain sehingga hubungan kerja yang seharusnya dilakukan secara langsung oleh pekerja/ 1 Rajaguguk dalam Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, buruh tidak terjadi tetapi pekerja/buruh ditempatkan di perusahaan lain yang telah melakukan perjanjian dengan perusahaan outsourcing.

  Pekerja/buruh yang dirugikan selama bekerja dalam hubungan kerja dengan sistem outsourcing karena tidak adanya perlindungan maupun terpenuhi jaminan hak-hak memunculkan suatu gagasan untuk melakukan uji materil terhadap ketentuan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 Undang- Undang Ketenagakerjaan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI).

  Dari uraian latar belakang di atas, adapun permasalahan yang dibahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pola hubungan kerja dengan sistem

  

outsourcing dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011? ,

  2. Apa implikasi yuridis hubungan kerja dengan sistem outsourcing setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011? .

  Setiap penelitian memiliki tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dari penelitian yang dilakukan, adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Tujuan Penelitian : a. Untuk mengetahui pola hubungan kerja dengan sistem outsourcing dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, b. Untuk mengetahui implikasi yuridis hubungan kerja dengan sistem outsourcing setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU-IX/2011. 2. Manfaat Penelitian : a. Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran dan berguna dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum ketenagakerjaan dalam hubungan kerja dengan system outsourcing pada khususnya, b. Secara praktis, dapat memberikan kontribusi sebagai acuan maupun masukan bagi pembuat Undang-Undang (Eksekutif dan Legislatif) dalam membuat atau merubah peraturan perundang-undangan yang mengatur ketenagakerjaan dan praktisi hukum atau aparat hukum seperti para hakim, advokat dan lain-lain dalam menangani, mengadili dan memutuskan perkara ketenagakerjaan.

  Metode penelitian yang dipergunakan oleh penyusun guna menjawab permasalahan sebagaimana di uraikan di atas adalah dengan menggunakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang- undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Jenis dan sumber bahan hukumnya berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder, serta bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini mempergunakan teknik studi dokumen atau yang dikenal dengan studi kepustakaan. Teknik memperoleh bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang terkait, jurnal, putusan pengadilan, dan lain sebagainya yang ada kaitannya dengan penelitian ini.Adapun analisa yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif, komprehensif, dan lengkap.

II. PEMBAHASAN

A. Pola Hubungan Kerja dengan Sistem Outsourcing Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011

  Sebelum membahas pola hubungan kerja dengan sistem

  

outsourcing setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/

  2011 terlebih dahulu peneliti akan menjelaskan hubungan kerja dengan sistem outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

  Pola Hubungan Kerja dengan Sistem Outsourcing dalam Undang- 1. Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

  Hubungan hukum antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh outsourcing dalam perjanjian kerja dapat dituangkan dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dimana terdapat hubungan antara majikan dengan pekerja/buruh, dan dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa pekerja/buruh ditempatkan dan dipekerjakan pada perusahaan pemberi kerja.

  Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat dua bentuk yang melandasi suatu hubungan kerja dengan sistem outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

  a. Yang pertama adalah perjanjian kerja sama antara perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing dan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing, yang mana dalam hal perjanjian yang dibuat tersebut tunduk pada ketentuan yang tekandung dalam

  Pasal 1338 KUHPerdata, dalam hal ini khususnya terhadap asas kebebasan berkontrak, dimana perusahaan outsourcing dan perusahaan pemberi kerja diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian. Namun meskipun diberikan kebebasan dalam mebuat perjanjian, juga harus memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.

  b. Yang kedua adalah perjanjian kerja yang terjadi antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh outsourcing.

  Perjanjian ini dapat dituangkan dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun dalam bentuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Kedua bentuk perjanjian ini tunduk pada ketentuan yang terkandung dalam

  Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur syarat sah perjanjian kerja. Pada hubungan kerja yang dilandasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) harus memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor

  13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena dalam perjanjian ini dibuat dalam bentuk tertulis. Sedangkan hubungan kerja yang dilandasi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu yang dibuat secara lisan, akan tetapi dalam ketentuan yang terkandung dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-

  Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan : perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis

  

  2. Pola Hubungan Kerja dengan Sistem Outsourcing dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011

  Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ini artinya bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya tanpa adanya halangan. Selain itu dalam pasal ini juga menegaskan pentingnya persamaan sosial maupun ekonomi bagi warga negara. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan : “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Dengan ketentuan pasal di atas mengamanatkan setiap orang baik itu laki-laki maupun perempuan berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa adanya diskriminatif. Selain itu pekerja/buruh dalam bekerja berhak untuk

  2 Ramandha Cipta Putra Fikri, ramandha-cpf.blogspot.com/2013/01/outsourcing-dalam- undang-undang-no13.html, di akses tanggal 07 Juni 2014, pukul 09.15 wita. mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja sehingga tidak menimbulkan suatu permasalahan.

  Dalam Universal Declaration of Human Rights jaminan bahwa setiap manusia memiliki persamaan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak ini terdapat pada Pasal 23 ayat 1 sampai dengan 4 yang menyatakan : (1) setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik dan atas dasar perlindungan terhadap pengangguran. (2) Setiap orang dengan tidak ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama. (3) Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik menjamin penghidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat manusia, dan jika perlu ditambah dengan bantuan-bantuan sosial lainnya. (4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat sekerja untuk melindungi

  

  Majelis Hakim Mahkamah Konstitsusi dalam pertimbangan hukumnya bahwa hubungan kerja yang terjadi antara pekerja/buruh dengan perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-hak yang dilindungi oleh konstitusi. Untuk itu, Mahkamah harus memastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan 3 outsourcing yang melaksanakan pekerjaan outsourcing dilaksanakan

  Idrus Affandi dan Karim Suryadi, Hak Asasi Manusia, Cet. 15, Ed. 1, (Universitas dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh, dan penggunaan model outsourcing tidak disalahgunakan oleh perusahaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan tanpa memperhatikan, bahkan mengorbankan, hak-hak pekerja/buruh.

  Berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk menghindari perusahaan melakukan eksploitasi pekerja/buruh hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja/buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan untuk meminimalisasi hilangnya hak-hak konstitusional para pekerja outsourcing, Mahkamah perlu menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh. Dalam hal ini ada dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak- hak pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of

  

Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada

perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

  Pada model pertama hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh outsourcing harus dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) yang dibuat secara tertulis. Sehingga jika PKWTT yang dibuat antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh itu tertulis maka akan tetap konstitusional. Pada model pertama bukan merupakan sesuatu yang baru sebab dalam Pasal 65 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

  Pada model kedua, hubungan kerja dimana Perjanjian Kerja Waktu Tertentu akan tetap berlaku jika dalam hal tetap mencantumkan pengalihan perlindungan dalam perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan outsourcing. Sehingga dengan adanya pengalihan perlidungan ini ketika perusahaan

  

outsourcing lama berganti menjadi perusahaan outsourcing baru,

  pekerja/buruh outsourcing tidak akan terputus hubungan kerjanya akan tetapi akan tetap berlanjut selama objek kerjanya tetap ada. Selain itu ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyedia jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan

  

outsourcing yang lama melainkan memberikan pekerjaan tersebut

  kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan itu masih berlanjut dan masih ada, perusahaan

  

outsourcing yang baru tersebut harus tetap melanjutkan perjanjian

  kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang telah ada dalam perjanjian kerja sebelumnya, tanpa persetujuan pihak- pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.

  

B. Implikasi Yuridis Hubungan Kerja Dengan Sistem Outsourcing

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011

  Terhadap penyerahan pekerjaan dalam Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain tidak berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Permenakertrans ini mengatur bahwa perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan. Sehingga penyerahan pekerjaan dapat dilakukan perusahaan outsourcing melalui perjanjian kerja (baik berbentuk waktu tertentu atau waktu tidak tertentu) atau melaui perjanjian pemborongan.

  Terkait dengan persyaratan perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh dalam Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 di atur dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26. Dalam ketentuan Pasal 24 huruf a yang menyatakan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan berdasarkan ketentuan ini maka jika perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh tidak berbentuk PT maka hubungan kerja pekerja/buruh outsourcing berdasarkan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan berlaih ke

  

  Jika ketentuan sebagai badan hukum tidak dipenuhi oleh perusahaan outsourcing, tidak dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan/atau tidak dibuatnya secara perjanjian tertulis, maka demi hukum status hubungan kerja yang terjadi antara pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan outsourcing beralih menjadi hubungan kerja pekerja/ buruh outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan, yang dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja tidak tertentu, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan pekerja/buruh outsourcing.

  Jika mencermati pasal-pasal yang terdapat dalam Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 hubungan kerja dengan sistem outsourcing dapat dilakukan dengan dua bentuk yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dengan adanya dua model ini maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dapat menggunakan salah satu model. Dalam PKWT hanya dapat digunakan jika perusahaan itu berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) dan jika 4 berbadan hukum selain PT maka harus berdasarkan PKWTT.

  Juanda Pangaribuan dalam

  Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-

  IX/2011 memberikan implikasi yuridis dalam hubungan kerja dengan sistem outsourcing, dimana perjanjian kerja yang dibuat harus memberikan tidakan pengalihan perlindungan, sehingga jika terjadi pergantian perusahaan outsourcing lama menjadi baru pekerja/buruh

  

outsourcing tidak akan kehilangan pekerjaan selama perjanjian kerja

  antara perusahaan outsourcing baru dengan perusahaan pemberi kerja masih belum berakhir. Akan tetapi jika melihat pengaturan mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing dalam Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 sangat kurang, karena jika mencermati kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim jika perjanjian kerja yang terjadi itu berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) harus terdapat prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing dan jika mencermati kembali amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi jika Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak mecantumkan syarat- syarat pengalihan tindakan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh

  

outsourcing yang objek kerjanya tetap ada dalam perjanjian kerja tersebut

  maka tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga dengan demikian keluarnya Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain tidak melanjutkan semangat pemberian perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-

  IX/2011 frasa perjanjian kerja waktu tertentu pada Pasal 65 ayat (7) dan

  Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dipenuhinya syarat tindakan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh

  outsourcing terhadap perjanjian kerja yang dibuat. Bentuk hubungan

  kerja dengan sistem outsourcing dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 ada dua bentuk yaitu: a. Tidak dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu melainkan berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu, b. menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of

  Employment atau TUPE) yang bekerja dengan melaksanakan pekerjaan outsourcing.

  Implikasi hubungan kerja dengan sistem outsourcing dalam Putusan Mahkamah Konstitusi di atas mengharuskan perusahaan

  outsourcing untuk mempergunakan dua model perjanjian kerja, dimana

  perjanjian kerja harus berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu dengan prinsip pengalihan tindakan perlindungan atau TUPE. Namun jika mencermati pasal-pasal yang termuat dalam Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 masih sangat kurang dalam memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing.

B. Saran

  Berdasarkan kesimpulan di atas maka, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut : Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-

  IX/2011 Pemerintah dalam hal ini harus lebih mengawasi pekerjaan yang berkaitan dengan bidang outsourcing, yang lebih penting lagi dalam hal perlindungan dan terjaminnya hak-hak pekerja/buruh outsourcing, karena sering kali perlindungan dan hak-hak daripada pekerja/buruh ini kurang begitu diperhatikan.

  Bagi perusahaan outsourcing untuk lebih memperhatikan perjanjian yang dibuat, tidak hanya mengejar keuntungan tapi harus memperhatikan perlindungan dan terjaminannya hak-hak bagi pekerja/ buruh outsourcing, sehingga dalam hal ini tentunya akan saling menguntungkan.

  Pemerintah dalam hal ini sebaiknya merevisi kembali pasal-pasal yang berkaitan dengan hubungan kerja dengan sistem outsourcing, yang mana dalam revisinya itu harus melanjutkan semangat yang terkandung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, dan jikalau dapat sistem outsourcing yang terdapat dalam revisi selanjutnya tidak merugikan kepentingan pekerja/buruh outsourcing.

IV. DAFTAR PUSTAKA

  A. Buku

  Idrus Affandi dan Karim Suryadi, Hak Asasi Manusia, Cet. 15, Ed. 1, Universitas Terbuka, Jakarta, 2009.

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan

Pertama, Edisi Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

  B. Internet

  

Juanda Pangaribuan di akses tanggal 13 Juni 2014, Pukul 10.52 Wita.

Ramandha Cipta Putra Fikri, ramandha-cpf.blogspot.com/2013/01/outsourcing-

dalam-undang-undang-no13.html, di akses tanggal 07 Juni 2014, pukul

  09.15 wita.