BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori 1. Pengertian Full Day School - PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL DALAM MEMBENTUK SIKAP KEDISIPLINAN SERTA MENGEMBANGKAN MINAT DAN BAKAT SISWA KELAS V SD MUHAMMADIYAH PURWOKERTO - repository perpustakaan

BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori

1. Pengertian Full Day School

  Full day school adalah sekolah yang menerapkan sistem sekolah

  sepanjang hari. Aktifitas siswanya menjadi lebih banyak di sekolah dalam kesehariannya. Sekolah harus lebih mempersiapkan segala yang dibutuhkan

  full day school supaya dapat berjalan dengan baik. Full day school menjadi alternatif solusi masyarakat di era globalisasi ini.

  Oktamiati dan Putri (2013: 5) berpendapat bahwa kata full day berasal dari bahasa Inggris. Full berarti penuh, sedangkan day berarti hari. Jadi, full

  day school merupakan sekolah sepanjang hari, atau proses belajar mengajar

  yang dilakukan mulai pukul 06.45 sampai 15.00 atau dengan kata lain sekolah yang memberlakukan jam belajar mengajar mulai dari pagi hingga sore hari. Salim (Oktamiati, dkk. 2013: 5) berpendapat bahwa kunci utama dalam full day school adalah pengaturan jadwal mata pelajaran dan pendalaman materi. Hal ini dapat dilihat dari makna dan pelaksanaan full

  day school di atas. Basuki (Oktamiati, dkk. 2013: 5) juga menyimpulkan

  bahwa full day school merupakan sekolah yang lebih menggali potensi anak didik secara total dengan menitikberatkan pada situasi dan kondisi dimana anak didik dapat mengikuti proses belajar dan bermain, dengan demikian siswa tidak merasa terbebani dan tidak bosan berada di sekolah.

  8 Soapatty dan Suyanto (2014: 720) berpendapat bahwa sekolah dengan sistem full day school adalah bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional dan ditambah dengan kurikulum Kementrian Agama. Full Day School dapat dipahami sebagai suatu sistem atau program yang diterapkan oleh sekolah kepada anak didik dimana seluruh aktivitas anak berada di sekolah. Dalam penerapan full day school sebagian waktunya harus digunakan untuk program-program pembelajaran yang suasananya bersifat informal, tidak kaku, menyenangkan bagi siswa, yang tentunya sangat mengharapkan kreativitas dan inovasi seorang Guru.

  Setiyarini, Sutarno, dan Sunardi (2014: 238) berpendapat bahwa penerapan full day school merupakan alternatif dari revolusi pendidikan terhadap masalah-masalah yang ada dan terjadi pada siswa. Sebagai solusi alternatif pelaksanaan full day school ditunjang dengan berbagai alasan yang patut dipertimbangkan dalam pendidikan siswa. Seperti yang dikemukakan Clark (dalam Setiyarini, dkk. 2014: 238) yaitu:

  “The growing number of all-day programs is the result of a number of

  factors, including the greater numbers of single-parent and dual income families in the workforce who need all-day programming for their young children, as well as the belief by some that all-day programs better prepare children for school”.

  “Dalam pertumbuhannya program sehari penuh diakibatkan oleh beberapa faktor, di dalamnya banyak orang tua tunggal dan orang tua yang keduanya bekerja yang membutuhkan program sehari penuh untuk anak mereka, disamping ada sebagian yang percaya bahwa program sehari penuh merupakan program sekolah yang dapat mempersiapkan anak-anak lebih baik

  ”. Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa full

  

day school adalah sekolah yang menyelenggarakan pembelajaran sehari

  penuh dari pagi hingga sore dengan sebagian waktunya digunakan untuk program pelajaran yang suasananya informal serta menyenangkan bagi siswa. Sekolah dapat mengatur jadwal pelajaran dengan bebas sesuai dengan bobot mata pelajaran. Guru dapat lebih berinovasi untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran di sekolah, khususnya penanaman sikap kedisiplinan sertsa mengembangkan minat dan bakat siswa.

2. Karakteristik Full Day School

  Sekolah yang menerapkan full day school pasti mempunyai karakteristik tersendiri. Sekolah juga harus membangun komunikasi yang baik kepada pihak-pihak yang terkait, seperti kementrian Agama, lingkungan sekitar sekolah, orang tua atau wali murid, dan sebagainya.

  Pembelajaran dengan full day school menjadi lebih fleksibel, menanamkan nilai-nilai Agama, dan Guru sebagai fasilitator.

  Karakteristik full day school menurut Nanda dan Mudzakkir (2013: 2) bahwa sekolah full day school sebenarnya memiliki kurikulum inti yang sama dengan sekolah pada umumnya. Namun mempunyai kurikulum lokal seperti leadership (materi pembelajaran yang berkenaan dengan kepemimpinan), green education merupakan kegiatan belajar yang berpusat pada alam. Melalui alam siswa diharapkan dapat menggali pengetahuan dengan baik tujuannya agar siswa lebih peka terhadap alam, selain itu juga ada teknologi informatika, mengaji dan lain-lain. Hal tersebut membuat siswa lebih matang dari segi materi akademik dan non akademik. Berbagai strategi yang dikembangkan oleh sekolah full day school, siswa lebih tenang, tidak terburu-buru dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan memberikan pengalaman yang bervariasi. Sedangkan Guru dapat memberikan kesempatan untuk mengukur dan mengobservasi perkembangan anak secara leluasa, dan terbinanya kualitas interaksi antara figur Guru dan siswa secara lebih baik.

  Nanda dan Mudzakkir (2013: 2) berpendapat bahwa internalisasi (penanaman nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku) budaya pendidikan Islam merupakan proses penghayatan secara inheren antara nilai-nilai perekat budaya melalui pendidikan Islam, sehingga menjadi kesadaran kolektif yang mengikat dan diwujudkan dalam aturan-aturan etika dalam memberdayakan masyarakat. Transinternalisasi pada pokoknya adalah memadukan perubahan-perubahan struktural dan usaha inovatif, sehingga keterkaitan antara fungsi pendidikan dan masyarakat tetap terpelihara. Menghadapi isu-isu yang berkembang dalam masyarakat oleh fleksibilitas, kepekaan dan komitmennya terhadap perkembangan masyarakat, mewujudkan pendidikan Islam dalam membentuk peradaban masyarakat.

  Oktamiati dan Putri (2013: 5) berpendapat bahwa konsep full day banyak memiliki metode pembelajaran dimana proses belajar tidak

  school

  dilakukan didalam kelas secara terus menerus, akan tetapi siswa diberikan kebebasan untuk memilih tempat belajar. Artinya siswa dapat belajar dimana saja seperti di perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Sisi lain dalam sistem full day school ini, banyak menggunakan metode pengajaran dialogis emansipatoris yang mana konsep ini menawarkan pengajaran yang memposisikan siswa sebagai subyek yang dominan dalam proses belajar mengajar, Guru sebagai fasilitator dan memberikan stimulus bagi siswa terhadap mata pelajaran untuk dibahas dan diperdalam oleh siswa dengan sendirinya akan menumbuhkan budaya diskusi dan dialog, sehingga dengan lamanya belajar siswa tidak menjadi jenuh (dalam Oktamiati dan Putri. 2013: 6).

  Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa sistem full day

  

school membuat pembelajaran menjadi lebih fleksibel, edukasi, dan

  menyenangkan. Siswa juga dapat lebih memanfaatkan waktunya dengan kegiatan yang lebih positif dalam kesehariannya dan lebih bermanfaat. Full

  

day school di rancang dengan sebaik mungkin, kurikulum yang lebih

  dipersiapkan, sarana dan prasarana, dan menjalin kerjasama yang baik dengan pihak-pihak yang terkait.

3. Pelaksanaan Full Day School di Indonesia

  Di Indonesia full day school sudah banyak diterapkan, namun belum semua menggunakan atau melaksanakan full day school. Sebagian besar aktifitas siswa berada di sekolah, makan, bermain, beribadah, dan lain sebagainya dengan sekolah yang melaksanakan full day school.

  Basuki dan Buharrudin (dalam Oktamiati dan Putri. 2013: 6) menyatakan pendapat yang sama tentang pelaksanaan full day school, yaitu

  

full day school merupakan program pendidikan yang seluruh aktivitas

  berada di sekolah (sekolah sepanjang hari) dengan ciri integrated activity dan integrated curiculum, artinya seluruh program dan aktivitas anak yang ada di sekolah, mulai dari belajar, bermain, makan, dan beribadah dikemas dalam suatu sistem pendidikan. Kurikulum yang sudah terencana dengan baik, dijalankan oleh orang-orang yang berkompeten didalamnya maka perjalanan proses pembelajaran yang dalam hal ini adalah siswa sebagai subjek pembelajaran akan berjalan sesuai harapan. Konsep yang digunakan dalam pelaksanaan sekolah full day adalah untuk pengembangan dan inovasi sistem pembelajaran yang mengembangkan kreatifitas yang mencakup integrasi dari kondisi tiga ranah, yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan full

  

day school di Indonesia dilakukan seluruh aktivitasnya di sekolah dengan

  kurikulum yang sudah terencana baik dan dijalankan oleh orang-orang yang berkompeten. Siswa diharapkan mampu belajar dengan baik dan mengembangkan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif. Full day school menjadi inovasi program pembelajaran yang terencana, kreatif, dan diharapkan berjalan sesuai harapan.

4. Keunggulan Full Day School Pelaksanaan full day school memang membutuhkan banyak persiapan.

  Semua konsep atau sistem pembelajaran pasti mempunyai keunggulan, begitupun juga full day school. Beberapa keunggulan full day school diantaranya yaitu membantu orang tua dalam pengawasan kepada anaknya, karena orang tua sibuk bekerja. Keunggulan full day school lainnya yaitu menanamkan sikap Islami pada siswa, membentuk sikap kedisiplinan siswa, dan lainnya.

  Soapatty dan Suyanto (2014: 723), menyatakan bahwa berikut ini beberapa alasan mengapa sekolah menerapkan sistem full day school: a. Banyaknya aktifitas orang tua yang berakibat pada kurangnya perhatian untuk anak terutama yang berhubungan dengan akrtivitas anak-anak sepulang sekolah.

  b. Kemajuan IPTEK yang begitu cepat, sehingga apabila tidak dicermati, akan membawa dampak negatif, terutama darti teknologi komunikasi.

  c. Upaya untuk meningkatkan efisiensi waktu.

  d. Perubahan sosial-budaya yang terjadi di masyarakat, dari masyarakat agraris menuju ke masyarakat industri. Perubahan tersebut jelas berpengaruh pada pola pikir masyarakat. Sehudin (dalam Setiyarini, dkk. 2014: 238) mengatakan bahwa garis- garis besar program full day school adalah sebagai berikut: a. Membentuk sikap yang Islami 1) Pembentukkan sikap yang Islami.

  a) Pengetahuan dasar tentang Iman, Islam, dan Ihsan,

  b) Pengetahuan dasar tentang akhlak terpuji dan tercela,

  c) Kecintaan kepada Allah dan Rosulnya, d) Kebanggan kepada Islam dan semangat memperjuangkan. 2) Pembiasaan berbudaya Islam

  a) Gemar beribadah,

  b) Gemar belajar,

  c) Disiplin, d) Kreatif,

  e) Mandiri,

  f) Hidup bersih dan sehat, g) Adab-adab Islam. 3) Penguasaan, pengetahuan dan keterampilan

  a) Pengetahuan materi-materi pokok program pendidikan,

  b) Mengetahui dan terampil dalam beribadah sehari-hari,

  c) Mengetahui dan terampil baca dan tulis Al-Q ur‟an, d) Memahami secara sederhana isi kandungan amaliyah sehari-hari.

  Basuki (dalam Oktamiati dan Putri. 2013: 5) mengatakan waktu yang digunakan untuk program pembelajaran yang suasananya informal, tidak kaku, menyenangkan untuk siswa dan membutuhkan kreatifitas dan inovasi dari guru, dan Basuki menyimpulkan bahwa konsep full day

  

school banyak memiliki pembelajaran dimana proses belajar tidak

  dilakukan di dalam kelas secara terus menerus, akan tetapi siswa diberikan kebebasan untuk memilih tempat belajar, seperti perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Sulistyaningsih W. (2008: 63) berpendapat bahwa sekolah full day school dirancang untuk memberi pengalaman yang lebih luas pada anak.

  Berdasarkan uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keunggulan full day school mampu membuat sekolah mengimbangi perkembangan hidup di masyarakat dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, tuntutan kesibukan orang tua, dan program yang bersifat fleksibel. Penerapan full day school membentuk sikap yang Islami, memberi pengetahuan dan keterampilan. Pembelajaran full day school bersifat fleksibel, edukatif, dan menyenangkan.

5. Kekurangan Full Day School

  Setiap pelaksanaan program pasti mempunyai keunggulan maupun kekurangan, hal tersebut sangatlah wajar. Full day school juga mempunyai kekurangan dalam pelaksanaannya. Kekurangan full day school tersebut diantaranya yaitu cukup membuat siswa kelelahan, ada siswa yang merasa bosan di sekolah, dan lain sebagainya.

  Hasan (2006: 116) berpendapat bahwa program pembelajaran model

  full day school tidak terlepas dari kelemahan dan kekurangan, misalnya; pertama , sistem full day school acapkali menimbulkan rasa bosan pada

  siswa. Sistem pembelajaran dengan pola full day school membutuhkan kesiapan baik fisik, psikologis, maupun intelektual yang bagus. Jadwal kegiatan pembelajaran yang padat dan penerapan sanksi yang konsisten, dalam batas tertentu akan menyebabkan siswa menjadi jenuh. Namun demikian, bagi mereka yang telah siap, hal tersebut bukan suatu masalah, tetapi justeru akan mendatangkan keasyikan tersendiri. Oleh karenanya, kejelian dan improvisasi pengelola dalam hal ini sangatlah dibutuhkan. Keahlian dalam merancang full day school sehingga tidak membosankan bahkan mengasyikkan sangatlah penting. Demikian juga kerjasama dengan semua pihak, yakni pakar pendidikan, psikolog, dan expert-expert lainnya sangat perlu digalakkan.

  Kedua, sistem full day school memerlukan perhatian dan kesungguhan manajemen bagi pengelola. Agar proses pembelajaran pada lembaga pendidikan yang berpola full day school berlangsung optimal, sangat dibutuhkan perhatian dan curahan pemikiran terlebih dari pengelolanya, bahkan pengorbanan baik fisik, psikologis, material, dan lainnya. Mengelola full day school sangat membutuhkan kerapian manajerial dan ketajaman sekaligus kepekaan konseptual, yakni bagaimana agar pada satu sisi terdidik merasa enak belajar, berdisiplin, dan merasa

  

at home di tengah ketegasan dan keketatan sanksi dan kepadatan proses

  edukasi. Tanpa hal demikian, full day school tidak akan mencapai hasil optimal bahkan boleh jadi hanya sekedar rutinitas yang tanpa makna.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa kekurangan

  

full day school dikarenakan kurangnya persiapan dari pelaksana, misalnya

  sarana dan prasana yang belum memadai, manajemen yang kurang baik, dan lain sebagainya. Kekurangan-kekurangan yang sudah di uraikan, sebaiknya perlu dipersiapkan segala aspeknya dahulu oleh pihak yang terkait dan bekerjasama oleh para ahli sebelum melaksanakan program

  

full day school. Hal tersebut supaya pelaksanaan full day school

  berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan mendapatkan hasil yang maksimal.

6. Pendidikan Karakter

  Karakter adalah ciri khusus yang dimiliki seseorang, sehingga ciri tersebut membedakan dirinya dengan orang lain. Karakter merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendasar bagi manusia, terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Jika seseorang mempunyai karakter yang baik, maka ia akan diterima oleh masyarakat atau lingkungan sekitarnya.

  Lickona (2013: viii) berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan sepanjang hayat, sebagai proses perkembangan ke arah manusia kaafah. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Pendidikan karakter akan harus bersifat multilevel dan multi-channel karena tidak mungkin dilaksanakan di sekolah. Pembentukkan karakter perlu keteladanan, perilaku nyata dalam setting kehidupan otentik dan tidak bisa dibangun secara instan. Sudaryanti (2012: 2) berpendapat bahwa efek adanya pendidikan karakter pada anak usia dini akan menyebabkan anak usia dini akan matang dalam mengolah emosinya. Oleh karena itu pendidikan karakter harus menjadi sebuah gerakkan moral yang bersifat holistik, melibatkan berbagai pihak dan jalur, dan berlangsung dalam setting kehidupan alamiah.

  Zuriah (2015: 17) menyatakan bahwa moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang juga mengandung arti adat kebiasaan.

  Bertens (dalam Zuriah. 2015: 17) mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajar adat kebiasaan, termasuk didalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya. Di dalam Dictionary

  

of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah

  kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dalam Kaelan. 2004 : 87).

  Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelilitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Pembukuan (2011: 5) menyatakan bahwa untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang- undang Dasar tahun 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, dimana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu

  “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Panc asila.”

  Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu

  “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Sumber: Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter).

  Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa pendidikan karakter adalah proses belajar sepanjang hayat yang dilakukan secara berulang-ulang dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter memerlukan keteladanan, nilai, dan sikap moral yang baik. Waktu yang diperlukan dalam pembentukkan pendidikan karakter tidak bisa di dapat dengan cepat.

7. Pengertian Sikap Sikap merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang.

  

Sikap yang dilakukan seseorang juga dapat mencerminkan perasaan yang

sedang dirasakannya. Sikap yang baik sangat diperlukan untuk hidup

bermasyarakat.

  Beberapa pengertian sikap (dalam Susanta. 2006: 94), diantaranya yaitu: a. Alport mendifinisikan sikap sebagai predisposisi yang depelajari

  (learned predisposition) untuk berespon terhadap suatu obyek dalam suasana meyenangkan atau tidak menyenangkan secara konsisten.

  b. Scifman dan Kanuk memandang sikap dari segi perasaan, mereka menyatakan sikap adalah ekspresi perasaan (inner feeling) yang mencerminkan apakah seseorang senang atau tidak senang, suka atau tidak suka dan setuju atau tidak setuju terhadap suatu obyek. Obyek dapat berupa merek, layanan, orang, perilaku dan lain-lain.

  c. Peter dan Olson mendifinisikan sikap sebagai evaluasi konsep secara menyeluruh yang dilakukan oleh seseorang.

  d. Para ahli psikologi sosial menganggap bahwa sikap terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif .

  Komponan kognitif adalah pengetahuan dan keyakinan seseorang mengenai suatu obyek sikap, misalnya Anton yakin bahwa makanan berlemak dapat menyebabkan stroke. Komponen afektif berisikan perasaan seseorang terhadap obyek sikap, misalnya Anton tidak suka makanan berlemak. Komponen konatif adalah kecenderungan melakukan sesuatu terhadap oboyekan sikap, misalnya Anton tidak akan membeli makanan berlemak.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa sikap adalah perlakuan atau perbuatan tertentu seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang di kehidupan bermasyarakat. Sikap dapat berupa sikap positif maupun sikat negatif. Seseorang akan diterima di masyarakat jika mempunyai sikap yang baik.

8. Pengertian Disiplin

  Disiplin merupakan pengendalian diri dan kepatuhan terhadap suatu peraturan. Seseorang perlu terus belajar untuk disiplin supaya mempunyai kepribadian disiplin yang baik. Berkepribadian disiplin yang baik akan memudahkan seseorang berkehidupan di masyarakat.

  Unaradjan (2003: 20) berpendapat bahwa disipin merupakan hasil pembinaan dan pendidikan yang melibatkan sejumlah pembina dengan metode tertentu serta berlangsung dalam tempat dan waktu tertentu. Hurlock (dalam Unaradjan. 2003: 13) berpendapat bahwa saat ini diakui anak-anak perlu menampilkan perilaku disiplin bila mereka ingin bahagia dan diterima di masyarakat. Melalui tindakan disiplin, mereka belajar berperilaku menurut aturan-aturan yang ada dan diterima di masyarakat.

  Pengertian disiplin (dalam Gusti. 2012: 3) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dan sebagainya). Kata disiplin berasal dari bahasa Latin

  “disciplina” yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerokhanian serta pengembangan tabiat. As. Munandar (dalam Gusti. 2012: 3) berpendapat bahwa disiplin adalah bentuk ketaatan terhadap aturan, telah ditetapkan.

  Sun Tzu (dalam Gusti. 2012: 3) berpendapat bahwa segala macam kebijaksanaan itu tidak mempunyai arti apabila tidak didukung dengan disiplin para pelaksanaannya.

  Pengertian disiplin menurut Ariesandi, Gordon, Daryanto dan Darmiatun (dalam Scubania, dkk. 2014: 4), yaitu:

  a. Ariesandi mengatakan bahwa, disiplin adalah proses melatih fikiran dan karakter secara bertahap sehingga menjadi seorang yang memiliki kontrol diri dan berguna bagi masyarakat. Orang tua yang memahami hal ini menyadari betul bahwa proses pendisiplinan adalah proses yang berjalan seiring dengan waktu dan pengulangan serta pematangan kesadaran diri dari kedua pihak, yakni anak dan orangtua.

  b. Pendapat senada dijelaskan oleh Gordon bahwa disiplin adalah sebuah prilaku dan tata tertib yang sesuai dengan peraturan dan ketetapan, atau prilaku yang diperoleh dari pelatihan seperti disiplin dalam kelas atau disiplin sebuah tim sepak bola yang baik. Siswa dengan memiliki prilaku baik dengan membiasakan diri patuh terhadap nasihat orang tua dan juga gurunya akan menjadi siswa yang memiliki disiplin tinggi.

  c. Sementara itu Daryanto dan Darmiatun mengemukakan bahwa disiplin adalah prilaku sosial yang bertanggungjawab dan fungsi kemandirian yang optimal dalam suatu relasi sosial yang berkembang atas dasar kemampuan mengelola atau mengendalikan, memotivasi dan idependensi diri.

  Emile Durkheim (dalam Lickona. 2013: 166) berpendapat bahwa disiplin bukan merupakan suatu alat yang sederhana, serta ketenteraman di dalam kelas, lebih merupakan sisi-sisi moralitas yang ada di dalam sebuah kelas sebagai masyarakat kecil. Lickona (2013: 167) masalah kedisiplinan adalah salah satu sumber yang membawa para Guru menuju tingkat stres dan emosi yang tinggi. Bagaimanapun juga, disiplin bukan hanya sebuah masalah, melainkan juga merupakan sebuah keuntungan, yaitu sebuah kesempatan pendidikan moral. Seperti yang sudah diklaim oleh sosiolog, Emile Durkheim, dalam penelitiannya, bahwa disiplin memberikan kode moral yang membuat disiplin memungkinkan untuk diterapkan ke dalam lingkungan kelas yang kecil menuju sebuah fungsi yang berguna.

  Lickona (2013: 167-168) berpendapat bahwa tujuan utamanya dari disiplin adalah kedisiplinan itu sendiri, yaitu sebuah jenis pengendalian diri yang menggarisbawahi pemenuhan secara sukarela dengan hanya peraturan dan hukum, yang menandai karakter kedewasaan, dan harapan- harapan masyarakat yang beradab dari warga negaranya. Anak-anak di subjekkan secara luas untuk menjadi disiplin berdasarkan komitmen pengembangan pengendalian eksternal (luar) dan menurunkan pengembangan internal (dalam) menghasilkan kebiasaan (sifat) yang baik.

  Disiplin di dalam kelas dengan jelas berdampak banyak hal: bagaimana para siswa menggambarkan diri mereka sendiri; bagaimana mereka saling memperlakukan satu sama lain; bagaimana mereka bertindak terhadap Guru mereka; dan bukan untuk tingkat yang kecil, bagaimana mereka berperilaku di luar kelas. Kebijakan disiplin Guru juga berdampak dalam iklim di dalam kelas, perkembangan komunitas moral kelas, dan hubungan antara pihak sekolah dan rumah. Untuk semua alasan ini, perkembangan Guru akan rencana disiplin, dari dasar poin nilai-nilai pendidikan, merupakan salah satu yang paling penting yang harus Guru lakukan (dalam Lickona. 2013: 204).

  Berdasarkan beberapa uraian di atas mengenai pengertian disiplin, maka dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah serangkaian perilaku seseorang yang menunjukkan ketaatan dan kepatuhan terhadap peraturan, tata tertib norma kehidupan yang berlaku karena didorong adanya kesadaran dari dalam dirinya untuk melaksanakan tujuan belajar yang diinginkan.

9. Pengertian Minat

  Setiap orang pasti mempunyai minat. Minat merupakan rasa lebih suka atau kesukaan terhadap sesuatu. Minat timbul dari dorongan dalam diri seseorang karena ketertarikannya terhadap sesuatu, dan sampai akhirnya menimbulkan rasa kepuasan. Minat yang tinggi dapat berpengaruh terhadap aktivitas belajarnya.

  Pintrich dan Schunk (dalam Mikarsa, dkk., 2007: 3.3) berpendapat bahwa minat merupakan aspek penting motivasi yang mempengaruhi perhatian, belajar, berpikir, dan berprestasi. Mikarsa, dkk. (2007: 3.5) berpendapat bahwa minat merupakan dorongan dari dalam diri seseorang atau faktor yang menimbulkan ketertarikan atau perhatian secara selektif, yang menyebabkan dipilihnya suatu objek atau kegiatan, yang menguntungkan, menyenangkan, dan lama-kelamaan akan mendatangkan kepuasan dalam dirinya. Antika, dkk. (2013) berpendapat bahwa minat adalah suatu perangkat mental yang terdiri dari suatu campuran perasaan, harapan, pendirian, prasangka, rasa takut atau kecenderungan- kecenderungan lain yang mengarahkan individu kepada suatu pilihan tertentu. Slameto (dalam Halim. 2013: 2) berpendapat bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterkaitan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Halim. 2013: 2) disebutkan minat adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Minat timbul dalam diri seseorang untuk memerhatikan, menerima dan melakukan sesuatu tanpa ada yang menyuruh dan sesuatu itu dinilai penting atau berguna bagi dirinya. Minat juga sangat mempengaruhi hasil belajar seseorang. Minat yang tinggi dapat menuntun anak untuk belajar lebih baik lagi (Subini, dalam Halim. 2013: 2). Minat merupakan suatu perangkat salah satu aspek psikis manusia yang mendorong suatu kecenderungan fundamental untuk beriteraksi pada suatu subyek yang ada dilingkungannya. Halim (2013: 3) juga berpendapat bahwa minat anak pada sesuatu hal akan besar pengaruhnya pada aktivitas belajar anak tersebut. Anak didik yang berminat pada suatu kegiatan ekstrakurikuler, maka anak tersebut akan mempelajarinya dengan sungguh- sungguh, karena ada daya tarik baginya.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpilkan bahwa minat adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang terhadap suatu hal yang di percayainya berasal dari hati. Minat mempengaruhi keseharian seseorang dalam belajar dan juga berinteraksi. Seseorang akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh karena gaya tarik yang ada pada dirinya terhadap suatu hal.

10. Kegiatan dan Hal-hal yang Diminati Anak SD

  Minat anak SD berbeda-beda, ada yang menyukai olahraga, seni, permainan berkelompok, dan lain sebagainya. Semakin banyak pilihan aktifitas yang tersedia, maka akan semakin bervariasi minat siswa. Biasanya siswa lebih berminat pada kegiatan yang membuat senang, menantang, dan berkelompok.

  Mikarsa, dkk. (2007: 3.11) berpendapat bahwa dengan semakin luasnya lingkungan anak SD, maka semakin bervariasi minat anak. Ada berbagai kegiatan yang diminati anak, diantaranya berikut ini:

  a. Kepemimpinan Seorang anak yang dipilih sebagai pemimpin oleh kelompoknya, biasanya bukan hanya karena disukai saja, tetapi juga karena ia memiliki kualitas yang memang diharapkan oleh kelompoknya.

  b. Bermain Konstruktif Bermain konstruktif adalah kegiatan membuat sesuatu, misalnya membuat bangunan dari balok-balok atau melukis. Pada beberapa anak, kegiatan melukis semakin lama semakin kurang populer karena anak lebih berminat pada hal-hal yang berkaitan dengan interaksi kelompok.

  c. Menjelajah Kegiatan ini umumnya dilakukan untuk memuaskan rasa ingin tahu.

  Sebetulnya kegiatan ini sudah diminati pada beberapa anak sejak kecil. Bedanya anak SD umumnya lebih menyukai pada hal-hal yang ada di lingkungan sekitarnya, sedangkan anak-anak yang lebih kecil umumnya bereksplorasi dengan benda mati, seperti mainannya.

  d. Mengoleksi atau Mengumpulkan Sesuatu Kegiatan ini berkembang sesuai dengan bertambahnya usia anak.

  Anak akan mengumpulkan benda-benda yang menarik perhatiannya dan kelompoknya. Benda-benda yang dikumpulkan semakin lama semakin selektif, khususnya lebih pada hal-hal yang disukainya, yang mungkin saja berbeda dengan teman-temannya.

  e. Permainan atau Olahraga Begitu menginjak usia SD, jenis permainan yang disukai anak umumnya sudah tidak, seperti ketika mereka berada di masa balita.

  Pada anak usia SD umumnya anak lebih menyukai permainan yang penuh dengan tantangan, kompetitif, dan tertuju pada keterampilan tertentu. f. Rekreasi Kegiatan, seperti membaca buku atau komik, mendengar radio, bahkan menonton televisi pun masih di gemari anak-anak usia SD.

  Anak di ajak jalan-jalan ke tempat rekreasi.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan dan hal-hal yang diminati anak SD berupa aktifitas dasar yang menyenangkan.

  Anak-anak lebih senang pada kegiatan dan hal-hal yang melibatkan teman sebaya atau bermainnya. Mereka dapat belajar sambil bermain dengan kegiatan dan hal-hal yang dilakukannya.

11. Pengaruh Minat pada Tingkah Laku dan Sikap Seseorang

  Siswa yang berminat terhadap suatu hal atau kegiatan, pasti dia akan terus melakukannya berulang-ulang. Hal tersebut akan mempengaruhi aktifitasnya sehari-hari. Semakin lama siswa akan semakin berkembang, dan kebiasaan terhadap minatnya akan mempengaruhi sikap serta tingkah lakunya.

  Mikarsa, dkk. (2007: 3.7) berpendapat bahwa minat berperan penting dalam kehidupan seseorang dan berpengaruh besar pada tingkah laku dan sikap seseorang. Hurlock (dalam Mikarsa, dkk. 2007: 3.7) berpendapat bahwa ada empat cara minat mempengaruhi perkembangan anak, yaitu berikut ini:

  a. Minat dapat mempengaruhi bentuk dan intensitas aspirasi Jika anak mulai memikirkan tentang masa depan maka anak akan mencoba menentukan tujuan dan sasaran yang akan dicapai dan dilakukan jika ia bertambah besar.

  b. Minat dapat sebagai pendorong Anak yang berminat pada suatu kegiatan akan lebih berusaha untuk melakukan kegiatan dengan lebih baik daripada anak yang tidak mempunyai minat pada kegiatan tersebut. c. Minat berpengaruh pada prestasi Anak yang berminat pada suatu pelajaran, akan belajar dan berusaha supaya mendapat nilai yang lebih baik. Minat dapat menimbulkan rasa senang pada setiap kegiatan yang dipilih.

  d. Minat yang berkembang pada masa kanak-kanak dapat menjadi minat selamanya Anak yang selalu melakukan kegiatan yang berkaitan dengan minatnya, lama kelamaan akan timbul kebiasaan dan akan terus bertahan menjadi minat selamanya.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa minat berpengaruh pada sikap dan tingkahlaku seseorang. Minat pada seseorang dan kemudian dijalankannya akan membentuk suatu kebiasaan atau pola yang dalam jangka pendek atau panjang akan menghasilkan sesuatu yang diinginkannya.

12. Pengertian Bakat Bakat merupakan kemampuan yang dimiliki dalam diri seseorang.

  Kemampuan tersebut berbeda-beda. Jika kemampuan dalam diri seseorang terus dilatih, maka akan semakin muncul dan bermanfaat kemampuannya.

  Bakat juga mengantarkan seseorang mempunyai keterampilan tertentu.

  Utami Munandar (dalam Mikarsa, dkk. 2007: 3.23) berpendapat bahwa bakat dapat diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Sarwono (dalam Mikarsa dkk., 2007: 3.23) berpendapat bahwa bakat adalah kondisi di dalam diri seseorang yang memungkinkannya dengan suatu latihan khusus mencapai kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus. Mikarsa, dkk. (2007: 3.23-3.24) berpendapat bahwa bakat merupakan potensi yang ada dalam diri seseorang yang perlu dilatih dan dikembangkan karena tanpa latihan dan pengembangan maka bakat yang ada dalam diri seseorang tidak akan terwujud.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bakat adalah kemampuan khusus yang dimiliki oleh manusia, diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dari lahir dan dapat terwujud dengan baik jika dilatih serta dikembangkan. Seseorang akan mengalami proses-proses dalam mengembangkan dan melatih bakat dasar yang dimilikinya.

13. Faktor-faktor yang Dapat Menentukan Sejauh Mana Bakat Anak Dapat Terwujud

  Siswa mempunyai bakat yang berbeda-beda. Bakat tersebut dapat terwujud dengan lingkungan yang baik serta dorongan dari dalam diri siswa. Bakat yang dilatih secara terus-menerus akan membuat siswa merasa puas dan dapat berprestasi jika siswa aktif dengan bidang bakatnya.

  Mikarsa, dkk. (2007: 3.24-3.25) menjelaskan faktor-faktor yang dapat menentukan sejauh mana bakat anak dapat terwujud diantaranya adalah:

  a. Faktor dalam Diri Anak Bagaimana minat anak pada sesuatu, seberapa besar keinginan anak untuk mewujudkan bakatnya dalam prestasi, misalnya anak yang berbakat melukis mengikuti sesuatu kompetisi melukis di sekolah karena ia ingin menjadi juara, seberapa besar keuletan anak menghadapi tantangan, dan bagaimana motivasinya. b. Faktor Keadaan Lingkungan Anak Seberapa jauh anak mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakatnya, sarana dan prasana yang terdsedia, berapa besar dukungan dan dorongan orang tua, bagaimana keadaan sosial ekonomi orang tua maupun tempat tinggalnya.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bakat pada diri anak dapat terwujud jika faktor dalam diri anak dan faktor keadaan lingkungan anak berjalan baik secara berdampingan. Motivasi yang kuat dan tinggi dalam diri anak akan sangat berpengaruh pada dirinya, ia akan melakukan hal-hal yang baik untuk mewujudkannya dalam setiap proses. Lingkungan anak juga berperan penting dalam anak mewujudkan bakatnya, terutama lingkungan keluarga, karena dengan anak tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik secara tidak langsung ia akan tumbuh dan berkembang dengan proses yang baik. Sulistyaningsih, W. (2008: 1) juga berpendapat bahwa secara teoritis, anak-anak akan berkembang secara optimal apabila mendapat perhatian sepenuhnya dari orang tua yang memahami psikologi perkembangan anak dan memiliki waktu yang cukup.

14. Pengertian Ekstrakurikuler Ekstrakurikuler merupakan kegiatan di luar jam pelajaran.

  Ekstrakurikuler bertujuan mengembangkan minat dan bakat siswa. Ada nilai tersendiri terhadap ekstrakurikuler. Pendampingan juga biasanya dilakukan oleh Guru pada ekstrakurikuler.

  Wiyani (Yanti, dkk. 2016: 965) berpendapat bahwa ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan diluar jam pelajaran yang ditunjukkan untuk membantu perkembangan peserta didik, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh peserta didik atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Wiyani (Yanti, dkk. 2016: 965) juga berpendapat bahwa ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan dalam mengembangkan aspek-aspek tertentu dari apa yang ditemukan pada kurikulum yang sedang dijalankan, termasuk yang berhubungan dengan bagaimana penerapan sesungguhnya dari ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh peserta didik sesuai dengan tuntutan kebutuhan hidup mereka maupun lingkungan sekitarnya.

  Halim (2013: 4) berpendapat bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah. Aji dan Sinaga (2012: 49) berpendapat bahwa ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran dalam waktu-waktu tertentu dan diberi nilai tersendiri.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ekstrakurikuler merupakan kegiatan diluar jam pelajaran yang difasilitasi oleh sekolah, dengan beberapa atau berbagai macam jenis sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan minat dan bakat anak. Anak juga bisa menerapkan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya di kelas dalam berproses pada kegiatan ekstrakurikuler yang dipilihnya.

15. Tujuan dan Fungsi Ekstrakurikuler

  Ekstrakurikuler bertujuan mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri siswa. Ekstrakurikuler juga membuat siswa menjadi mandiri.

  Ekstrakurikuler bisa berfungsi sebagai rekreasi atau hiburan, lebih menanamkan rasa sosial, dan pengembangan diri serta sebagai persiapan di masa yang akan datang.

  Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2014 Tentang Kegiatan Ekstrakurikuler ayat (2), (dalam Yanti, dkk. 2016: 965) yaitu kegiatan ekstrakurikuler diselenggarakan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan kemandirian peserta didik secara optimal dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Aji dan Sinaga (2012: 51) kegiatan ekstrakurikuler dimaksudkan untuk mengembangkan salah satu bidang pelajaran yang diminati oleh sekelompok siswa, misalnya olahraga, kesenian, dan kepramukaan yang diadakan di sekolah diluar jam biasa.

  Fungsi ekstrakurikuler menurut Halim (2013: 5) yaitu:

  a. Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat, dan minat mereka.

  b. Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.

  c. Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.

  d. Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan ekstrakurikuler yaitu untuk mengembangkan minat, bakat, serta potensi yang dimiliki siswa dan meenerapkan ilmu-ilmu yang di pelajarinya sesuai dengan kebutuhan pada kegiatan yang dipilih atau dilakukannya.

  Ekstrakurikuler juga memiliki fungsi untuk mengembangkan kreatifitas, kemampuan bersosialisasi, bekal kemampuan untuk masa depan, dan sebagai hiburan siswa.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

  Penelitian yang relevan merupakan salah satu referensi untuk menunjukkan bahwa topik penelitian ini menarik dijadikan sebagai penelitian, namun tidak memiliki kesamaan pada penelitian yang sudah dilakukan, sehingga dapat menambah pembahasan mengenai pelaksanaan full day school dalam membentuk sikap kedisiplinan serta mengembangkan minat dan bakat siswa kelas V SD Muhammadiyah Purwokerto, penelitian yang relevan dilakukan oleh:

  1. Setiyarini, Sutarno, dan Sunardi (2014), tentang Penerapan Sistem Pembelajaran “Fun & Full Day School” Untuk Meningkatkan Religiusitas Peserta Didik Di SDIT Al Islam Kudus. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data diperoleh dari informan, tempat dan peristiwa, dan dokumen. Penelitian ini menyimpulkan bahwa SDIT Al Islam Kudus sudah berusaha merencanakan pembelajaran dengan mengembangkan dan mengelola pembelajaran dalam sistem full day

  school dengan baik.

  2. Soapatty (2014), tentang Pengaruh Sistem Sekolah Sehari Penuh (Full

  Day School ) Terhadap prestasi Akademik Siswa SMP Jati Agung

  Sidoarjo. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan analisi statistik inferensial. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem full day school yang ada di SMP Jati Agung Sidoarjo sudah berjalan dengan cukup baik. Dimana adanya pemenuhan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar full day school, tuntutan Guru untuk lebih kreatif dan dapat meningkat prestasi akademiknya.

  3. Thoidis, I & Chaniotakis, N. (2015), about All-Day-School in Crisis or a

  Social Pedagogical Solution to the Crisis?. This type of research is descriptive qualitative. This study concluded that in Greece, the future of the all-day school depends on a number of factors, not the least of which is a greater of awareness of the role of socio-pedagogy has played. There is also a general need for a greater clarity as to the provisions essential aims. Yet within the current economic crisis, and its consequences, there are basic factors that inhibit the availability of solutions to the problems of such provision. The educational requirements of all-day school are associated with realistic costs and not with „cheap solutions‟ (Thoidis & Chaniotakis, 2012). This applies both to the coverage of teaching staff and to its needs for school equipment and buildings .

  (Tentang All-Day-School dalam Krisis atau Pendidikan Sosial. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Di Yunani, masa depan sekolah sepanjang hari tergantung pada sejumlah faktor, tidak sedikit dari yang lebih besar dari kesadaran akan peran sosial kemasyarakatan telah dimainkan. Ada juga kebutuhan umum untuk kejelasan lebih besar dengan ketentuan tujuan penting. Namun dalam krisis ekonomi saat ini, dan konsekuensinya, ada faktor-faktor dasar yang menghambat ketersediaan solusi untuk masalah ketentuan tersebut. Persyaratan pendidikan semua-hari sekolah terkait dengan biaya yang realistis dan tidak dengan 'solusi murah' (Thoidis & Chaniotakis, 2012). Hal ini berlaku baik untuk cakupan staf pengajar dan kebutuhan untuk perlengkapan sekolah dan bangunan (sarana prasarana)).

  4. Holm, L. (2014), about Parental perspectives on Danish full-day schools

  for ethnicminority students. This type of research is descriptive qualitative. This study concluded that From a general education-policy perspective, the “new” full-day schools – with their “nondistribution strategy” – seem to be an alternative to distribution strategy‟s basic premise: that ethnic-minority students achieve better results at school if the majority of students in a class are “ethnic Danes”. Furthermore, a characteristic trait of full-day schools is that they are fundamentally based on a categorisation of inhabitants in a particular residential area rather than on a professional assessment of individual children‟s academic needs.